Antara Aku dan Dia *Last Part*


Senin pagi ini, aku dikejutkan dengan berita heboh yang langsung menyambutku ketika aku tiba di pintu kelasku. Teman-teman sekelasku sibuk kasak-kusuk dan heboh membicarakan suatu topik yang kayaknya sedang hot-hotnya. Aku meletakkan tas di mejaku yang berada di deretan nomor dua. Lalu bergabung dengan rombongan Dian yang tengah asyik bergosip.
            “Apa sih yang asyik banget diomongin?” tanyaku.
            “Lo belom tau, Far?” tanya Dian. Aku menggeleng. “Masa?” Dian nggak percaya.
            “Bener loh, emang apaan sih?” tanyaku lagi.
            “Masa dia nggak cerita sama elo, padahal tetangggaan?” kali ini Mara yang menyahut.
            Oh, tentang Rama ya. Ucapku dalam hati. “Kami udah lama nggak ngomong di rumah, abis sibuk buat tugas. Emang kenapa?” tanyaku lagi untuk yang ketiga kalinya.
            “Rama sama Puput udah putus. Di fb juga ada loh,” jawab Dian. Aku tercengang. Rama dan Puput putus. “Kok bisa?” tanyaku lagi.
            “Nggak tau juga penyebabnya. Di fb, statusnya si Puput. Rama mutusin dia begitu aja. Padahal nggak ada masalah apa-apa. Makanya Puput nggak terima. Kalo mau tau lebih banyak, tanya Rama langsung aja. Tunggu dia datang,” jelas Dian panjang lebar.
            “Oh gitu,” balasku. “Aku keluar dulu ya.” Kemudian aku pamit. Aku keluar kelas dengan perasaan bingung. Begitu aku tiba di luar, Lara yang baru sampai langsung meneriakkan namaku.
            “FARAH”
            “Kenapa?” aku bertanya bingung.
            “Ikut gue, ada yang harus elo tau. Gue yakin elo belum tau cause ini baru up date tadi pagi,” jawab Lara cepat. Lalu ia masuk ke kelas sebentar. Aku yakin ia melemparkan tasnya ke meja karena ada suara berdebuk yang lumayan kencang. Lara muncul lagi dan segera menarikku ke tempat biasa. Pohon akasia yang menjadi saksi kesedihan dan kebahagiaan aku dan Lara.
            “Ada apa sih, Ra?” tanya ku lagi.
            “Gini, Rama sama Puput kan putus. Elo udah tau?”  Aku mengagguk. Lalu Lara melanjutkan.
            “Puput nggak terima diputusin tanpa alasan gitu. Puput ternyata nyalahin elo, Far. Elo yang buat dia sama Rama putus. Liat aja di facebook. Dia ngatain elo terus.”
            Aku ternganga. Nggak nyangka masih dijadikan kambing hitam sama Puput. Padahal aku sudah sebulan nggak ngomong sama Rama lagi.
            “Tapi kan, gue udah lama nggak ngomong sama Rama. Ketemu juga nggak. Masa gue lagi yang dijadiin kambing hitam,” keluhku. Lara menatapku prihatin.
            “Sabar aja deh, Far. Hari ini elo nggak boleh pisah atau jauh-jauh dari gue. Gue yakin pasti tuh nenek sihir ngincar  elo. Oke?” Lara memang sahabat sejati. Aku berjanji pada diriku sendiri, nggak akan buat Lara kecewa karena aku. Aku selalu siap bantuin Lara.
            “Oke,” jawabku.
            “Yuk, ke kelas. Bentar lagi bunyi bel.”
*****
Selama jam pelajaran di kelas, aku jadi nggak konsentrasi menyimak. Aku tau berita yang disampaikan Lara tadi udah nyebar ke satu sekolah, apalagi kelasku. Aku tahu, kalo aku yang sedang mereka bicarakan. Beberapa kali tiap guru yang masuk berdeham, untuk memperingatkan bahwa sekarang waktunya belajar bukan bergosip. Awalnya siswa menurut, tapi lama-lama mengulang kembali. Lara menatap ke arah teman sekelas yang asyik mengobrol. Dia juga sekilas menatap Rama yang juga tengah menatap lurus ke depan. Entah ke arahku atau papan tulis. Jam istirahat, aku dan Lara juga nggak keluar kelas. Kami tetap di kelas. Aku mendengar percakapan Dian yang sibuk bertanya pada Rama asal-muasal Rama putus dengan Puput, sambil Dian menyinggungku.
            “Gue putus sama Puput, itu urusan gue. Nggak ada hubungannya sama elo. Tapi, emang ada hubungannya sama Farah. Puas lo?” bentak Rama pada Dian yang menatap Rama dengan takjub. Apalagi aku, aku langsung ternganga hebat. Rama gila banget. Kalau seperti ini, aku semakin terpojokkan. Dian cs mulai menggosipiku. Rina nggak percaya kalo aku yang merebut Rama dari Puput, karena ia juga tau kalo di rumah kami udah jarang ngomong. Rina rumahnya satu blok dengan aku dan Rama, jadi dia juga lumayan tau. Ditambah lagi, Rama menanyakan tugas padanya. Biasanya Rama nggak pernah, soalnya dia selalu bertanya padaku.
            Bel berdering tanda istirahat telah selesai, kali ini pelajaran semakin hampa ku rasakan. Padahal ini pelajaran kesukaanku. Kimia. Biasanya aku juga menyimak pelajaran ini dengan semangat. Kali ini lesu, aku membiarkan pelajaran itu berlalu begitu saja tanpa meninggalkan bekas di otakku. Judulnya aja aku nggak tau.
            Jam demi jam, menit demi menit, dan detik demi detik telah lenyap. Bel pulang yang menandakan semua siswa berhak pulang ke rumah Mami dan Papi masing-masing telah bernyanyi dengan nyaringnya. Aku tiba-tiba jadi berdebar. Aku dan Lara membereskan laci meja kami, aku melihat sosok Rama yang duluan keluar dengan cepat dan kemudian keluar kelas. Setiba di depan pintu aku langsung disambut oleh Puput cs. Dia berjumlah empat orang. Aku tau mereka, Via, Dira, sama Siska. Teman sekelasnya. Tatapan membunuh langsung tertera dengan jelas di pelupuk mata Puput.
            “Elo, berani-beraninya ngerebut cowok gue.” Itu kalimat yang langsung menyambutku. Di sekeliling kami yang semula sepi, kemudian menjadi ramai. Aku nggak memperdulikan ucapan Puput.
            “Diam aja berarti bener,” ujar Via. Dia menatapku dari ujung jari hingga kepalaku. Lalu ia berdecak, “Ckckck…, gaya boleh polos. Nggak taunya uler.” Via mendorongku. Hingga aku mudur empat langkah, hampir jatuh. Untung Lara menyanggahku. Lara sudah semakin marah, ia nggak terima.
            “Beneran. Kecentilan banget. Jangan-jangan ke semua cowok kayak gitu. Idiiiihhhhh…cewek nggak bener,” ledek Dira. Aku sudah nggak tahan lagi.
            “Elo berempat, jangan asal fitnah orang ya. Gue nggak pernah ngomong sama cowok elo itu sebulan, terhitung dari elo ngancem gue dulu. So, jangan main asal fitnah,” cecarku.
            “Itu kan kata elo, siapa yang percaya? Di sekolah boleh-boleh aja berlagak sok jauh, di rumah nempel kayak perangko.” Balas Puput. “Dasar kecentilan.” Ditariknya rambutku. Lara nggak tahan lagi, dibalasnya juga. Ditariknya rambut Puput yang lurus bak iklan shampoo itu. Ku lihat beberapa helai rambut nyangkut di sela-sela jarinya.
            “Elo berani?” tantang Siska.
            “Siapa takut sama elo berempat. Nggak banget. Hanya orang begok yang takut sama kalian,” balas Lara.
            “Elo..elo..elo..” seru Puput tangannya hampir melayang ke arah pipi lembut Lara, aku segera menghalanginya dan pipiku yang jadi korban. PLLLLLAAAAAAAAAKK. Aku meringis kesakitan. Teman-teman yang menonton, sontak memegang pipi masing-masing. Betapa apa yang aku rasakan sungguh menyakitkan. Ya Allah kuatkan kami berdua.
            “Elo berani nampar, Farah. Ini untuk elo !” seru Lara berang. Dilayangkannya tangan kanannya ke wajah mulus Puput dan meninggalkan bekas merah. Aku nggak menyangka Lara yang lembut bisa segalak itu. Ketiga teman lainnya ternganga hebat. Lalu mepelototi aku dan Lara. Penonton semakin bergidik. Ini udah penganiayaan di kalangan pelajar.
Tiba-tiba Siska memegang tangan Lara dan Via memegang tanganku. “Jangan ada yang berani nolong kalo nggak mau bernasib sama,” ancam Puput pada penonton. Aku melihat Rina mau melangkah ke arah aku dan Lara. Kemudian ia berhenti mendengar ancaman itu. Ia  berlari keluar dari gerombolan entah ke mana. Hilang sudah malaikat penyelamat. Sedangkan yang lain hanya mau menonton.
            Kata-kata hinaan dan cacian semakin diluncurkan Puput cs. Aku dan Lara hanya bisa diam. Mau membalas nggak bisa. Hari menjadi mendung. Kayaknya langit bisa merasakan apa yang aku dan Lara rasakan. Puput menarik rambut aku dan Lara bergantian. Kami hanya bisa menahan sakitnya. Aku mendengar tawa Puput cs.
            “ELO, LEPASIN MEREKA BERDUA !!” teriak suatu suara. Aku mengenal suara itu. Rama. Pasti Rama. Untuk menyakinkan aku membuka mataku. Benar, ternyata Rama. Dia sedang berdiri di sebelah Rina. Ternyata Rina pergi untuk memanggil Rama. Puput cs kontak pucat. Siska dan Via segera melepaskan cengkramannya. Aku bisa bernapas dengan lega.
            “Elo kenapa sih, Ram? Dia itu udah ngerusak hubungan kita. Jadi wajar gue ngelakuin ini ke dia,” seru Puput. Ia nggak terima Rama mendukung Lara dan aku.
            “Bukan dia yang ngerusak hubungan, tapi elo. Elo yang ngerusak hubungan gue sama Farah. Kalo bukan karena ortu lo, gue nggak mau pacaran sama elo. Apalagi kejadian di kantin itu dulu. Gue udah salah ngira. Ternyata elo biang keroknya,” balas Rama. Tatapan matanya penuh amarah tertuju pada Puput. Puput menegang.
            “Jadi bener elo putus sama gue gara-gara dia. Elo begok banget. Farah nggak selevel sama gue,” kicau Puput.
            “Dia emang nggak selevel sama elo, elo rendahan sedangkan dia berkelas. Gara-gara elo gue nggak ngomong sama Farah sebulan. Elo buat dia jauh dari gue. Elo nggak tau gimana rasanya nahan perasaan, susah banget. Gue rindu plus kangen sama dia. Gue kira kalo kita pacaran, gue masih bisa ngomong sama Farah. Gue udah lima bulan nahan perasaan gue sama Farah. Elo memang perusak,” seru Rama. Aku tercengang. Rama ternyata udah suka aku selama 5 bulan. Berarti dari dia pindah rumah pertama kali. Ya ampun, Puput semakin malu sendiri.
            “Awas aja lo. Gue balas,” ancam Puput padaku. Matanya jelas terarah padaku. Aku hanya menunduk.
            “Elo jangan berani ngancem-ngancem. Dasar nenek sihir,” balas Lara.
            “Apa lo. Dasar.” Lagi-lagi tangannya hampir mengenai wajah Lara, tetapi tertahan. Aku yang nggak sanggup melihat tamparan, memejamkan mata. Aku yakin Lara juga melakukan hal yang serupa denganku. Tapi nggak ada bunyi plak. Aku membuka mataku. Ternyata Andre anak kelas II IPA 4 menahan tangan Puput.
            “Elo jangan pernah nyentuh wajah dia dengan tangan kotor elo !” desis Andre tajam. Puput berlari pergi diikuti ketiga sohibnya.
            “Kalian semua bubar. Ini bukan tontonan !” Teriak Andre. Penonton sontak kabur. Ntah takut atau karena hari yang semakin sore. Jadi harus kudu pulang. Aku dan Lara berlari pergi meninggalkan Rama dan Andre. Kami berlari menuju pohon akasia yang biasanya menerima tangis dan tawa kami. Hujan mulai turun. Kami nggak peduli.
            “Elo nggak apa-apa, Far?” tanya Lara prihatin. Air mata masih tergenang di pelupuk matanya. Aku menggeleng lemah. “Elo gimana?” aku bertanya balik. Sambil tanganku memegang tangannya yang ada bercak darah. Ternyata tangan Lara tergores kuku panjangnya Siska.
            “Elo yang sakit, Far. Wajah elo kena tampar,” ujar Lara sambil mengusap pipiku lembut. Kemudian kami berdua menangis bersama sambil berpelukkan. Air hujan menemani. Langit ikut hanyut dalam kesedihan kami.
            Tiba-tiba ada suara yang memanggil namaku dan Lara.
            “Elo nggak apa-apa, Ra?” tanya Andre lembut. Dia duduk di sebelah Lara. Dilihatnya tangan Lara yang terluka. Dilapnya dengan telapak tangannya sendiri dan air hujan hingga darah itu hilang. Lara merintih sedikit. Soalnya kalau luka yang baru kalo dikasih air rasanya perih.
            Aku akan mengelap air mataku, tetapi sebuah tangan yang hangat telah melakukannya. Itu tangan Rama. Rama mengusap lembut air mataku. “Aku nggak akan buat kamu menangis lagi,” ujar Rama lembut di telingaku. Aku sontak menarik diriku menjauh.
            “Kamu kenapa, Far?” tanya Rama heran padaku. Aku nggak menjawab. “Aku udah bilang, kalo aku suka kamu dari dulu. Kamu jangan ngebohongin perasaanmu lagi, Far. Nggak usah kamu hiraukan si Puput itu.” tambahnya lagi.
            “Maksud elo? Ngebohongin perasaan apaan sih?” tanyaku. Sumpah aku bingung banget.
            “Jangan pura-pura nggak nyadar, aku udah tau semua dari Mas Gilang. Aku tau, kamu juga suka sama aku. Makanya menjauhiku waktu aku pacaran sama Puput,” jawab Rama. Aku malu banget. Dalam hati aku langsung mencaci Mas Gilang.
            “Bener tuh kata Rama. Ngaku aja deh, Far. Ntar dia balik lagi ke Puput. Kan kasihan nih pohon nampung air mata elo terus.” Kali ini Lara yang berbicara sambil tersenyum.
            “Apaan sih,” balasku pendek. Lalu Rama memelukku dengan kedua lengannya. Aku terkejut.
“Aku tau kok  apa jawabanmu,” ujarnya lembut. Aku hanya tersenyum. Aku menatap Lara yang tersenyum manis padaku.
            “Makasih udah nunggu aku ya Far,” ucap Rama lagi. Aku hanya mengangguk.
            “Ciiiiieeeeeeeee… yang baru jadian,” ledek Lara.
            “Jadi, pohon akasia tinggal nampung tangis Lara lagi dong. Soalnya Farah udah ada yang nampung yaitu gue,” ujar Rama. Aku langsung dapat ide untuk meledek Lara.
            “Ini pohon, udah selesai tugasnya karena Lara Dilena Putri udah ada yang jaga yaitu Andre. Gue tau kok. Sebagai sahabat, gue tau. Sebaiknya kita berdua ngucapin makasih sama nih pohon,” ujarku. Lara mencibir padaku. Andre tersenyum bahagia.
            “MAAAAAKKKKKKKKAASSSSSSSSIIIIIIIIIIIH, SAAAAHHHHHHHHABBBAAAAAAAAAAT PPPOHOON.” Teriak aku dan Lara gembira. Hujan udah berhenti, langit cerah. Sepertinya langit memang mendukung aku dan Lara.
            “Kami juga ngucapin makasih  karena udah ngijinin kami mejaga Lara dan Farah,” ujar Andre dan Rama serempak. Aku dan Lara tercengang.
            “Dasar norak,” seruku dan Lara.
*****

Hari ini aku , Lara, Andre, dan Rama tengah bermain bersama gelombang pantai. Melakukan permainan yang biasa aku dan Lara lakukan. Berdiri agak menengah di pantai, menunggu gelombang laut menarik kami. Merentangkan tangan seluas-luasnya. Tapi kali ini kami bergandengan tangan. Rama menggandeng tangan kananku, Lara menggandeng tangan kiriku, dan Andre menggandeng tangan kiri Lara. Kami tertawa bersama, menatap sejauh-jauhnya menuju samudera luas dan membiarkan rambut kami diterpa angin samudera. Kemudian kami berteriak bersama-sama.
“MAKASIH SAMUDERA, UDAH MAU MENAMPUNG LUAPAN KEGEMBIRAAN INI.” Norak banget ya. Namanya juga anak usia 17 tahun yang masih tergila-gila dengan cinta. Hehehe…
            “Terima kasih Tuhan, udah ngabulin doaku,” ucapku dalam hati. Masih ingatkan.  Aku sekarang percaya dengan filosofi yang menyatakan, ‘kalau benci itu pertanda cinta’. Lara juga percaya dengan kata-kata, ‘cinta itu nggak perlu dicari karena ia akan datang sendiri’.
           
“The End”

Antara Aku dan Dia *Part 2*


Hari ini aku dan teman sekelasku dibuat terkejut oleh si Kutu Kampret. Terlebih lagi diriku sendiri. Kali ini bukan karena kejahilannya. Tapi karena Rama membawa seorang cewek, kalau nggak salah anak kelas sebelah. Wajahnya nggak asing. Ya dia si Puput, nama lengkapnya Putri Indah Sari. Memang terkejut. Soalnya Rama memperkenalkan Puput sebagai ceweknya atau pacarnya.
            “Teman-temannku sekalian yang saya sayangi, kecuali satu orang yang kalian udah tau siapa orangnya,” sapanya tersenyum lebar dan menatapku dengan tampang mengejek. Aku cuma mencibir. Lara yang duduk di sebelahku, ikutan mencibir juga. Memang sahabat sejati.
            “Oh iya, sampai lupa. Kenalkan wanita cantik bin manis yang berdiri di sebelah gue?” tanya Rama lebay banget kepada kami semua. Langsung ada jawaban “IIIYYYYYYAAAAAAAAA.”
            Good,” ucapnya sambil tersenyum lebar. “Puput sekarang udah resmi jadi cewek gue,” lanjutnya. Lagi-lagi tersenyum penuh kemenangan ke arah ku. Seolah-olah apa yang dikatannya belum tegas, Rama meminta pernyataan pada Puput. “ Ya kan, sayang?” Puput hanya mengangguk tersenyum malu-malu. Langsung teriakan cuiitt…cuuiiiiittttt..ciiieeeeee…cciiiiieeeeeeee membahana di ruang kelas kami yang nggak besar dan juga nggak kecil ini.
            “Hanya sekedar pengumuman aja kok. Sekaligus buat ngasih tau pada seseorang yang dulu pernah bilang ke gue, kalo gue itu nggak laku. Jelek. Nah, sekarang udah gue buktiin. Malah dia yang ngejomblo terus,” ujar Rama panjang lebar. Aku langsung teringat dengan kejadian itu. “Bye-bye, teman. Yuk, sayang.” Pamitnya begitu norak pada kami dan menggandeng Puput keluar dari kelas. Aku memperhatikan mereka, hingga kedua orang itu menghilang dari pandangan.
“Pantesan dia vakum ngejekin elo. Nggak taunya pedekate toh.”
            “Bersyukur banget gue kalo begitu. Nggak ada orang sarap yang ngegangguin gue terus.”
            “Hmm, iya juga.” Respon Lara.
“Tapi, Far. Feeling gue dulu, elo yang jadian sama Rama. Kok bisa salah ya? Padahal gue yakin banget,” tambah Lara. Aku melongo’ mendengarnya. Gila!! Nggak Mama, Mas Gilang, Lara pun ikut-ikutan ngatain aku sama Rama. Ya ampun. Untung Papa nggak. Kalau iya, bisa-bisa kejadian nih. Kan kalau di mitos-mitos yunani itu, jika ada empat orang yang punya feeling sama tentang suatu kejadian, pasti bakal terjadi. Ogah deh. Aku bergidik.
            “Lo kenapa sih, Far?” tanya Lara bingung. Menatapku.
            “Nggak ada apa-apa kok. Ke kantin yuk. Lapar nih,” ucapku.
            “Udah berani ke kantin, Nih? Biasanya juga gue yang beliin,” goda Lara. Aku hanya tersenyum dan menarik tangannya.
            “Iya-iya, sabar dong. Jangan tarik-tarik, sakit tau !” protes Lara. Aku cuekin aja. Emang enak. Aku tersenyum geli dalam hati.
“Hmmm, kita makan apa ya??” tanyaku pada Lara yang juga lagi sibuk melirik makanan yang berjejer di kantin. Lezat-lezat, yummy, and pastinya delicious. Mataku terfokus pada bakso solo Pak De Jarwi yang hangat-hangat, nampak menggiurkan.
            “Ra, kita makan bakso aja. Mau nggak?” tawarku pada Lara yang masih sibuk bergelirya.
            “Bakso ya, Far. Hmm. Gimana ya?” balas Lara, kulihat dia menatap bakso-bakso yang berjejer di gerobak.
            “Gimana nih, lapar tau,” ujarku lagi.
            “Oke deh.” Akhirnya Lara memutuskan. Kami berdua berjalan menuju counter bakso Pak De Jarwo yang berada di sudut kiri kantin. Kantin sekolah kami memang berbentuk persegi panjang. Terus di depannya tersedia meja dan bangku untuk menyantap makanan. Siswa bebas untuk memilih duduk di mana karena yang menyediakan meja-meja tersebut adalah sekolah.
            “Pak, kami pesan dua mangkuk ya !” ujar Lara. Aku pindah ke counter sebelah. Tempat jual minuman dingin. Aku mendengar Pak De Jarwi menjawab, “Ya, Neng. Ditunggu sebentar ya!”
            “Bu Nah, seperti biasa es teh dua,” kataku setiba di counter Bu Nah. Bu Nah tersenyum lalu mengangguk. Beliau memang sudah hapal dengan aku dan Lara. Karena setiap hari kami memang memesan segelas teh dingin untuk masing-masing. Beda dengan Pak De Jarwo, karena kami hanya makan bakso kalau lagi lapar banget. Seperti sekarang ini.
            “Udah, Far mesennya?” tanya Lara yang udah berdiri di sebelahku. Aku mengangguk. Lalu kami berdua mengambil tempat duduk di dekat dinding. Biar enak nyender. Hehehee
            Tidak lama kemudian Pak De Jarwo dan Bu Nah tiba di meja kami. Mereka meletakkan dua mangkuk bakso dan dua gelas es teh dingin. Hmm… harumnya. Bakso yang masih panas mengempul pula, terus es teh dingin yang pas banget menemani bakso yang diberi cabai banyak. Pedas..pedas. itu sih menurut aku dan Lara. Kalau menurut dokter gigi, jangan sering-sering. Ntar tuh gigi bisa keropos. Belum jadi nenek-nenek udah ompong.
            Aku dan Lara asyik menikmati bakso kami yang memang super mantap itu. Sambil cerita-cerita dan tertawa-tawa. Untung kantin lagi lumayan sepi. Jadi nggak di cap freak.  Bakso yang aku makan udah hampir habis, tiba-tiba ada suara cekikikan yang aku kenal. Lalu aku menoleh ke sebelah. Ternyata dia lagi. Lara mengkodeiku untuk meninggalkan tempat ini. Tapi aku memberikan jawaban menolak dengan kedua sorot mataku. Lara terus memintaku untuk meninggalkan meja ini. Aku tau apa yang ia khawatirkan. Ia takut kami berantem lagi. Dengan sorot mataku lagi, aku menjawab nggak akan. Kalau aku nggak akan meninggalkan tempat ini, bisa-bisa aku di judge sama si Rama. Jealous. Ku lihat Lara udah menyerah dan mulai menikmati sisa baksonya pada detik-detik terakhir. Kami menjadi pendengar dan saksi kemesraan Rama dan Puput. Nggak aku sangka Rama nggak merasakan kehadiranku. Biasanyakan dia langsung ngeh kalau ada aku.
            Oh iya, tadi aku menyinggung kata jeolus. Nggak..nggak..nggak mungkin dan nggak akan. Terdengar suara mereka asyik mengobrol.
            “Puput sayang, mau mesen apa? Biar ayank Rama deh yang mesenin,” tanya Rama lembut pada Puput yang duduk di sebelahku, hanya berjarak sekitar 60-an cm. Aku hampir keselek mendengarnya. Norak banget.
            “Bakso sama pop ice aja,” jawab Puput. Rama segera meninggalkannya. Tinggallah Puput seorang diri lagi.
            “Far, udah makannya?” tanya Lara tiba-tiba.
            “Oh, udah dong. Kenapa?” aku malah balik bertanya.
            “Pergi, yuk. Ke tempat biasa. Cari angin, biar adem,” jawab Lara. Kemudian menghirup lagi es tehnya. Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba seseorang menyebut namaku.
            “Eh, ada Farah toh. Elo tetangganya Rama kan?” ternyata Puput bertanya padaku.
            “Iya, kenapa?” aku balik bertanya.
            “Nggak kenapa-kenapa sih, cuma ngingetin lo aja agar nggak ngegoda Rama gue di rumah. Elo kan sering banget tuh cari perhatiannya Rama. Semua orang juga tau. Akal-akalan elo aja sok galak sama Rama, nggak taunya elo cari kesempatan agar deket sama Rama. Perlu gue tegasin lagi ya, kalo Rama itu udah punya gue. Jadi elo, silakan pergi jauh-jauh dari dia !” jawab Puput dengan sorotan mata tajamnya dan senyum menghina. Aku bener terperangah mendengar jawabannya itu. Kali ini aku nggak bisa membalas kata-katanya.
            “Elo mikir dong, siapa juga yang mulai duluan ngegangguin sobat gue. Rama sendiri. Bukan Farah. Dan elo pasti iri sama Farah makanya elo ngatain dia gitu. Terus elo nggak perlu nyebut-nyebut Rama milik elo. Gue aja ragu kalo Rama emang bener cinta sama elo,” balas Lara dan menatap Puput dengan tampang kasihan.
            “Elo ya, berani banget.” Puput meledak. Tangannya hampir memukul Lara. Aku segera menghentikan tangan Puput yang melayang dengan tangan kananku.
            “Elo jangan sekali-kali nyentuh sobat gue dengan tangan kotor elo. Nggak layak. Tangan elo layaknya buat nampar mulut elo sendiri, sama-sama kotor,” seruku. Puput tercengang.
            “Elo jangan pernah ngatain mulut gue kotor. Nggak sadar ya? Dasar ganjen. Genit. Centil,” balas Puput. Aku nggak terima dihina kayak begitu. Sumpah, suer aku kesal banget. Tanpa sadar aku layangkan tanganku menuju pipinya Puput. Tetapi terhenti dengan ucapan seseorang dan dicegatnya tanganku.
            “Elo apa-apaan sih, Far. Salah Puput apa, hah? Elo jangan ganggu cewek gue. Sekali lagi elo ganggu cewek gue, awas aja lo !” bentak Rama. Aku terkejut Rama mendukung Puput. Keterkejutan aku sirna begitu menyadari bahwa status Rama memang pacar Puput. Wajar kalo dia ngebelain ceweknya sendiri.
            “Awas apaan?” tantangku. Lara mulai mengusap punggungku. “Sabar, Far.” ucap Lara lirih.
            “Ya awas, aja. Kalo elo buat cewek gue nangis. Gue bales elo, dua kali lipat.” balas Rama.
            “Belain aja pacar elo yang uler itu. Gue nggak peduli. Gue nggak takut ama elo. Guee..gu..e..” kalimatku terhenti. Air mata turun. Aku nggak nyangka ternyata air mata itu akan turun juga. Aku segera berlari dari kantin diikuti Lara. Ku lihat sekilas, Puput tersenyum penuh kemenangan.

*****
“Udah deh, Far. Nggak ada gunanya nangisin kejadian tadi,” bujuk Lara lembut. Aku masih tersedu-sedu. Sekarang kami berdua lagi duduk di tempat biasa yaitu di bawah pohon akasia yang berada di pojok kanan taman sekolah. Duduk di atas akar-akarnya yang mecuat keluar dan super besar itu. Ada AC-nya (angin cepoi-cepoi) hehehe.
            “Gue juga nggak tau kenapa tiba-tiba nangis. Diri gue kayak nggak terima kalo Rama ngebelain si Puput. Jelas-jelas dia yang salah. Moment-nya aja nggak tepat waktu Rama ngeliat,” ujarku lemah. Air mata mulai berhenti.
            “Hmm,” Lara bergumam. “Elo benci banget ya sama Rama?” tanya lara hati-hati. Lara kok bego banget kayaknya. Jelas-jelas dia udah tau kalo gue emang benci banget sama Rama. Sekedar jawaban, aku hanya mengangguk.
            “Gini lo, Far. Benci itu ada dua. Pertama benci yang menciptakan amarah, menyakiti diri sendiri lebih dari orang yang kita benci. Terus, benci yang kedua. Benci yang tercipta karena orang itu melakukan hal-hal yang kita nggak suka. Kita nggak terima. Terus kita selalu ingin orang itu melakukan hal yang sama pada kita, walaupun kita nggak terima apa yang ia lakukan. Kita juga nggak rela kalau hal tersebut ia lakukan kepada orang lain,” jelas Lara panjang lebar. Ohh, aku tau apa maksudnya Lara.
            “Bilang aja, kalo benci yang kedua itu, maksudnya benci itu tanda sayang atau cinta gitu kan?” ujarku. Lara Cuma tersenyum tipis. “Terus benci elo sama Rama termasuk yang mana nih?” tanya Lara sedikit menggodaku. Aku kira dia udah tau jawabannya. Tanpa perlu aku jawab. Tapi agar dia nggak curiga aku hanya jawab, “Entahlah.”
            Lara tersenyum dan tertawa. “Far, Far, gue tau kok jawaban elo. Pasti yang kedua. Udah dari dulu feeling gue tuh bilang elo emang suka sama Rama,” ujar Lara. Aku menimpuk wajahnya dengan beberapa tanaman rumput yang berhasil aku ambil dari tanah samping kananku.
            “Kotor tau nggak sih, Far. Kalo gini gue perlu pedicure, manicure ke salon.” Seru Lara pura-pura kesal. Aku tau dari sorot matanya yang tertawa jenaka.
            “Dasar norak, ah ! Lebay,” balasku. Dia hanya tertawa.
            “Cie..cie.. ada yang baru nyadarin perasaannya sendiri nih.” Lara menggodaku. Aku keki abis. Lalu beranjak dari tempat dudukku. Berdiri menatap ke arah langit biru nan cantik. Lara menatapku dalam diam. Berdoa dalam hati. “Semoga apa yang aku rasakan juga ia rasakan. Amin.”
            “Ngpain sih, Far?” tanya Lara bingung.
            Make a wish for sky,” jawabku pendek.
            “Adanya make a wish pada bintang jatuh,” sanggah Lara.
            “Biarin. Yang penting buat make a wish. Weeeekkk,” balasku sambil melet-melet. Lara menimpukku dengan sebuah ranting. Kemudian ia berdiri juga, lalu berteriak yang bikin aku malu abis. “MOGA FARAH DAN RAMA JADIAAN. KABULIN YA LANGIT.”
            “LARAAAAAAAAAAAA….” Jeritku. Dia berlari sambil meleletkan lidahnya padaku. Aku mengejarnya untuk membungkam mulutnya yang ember itu.
*****
Lima hari dari paska di kantin, aku semakin menjaga jarak dengan Rama. Kalau ketemu, aku juga nggak bilang apa-apa. Kalau dia nanya sesuatu tentang pelajaran di kelas, juga aku abaikan. Kadang aku hanya menjawab. ‘Nggak tau.’ ‘Nggak nyimak tadi.’ Dia pun jera. Nggak pernah mengajakku ngbrol lagi. Di rumah kalau ia nanya peer atau tugas , aku selalu bilang pada Mama, Papa, dan Mas Gilang kalo Rama mencari, bilang aja aku nggak ada. Jadi otomatis aku nggak bertemu dia dan lihat tampang dia.
            Lama-lama aku mengerti perasaanku. Ya, benar. Aku suka sama dia. Sayang sama dia. Tapi untuk apa, udah terlambat. Dulu-dulu berantem terus sama dia. Aku berkata untuk diriku sendiri. ‘Lupain aja, dia udah punya orang lain. Biarkan rasa ini hanyut bersama aliran air, terbang bersama angin, dan tenggelam di perut bumi.’ Hehehehe.. sok dramatis.
            Di sekolah aku ngobrol bareng Lara dan teman sekelas ku. Aku juga cuek, yang benar pura-pura cuek kalo ada Puput sama Rama lagi berduaan juga di kelas. Aku nggak peduli, tapi hatiku peduli. Entahlah, aku juga berusaha bertahan. Agar hati ini nggak semakin terluka.
            Sekarang udah hampir sebulan total aku nggak ada lagi sangkut pautnya sama Rama. Nggak peduli berita tentang dia dan Puput. Nggak peduli dengan aksi kemesraan mereka berdua. Aku juga lebih banyak menghabiskan waktu bareng dengan Lara, sobatku. Hari ini kami pergi ke pantai berdua cuma sekedar hang out.
            “Ra, elo nggak cari pacar nih?” tanyaku tiba-tiba. Lara sontak menoleh ke arah ku.
            “Nggak perlu dicari ah, kalo ada cinta pasti juga datang sendiri. Malah kalo dicari-cari ntar pusing sendiri. Gue sama kayak elo, nunggu. Tapi nunggunya beda, gue nunggu sampai ada cowok yang bisa buat Lara Delani Putri jatuh cinta. Kalo elo, nunggu sampai Rama Putra Sanjaya kembali untuk  Farah Anggun Pertiwi,” jawabnya santai. Aku mencibir. Emang Lara siapa sih, kayaknya sedikit banget cowok-cowok yang bisa bikin dia falling in love. “Oh ya, Far. Feeling gue kan jarang tuh gagal, gue yakin kalo Rama juga suka sama elo. Kira-kira udah berapa kali ya gue bilang gini sama elo?” tanya Lara berlagak mikir. Jari telunjuknya, ia tempelkan di pelipisnya.
            “Udah berjuta-juta kali mungkin. Soalnya elo udah bilang seperti itu dari sebulan yang lalu.” jawabku.
            “Hehehe.. masih tahan nih nunggu? Udah sebulan loh,” goda Lara. Aku cuma mencibir lagi.
            “Hari ini, gue mau nikmatin ombak pantai dan angin samudera. Jadi jangan dirusak dengan membicarakan tentang Rama. Oke?”
            “Okee, deh. Yuk, ke pinggir pantai,” ajak Lara. Aku segera mengangguk. Kami berdua berlomba lari siapa yang duluan tiba di sana. Aku berlari sekuat tenaga. Namaku aja Farah, memang parah kalo di suruh lari. Lelet banget.
            “YEEEEE, GUE MENANG,” teriak Lara girang. Aku tiba di dekatnya, napasku ngos-ngosan. Kami segera mengambil tempat di pantai, menunggu gelombangnya menerjang kami. Seolah-olah membawa kami ke tengahnya. Aku dan Lara merentangkan kedua tangan kami selebar-lebarnya dan berteriak sekencang-kencangnya. Angin samudera menerpa rambut kami berdua yang tergerai begitu saja. Sampai berapa kali kami melakukan hal yang sama. Memang sungguh mengasyikan. Aku juga menatap ke hamparan langit biru di atas pantai, berdoa agar bisa seperti ini dengan orang yang aku tunggu-tunggu.
            Matahari sudah hampir tenggelam. Aku dan Lara duduk di pinggir pantai, tapi agak jauh dari air untuk melihat sunset. Hal yang nggak akan kami lupakan kalo udah di pantai, pasti bela-belain nunggu moment ini. Langit semakin oranye. Matahari semakin tenggelam dan tenggelam kemudian digantikan dengan warna langit hitam pekat, tetapi dihiasi dengan berjuta-juta bintang yang bergemerlap indah. Hari ini sungguh menyenangkan.
*****