USAI (Short Story)



 USAI


Ternyata benar hanya aku yang kehilangan.
Setelah sekian lama, aku tetap tidak ada artinya.
Baru saja kita selesai, kamu bahagia. Hebat sekali.

Tidak ada yang perlu ditangisin, batin Ify untuk sekian kalinya. Tidak ada. Tidak ada. Tidak ada. Memang tidak ada yang perlu ditangisin lagi. Cerita mereka sudah selesai atau lebih tepatnya cerita Ify dengannya lebih baik Ify akhiri. Tidak ada yang perlu dipertanyakan lagi. Toh, pada akhirnya dia sudah bahagia.
            Ia, Alyssa Raifyna. Seorang gadis biasa saja tetapi menyimpan begitu banyak rahasia. Lebih memilih mengiyakan daripada mengungkapkan. Lebih sering memendam untuk mengikhlaskan. Lebih sering menghela napas untuk tetap baik-baik saja.
            “Udah nggak apa-apa kan, Fy?” tanya Via, gadis chubby yang merupakan sahabat Ify dari kecil. Selalu bersama dari bangku Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menangah Atas (SMA). Ify dan Via sangat sering terlihat bersama. Toh, namanya juga sahabat. Selalu berisik, bahagia, sedih, susah, dan tertawa bersama-sama.
            “Semoga aja lah, Vi,” jawab Ify dengan senyum lebarnya. Tentu saja tidak bisa mengelabuhi Via dan gadis itu sudah tahu.
            “Jangan liat ke kanan ya, Fy,” peringat Via ketika bola matanya tidak sengaja menangkap sosok yang belum bisa diikhlaskan sahabatnya. Ia ingin marah. Ingin teriak. Ingin menyampaikan apa yang tidak bisa disampaikan oleh Ify kepada seseorang itu. Setelah sekian lama, Via kecewa karena membiarkan Ify bersama dia. Via kecewa. Sungguh kecewa.
            Seharusnya Via tidak usah memperingatkannya lagi. Ify sendiri sudah melihat bagaimana sosok itu datang menuju kantin melalui kaca jendela. Senyum bahagia terpancar di wajahnya. Ify meringis. Mengapa dia juga tidak bisa bahagia? Terlalu konyol, bukan?
            Helaan napas demi helaan terus Ify lakukan untuk meredamkan gemuruh di dalam dadanya. Tidak lucu untuk menangis di dalam keramaian kantin. Tidak lucu menangisi seseorang yang belum tentu peduli kepada dirinya. Tentu saja, Ify tidak boleh membiarkan dirinya menangis karena masalah ini. Bukankah sudah cukup berhari-hari yang lalu?
            “Mau pergi dari sini?” tawar Via hati-hati. Ia tidak ingin menyakiti sahabatnya dengan menganggap Ify lemah. Via jelas tahu bahwa Ify adalah seorang gadis tangguh.
            “Untuk apa pergi dari sini? Makanan kita aja belom sampe kali. Rugi banget kalo pergi dari sini ya kan?”
            Via menampilkan cengiran lebarannya. “Benar juga, Fy, rugi banget kan kita juga laper, lagian waktu istirahat masih panjang.”
            “Yoi, Vi. Bolehlah sedih sama kecewa, tapi nggak ngerugiin diri sendiri juga,” timpal Ify dengan cengiran lebarnya. Tidak perlu bersedih. Toh, dia sudah bahagia (bahagia bersama pemilik hatinya yang baru).

Aku terluka.
Jelas aku terluka.
Aku
            Terluka.
Kamu bahagia.
Terlihat betapa bahagianya kamu.
Selamat.

******

Bukankah semuanya sudah usai?
Dan mengapa rasa ini belum selesai?

Sore itu langit sangat bersahabat. Setelah adzan ashar berkumandang dengan indah, sang langit semakin bersahabat. Warna jingga mendominasi permukaan biru yang mulai tenggelam. Gradasi warna yang sungguh menawan.
            Di sebuah rumah yang dikelilingi dengan berbagai macam bunga terdengar sedikit berisik. Seorang gadis lengkap dengan celana katun panjang dan jaket abu-abu serta topi hitam yang membungkus penampilannya. Rambut panjang hitamnya yang sedikit bergelombang diujung dibiarkan saja dengan kunciran ekor kuda.
            “Ify mau ke mana sore-sore gini? Asharnya sudah, Nak?” tanya seorang wanita berumur 40-an tahun dengan wajah keibuan. Dia adalah Anita, ibunya Ify.
            “Mau sepedaan sama Via, Nda. Udah dong,” jawab Ify. Gadis itu menjawab sambil memasang sepatu olahraga di kedua kakinya. Sepeda warna biru hitam sudah nangkring dengan manis di halaman rumahnya tidak jauh dari teras di mana gadis itu bersiap-siap.
            “Via-nya mana?” tanya Anita sambil melihat ke segala arah. Mencari keberadaan sahabat putrinya.
            “Katanya tadi udah di jalan sih, Nda,” jawab Ify santai dan tiba-tiba gadis itu tersenyum lebar dan kedua bola matanya bersinar ceria melihat sosok yang baru tertangkap fokus lensa matanya. “Haiii adek Reiii,” sapa Ify kelewat ceria. Ify sangat menyukainya. Dia adalah Rei. Balita berumur lima tahun yang merupakan tetangga Ify. Anak dari Mbak Rara dan Mas Iel.
            Balita itu tertawa-tawa sambil memegang pagar rumah Ify. Secepat mungkin Ify meraih Rei dalam dekapannya. Beruntunglah Ify karena Rei juga menyukai keberadaan Ify.
            “Hati-hati, Fy, ntar jatuh si Rei-nya,” peringat Anita takut ia melihat tingkah putrinya yang terlalu bahagia melihat Rei. Bukan rahasia lagi jika Ify sangat menyukai Rei. Tetangga di dekat rumahnya pun tahu jika Ify kelewat bahagia jikalau ada Rei. Dan Anita pun menyadari itu.
            “Oke, Nda.”
            “Adek Rei mau ikut Kak Ify sepedaan?” tanya Ify gemes sambil menoel-noel pipi tembemnya Rei. Balita itu hanya tertawa. “Naik ini lho,” ujar Ify sambil menuju sepedanya. Rei menganggung-ngangguk bahagia.
            “Ntar jatuh lho, Fy. Mbak Raranya mana? Izin dulu gih.” Anita masih khawatir. Memang bukan sekali ini Rei ikut Ify bersepeda. Hanya saja rasa khawatir selalu muncul.
            “Tenang kok, Nda. Pasti nggak apa-apa. Ntar sebelum jalan ke rumah Rei dulu bilang sama Mbak Rara. Lagian Ify heran deh, Nda, kok Rei bisa lepas gini?” cerocos Ify tak lupa sambil bercanda dengan Rei dan membuat Anita geleng-geleng kepala.
           
Saat ini, Ify dan Via sedang istirahat di taman depan kompleks. Setelah berkeliling tanpa ada Rei, keduanya memilih untuk beristirahat di taman sambil menunggu waktu untuk pulang. Ify sedikit menyayangkan karena Rei tidak ikut. Ini bukan karena Mbak Rara yang pelit, hanya saja keluarga kecil nan lucu itu akan pergi. Pantas saja Rei bisa lepas dari pengawasan Mbak Rara, toh Mbak Rara lagi bersiap-siap dan balita lucu itu keluar rumah sendirian.
            “Gimana perasaan lo sekarang, Fy?” tanya Via sembari menikmati udara sore yang mulai sejuk. Jingganya langit perlahan-lahan mulai muncul.
            “Selalu baik-baik aja setiap ketemu Rei. Lo tahu kan?” jawab Ify santai dan tenang. Dia selalu merasa baik-baik saja ketika Rei ada. Balita lucu dan menggemaskan itu selalu berhasil membuat mood-nya kembali bagus. Seperti tidak ada yang perlu dia khawatirkan dan sedihkan lagi, terutama tentang dia.
            “Gue beneran kali, Fy. Bener sih lo baik-baik aja tiap udah ketemu Rei.”
            “Makanya, Vi, gue bilang kalo gue baik-baik aja.”
            Via tetap tidak menerima jawaban Ify. Sahabatnya itu suka sekali berteka-teki. Menutup segala kesedihannya. Dia membuat kesedihan itu seperti gas ideal. Tidak akan pernah ada, kecuali dalam kondisi tertentu. Bukan seperti tekanan yang menekan ke segala arah. Ify tidak akan membiarkan kesedihan memberikan efek negatif dalam semua bidang kehidupannya.
            Seseorang bisa saja menipu orang lain. Ia bisa membalut kesedihan dengan senyuman. Ia bisa menutupi kekecewaan dengan penerimaan. Tetapi, ia tidak bisa menipu diri sendiri. Ify sadar betul akan hal itu. Ia tahu persis bagaimana kondisi hatinya. Tetapi, bukankah lebih baik Via tahu jika dia ‘baik-baik saja’? Via memang sahabatnya, berhak tahu kerisauan hatinya, akan tetapi tetap saja Ify memilih untuk terlihat baik-baik saja.

Terluka. Kecewa. Sedih.
Semua itu bisa saja bukan pilihan.
Tetapi, untuk terlihat baik-baik saja adalah sebuah keputusan.

******

Untuk Kamu, Penyuka Fajar.

Nyanyian kenari mulai terdengar, apakah kamu masih menyukainya?
Pertemuan yang tidak sengaja di pagi hari, bukankah itu tentang kita (dulu)?
Bagaimana kabar kamu pagi ini?
Kukira, kabarmu secerah mentari ketika menyapa.
Desauan angin selalu kamu dengar, jadi maukah kamu mendengar ceritaku?

Pada suatu masa aku terluka. Benar-benar terluka.
Memaksa dengan kuat agar semuanya menghilang secara instan.
Sungguh sulit. Kau tahu, sangat sulit.
Air mata terus mendorong untuk menitik, tetapi selalu kubendung.
Sakit. Sakit berkali-kali ketika menahannya.
Terlihat baik-baik saja adalah pilihan yang harus diambil. Aku harus menunjukkan jika aku mampu baik-baik saja. Berat. Sangat berat. Apakah kamu pernah merasakannya?

Aku ingin menyerah. Meruntuhkan perisaiku dan pergi mencari si pembuat luka. Sungguh konyol bukan? Konyol ketika dia sudah bahagia dan aku datang tiba-tiba. Hei... aku mau dianggap apa? Untung saja, kesadaran itu masih ada.

Kamu tahu, aku selalu bertanya-tanya, mengapa dia bisa bahagia sementara aku tidak? Ternyata hanya aku yang kehilangan, sedangkan dia tidak. Miris bukan?

Setelah diselami, ternyata ini bukan hanya tentang aku yang kehilangan ataupun dia yang (mungkin) tidak pernah menganggapku ada. Ternyata, ini adalah tentang kesalahan cara, cara untuk melupakannya.

Aku benar-benar terluka dan itu terjadi berminggu-minggu yang lalu.

Kamu pernah melihat Monumen Nasional? Monas?
Begitulah keadaanku sekarang.
Begitu kuat dan kokoh.

Aku tidak lagi terluka untuk setiap kenangan yang terlintas.
Aku tidak lagi menyesali untuk setiap rasa yang masih ada.
Aku tidak lagi bersedih untuk setiap kebahagian dia yang terlihat olehku.
Aku tidak lagi kecewa untuk perpisahan yang telah terjadi.

Begitu hebatnya bukan?

Memaksa untuk menghilangkan adalah pilihan yang salah.
Menangisi perasaan berlarut-larut adalah hal yang sia-sia.
Mengharapkan kebersamaan kembali adalah hal yang konyol dilakukan.

Sekarang aku menemukan caraku.

Rasa ini masih ada, aku yakin waktu akan mengikisnya.
Kenangan itu masih sering terbayang-bayang, aku yakin dengan membiarkannya akan menguburnya.
Keinginan untuk kembali ke masa itu masih muncul, aku yakin keikhlaskan akan meleyapkannya.
Kekecawaan masih terasa, aku yakin penerimaan akan meleburkannya.

Bagaimana pendapatmu? Luar biasa bukan?

Hei... Bintang Orion.
Selalu bahagia ya.
Jangan pernah kembali karena kita tidak akan bersama.
Kamu penyuka fajar dan aku penyuka senja.
Fajar dan senja tidak pernah dipertemukan.

Dan untuk kamu, terima kasih telah mendengarkan. Terima kasih untuk sebuah pengalaman.

Pagi ini pelajaran olahraga untuk kelas XI IPA 3. Ify dan Via bersama teman-teman sekelasnya tengah melakukan jogging pagi mengelilingi lapangan basket. Pelajaran olahraga ini bersamaan dengan kelas XI IPA 5, kelasnya dia, Bintang Orion. Jika kelas XI IPA 3 menguasai lapangan basket, maka kelas XI IPA 5 berpusat pada lapangan voli. Kelas tersebut sedang melakukan pemanasan yang diinstruksikan oleh Pak Faisal. Beliau adalah guru olahraga senior di SMA Tunas Bangsa.
            Lagi-lagi mata Ify menangkap sosok Rio yang lagi asyik bermain voli bersama teman-temannya dan sesekali melambaikan tangan kepada Rasel. Ify tahu bahwa Rasel adalah gadis yang sangat dekat dengan Rio ketika perpisahan mereka. Jika dulu Ify merasa sakit maka sekarang dia bisa tersenyum lebar. Pelajaran olahraga pagi ini benar-benar asyik bagi Ify, meskipun Pak Darma meminta lari tiga keliling lapangan basket dan mengambil nilai shooting, tetap saja Ify menyukainya. Ia tidak perlu merasa sesak, sedih, dan kecewa. Dia benar-benar sudah baik-baik saja.
            “Senyum-senyum terus sih, Fy,” tegur Agni, teman sekelas Ify, ketika mereka beristirahat di pinggir lapangan.
            “Dia berhasil move on tuh, Ag,” sambar Via dan diberi hadiah jitakan yang dilayangkan oleh Ify.
            “Via ngayal mulu. Gue lagi bahagia aja, Ag. Hari ini benar-benar indah,” koreksi Ify dan tetap tersenyum lebar.
            Gadis itu sungguh menyukai perasaan baru yang dirasakannya. Bahagia. Lapang. Ikhlas. Alyssa Raifyna sungguh sudah baik-baik saja.

“Selesai dengan nggak jelasnya”

Terima kasih sudah membaca :)
-S Sagita D-

TIGA [Untitle]



TIGA

“Ya, Alyssa, tinggikan lagi suaranya!!” ujar Miss Winda, salah satu guru kelas musik dibidang vokal.
            Hari ini sudah memasuki hari kelima sebelum kegiatan belajar resmi dibuka dan itu berarti tiga hari lagi kegiatan Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS) dimulai. Di mana pada hari kedua dalam draft kegiatan PLS akan ada penampilan dari berbagai kelas yang ada di Pearl School. Itulah alasan mengapa kelas musik berlatih.
            “Ya, Miss,” balas Ify patuh. Menjadi backing vocal bukanlah hal pertama yang dilakukannya. Ini sudah yang keempat kalinya.
            “Ekspresi wajahmu harus sesuai dengan lagu, Alvin. Sudah berapa kali saya bilang sama kamu. Walaupun suara kamu spektakuler tetap saja wajahmu tidak harus selalu datar seperti sedang mengheningkan cipta,” omel Miss Winda. Beliau tidak tahu apa yang terjadi dengan Alvin sehingga anak didiknya itu selalu menampilkan raut wajah datar ditambah dengan aura dingin.
            “Ya.” Satu kata itu adalah balasan Alvin setiap Miss Winda atau guru lain mulai memberitahunya atau mengomel padanya. Pemuda dingin itu tidak membantah dan selalu menjawab iya untuk setiap nasihat dan koreksi yang diberikan kepadanya akan tetapi kata ‘ya’ itu tidak memberi perubahan drastis terhadap apa yang dimaksudkan oleh si penasihat dan pengkoreksi itu.
            “Sekali lagi kita coba dan setelah ini kalian boleh beristirahat,” ucap Miss Winda. Sudah hampir dua jam mereka latihan dan pukul sebelas sudah waktunya untuk beristirahat.
            Ify, Alvin, dan lima murid kelas musik lainnya kembali pada posisi masing-masing dan siap untuk berlatih lagi. Menyanyikan lagu untuk tampil tetap saja membutuhkan latihan, meskipun untuk acara di dalam sekolah sendiri.
            Setelah sekitar tujuh menit menyanyikan lagu yang akan mereka bawakan di kegiatan PLS dan ditambah dengan beberapa koreksi serta pujian dari Miss Winda akhirnya latihan untuk pagi ini selesai dan mereka mulai meninggalkan ruang latihan tiga dan sebelumnya sudah diberitahu oleh Miss Winda bahwa latihan sore akan dimulai pada jam empat.

******

Tidak banyak yang harus dipersiapkan oleh kelas Teknologi Informasi dalam kegiatan PLS tahun ini. Hal ini sama saja seperti tahun-tahun sebelumnya. Kelas TI hanya membuat desain spanduk khusus acara tersebut. Terlebih lagi kelas TI sudah bekerja sebelum liburan berlangsung yaitu membuat iklan elektronik untuk promosi sekolah, mendesain brosur pendaftaran, dan mengisi website sekolah.
            Oleh karena alasan itulah membuat Rio bebas berkeliling lingkungan sekolah dengan seragam khusus kelasnya, yaitu kemeja putih dengan garis pinggir kotak-kotak hitam dan celana kain bermotif serupa. Alasan ini juga yang menjadi penyebab siswa dari kelas TI lah yang paling sedikit menghuni asrama saat liburan masih berlangsung. Biasanya siswa kelas TI akan kembali pada sehari sebelum acara PLS berlangsung. Itu berarti dua hari lagi Rio akan menjumpai teman-teman kelasnya dan juga kakak kelasnya.
            Saat melewati Gedung D Rio menghampiri sepupunya yang lagi asyik berkumpul dengan beberapa teman kelasnya. Rio dan Iel adalah sepupu dari keluarga ayah. Mereka hampir sering dibilang kembar karena memiliki perawakan tinggi yang sama dan bentuk muka yang nyaris mirip serta warna kulit yang serupa. Jika Rio memakai kacamata maka Iel tidak. Itulah yang menjadi ciri khas pertama untuk membedakan mereka berdua. Ini menurut orang-orang di sekitar mereka akan tetapi sebenarnya Rio dan Iel tidak sepenuhnya mirip sama sekali. Selain itu, jika Iel suka berbicara maka Rio pendiam dan akan lebih banyak berbicara saat Rio merasa nyaman dengan orang tersebut. Bila Iel orang yang peka terhadap sekitarnya maka Rio adalah sosok yang cuek dan lebih sering masa bodoh. Rio dan Iel berkebalikan tetapi keduanya sangat dekat, sudah seperti saudara kandung.
            “Yel, gue minta kunci asrama. Gue lupa bawa tadi,” ujar Rio cepat setelah mengangguk ramah ke arah teman-teman Iel. Rio memang cowok cuek tetapi itu berlaku pada hal-hal yang dia anggap tidak penting dan di depan cewek-cewek yang berusaha cari perhatian kepadanya. Jika sesama kaumnya maka Rio akan bersikap bagaimana cara cowok terhadap cowok.
            “Ngapain lo udah mau balik ke asrama aja? Sejam lagi makan siang, Yo,” heran Iel. Ada-ada saja tingkah sepupunya ini.
            “Gabung sini aja, Yo. Kita-kita lagi nunggu makan siang juga. Lumayan nih sambil liatin yang di sono noh,” ujar si Sableng Riko. Menunjuk arah aula terbuka di mana klub cheers Pearl School latihan.
            “Geblek amat lo, Ko. Mana doyan Rio liatin yang begituan!!!” sahut Frans dan menoyor kepala Riko.
            “Yo’i, Frans. Rio nggak sebrengsek sepupunya ini.” Tunjuk Gilang ke arah Iel yang dihadiahi gelak tawa Rielando sendiri.
            Rio ikutan tertawa. Teman-teman Iel memang ramai dan terkadang Rio sering ikutan nongkrong sama mereka. “Iel berlagak suci ternyata doyan liatin yang serba kebuka. Lalatan, Yel,” ledek Rio dan tawa teman-teman Iel mulai meledak.
            “Mereka belum ada yang kembali ke asrama?” tanya Iel setelah tawanya mereda. Rio diam saja dan Iel tahu artinya bahwa Rio tidak tahu.
            “Lo berdua kayak pasangan muda aja,” ledek Frans.
            “Njir... lo. Kenapa juga gue nggak bawa kunci dan gue tinggalin itu laptop di asrama!” rutuk Rio yang diikuti dengan tawa meledak dari orang-orang di sekitarnya. “Nggak jadi gue, Yel,” tambah Rio dan kabur dari gedung kelas perfilman.

******

Dia dia sana dan Rio melihatnya. Gadis itu duduk di bawah pohon akasia rindang yang berada di area parkiran depan. Seulas senyum terbit di wajah tampan Rio. Satu hari... hmm... dua hari ah iya sudah tiga hari Rio tidak melihat Ify sejak pertemuan mereka di jam makan malam itu.
            “Hei Ify,” sapa Rio yang telah mengambil tempat duduk di sebelah Ify.
            “Hah? Kamu lagi?”
            Rio mengerutkan dahinya mendapati balasan dari sapaannya. Ia kaget. Apakah kedatangannya menganggu Ify? Masa bodoh. Memang sejak kapan dia perlu tahu apakah seseorang senang atau tidak ketika ada dirinya?
            “Ngapain di sini, Fy?”
            “Sejak kapan kamu perlu tahu mengapa aku di sini?” Bukannya menjawab Ify lebih memilih untuk melemparkan pertanyaan. Kedatangan Rio adalah hal aneh bagi Ify. Gadis berdagu tirus itu heran dengan kehadiran Rio di sekitarnya. Pertama, mereka tidak saling mengenal terlalu lama. Kedua, Ify tidak pernah berbicara dengan Rio sebelumnya. Ketiga, Ify sudah berjanji pada Rio bahwa ia tidak akan menceritakan kejadian di halaman belakang Gedung F. Keempat, Ify merasa Rio tidak mempunyai urusan lagi dengannya.
            “Woles aja, Fy,” balas Rio tenang. Dia tahu bahwa Ify risih terhadap kedatangannya. Rio melirik jam tangannya. “Lima menit lagi jam makan siang, kamu mau makan bareng aku?”
            Terperangah. Itulah ekspresi Ify saat ini. Makan bareng lagi sama Rio? Apakah ada adegan suap-suapan? Apakah akan ada aura mengintimidasi lagi? “Kukira lebih baik aku makan sendiri,” jawab Ify.
            Rio mengangguk-ngangguk. “Menurutku lebih baik kita makan siang bareng, Fy.”
            Ify melotot. “Mengapa kamu memaksa?”
            “Karena kamu nggak mau.”
            Dapat Ify rasakan jika Rio akan terus memaksa dirinya. Bagaimana bisa ia akan menolak? Berpikir, Fy. Gadis itu mengajak otaknya untuk berkompromi. Dia harus jauh dari Rio. Apakah dia mau mengulang kembali kejadian seperti dulu? Bukankah dia takut? Lantas mengapa dia takut? Bukankah orang itu tidak ada? Bukankah orang itu selalu pergi setelah semuanya hancur?
            Rio tahu bahwa Ify akan menolak. Gadis tirus itu lagi berpikir bagaimana cara untuk menolak ajakanya. Namun ada yang mengganjal pikiran Rio. Mengapa aura Ify menjadi lebih redup? Mengapa hawa di sekitarnya menjadi lebih sendu? Dan mengapa kegetiran terlihat jelas di wajah Ify dalam pandangan kedua bola matanya? Apa yang Ify sembunyikan? Apa yang gadis ini alami dalam hidupnya?
            “Kamu kenyang ya, Fy?”
            Otomatis Ify langsung mengangguk dan bersamaan dengan itu air mata menetes di pipinya. Pertanyaan ini sederhana namun memukul keras hatinya. Bagai bedug yang dipukul untuk menandakan adzan akan berkumandang. Satu kalimat itu menggema dalam pikirannya.
            “Mengapa nangis?” tanya Rio dengan jantung yang tiba-tiba berdetak lebih cepat dari biasanya.

******

Zahra mencengkram balpoinnya dengan erat. Sesak itu kembali. Bagaimana bisa ia merasakan ini lagi? Bukankah dia sudah bisa menghendel perasaan ini? Akan tetapi foto dan kalimat yang baca itu seakan menambak dirinya. Merobohkan pertahanannya. Meruntuhkan dinding kokoh yang telah ia bangun selama setahun ini. Tanpa bisa membendungnya Zahra menangis. Menenggelamkan kedua wajahnya di antara kedua lututnya. Duduk sendiri di sudut ujung gedung sastra.
            Seharusnya dia telah menghapusnya. Hapus semua sampai bersih dan mengapa dia masih menyimpannya? Selalu seperti ini. Selalu menyakitkan. Selalu membuatnya sedih. Apalagi yang dibutuhkan orang itu? Apakah ini yang disebut dengan saudara? Yang perlahan-lahan menghancurkan???!!
            Zahra terluka. Gadis yang selalu tampak kuat dengan ketenangan yang diperlihatkannya selama ini, sekarang merana. Duduk di sudut gedung sastra dalam keadaan tidak baik. Dia punya hati. Punya perasaan. Punya keinginan. Dan mengapa orang itu selalu ingin menghancurkannya? Bukan tanpa alasan Zahra memilih bersekolah di Pearl School. Bukan alasan sepele yang membuat Zahra selalu kembali pada sepuluh hari pertama sebelum dimulainya kegiatan belajar. Gadis sastra itu butuh ketenangan, kenyamanan, dan jauh dari sumber rasa sakitnya.
            Zahra sudah jauh. Sudah pergi jauh. Namun dia belum menghilangkan kenangan itu sejauh mungkin. Belum menghapus kontak itu hingga saat ini. Namun, bagaimana bisa ia tidak memiliki kontak saudaranya sendiri?? Dengan demikian ini adalah salah Zahra sendiri. Dia tahu dia akan terluka. Dia tahu dia selalu terluka.
            Selama ini Zahra bertanya-tanya, apakah tidak ada orang yang menyadari bahwa dia menderita? Bahwa dia kehilangan dan bahwa dia terluka. Apakah dia harus selalu memasang wajah ceria ketika orang itu diam-diam menghancurkannya?
            “Apakah aku harus menghilang selamanya?”

******

Rielando mengumpat kesal saat dia kebagian mendokumentasikan kegiatan latihan di gedung sastra. Hari ini sudah sore dan menjelang pukul lima. Namun pemuda itu masih menelusuri gedung sastra. Dia bisa saja mengambil dua atau tiga gambar sebagai dokumentasinya akan tetapi Iel bukanlah orang yang bekerja setengah-setengah. Dia adalah tipe pekerja keras dan karena itulah dia berada di gedung sastra hingga sesore ini.
            Iel mendengarnya. Mendengar suara sendu itu. Mendengar pertanyaan apakah aku harus menghilang selamanya. “Memang ke mana lo mau pergi?” balas Iel saat ia menemukan seorang gadis dengan kondisi berantakan dan duduk menyudut di gedung sastra.
            Gadis itu diam saja dan Iel tidak tega. Perasaannya tersentuh. Diambilnya  note book yang terbuka itu dan membaca nama yang tertulis di halaman pertama. “Azza, memang ke mana lo mau pergi?” tanya Iel ulang dan Azzahra masih saja menangis.
            Iel ikut duduk di sebelah Azzahra dan membiarkan gadis itu menangis dalam diamnya. Seperti ini kah ketika seorang gadis terluka? Beginikah ketika seorang gadis kecewa? Bagi Iel, Azzahra terlalu menyedihkan. Selama menunggu Azzahra berhenti menangis, Iel diam-diam membuka buku berukuran kecil berwarna abu-abu itu. Membaca halaman demi halaman dan sesekali berhenti untuk melihat sang pemilik buku.
            “Ini bukan sinetronkan?” Iel bertanya-tanya dalam hati. Diletakannya kembali buku kecil itu di bawah note book. Iel tertegun setelah membaca cepat isi buku itu. Dipandangnya Azzahra dengan saksama.
            Bagaimana bisa hal seperti ini dirasakan oleh Azzahra? Bagaimana bisa seseorang yang Azzahra tulis namanya sebagai Artemis menyakiti Azzahra sedemikian rupa? Dan bagaimana dengan yang bernama Janus turut andil dalam membuat luka dalam hidup Azzaahra? Bagian takjubnya, bagaimana Azzahra masih bertahan hingga saat ini? Iel terus berpikir.
            “Lo siapa?” tanya Zahra ketika air mata mulai mengering di pipinya. Ketika mengangkat wajahnya Zahra merasa sedikit pusing. Wajar saja karena matanya terlalu lama berada di dalam kegelapan. Dan ketika matanya menerima cahaya terang maka Zahra mendapat sedikit efek pusing.
            “Lo nggak apa-apa?” refelks Iel bertanya.
            Zahra menatap heran Iel dan kemudian dengan cepat membereskan semua barang-barangnya yang berserakan di lantai. Menghapus dengan kasar sisa-sisa air mata di pipinya dan kembali menampilkan sosok tegar seorang Azzahra Ramadiana.
            Rielando menyadari bahwa Azzahra adalah tipe gadis yang tidak mau dianggap lemah. Namun, kepura-puraan Azzahra menjadi seorang gadis yang tegar tidak bisa menipu Iel karena pemuda itu sudah melihatnya.
            “Bila lo sedih gue siap menemani lo saat lo menangis,” ucap Iel dan membuat Zahra mengakat wajahnya dan menatap Iel dengan wajah tegasnya.
            “Bila lo terluka, gue akan coba mengurangi lukanya,” ujar Iel dan menatap lembut Zahra. Hal ini membuat Zahra mengerjapkan matanya.
            “Bila lo udah nggak sanggup lagi memendamnya sendiri, lo bisa cerita sama gue, Azza,” ujar Iel lirih. Dia tidak tahu mengapa bisa mengucapkan tiga kalimat tersebut kepada Azzahra Ramadiana, seorang gadis yang baru ia lihat sore ini. Luka yang Azzahra rasakan menggerakan naluri lelakinya sebagai pelindung.
            “Dan lo bakal menambah luka buat gue, Mr. Rielando?” sambar Zahra sinis dan memungut barang-barangnya. “Satu lagi, jangan sembarangan membuat panggilan untuk gue. Azza? Lo pikir kita dekat?” tambah Zahra dan segera meninggalkan Iel yang terperangah dengan sikap Zahra.


BERSAMBUNG KE EMPAT...
Terima kasih karena sudah membaca :)
-S Sagita D-

Dua [Untitle]


DUA

Keempat gadis itu duduk memenuhi dua buah sofa yang berada di tengah-tengah kamar nomor 24 Asrama Callisto. Keempat gadis itu adalah Alyssa, Zahra, Sivia, dan Agni. Alyssa, gadis berdagu tirus yang duduk di single sofa sambil memeluk kotak box berwarna birunya. Zahra adalah siswi dari kelas sastra yang di tangannya terdapat sebuah spidol berwarna merah. Agni, gadis berambut sebahu dari kelas olahraga dalam konsentrasi kelas atletik cabang lari dan Sivia, gadis bermata sipit dengan pipi chubby dari kelas seni.
            Empat orang gadis itu adalah penghuni kamar nomor 24 ini. Selama setahun bersekolah di Pearl School, mereka sepertinya belum mengenal satu sama lain atau bahkan bertemu satu sama lainnya. Ini mungkin pertemuan pertama mereka.
            “Jadi... gimana pembagian tempat tidur, lemari, dan meja belajarnya?” tanya Agni memecah keheningan di antara mereka.
            “Gue ambil tempat tidur bawah aja. Soalnya gue harus bikin gantungan untuk desain-desain yang gue buat. Semacam penilaian sebelum tidur. Rutinitas anak seni sih,” ujar Sivia dengan cengiran lebarnya. Gadis chubby itu tidak terlihat seperti orang pendiam padahal selama setahun ini dia lebih sering berperan sebagai orang sampingan, bukan pemeran utama yang lebih sering mendapat perhatian.
            “Kalo gitu gue ambil tempat tidur atas ya? Perenungan kalo ada tugas buat puisi dan semacamnya. Maklum anak sastra, hehe...,” timpal Zahra.
            Sivia dan Agni kompak mengangguk. “Dan lo Alyssa?” tanya Agni. Ia tahu nama gadis berdagu tirus itu Alyssa karena Alyssa sendiri masih menggunakan seragam sekolahnya.
            “Kalo bisa panggil aku Ify aja,” ucap Alyssa pelan.
            “Ah iya. Kita belum kenalan. Duh gimana sih kita,” sungut Sivia pura-pura kesal dan kemudian mengubah raut wajahnya menjadi ceria kembali. Ify tersenyum tipis melihatnya. Begitupula dengan Zahra dan Agni.
            “Gue duluan ya. Hai... nama gue Siviana Amanda. Kalian bisa panggil gue Via aja biar lebih akrab,” ujar Via.
            “Kalo gue Azzahara, biasa sih dipanggil Zahra. Kepanjangan ya kalo Zahra?” sambung Zahra.
            Ify mengangguk. “Zahra cukup panjang. Gimana kalo Rara?” Merasa tidak mendapat tanggapan kemudian Ify cepat-cepat menambahkan, “Itu kalo kamu nyaman sih dipanggil Rara.”
            “Hmm... Rara bagus kok, Ra,” sahut Agni. “Eh by the way gue Agnia, panggil aja Agni. Kalo ada suara berisik langkah kaki malem-malem, jangan pada takut lo, itu aku lagi lari-lari kecil aja di kamar.”
            “Kamu olahraga malem-malem?” tanya Ify yang terperangah mendengar pengakuan Agni.
            “Kadang-kadang kok, Fy,” jawab Agni.
            “Kita kan udah kenalan nih. Pembagian tempat tidurnya gue di atas dan Via di bawah. Kita satu tempat tidur nggak, Vi?” tanya Zahra.
            “Gue yang deket kamar mandi aja, Ra, soalnya sering kebelet,” jawab Sivia dengan sedikit rasa malu. Dia juga heran mengapa dirinya termasuk orang-orang yang susah jauh dari toilet.
            “Oke aja sih, aku pilihnya yang deket pintu,” timpal Zahra lalu tatapannya berpusat pada Ify dan Agni. “Jadi, kalian berdua gimana?”
            “Lo mau yang mana, Fy?” tanya Agni langsung. “Soalnya gue oke di mana aja.”
            “Aku tempat tidur atas aja. Nggak apa-apa?”
            “Sip. Gue di tempat tidur bawah dekat pintu.”
            “Lemarinya gimana?” kali ini Sivia yang bertanya.
            “Sesuaiin sama tempat tidur aja. Meja belajar juga gitu. Kita nggak mungkin kan berantem karena rebutan lemari sama meja belajar?” usul Zahra dan langsung disetujui oleh ketiga teman kamarnya.
            “Gue suka yang kayak gini. Nggak ada ribet dan ributnya. Kalian nggak ngalamin sih temen kamar gue dulu. Semua mesti diributin dan diribetin,” curhat Sivia dengan wajah cemberut.
            “Tenang aja, Vi, mulai sekarang nggak akan kejadian kayak gitu lagi. Gue ngerasa kita bakal jadi sahabat yang kompak,” ujar Agni dengan senyum lebarnya disambut dengan anggukan antusias dari Sivia dan Zahra.
            “Fy, lo nggak setuju ya?” tanya Sivia heran karena dari tadi Ify hanya diam saja.
            Ify cepat-cepat menggeleng. “Aku setuju kok. Aku hanya terharu,” jawab Ify cepat dengan senyum lebarnya. Ify juga sudah merasa bahwa kesehariannya di Pearl School akan segera membaik. Dia yakin itu. Gadis berdagu tirus dari kelas musik itu yakin bahwa ketiga roommate-nya adalah sahabat yang dikirim oleh Tuhan.
            “Nah gitu dong, Fy. Sekarang ayo kita beresin barang-barang kita,” usul Sivia dan mulai mengambil kopernya.

*******

Ify menghela napas sejenak untuk menormalkan perasaannya yang bergemuruh. Belum lama sejak kata “sahabat” tercetus di kamar nomor 24 Asrama Callisto dia sudah ditinggalkan oleh ketiga roommate-nya. “Come on, Fy. Wajar aja mereka udah duluan, inikan sudah memasuki jam makan malam. Dan harus ingat, Fy, sahabat nggak selalu harus bersama-sama,” ujar Ify pelan dan kedua bibirnya membentuk senyuman kecil.      
            Dengan menggunakan celana katun panjang dan baju kaos berlengan pendek berwarna biru yang dilapisi dengan jaket abu-abunya serta rambut panjang sepinggangnya yang dibiarkan terurai, Ify keluar kamarnya dan berjalan menuju Gedung F yang terletak di depan gedung Asrama Callisto yang berjarak sekitar seratus meter.
            Ify baru saja tiba di ruang makan. Suasana malam ini lebih ramai dari dua malam yang lalu. Hari pertama di mana murid Pearl School boleh mengunjungi sekolah terlebih dahulu, meskipun masih waktu libur. Peraturan ini sudah lama diterapkan di Pearl School. Peraturan bahwa murid Pearl School boleh kembali ke sekolah dimulai pada hari ke sepeluh sebelum kegiatan belajar pembelajaran di mulai dengan catatan saat berada di lingkungan sekolah—kecuali di Gedung F saat jam makan malam—diwajibkan untuk mengenakan seragam sekolah tanpa terkecuali.
            Tidak perlu membuang-buang waktu, Ify segera mengantri di meja prasmanan. Lauk malam ini lumayan menggugah selera makannya, dengan cepat Ify segera mengambil piringnya. Setelah sekitar lima menit mengantri mengambil nasi dan lauk serta minum, langkah Ify terhenti ketika kedua bola matanya menangkap meja-meja yang telah dipenuhi oleh murid Pearl School yang ingin mengisi perutnya atau sekedar mengobrol. Diam-diam, Ify mengetahui bahwa siswi Pearl School cukup banyak yang melewatkan makan malamnya hanya untuk menjaga berat badan. Ify tertawa sendiri mendengar berita ini. Hal tersebut tentu saja menyiksa jika di sekolah asrama seperti ini, waktu pagi dan siang hari telah padat dipenuhi dengan belajar, mengerjakan tugas, dan kegiatan klub lainnya.
            Semua meja di dekat meja utama telah penuh bahkan Ify sendiri melihat Via yang sedang makan bersama dua orang—mungkin—temannya  dan juga Zahra yang duduk sendiri ditemani piring nasi dan buku catatannya di meja pojok dinding. Ify berminat menghampiri Zahra namun melihat keseriusan Zahra menatap buku catatannya membuat Ify lebih memilih meja di sudut belakang. Makan malam sendiri juga tidak terlalu buruk.

******

Rio segera keluar dari kamar 31 Asrama Phobos—asrama laki-laki khusus angkatan 2014 Pearl School—menuju Gedung F untuk makan malam. Ia tidak perduli meskipun Iel sudah mengingatkannya untuk ke Gedung F bersama-sama. Setelah mandi dan berpakain serta membersihkan luka dan darah di wajah serta kakinya membuat Rio lapar dan daripada mengomel sambil menunggu Iel selesai mandi dan bersiap, lebih baik ia pergi duluan. Palingan dia hanya akan mendapatkan omelan pendek dari Iel, roommate sekaligus sepupunya. By the way, Rio tidak akan tahu bila ada perubahan sistem kamar asrama apabila sepupunya itu tidak mengirimkan pesan kepadanya. Tentu saja bila tidak, Rio tidak akan tahu sama sekali karena insiden tadi siang. Insiden yang membuat Rio benar-benar kesal. Kedatangan Reza dan rombongannya lah yang membuat Rio kesal. Pemuda tampan itu tidak pernah mengira bahwa Reza berani menghampirinya di Pearl School. Nyali preman dan tawuran Reza memang seharusnya patut Rio perhitungkan.
            Setelah melewati tiga tangga dan berjalan sekitar 150 meter akhirnya Rio tiba di Gedung F. Cepat-cepat Rio segera memasuki antrian mendahului rombongan yang berjalan perlahan di depannya. Bodoh amat mau dikatain nggak sabaran yang penting dia makan. Rio beneran lapar karena insiden tadi siang yang benar-benar menguras emosi dan kesabarannya.
            Rio adalah tipe laki-laki cuek yang tidak peduli orang mau mengatakan apa tentang dirinya. Atau bahkan pemuda itu tidak peduli jika ada sekumpulan siswi Pearl School yang melihat-lihat ke arahnya. Rio sadar bahwa dia ganteng, tampan, enak dilihat, dan sebagainya. Dia tidak peduli. Rio bahkan terlampau sangat cuek saat sekelompok gadis menyapanya dengan senyuman manis mereka. Rio tidak peduli.
            Seperti saat ini. Rio sadar ada beberapa pasang mata yang melihat-lihat ke arahnya. Masih dengan menggunakan rumus cueknya, Rio tetap mengambil nasi dan mengisi piringnya dengan tiga tempe bacem, dua tahu bacem, dua sendok penuh sambal, dan satu potong sambal ayam serta dua sendok tumis bayam. Wadah-wadah di piring makannya tampak penuh. Belum lagi di bagian nasi. Bentuk nasi itu seperti bukit. Kesimpulannya satu, Rio lapar berat.
            Usai mengisi piring makannya mata Rio mulai menyapu pemandangan di hadapannya. “Berharap makan sama gue? Cih,” batin Rio saat mendapati Tresa melambai ke arahnya. Tidak perlu berlama-lama mencari meja makan di bagian depan, Rio segera berjalan menuju meja di bagian belakang. Memang tidak seramai bagian depan namun di sana Rio melihat gadis itu. Gadis yang berteriak dan menangis di halaman belakang Gedung F. Gadis yang berusaha menolongnya. Gadis cengeng yang Rio tidak ketahui namanya.
            Datangin atau nggak? Memang sejak kapan Rio peduli dengan hal seperti ini? Hampirin atau nggak? Jika Rio menghampiri apa yang akan dia katakan? Hamp.... Tidak perlu lagi berdebat dalam pikirannya sendiri Rio segera berjalan menuju meja gadis itu. Meja di pojok kanan dan menempel di jendela. Gadis itu sendiri hanya diam sambil sesekali memasukan nasi ke dalam mulutnya.

******

Lagi-lagi Agni harus menelan rasa sakit hati. Betapa bodoh dirinya? Apa yang ia pikirkan sehingga ia mengikuti langkah Cakka yang meninggalkan ruang makan? Astaga... gadis itu benar-benar di luar kendali. Mengapa cinta begitu menyesatkan? Membuat rasa penasaran begitu hingga dan pada akhirnya memberikan luka. Mengapa Agni harus melihat Cakka bersama Ashilla yang menikmati makan malam di bawah sinar rembulan??
            “Bodoh,” umpat Agni untuk dirinya sendiri. Ia bersembunyi di balik pilar yang berjarak lima meter dari ayunan yang tengah dinaiki oleh Cakka dan Ashilla. Lagi-lagi ia terluka. Mengapa ia harus jatuh cinta? Mengapa ia harus jatuh pada Cakka? Apakah ia harus menyalahkan Cakka atas rasa sakit hatinya? Alasannya apa? Apakah karena Cakka keren, tampan, jago basket, memiliki postur tinggi, dan berhidung mancung? Apakah karena itu? Sungguh semua ini bukan salah Cakka. Dalam kasus ini hanya Agni yang jatuh cinta, tidak dengan Cakka. Agni mengalami cinta diam-diam dan konsekuensinya ia harus dalam diam merasakan sakit hatinya. Bukankah seperti itu cinta diam-diam?
            Hangat.... perasaan itu yang Agni rasakan saat air matanya menetes. Bukankah ini sungguh konyol?!! Astaga... Agni menangis karena melihat kebersamaan Cakka dan Ashilla. Ini bukan pertama kalinya Agni melihat hal seperti ini. Seharusnya hatinya sudah kebal bukan?
            “Bodoh, Ag, bodoh. Tutup hatimu. Sedetikpun Cakka tidak akan melihatmu,” ujar Agni pelan dan kemudian meninggalkan tempat persembunyiannya. Untuk apa ia berlama-lama di sini? Lebih baik di pergi bukan?

******

Ify tidak berani untuk mengangkat wajahnya. Ia tahu sejak seseorang memilih duduk di hadapannya, sejak saat itu ia merasakan banyak pasang mata yang melihat ke arahnya. Gadis itu bertanya-tanya sejak tadi. Siapa yang sedang duduk dihadapannya.
            Bunyi sendok yang beradu dengan piring tidak membuat Rio merasa risau. Gadis di hadapannya ini tidak kunjung mengangkat wajah dari pertama Rio duduk di sini. Hei... apakah dia memiliki sakit mata sehingga membuat gadis ini tidak mengangkat wajahnya? Rio geram. Ini sudah sendok ketujuh gadis itu makan dan dari isi piring nasi gadis itu hanya berkurang sedikit sekali.
            “Cengeng,” ucap Rio untuk menarik perhatian Ify. Satu... dua... tiga... tidak ada balasan sama sekali. Ada apa dengan gadis ini?
            “Dua tahu bacem, sepotong ayam goreng, hmm... gue rasa satu sendok tumis kangkung dan satu sendok sambel.” Rio mengabsen apa yang ada di piring Ify.
            Bola mata Ify bergerak mengamati isi piringnya dan kemudian melihat isi piring di hadapannya. Lalu tanpa ia sadari Ify mengakat wajahnya dan mendapati wajah Rio dihadapannya. Seketika bola mata Ify melotot seakan ingin keluar. Ia kenal wajah ini. Apalagi ditambah dengan luka-luka kecil serta lebam di sana-sini.
            “Akhirnya diangkat juga wajahnya,” ucap Rio dan tersenyum lebar.
            Ify tertegun. Wajah tersenyum Rio tiba-tiba membuatnya merasa hangat. Namun, Ify tidak menunjukkan raut wajah apapun selain datar. Ia tahu laki-laki ini. Laki-laki yang dihajar tadi siang.
            “Aku nggak bilang siapa-siapa kok. Beneran,” ujar Ify cepat-cepat. Bagaimana bisa ia lupa mengatakan hal ini? Alasan pertama laki-laki ini memilih duduk di hadapannya adalah untuk menagih janji agar dirinya tidak membocorkan perihal kejadian di halaman belakang Gedung F mengingat peraturan Pearl School yang sungguh ketat.
            “Jaket. Hmm.... bukan rok apalagi dress tetapi celana panjang dan gue tebak pasti lo pakai baju kaos biasa. Tipikal cewek tomboy. Yang gue heran sih kenapa lo tadi siang nangis?”
            Raut wajah Ify berubah menjadi terperangah. Sendok makannya sudah  terletak begitu saja di bagian nasi. Dia tidak percaya apa yang diucapkan laki-laki di hadapannya ini????!!! Dia tomboy??!! Dia cengeng???!!! Dan laki-laki berkacamata di depannya ini tidak membalas apa yang ia ucapkan.
            “Hmm.... kalau cewek tomboy biasanya bantu ngehajar,” ucap Rio sembari memperbaiki letak kacamatanya. Mata minus bukan pilihan Rio dan ini karena dulu ia sering melihat laptop tanpa kacamata pelindung. Apalagi dia sering menggunakan laptop dalam waktu yang lama.
            “Maaf. Aku beneran nggak bilang siapa-siapa soal kamu dikeroyok. Aku juga langsung pergi saat mereka udah keluar dari gerbang.” Ify mencoba menjelaskan apa yang ia lakukan tadi siang dan laki-laki ini tidak menjawab sama sekali. Please... Ify mau kabur dari situasi seperti ini. Dia tidak menyukainya apalagi beberapa pasang mata masih menatap sesekali ke arah mereka dan dia juga mendengar bisik-bisik meskipun tidak begitu jelas.
            “Sungguh. Aku nggak melapor ke satpam, nggak cerita ke teman, dan nggak bilang sama guru. Beneran,” tambah Ify cepat ketika mendapati laki-laki itu menatap intens ke arahnya. “Stop... jangan natap aku seperti itu,” ucap Ify pelan. Sangat pelan. Nyaris saja Rio tidak mendengarnya.
            Hahaha... tawa Rio meledak. Gadis ini sungguh lucu. Dia tahu bahwa gadis dengan gaya tomboy tetapi cengeng ini tidak melapor perihal kejadian tadi. Jika iya pasti dia sudah dipanggil ke ruang konseling. Walaupun masih dalam waktu libur, jika sudah berada di lingkungan sekolah maka peraturan tetap berlaku.
            Dahi Ify berkerut. Dia heran mengapa cowok itu tertawa? Rasa tidak suka merayap ke dalam hatinya. Dia tidak suka ditertawakan saat dirinya tidak tahu apa alasannya.
            Melihat raut wajah sebal dari gadis di hadapannya ini membuat Rio berusaha menghentikan tawanya. “Maaf...,” ujar Rio dan sedikit lega karena raut wajah gadis di hadapannya sudah kembali datar, meskipun dia lebih suka melihat raut wajah kesal gadis itu. Mata menyipit dan ujung bibir yang tertarik sedikit ke atas yang menimbulkan kesan sinis.
            “Gue nggak benar-benar niat ngetawain lo kok, Ceng...” sebisa mungkin Rio menormalkan wajahnya. Tidak mungkinkan dia tertawa lagi saat gadis di hadapannya ini terang-terangan mendengus kesal. “Ehem... gue Rio. Lo siapa?”
            “Alyssa Raifyna,” ucap Ify.
            “Ehem... Raif?”
            Ify melotot. Kenapa Rio selalu membuatnya ingin melotot saat mendengar ucapan cowok itu?? “Ify aja.”
            “Ok, Ify aja.”
            Ck... Ify menggelutukan kedua giginya. Dia semakin kesal dengan yang namanya Rio-Rio ini. “Ify. Nggak pake aja.”
            “Iya ya. Masih laper, Fy?”
            “Iya,” sambar Ify. “Kalo kamu nggak ada urusan lagi sama aku kecuali meledek padahal kita baru kenal lebih baik kamu pergi. Aku risih diliatin orang-orang. Memang kamu siapa sih?”
            Rio senyum-senyum mendengar ucapan Ify. Gadis ini lucu juga. “Fy... buka mulutnya. Katanya laperkan?” Rio mengarahkan sendok makannya yang sudah berisi potongan tempe dan sambal serta nasi.
            Terperangah. Itu yang Ify lakukan. Apakah Rio sakit jiwa? Cepat-cepat ia menggeleng.
            “Kenapa?”
            “Aku nggak suka tempe.”
            “Oh...” Rio bergumam seraya mengangguk-nganggu. “Nah kalo ini?” Sendok Rio kini telah berganti isinya dengan potongan ayam dan sambal serta nasi.
            Ify masih menggeleng.
            “Kenapa lagi?”
            “Itu sendok kamu. Lauk dari piring kamu dan kamu sendiri harus memakannya. Aku bisa makan dari piringku sendiri.”
            “Oh...” Rio melahap makanan yang ada di sendoknya dan kemudian ia mengambil sendok makan Ify dan mengisinya dengan potongan ayam dan tahu serta sambal dan juga nasi. “Sekarang nggak ada alasan lain lagi untuk kamu menolak aku suapin,” ucap Rio final dan tegas sehingga membuat Ify sontak melototkan matanya dan terperangah.
            “Makan, Fy, jarang-jarang aku nyuapin orang,” ucap Rio lembut namun bola mata dibalik kacamata itu menatap tajam ke arah Ify. Mau tak mau membuat Ify membuka mulutnya dan menerima suapan dari Rio.
            “Bagus,” ujar Rio dengan senyuman lebarnya. “Masalah tadi siang jadi rahasia kita, Oke, Ify Cengeng?”
            Ify mengangguk seraya masih mengunyah makannya. Makan malam ini adalah anugerah atau bencana. Ify tidak mengetahuinya karena sejak makan malam itu perlahan-lahan kehidupan sekolahnya mulai berubah. Namun sayangnya perubahan itu justru membuat Ify merasa was-was. Ia takut sesuatu yang ditakutinya akhirnya kembali terulang. Dia takut.


BERSAMBUNG KE TIGA...
Terima kasih karena sudah membaca :)
S Sagita D