BAB 2 Kenyataan Pertama [Trufflleland]




BAB 2

Kenyataan pertama



Gadis itu terlihat berjalan mondar-mandir di lantai kamarnya. Tiga gadis cantik lainnya, menatap heran gadis itu. Sejak kedatangan mereka dari setengah jam yang lalu, sahabat ketiga gadis itu sudah berjalan bolak-balik, bak batu gosok. Untuk apa mereka datang ke sini pagi-pagi, kalau mereka hanya disuguhi aksi gagal sahabatnya di atas cat walk keras alias lantai kamar. Demi apapun, itu sungguh menjengkelkan.

“Fy, lo kenapa sih?” Tanya Via heran dan dahinya mengerenyit. Lalu, gadis chubby itu melemparkan pandangan penuh tanya kepada Agni dan Zahra.

Keduanya menggeleng. Tidak tahu harus menjawab apa, karena memang sesungguhnya mereka tidak tahu apa-apa. Tidak tahu apa yang terjadi dengan Ify.

“Ada apa sih, Fy? Kok elo cemas gitu?” Zahra menarik bantal guling punya Ify dan mulai berbaring di lantai. Capek juga melihat Ify bolak-balik nggak jelas kayak gitu.

Namun, masih tetap sama. Tidak ada respon sama sekali dari Ify. Gadis itu tetap bolak-balik. Rambut panjang ikalnya yang dikuncir asal-asal semakin berantakan tatkala Ify meremas-remas rambutnya cemas.

“Huh…,” desah ketiga gadis cantik itu.

“IFFFFYYYYYYY!!!!! AAAADA RIO MANGGIL ELO!!!!!” teriak Via tiba-tiba dan yap, sukses membuat Ify menatap ketiganya. Nama Rio benar-benar mengaktifkan kepekaan dirinya.

Cekatan Agni dan Zahra segera menggapai tangan Ify dan menariknya untuk duduk di dekat mereka.

“Jangan sekali-kali nyebut nama itu di kamar gue,” ucap Ify dingin.

Ketiganya hanya mengangkat bahu. Kebingungan itu sebenarnya sudah lama tersimpan di benak ketiganya masing-masing, hanya saja, sekedar untuk bertanya keraguan selalu datang menghampiri mereka. Dan dampaknya, hingga saat ini mereka tidak tahu sama sekali.

“Oke. Elo kenapa?” tanya Agni to the point.

Segeralah bergegas. Tanda panggilan sudah mendekat.

Segeralah bergegas. Tanda panggilan sudah mendekat.

Segeralah bergegas. Tanda panggilan sudah mendekat.

Suara itu lagi-lagi menggema di kamar Ify.

Tubuh Ify mematung seketika. Suara itu semakin jelas terdengar dan seperti semakin memasuki indra pendengarannya. Gema suara itu lebih sedikit tajam dan mendesis daripada kemarin. Apakah ini menunjukkan waktu yang semakin sedikit?

“Suara…,” gumam Ify pelan.

“Lo dengar?/ Lo dengar juga, Fy?/ Lagi-lagi suara itu/” Zahra, Via, dan Agni berbicara serentak tepat setelah Ify bergumam pelan.

Alis kanan Ify terangkat sebelah. Ucapan yang terlontar dari ketiga sahabatnya membuat jantungnya berdegub lebih kencang. Apakah itu kabar baik??? Karena bukan hanya dia yang mendengar, tetapi ketiga sohibnya itu juga. Itu memiliki banyak arti dan kemungkinan.

“Suara yang kalian dengar seperti apa?” tanya Ify.

“Segeralah bergegas. Tanda panggilan sudah mendekat,” jawab Via, Agni, dan Zahra kompak dan akhirnya saling menatap satu sama lain.

Itu berarti pertanda apa??

“Jujur, gue kira cuma gue doang yang denger suara itu. Gue hampir gila. Gue udah tanya nyokap gue, tapi beliau nggak dengar sama sekali. Dan yang paling parahnya, gue dengar suara itu di kamar Rio lalu gue pingsan,” cerita Ify.

“Gue udah lama, Fy. Sekitar seminggu yang lalu. Awalnya gue juga heran, kenapa tiba-tiba ada suara seperti itu. Apa kerjaan kakak gue. Waktu gue tanya sama nyokap gue, beliau bilang kakak gue nggak pulang bulan ini. Masih satu tahun lagi,” ucap Zahra dengan pandangan sedikit menerawang ke kejadian minggu lalu. “Akhirnya gue anggap cuma lelucon aja dan hari ini gue dengar di kamar elo, Fy. Gue kira suara itu ngikutin gue tapi ternyata, elo bertiga juga dengar suara itu.” Zahra meremas-remas ujung bajunya.

“Gue dengar suara itu tepat sejak gue nemuin kalung ini di laci meja belajar gue,” ujar Agni dan mengeluarkan bandul kalung yang tersemat di lehernya. Sebuah kalung biasa dengan bandul segi delapan dan di bagian bawah, di segi  nomor dua kiri terdapat ukiran huruf A.

Mata Via melebar saat melihat kalung Agni. Gadis itu cepat-cepat mengambil tasnya, lalu dompet berwarna merah mudanya. Via membuka dompetnya dengan tergesa-gesa dan saat ia menarik tangannya kembali, sebuah kalung yang memang benar-benar mirip dan persis dengan kalung kepunyaan Agni, namun berbeda di symbol huruf, kalau Agni A, kalung Via berlambang V.

“Kok bisa samaan?” tanya Zahra bingung.

Agni dan Via kompak menggeleng. Ini adalah hal baru untuk mereka. Kalung itu memang tampak sederhana, terutama pada talinya. Namun, bila diperhatikan lebih saksama, tali kalung tersebut terdapat ukiran-ukiran khusus dengan rangkaian nama mereka masing-masing. Seperti punya Via, Navia Daisy Galihena.

“Kapan elo dengar suara itu, Vi?” tanya Ify. Berbagai teka-teki telah berkeliaran di kepalanya. Dari kalung yang samaan, sampai suara yang ia dan ketiga sahabatnya dengar. Mengapa harus mereka yang mendengar suara tersebut.

“Tepat dua hari setelah gue dapatin itu kalung,” jawab Via dengan telunjuk yang menempel di pelipis dan mata sedikit memejam.

“Gue udah tanya nyokap gue, beliau nggak tau apa-apa tentang kalung itu. Dan yang pasti nggak pernah ngebeliin gue kalung,” ujar Agni. Dahinya sedikit berlipat. Keanehan ini, lebih tepatnya kebetulan ini begitu membingungkan.

“Jadi Agni dan Via punya kalung yang samaan. Kita berempat dengar suara yang sama. Bentuk kalung segidelapan. Itu semua pertanda apa?” tanya Zahra.

Keempatnya tampak berpikir. Semua ini bila kebetulan terasa begitu aneh, tapi kalau takdir… belum ada bukti yang sangat konkrit untuk mendukungnya. Sebenarnya sekarang ini sedang terjadi apa sih???

“Sumpah gue benar-benar bingung. Ini nggak mungkin cuma kebetulan nggak di sengaja. Apa jangan-jangan ada yang ngerjain kita?” kali ini Ify yang bertanya. Semua terasa aneh. Kebetulan yang aneh. Dan bisa dibilang kalung yang aneh. Segi delapan dengan symbol huruf di setiap sudutnya. Untuk satu kalung symbol huruf di satu titik sudut.

Segeralah bergegas. Tanda panggilan sudah mendekat.

Segeralah bergegas. Tanda panggilan sudah mendekat.

Segeralah bergegas. Tanda panggilan sudah mendekat.

“Dengar suara itu lagi?” tanya Via dengan sedikit berbisik.

Kalau kemarin sore Ify sempat pingsan di kamar Rio karena suara ini, kali ini ia seperti sudah biasa mendengarnya dan tidak begitu takut lagi. Karena kali ini, ia tidak sendirian, tetapi bersama ketiga sahabatnya.

Ify, Agni, dan Zahra mengangguk kompak.

“Makhluk apa yang bicara itu?” tanya Agni.

Tidak ada yang bisa menjawab. Karena memang di antara mereka berempat tidak ada yang mengetahui makhluk apa yang berada di sekitar mereka.

“Gue rasa, Fy, untuk pertanyaan elo, jawabannya nggak ada orang yang mau mengerjai kita. Bayangin aja, apa motif mereka masang seperti rekaman suara itu di kamar kita berempat, dan tadi lo bilang di kamar Rio juga. Gue rasa nggak, Fy. Kayaknya ini semacam takdir,” ujar Zahra dengan wajah seriusnya. Dia sudah pernah membaca buku-buku tentang seperti ini. Tentang legenda. Namun, itu terjadi dulu. Kisah-kisah orang terdahulu. Dan tidak mungkin terjadi di zaman serba canggih.

“Takdir?” ulang Ify dan Via kompak. Sementara Agni hanya menatap Zahra.

Zahra mengangguk. “Iya semacam takdir. Gue rasa, kita berempat memang ditakdirkan untuk bersama dan bersahabat. Ditakdirkan pula untuk menderngar suara itu. Kita udah enam tahun bersama-sama. Satu sekolah dan satu kelas. Itu terasa aneh. Jarang sekali terjadi. See?”

“Tapi, Ra, kenapa lo yakin ini takdir? Ini bukan kebetulan semata?” Via menarik guling dan memeluknya erat. Ntah kenapa perbincangan ini membuatnya bergidik ngeri.

Zahra mengehela napas sejenak. “Gue sebenarnya nggak begitu yakin. Tapi, feeling gue bilang kayak gitu. Terus, kalung yang lo dan Agni punya, Vi. Nggak mungkin kalung itu di jual banyak di pasaran dan ada orang iseng yang menaruhnya di kamar elo berdua,” tunjuk Zahra ke arah Via dan Agni.

Ify yang sendari tadi diam tampak menimbang-bimbang. Takdir. Kalung. Suara. Segi delapan. Itu semua seperti teka-teki dan Zahra benar, tidak mungkin ada orang yang sengaja iseng untuk berbuat seperti ini. “Gue setuju sama Zahra. Gue rasa ini memang takdir kita. Gue, Zahra, Via, dan Agni. Tapi gue lebih yakin kalo Agni dan Via lebih berperan dalam hal ini, karena kalung itu seperti tanda pengenal dan panggilan –maybe--.”

Via dan Agni cepat-cepat melihat kalung mereka berdua dengan saksama. Bahkan Agni sampai melepas kalung tersebut dari lehernya. Bola mata mereka kompak melebar saat melihat ukiran nama di kalung tersebut. Ternyata ia baru menyadarinya.

“Pertama gue nemu itu kalung nama itu nggak ada sama sekali. Sumpah,” ujar Agni tegang. Dia sangat yakin. Kalung itu benar-benar polos pada talinya. Hanya berwarna silver tanpa ukiran-ukiran seperti ini.
Zahra menatap Via. Dan Via menggeleng. “Gue nggak meratiin banget, tapi di sini ada nama gue, Navia Daisy Galihena.”

“Ify benar!” cetus Agni tiba-tiba. “Hipotesis Ify bisa diterima, gue yakin benar nama itu nggak ada dan sekarang ada. Kalung ini benar-benar tanda pengenal dan panggilan.”

“Tapi kenapa cuma elo berdua yang punya itu kalung? tunjuk Zahra kepada Agni dan Via. “Sementara suara itu, kita berempat dengar.”

Agni dan Via sama-sama menggeleng. Tidak ada yang dapat membuat mereka memberi jawaban atas pertanyaan Zahra. Semua ini masih terasa remang-remang, tidak tahu kapan kepastian yang sebenarnya. Tidak tahu.

“Apa nggak ada benda lain yang bisa ngebantu buka point-nya?” tanya Via dengan suara yang tampak seperti gumaman.

“Benda… benda lain… semacam apa?” tanya Ify.

Tiga pasang mata kini focus menatap dirinya. “Benda…,” lirih Ify.

Agni tampak mengangguk. “Bisa kacamata berukir nama elo,” ujar Agni asal.

“Bisa permen rasa vanilla, sekali memakannya bisa melihat makhluk kasat mata.” Zahra ikutan nimbrung.

“Mungkin bisa kertas bertuliskan sesuatu. Kayak kertas tua kali,” ucap Via.

Bola mata Ify melebar. Kertas. Tua. Tulisan. “Kalo kertas… kertas… kayaknya ada. Kemarin gue nemuin di tas sekolah gue. Gue kira orang iseng yang masukin, jadi gue…”

“Lo kemanain, Fy?” sambar Agni.

“Gue buang ke tempat sampah.”

“HAH????!!!!” reaksi Via dan Zahra.

Ify mendelik kesal. “Nggak usah heboh, di tempat sampah kamar gue. Di situ,” ujar Ify sambil menunjuk tempat sampah berwarna biru yang berada di bawah meja belajarnya.

Berhubung tempat sampah itu tidak berada dalam radius yang jauh, intinya mudah digapai. Ify menarik tempat sampah itu dan mengambil kertas gulung berwarna coklat tua.

“Ini dia kertasnya. Isinya aneh. Makanya gue kira kali aja orang ngebohong,” ucap Ify dan mulai membuka kertas yang kemarin ia remukan dengan sengaja.

“Columba mulai berbisik. Tanda panggilan telah berdentang. Yang terpilih segera bersiap. Titik awal menanti di lidah air yang menjerat hijau, hawa dingin menyelimuti dan bukit memagari.” Agni membaca apa yang tertulis di kertas tua Ify.

“Baca lembar keduanya, Ra,” ucap Via.

Zahra tampak mengangguk. “Ceberus adalah anjing berkepala tiga. Memiliki badan yang kuat dan kecepatan yang sangat tinggi. Sekali tergigit olehnya, maka kematian langsung menjemput. Hati-hati terhadap ceberus karena ia bilah kematian.”

“Ceberus?” gumam Via. “Gue belum pernah mendengar nama ceberus. Kalau cerebrovit gue tau.”

“Coba kita hubung-hubungkan,” usul Ify.

“Suara.”

“Kalung.”

“Ramalan mungkin.”

“Ceberus.”

“Suara. Kalung. Ramalan. Ceberus,” ulang Agni. “Kok lo nyebutnya ramalan, Fy?” tanya Agni sedikit ganjal.

“Gue baru nyadar, yang di kertas pertama itu kayak bunyi lirik ramalan. Kayak yang dibuku-buku dongeng itu, Ag,” jawab Ify.

“Bisa jadi,” ujar Via nimbrung.

Segeralah bergegas. Tanda panggilan sudah mendekat.

Segeralah bergegas. Tanda panggilan sudah mendekat.

Segeralah bergegas. Tanda panggilan sudah mendekat.

“Siapa itu?” tanya Ify tiba-tiba ketika suara itu kembali terdengar di kamarnya.

“Apa maksud semua ini. Tolong jangan buat kami bingung,” ujar Via ikut-ikutan. Dia benar-benar penasaran siapa yang terus berbicara seperti itu.

Waktu hampir habis. Segera bergegas. Kalian adalah yang terpilih dari delapan segi cahaya.

“Delapan segi cahaya? Maksudnya?” tanya Zahra.

“Bentuk segitiga berjumlah delapan itu. Jangan-jangan…,” jawab Ify cepat. Dia sepertinya mulai mengerti benang merahnya.

Ya seperti yang kamu mengerti. Cepat bergegas. Waktu kita tidak banyak. Saat matahari tepat naik pada posisi terpanas kalian harus telah berangkat. Cepat. Sebelum mereka mendahului. Cepat.

“Pergi ke mana?” tanya Agni.

Namun tidak ada jawaban sama sekali. Tidak ada.

“Pergi ke mana???????” kali ini Via yang bertanya.

Namun sama saja. Tidak ada jawaban.

“Jadi… kita harus segera siap-siap? Tapi pergi ke mana?” tanya Zahra dan menghela napas sejenak.

Via dan Agni sama-sama menggeleng.

“Ini masih terlalu samar. Kita nggak terlalu mengerti. Tapi siapapun tadi itu menyuruh kita bergegas. Itu berarti kita harus segera pergi. Setidaknya kita mencoba pergi keluar dari rumah kita. Setidaknya itu keluar,” jawab Ify dengan bimbang.

Via, Agni, dan Zahra melotot. Ify mengangkat bahunya. “Batalin rencana liburan kita. Kita perlu bersiap-siap. Kita harus pergi,” ujar Ify lagi. Ia melirik ketiga sahabatnya yang masih melotot itu melalu ekor matanya. “Ya pergi, setidaknya pergi keluar dari rumah kita. Kita berempat,” tambah Ify.

“Demi apapun, Fy. Ini benar-benar konyol. Kita berempat pergi keluar rumah ntah tujuannya ke mana. Hanya kita berempat. Tanpa tujuan dan tanpa tahu apa yang dihadapi di luar sana,” ucap Via.

“Bukan orang-orang yang sibuk dengan kerjaannya yang bakal kita temui, gue rasa hal yang berbeda dan kita tidak tahu apa-apa. Perjalanan ini benar-benar tidak bisa dibayangkan,” ujar Zahra yang mulai membayangkan apa yang akan terjadi dengan mereka.

“Apa yang Ify bilang kayaknya harus kita laksanain. Nggak mungkin nggak bakal terjadi apa-apa sementara suara itu menyuruh kita pergi. Kalau kita tidak pergi, siapa tahu ada yang terjadi dengan rumah kita, terutama anggota keluarga kita. See?” Agni mulai menganalisa tentang yang terjadi dengan mereka saat ini.

“Nggak ada pilihan lain?” tanya Via dan Zahra mendukung pertanyaan Via dengan wajah harap-harap cemas. Perjalanan ini benar-benar aneh.

Ify dan Agni menggeleng.

“Sebaiknya kita pulang sekarang. Siap-siap di rumah dan izin sama orang tua. Nanti kumpul di rumah Ify dua jam lagi,” ucap Agni sambil melirik jam tangan coklat di pergelangan tangannya.

“Apa yang harus kita bawa?”

“Mungkin seperti barang-barang yang harus kita bawa camping. Semacam itu. Jaket, mantel hujan, pisau lipat, makanan, dan obat-obatan. Ya, gue rasa itu,” ucap Ify.

Zahra dan Via mengangguk.

“Ayo kita pulang dan siap-siap,” ajak Agni yang telah berdiri.

***************

Dua orang itu duduk di lantai tanpa alas apapun. Di sekitar mereka terdapat dua buah buku besar, yang satu berwarna abu-abu dan berumbai-rumbai, dan satunya lagi sebuah buku bersampul hijau lumut dengan kertas sudah berwarna sangat tua. Di depan buku berwarna hijau tersebut tertulis judul “BERBAGAI MACAM MONSTER DAN JULUKANNYA”.

“Udah dapat?” tanya laki-laki yang berambut sedikit tebal kehitaman yang digunting seperti memang didesain khusus untuk bentuk wajahnya sehingga menghasilkan ketampanan yang cukup di atas rata-rata.

“Nggak sama sekali, Yo. Gue benar-benar bingung,” jawab laki-laki satunya lagi yang badanya lebih berisi daripada temannya itu. Laki-laki itu menatap secarik kertas berwarna coklat dengan pinggir-pinggirnya seperti sudah terkena makanan rayap. “Badai angin mencabik-cabik plotemous Sang Ratu bercermin dalam kegelapan,” ujar laki-laki tadi dan memandang frustasi secarik kertas yang menimbulkan masalah bagi keduanya.

“Mereka benar-benar tidak mau membantu. Kita udah usaha selama dua tahun, tapi hasilnya? Benar-benar nihil. Demi Ify yang masih jutek sama gue, ini benar-benar menyebalkan. Kalung menyebalkan. Nama ukiran menjengkelkan,” dumel laki-laki tampan itu dan menutup buku catatannya dengan kasar.

Seringaian menggoda tercetak diwajah laki-laki yang lebih berisi itu. “Jadi, yang namanya Rio masih dijutekin sama Ify. Ckckck… sial banget nasib lo, Bro. Contoh gue, Alviano Davindra, pangeran SMA Bina Bangsa. Siapa sih yang nggak naksir gue,” ledek Alvin kepada sahabatnya itu.

Rio dan Alvin memang bersahabat sejak dulu, bahkan dari mereka baru duduk di sekolah dasar. Mereka satu sekolah dari SD sampai SMP. Hanya SMA saja Alvin dan Rio memisahkan diri, karena Alvin lebih ingin bersekolah di SMA Bina Bangsa ketimbang Global Nusantara International Senior High School atau lebih singkat GNISHS, sekolah Rio.

Rio mencibir kesal. Jelas-jelas Rio masih ingat, kalau Alvin adalah saksi dari rasa benci yang ditimbul pada diri Ify, kebencian terkhusus untuk dirinya. “Elo aja yang nggak tau gimana terkenalnya gue. Persoalan Ify, dianya aja yang belum dengar sampai lengkap,” balas Rio terlihat tidak mau diremehkan oleh sahabatnya itu.

Alvin tertawa cukup keras mendengar balasan Rio. Alvin benar-benar tahu dengan jelas bagaimana kronologis yang membuat kedekatan Rio dan Ify mendadak musnah secara langsung tanpa perbaikan selama sepuluh tahun terakhir ini. Bahkan Rio sendiri, memilih bersekolah di GNISHS karena di sana Ify bersekolah. Namun, untuk situasi seperti ini, mengolok-olok Rio bukanlah waktu yang tepat.

“Oke. Gue paham elo. Paham banget. Jadi, lo udah mecahin lirik ramalan elo?” Alvin melihat kertas coklat tua using yang berada tepat di depan Rio.

Rio menggeleng dengan muka datar. Tidak ada yang menarik untuknya selain dua buah kalung berbandul segi delapan yang terletak di dalam kotak, tepat di depannya. Kalung yang sudah dia simpan sejak berita ini ia dan Alvin dapatkan.

Rio meraih satu kalung dan memperhatikannya begitu saksama. Ia benar-benar merasa aneh, kalung itu tidak memberikan identitas tersendiri seperti milik kalungnya. Tangan kanan Rio menggapai-gapai belakang lehernya untuk menarik kalung yang sudah lebih dari tiga tahun dipakainya. Sudah sejak dulu dirinya selalu penasaran dengan kalung yang berada di genggamannya sekarang. Hati-hati Rio mendekatkan kalung miliknya dengan kalung tersebut.

Bentuknya sama persis dan ehem… sama dengan bentuk kalung Alvin. Oke ini wajar. Selanjutnya, kalung Rio dan kalung itu memiliki warna yang sama, bila diperhatikan dengan kaca pembesar, bisa terlihat warna kebiruan menjadi warna tali dan bandul kalung keduanya. Dan ini berbeda dengan kalung milik Alvin yang berwarna kemerahan. Dan kalung satunya lagi yang tidak tahu untuk siapa itu juga berbeda warna, kalung itu berwarna kekuningan.

“Lo masih bingung siapa yang jadi pemilik itu kalung, Yo? Belum muncul juga namanya?” tanya Alvin yang sendari tadi diam-diam melirik apa yang dilakukan Rio, di samping ia membaca buku tentang monster.

“Belum ada tanda-tanda sama sekali, Vin. Tapi, kalung elo sama gue benar-benar udah ada ukiran nama kita, kenapa kedua kalung ini nggak? Benar-benar aneh.”

Alvin menghembuskan napasnya pelan. “Mereka bilang, nama akan muncul kalau sudah tersentuh oleh pemiliknya atau juga berada di dekat pemiliknya. Sejauh mana kalung itu mendeteksi pemilik sahnya,” ujar Alvin dan mengambil cemilan yang memang telah disiapkan mama Rio tadi sejak kedatangannya pukul delapan yang lalu. “Masa sih elo lupa??”

Rio tidak menjawab sama sekali apa yang Alvin cibirkan terhadap dirinya. Kalung tanpa nama tadi, Rio letakkan kembali ke tempat semula dan ia memasang lagi kalung yang ia lepas tadi. “Sekarang kita lanjut memecahan ramalan sialan ini,” ujar Rio dingin dan menarik kertas tua miliknya. Dengan aura penuh kebosanan, Rio kembali membaca apa yang tertulis di kertas coklat tuanya. Lidah api membeku. Scorpinus memanah wujudkan Phoenix Atlida--.

Segeralah bergegas. Tanda panggilan sudah mendekat.

Segeralah bergegas. Tanda panggilan sudah mendekat.

Segeralah bergegas. Tanda panggilan sudah mendekat.

Segeralah bergegas. Tanda panggilan sudah mendekat.

Segeralah bergegas. Tanda panggilan sudah mendekat.

Di tengah hening karena berkutat dengan buku-buku aneh yang tidak terdaftar di dalam buku pelajaran kedua laki-laki itu, tiba-tiba terdengar suara yang menggema di ruangan tersebut.

“Yo,” panggil Alvin dan mulai was-was.

“Suara itu lagi,” ujar Rio malas. Suara itu… Rio jadi teringat dengan kejadian sore kemarin, di mana Ify bisa mendengar suara yang jelas-jelas, Rio tahunya suara itu hanya dia dan Alvin yang bisa mendengar.

“Kita akan berangkat, besok,” ucap Alvin keras dan tegas. Suara itu sudah merasuki gendang telinganya sejak seminggu yang lalu. Tidakkah ia bosan? Tentu saja bosan. Alvin sudah mengerti tanda ini, karena mereka telah menjelaskannya. Dia sendiri sudah bertanya-tanya sampai bosan hingga bodoh rasanya, ke mana ia dan Rio harus pergi. Dan jawabannya akan selalu “cari dia. Tanda itu ada padanya.” Selalu saja seperti itu. ‘Dia’ dalam kalimat itu merujuk kepada siapa? Itu yang membuatnya bingung.

Tidak ada waktu lagi. Saat matahari tepat naik pada posisi terpanas kalian harus sudah berangkat. Cepat. Sebelum mereka mendahului. Cepat.

 “Peringatan baru lagi, jadi gimana, Yo? Kita berangkat sekarang juga?”

Bukannya menjawab pertanyaan Alvin, Rio menjadi seperti melamun. “Suara itu, Vin. Suara itu, Ify bisa mendengarnya. Kemarin sore di kamar gue, Ify mendengar suara itu sampai dia pingsan. Ify benar-benar ketakutan,” cerita Rio.

Bola mata Alvin melebar. Ify bisa mendengar?? Di kamar Rio lagi!! Kalau sekarang bukan waktunya urusan genting seperti ini, pasti Alvin sudah meledek Rio. Kenapa Ify bisa berada di kamarnya. Tetapi Alvin lebih memilih untuk mengetahui tentang arti dari semua ini. Ify bisa mendengar, itu berarti Ify terlibat dengan ini. Alvin yakin sekali, karena mereka telah mengatakan bahwa suara petunjuk itu hanya bisa terdengar oleh orang-orang yang bersangkutan.

“Kalau Ify bisa mendengar, itu berarti Ify ada ke.ter.li.ba.tan dengan hal ini,” ucap Alvin tegas.

Serasa disetrika Rio tersentak. Dia lupa dengan hal ‘keterlibatan’. Dia lupa dengan kalimat yang diucapkan oleh orang itu. “Bawa kalung ini agar menemukan pemiliknya. Orang yang dapat mendengar suara akan terlibat dengan hal ini dan tentu saja orang itu pemilik sah salah satu kalung. Dan siapa tahu kalian menemukannya lebih cepat daripada kami.”

“Jadi… Ify…” –Rio mengambil kalung tadi dan menggenggamnya. “Kalung ini milik Ify.”

“Tunggu apalagi, Yo. Kita harus segera memberi tahu Ify, suara itu sudah meminta kita berangkat. Dan gue udah bersiap dari semalam, sekedar berjaga-jaga lo tahu,” ujar Alvin dan mulai membereskan semua barang-barang miliknya di meja.

“Tapi… gue nggak mau dia terlibat, Vin. Gue nggak mau dia terluka. Ngeliat Ify nangis kemarin, gue benar-benar terpuruk,” ucap Rio dan wajahnya berubah cemas saat mengingat kejadian kemarin sore.

Selesai berberes-beres Alvin berdiri dan menghampiri Rio lalu duduk di sofa belakang Rio. Alvin menepuk bahu Rio pelan. “Gue tahu elo sayang banget sama dia, nggak seperti kelihatannya. Gue tahu, Yo. Ini bukan permainan yang elo bisa nentuin siapa aja yang terlibat. Ini sudah takdir, Yo. Ify menjadi salah satu yang terpilih. Lo nggak bisa menyangkal hal tersebut, seperti kita menyangkalnya dulu. Elo ingat? Segala bukti yang mereka tunjukkan kepada kita,” Alvin menghela napas sejenak lalu melanjutkan berkata, “Lo juga nggak bisa membiarkan Ify nggak tahu karena kita nggak tahu apa yang bakal terjadi kepadanya. Lo juga nggak bisa membiarkan Ify tinggal. Lo nggak bisa apa-apa yo, selain… ya selain elo membawanya ikut dan menjaganya. Lo bisa menjaganya, Yo. Gue yakin, elo bisa menjaga Ify. Dengan keberadaan Ify di dekat elo, elo bisa menjaganya. Karena bila di tinggal, gue jamin elo nggak berani ngambil resiko kalau kelompok hitam itu menangkap Ify.”

Rio tertegun. Alvin benar. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dengan Ify bila gadis manis itu tetap di sini. Untuk apa dia dan Alvin berlatih selama tiga tahun kalau tidak bisa menjaga Ify. Percuma. “Gue bakal kasih tahu Ify dan menyuruhnya berkemas,” ujar Rio.

Alvin mengangguk. “Sebelum ke rumah Ify sebaiknya elo berkemas,” saran Alvin dan menyenderkan punggungnya ke badan sofa. Menghela napas sejenak dengan begitu khimad. Karena dia tidak yakin, nanti bisa bernapas dengan bebas seperti ini. Karena bahaya diluar nanti, dia tidak tahu apa yang akan menunggu. Sudah pasti bukan hiruk pikuk keramaian Jakarta dengan orang-orang bersetalan dasi. Tetapi… hal yang belum pernah ia jumpai dan hanya mendengar kisahnya dan mencoba mempelajarinya selama tiga tahun belakangan ini.

“Gue udah siap-siap sejak seminggu yang lalu. Dan gue kira perlu pengecekan terakhir dan memasukan beberapa buku-buku ini. Kemudian sedikit mengganti style gue,” ujar Rio dan melangkah ke bagian lebih dalam dari rumah ini, ke kamarnya sendiri.

Tak lebih dari dua puluh menit, Rio telah keluar dari kamarnya dengan ransel besar yang berada di punggunya. Baju santainya tadi sudah berganti dengan kaos biru laut dan jeans hitamnya serta sepatu kets hitam Rio yang telah diikat dengan sempurna. Tak lupa jaket kulitnya tersampir dibahunya. Mungkin belum saatnya memakai jaket.

“Ckckck… mau ke mana, Bro?” tanya Alvin bercanda. Dia benar-benar tahu mereka akan pergi, tetapi nggak tahu ke mana. Style yang Rio pakai memang biasa saja, tetapi jeansnya sedikit berbeda. Lebih banyak sakunya dan itu jelas untuk menyimpan barang-barang yang mungkin dibutuhkan dengan cepat dan tidak mempunyai waktu lagi untuk menggeleda ransel.

Drrrrrrrrrrrtttttt…….. ddddrrrrrrtttttt…… ddddrrrrttttttttt……

Rio meronggoh saku atasnya jeansnya dan menemukan handphone-nya yang bergetar. Dahi Rio sedikit berlipat.

“Siapa?” tanya Alvin penasaran.

“Mamanya Ify…”

“Halo…,” ucap Rio setelah menekan tombol untuk menjawab panggilan.

“…..”

“Kenapa?”

“…”

“Ya, Tan. Rio ke rumah Tante sekarang. Tunggu Rio dalam dua menit.”

“….”

“Sama-sama, Tan,” ucap Rio mengakhiri sambungan.

“Kenapa, Yo?”

“Kita mesti ke rumah Ify sekarang, Vin. Dia mau pergi liburan sama ketiga sahabatnya siang ini juga ke Pati.”

“Hubungan sama elo apa, Yo? Sampai elo di telepon segala?” tanya Alvin yang masih penasaran.

Rio menggerakkan bahunya ke atas seraya menggeleng. “Sekarang kita ke rumah, Ify,” ajak Rio.

**************

Wanita berusia 34 tahun itu terus-terusan menggeleng sejak setengah jam yang lalu. Keempat gadis manis yang berada dihadapannya, tidak henti-hentinya merayu dirinya untuk memberi izin liburan mendadak mereka.

“Ayolah, Ma. Sekali ini aja Ify liburannya. Kan cuma pergi ke Pati tempatnya Via. Cuma tiga minggu kok, Ma,” rayu Ify lagi.

Wanita berusia 34 tahun itu tetap menggeleng tegas. “Tidak, Sayang. Tidak. Tiga minggu itu lama dan Pati itu jauh. Apalagi kalian mau naik bus dan kereta, itu benar-benar bahaya.”

“Tapi, Tan. Mama udah nyuruh kok, kan naik bus temannya mama, Tan. Terus naik keretanya barengan sama sepupu Via yang juga bakala pulang ke Pati,” ucap Zahra.

“Itu nggak bohongkan, Sayang?” tanya Nina kepada sahabat anaknya itu.

Zahra mengangguk dengan keraguan yang masih terlihat, namun gadis itu berusaha untuk terlihat yakin. “Ya kan, Vi, sepupu elo nunggu di stasiun?” tanya Zahra kepada Via yang langsung dijawab dengan anggukan yang terkesan berlebihan. Membuat gadis itu seperti terpaksa dan berbohong.

“Tuhkan, Ma. Ayolah, Ma. Ify udah siap-siap. Liat ransel Ify udah siap semua,” rayu Ify lagi.

Agni yang sendari tadi memperhatikan mulai memberikan pendapatnya. “Iya, Tan. Kita bisa jaga diri kok. Kan aku sama Ify pernah ikut silat, untuk jaga diri kami berempat pasti bisa.”

Nina terkekeh pelan. Ia percaya kalau putrinya dan Agni bisa menjaga diri mereka berdua dan kedua sahabatnya, kalau yang menyerang mereka hanya satu orang penjahat, perampok, atau semacamnya. Kalau lebih?? Ia benar-benar tidak yakin.

“Ify benar-benar mau pergi?” tanya Nina kepada buah hatinya.

Seperti mendapat lampu hijau Ify mengangguk mantap.

“Via, Zahra, dan Agni juga benar-benar mau pergi?” Nina bertanya kepada ketiga sahabat putrinya.

“Iya, Tante,” jawab ketiganya kompak.

Nina tampak mengambil handphone-nya yang tergeletak di atas meja dan jemarinya mulai menari-nari di atas tombol keypad.

“Halo…”

“…”

“Ke rumah Tante sekarang ya? Bisa nggak, Sayang?”

“….”

“Ify mau liburan ke Pati. Bisa ke rumah?”

“…”

“Terima kasih. Tante tunggu sekarang,” ucap Nina mengakhiri pembicaraannya di telepon.

Wanita itu menatap kembali tiga orang gadis yang sudah dianggapnya seperti putrinya sendiri dan menatap putrinya sendiri tentunya juga. “Mama bakalan ngizinin Ify juga Via, Agni, dan Zahra pergi liburan ke Pati dengan satu syarat,” ujar Nina dengan wajah misterius.

“Apa syaratnya, Ma?” tanya Ify langsung.

Namun mamanya diam saja dan tidak memberi jawaban apapun, malahan Ify melihat mamanya melirik pintu masuk dan kemudian senyuman lebar tercetak di wajah ramah mamanya tepat saat terdengar suara…

“Pagi, Tan,” ucap Rio di depan pintu.

Melihat senyum mamanya yang semakin melebar dan suara yang sangat familiar bagi dirinya, membuatnya partikel-partikel kebencian mulai menggerogitinya kembali. Ify segera melihat ke arah pintu. Dan perkiraannya benar.


“Masuk, Nak Rio. Duduk di sebelah, Tante,” ucap Nina ramah dan menepuk-nepuk kursi di sebelahnya. Lalu Nina melihat anak laki-laki lain yang berdiri di belakang Rio, ia melempar senyum ramah kepada anak laki-laki itu. Nina kenal siapa dia. “Ayo Alvin juga duduk di sini. Ada yang mau Tante bicarain.”

Dalam kejengkelan Ify beringsut-ingsut menyingkir dari sebelah mamanya dan bergabung dan ketiga sahabatnya yang sendari tadi memilih sendiri untuk duduk di karpet, bukan di sofa yang telah tersedia.

Agni menyikut lengan Ify pelan dan melemparkan tanda penuh tanya. Sementara Ify hanya membalas Agni dengan mengatakan ‘bencana’ tanpa suara, hanya dengan pergerakan bibir saja.

“Nah, Nak Rio. Jadi, Ify bersama ketiga sahabatnya,” Nina melirik Agni, Via, dan Zahra sejenak dan tersenyum lembut, --“mau liburan ke Pati dengan bus dan kereta. Jadi, Tante meminta tolong Rio untuk menemani mereka. Rio mau?”

Bukannya Rio tidak ingin pergi liburan bersama Ify dan sahabat-sahabatnya. Bagi Rio ini adalah tawaran yang mengejutkan sekaligus menyenangkan. Tapi… ada hal yang lebih penting yang harus Rio laksanakan dan Ify juga terlibat. Tetapi… sahabat-sahabatnya Ify???

“Kenapa Rio, Tan?”

“Karena cuma Rio yang Tante yakin bisa jaga Ify dan sahabat-sahabatnya. Rio mau?”

Rio tampak bimbang. Liburan atau perjalanan itu. Rio masih berpikir.

Diam-diam Alvin memperhatikan sahabat-sahabat Ify yang baru dijumpainya hari ini. Wajah-wajah itu asing semua dan Alvin memperhatikannya. Pupil matanya melebar saat melihat kalung yang melingkari leher dua gadis di antara keempat gadis itu. Kalung yang berbadul segi delapan dengan symbol huruf yang ada di salah satu segi pada  kalung. Itu… tadi Rio bilang Ify bisa mendengar suara panggilan itu dan sekarang dua dari tiga sahabat Ify mempunyai kalung yang persis seperti kepunyaan dirinya. Jangan-jangan… dan kalung di rumah Rio ada dua buah… itu berarti Ify dan sahabat-sahabatnya telah mendengar suara itu sehingga berencana untuk segera pergi, tepat siang ini. Siang ini. Bisa jadi dua kalung itu punya…. Ify dan salah satu sahabatnya berambut panjang itu.

Alvin menyikut lengan Rio dan memberi kode Rio melalui gerakan matanya dengan cepat. Tidak membutuhkan waktu lima detik, Rio mengerti maksud Alvin. Untuk apa sudah bersahabat sejak lama, kalau kode saja tidak mengerti??

“Bagaimana, Yo?” tanya Nina lagi.

Tapa berpikir lagi Rio langsung mengangguk. “Rio mau, Tan!”

“NGGAK!!!!” seru Ify cepat. “Dia nggak boleh ikut. Ify nggak mau ditemani sama dia!” tunjuk Ify tepat ke arah Rio.

Nina tersenyum tajam dan dingin kepada putri semata wayangnya itu. “Nggak ada penolakan Ify kalau kamu mau ikut. Kalau Rio nggak ikut, liburan batal,” ucap Nina tajam.

Nyali Ify langsung menciut. Sumpah, Ify bukan mau liburan, tapi menempuh perjalanan yang tidak tahu harus dimulai dari mana. Ify benar-benar bukan pergi untuk liburan.

Zahra menarik lengan Ify dan berbisik pelan. Sangat pelan. “Sekarang yang penting izin nyokap lo, Fy. Masalah Rio nanti kita aturnya. Yang penting kita boleh pergi.”

Perlahan-lahan Ify melihat Rio dengan kedua bola mata hitam beningnya. Menatap pemuda itu dengan saksama lalu mengangguk pelan. “Oke, Rio bakal nemenin Ify, Ma. Jadi Ify boleh berangkat sekarang?”

Nina tersenyum hangat. Ini melegakan dirinya. Kalau sudah ada Rio, berarti bisa tenang melepas Ify. “Boleh kok, Sayang.”

“Tan… Rio boleh ajak Alvin kan? Masa Rio sendirian aja,” pinta Rio. Setelah melihat apa yang dikodekan Alvin, Rio benar-benar yakin kalau hal itu sangat berkaitan dengan keempat gadis ini, tentu saja dirinya dan Alvin juga terlibat.

“Kok elo banyak maunya sih. Untung gue bolehin juga,” semprot Ify kasar kepada Rio. Dia benar-benar jengkel. Mau tidak mau, Ify juga ikut membenci Alvin, tentu saja kadarnya sedikit. Dengan alasan, Alvin adalah sahabat Rio dan satu lagi, Alvin adalah saksi dari peristiwa yang membuatnya membenci Rio.

“IFY!!!” tegur Nina. “Tentu saja boleh. Malah lebih baik begitu,” ujar Nina kepada Rio dan Alvin.

“Tapi, Ma…,” protes Ify.

Via yang sendari tadi diam-diam melirik Alvin segera berbisik kepada Ify. Via tidak bisa membuang kesempatan ini. Berpergian bersama Alvin, setidaknya sebentar dia mau dekat dengan pangeran pujaannya, yang ia temui tanpa sengaja di mall. Ya ampun. Via benar-benar tidak menyangka. “Gue mau ikutan pergi, Fy. Gue mau ikut perjalanan aneh ini asal dia ikut, Fy. Paling nggak dia ikut kita sebentar sebelum kita berpisah. Gue nggak bisa bayangkan kalau gue nggak pulang, gue nggak ketemu dia. Alvin itu… pangeran yang selama ini gue ceritain.”

JDEEERRRRR…… Dunia memang sempit. Sekarang Via mendukung permintaan Rio agar Alvin ikut. Tadi, Via sempat berbicara kalau… kalau dia nggak pulang, dia nggak ketemu Alvin. Dan apa salahnya menolong sahabat untuk bersama orang yang dicintainya. Iya kan?? Ify jadi sempat berpikir… kalau Rio nggak ikut… Dirinya nggak pulang… Apa bisa… Apa bisa… Ntahlah… apa seharusnya dia mulai memaafkan Rio… Tapi…

“Alvin pasti ikut kok, Tan. Ify udah setuju. Iya kan, Fy?” tanya Via dengan sedikit memberi tekanan.

Mau tidak mau. Niat tidak niat. Terpaksa. Perlu diketahui, Ify terpaksa mengangguk dan menyetujui. Daripada ia harus pergi bersama kedua sahabatnya saja. Paling tidak, Rio dan Alvin hanya ikut beberapa jam sebelum mereka mengambil jalan lain dan berpisah dengan kedua cowok tersebut.

“Iya, gue setuju,” jawab Ify dengan lesu.

“Baiklah, semua sudah beres. Yakin mau berangkat sekarang?” tanya Nina.

Semuanya mengangguk.

“Tan, tolong Tante bilang sama Mama ya kalau Rio pergi sama Ify. Mama lagi pergi, nanti bilang juga Rio bakalan ngabarin Mama,” pinta Rio dan berdiri dari posisi duduknya.

Nina mengangguk. “Tenang aja. Nanti tante sampaikan. Nah, nggak ada yang ketinggalan, Fy?” tanya Nina kepada buah hatinya.

Ify menggeleng. Ia masih tampak lesu.

“Sekarang ke rumah Rio, tunggu dia siap-siap. Mama harap kalian hati-hati. Tolong hati-hati,” ujar Nina.

Keenam anak itu mengangguk patuh. Ify dan ketiga sahabatnya sudah menyandang ransel besar mereka masing-masing. Sepatu bot dengan model khusus remaja sudah terpasang di kaki mereka dengan kuat. Siap untuk berpergian.

“Kita pergi ya, Ma,” pamit Ify dan mencium punggung tangan mamanya yang langsung dibalas mamanya dengan ciuman di kedua pipinya. Nina juga melakukan hal yang sama untuk Agni, Zahra, dan Via. Sahabat putrinya. Untuk Rio dan Alvin, beliau hanya menepuk pelan punggung kedua anak laki-laki itu. Anak laki-laki yang telah dipercayainya untuk menjaga keempat putri-putrinya itu.

Setelah cukup melambai, akhirnya keenam orang itu membalikkan badan dan menjauhi Nina menuju rumah Rio. Setelah punggung keenam anak itu menghilang, Nina masuk ke dalam rumah dan segera menghubungi Ajeng, mamanya Rio.

“Gue mau ngomong sebentar menyangkut kalung Agni dan Via juga ‘liburan’ ini,” bisik Rio di telinga Ify saat mereka keluar dari halaman rumah Ify.

**************

Saat tiba di rumah Rio, Ify langsung mendapat kejutan dengan melihat ransel besar Rio yang sudah siap di lantai ruang tamu.

“Apa hubungannya kalung Agni dan Via sama ransel lo?” tembak Ify langsung saat mereka tiba di ruang tamu rumah Rio.

“Gue minta kalian berempat duduk sebentar. Ada yang mau gue dan Rio bicarain,” pinta Alvin dan dia sendiri sudah mengambil posisi duduk. Di tangan pemuda itu telah terdapat kalung yang persis dimiliki Agni dan Via.

Zahra, Agni, Via, dan Ify menatap tak percaya dengan kalung yang berada ditangan Alvin. Kalung Alvin berbandul segi delapan dengan huruf A yang terletak di salah satu segi. Di tali kalung itu sendiri, terukir nama panjang Alvin.

“Maksud ini apa?” cetus Agni.

Rio belum menjawab pertanyaan Ify dan belum juga mencoba menjawab apa yang ditanyakan Agni. Rio hanya membuka kantung depan ranselnya dan mengambil sebuah kotak. Lalu ia meraih lehernya untuk melepaskan kalung yang  melingkar di sana.

Rio meletakkan ketiga kalung itu di atas meja.

Baru saja Ify mau bertanya, tiba-tiba ada yang keanehan yang terjadi. Kedua kalung itu bersinar. Sinar berwarna kebiruan dan kekuningan berpedar di bandul segi delapan itu. Cahayanya yang tadinya menyebar mulai menyurut membentuk sebuah ukiran. Kalung berwarna kebiruan, pedar cahayanya mulai menyurut lalu hilang tepat diujung membentuk huruf I dan yang kekuningan membentuk huruf Z.

“Ini… ini….,”

“Jelas ini kalung untuk Ify dan Zahra,” sambar Rio sebelum Via menyelesaikan apa yang ingin diucapkannya.

“Rio benar. Dua kalung ini, masing-masing untuk Ify dan Zahra. Sama seperti kalung gue, elo, elo, dan Rio,” ujar Alvin sambil menunjuk Agni dan Via. Sungguh, dia tidak mengetahui nama kedua gadis itu.

“Tunggu apa lagi, ambil kalungnya. Ini tanda pengenal dan milik sah kita,” ujar Rio dan menarik tangan mungil Ify lalu meletakkannya di atas kalung tersebut. Tangan itu tetap lebih mungil daripada tangannya. Sudah lama Rio tidak menyentuh tangan mungil itu. Tidak menggenggamanya lagi. Dan sekarang, mulai detik ini dia akan menjaga tangan mungil itu.

Ify menyentuh permukaan kalungnya dan meraihnya dalam genggamannya. Cahaya pedar kebiruan kembali memancar. Melihat cahaya itu, Ify refleks membuka genggamannya dan melihat pedar kebiruan itu mengelilingi tali kalungnya. Mengurung tali berwarna abu-abu itu dalam kebiruannya. Setelah warna kebiruan itu menyelimuti tali kalung, muncul ukiran nama dirinya. Seperti ada seseorang yang sengaja menuliskan nama di tali kalungnya. Di tali kalung tersebut terukir nama ‘Alyssa Raifyna Amaryllis’. Hal tersebut juga terjadi pada kalung Zahra yang kini talinya terdapat ukiran nama ‘Azzahra Irisliana Wijaya’.

“Wow…,” gumam Via terkagum-kagum dengan kalung itu. Hal ini baru pertama kali dilihat oleh dirinya. Ini benar-benar luar biasa. Semacam kekuatan sihir.

“Udah jelaskan kalau kita yang terpilih. Jadi, perjalanan ini bakalan kita tempuh sama-sama,” ucap Rio dan memakai kalungnya.

“Tolong jawab dengan jujur, liburan itu hanya rekayasa? Kalian udah tahu kalau harus ngejalani perjalanan ini?” tanya Alvin dengan wajah seriusnya.

Keempat gadis itu mengangguk otomatis.

“Kapan kalian dengar suara itu?” tanya Alvin lagi.

Kembali lagi cerita di bawah atap kamar Ify diceritakan. Semua tentang suara, kalung, dan dua lembar kertas yang dimiliki Ify. Saat ini, kertas itu sudah berada di tangan Rio.

“Oke. Kita udah mengerti. Intinya kita sama-sama terlibat dalam hal ini. Jadi, kita harus sama-sama selalu. Selalu. Karena bahaya di luar sana kita tidak tahu,” ucap Rio.

Ify, Zahra, Via, dan Agni lagi-lagi mengangguk.

“Waktu kita satu jam lagi, Yo. Kita berangkat sekarang. Mesti ke rumah gue dulu, mau ambil barang-barang gue,” ujar Alvin seraya melihat jam di pergelangan tangannya.

“Sebentar, Vin. Gue mau nanya, apa aja yang elo berempat bawa?” tanya Rio.

Keempat gadis itu mendelik keki. “Jelas dong bawa jaket, mantel ujan, obat-obatan, satu kaos ganti, makanan, dan pisau lipat,” ucap Agni jutek.

“Tambahan senter, minum, dan tali,” ujar Ify.

Rio tertawa terbahak-bahak. Barang-barang yang dibawa khas camping. Sekilas Rio melihat Alvin juga tertawa sebelum Rio menghadapkan wajahnya ke arah Ify. Menatap gadis itu. “Gue kira ini usulan elo,” ucap Rio. Ify mendengus kesal. “Usul elo bagus sih…”

“Terus kenapa lo ketawa?” potong Ify cepat.

“Bagus, Fy. Tapi ada yang kurang, kita nggak tahu harus pergi ke mana. Nggak tahu apa yang kita butuhkan. Dan nggak tahu apa yang harus kita lakukan dan ketahui. Jadi kita butuh uang, gadget juga perlu dibawa.”

“Kalau itu kita juga bawa kali, Yo. Lo sok banget sih!!!” dumel Via kesal. Kalau itu juga nggak perlu dibilang. “Tapi, gadget, cuma handphone doang,” tambah Via pada ujungnya.

“Oke, nggak apa-apa,” ujar Rio yang kini telah focus kepada semua rekannya. “Gadget biar gue sama Alvin. Sekarang kita pergi.”

“Pakai kalung elo,” ucap Alvin kepada Zahra tiba-tiba saat mereka semua telah berada dalam posisi berdiri.

“Eh… ah iya,” ujar Zahra sedikit canggung. Dia belum kenal orang ini.

Mendengar kata pakai kalung elo, Rio langsung melihat ke arah sahabat kecilnya itu. Dan benar saja, kalung Ify belum terpasang sama sekali. Rio menyambar kalung itu dan memasangkannya pada leher Ify. Ify tertegun atas perlakuan Rio.  Rio memasangkan kalung untuknya dalam kediaman.

“Kalung adalah tanda pengenal kita. Kalung juga kenyataan pertama kalau kita adalah yang terpilih untuk melakukan perjalanan yang tidak tahu tujuannya ini. Jangan sampai lepas kalung itu,” ucap Rio kepada semua rekannya saat ia selesai memasangkan kalung di leher Ify.

Semuanya mengangguk patuh.

Sekali lagi Alvin melirik jam tangannya. “Oke, waktu kita empat puluh menit lagi sebelum tengah hari. Langsung ke rumah gue,” ujar Alvin.

Alvin, Agni, Zahra, dan Via telah berjalan duluan.

Mungkin tanpa Ify sadari, ia menunggu Rio yang masih mengunci rumahnya. Melihat Ify yang masih berdiri di teras, Rio mengulum senyum. Rio tahu, gadis itu menunggu dirinya. Setelah menyimpan kunci di tempat persembunyian biasanya, yang memang telah diketahui mamanya, Rio meraih jemari Ify dan menggenggamnya.

“Ayo kita berangkat,” ajak Rio ceria.

Ify hanya terkejut mendengar ucapan Rio yang bernada ceria. Dan ia mengikuti langkah Rio yang membawanya keluar rumah Rio. Genggaman tangan Rio masih seperti dulu. Masih seperti 10 tahun yang lalu. Namun rasanya sedikit lebih nyaman, hangat, dan tenang. Mungkin sekarang… dengan perjalanan yang harus mereka mulai… dengan tujuan yang tidak tahu harus kemana… sudah saatnya Ify melupakan kebenciannya terhadap Rio… kejadian itu memang sudah lama dan sungguh… waktu itu mereka masih kecil… Belum seharusnya seperti itu…

Ini sudah saatnya, Ify menatap Rio dengan senyuman bukan kebencian. Karena perjalanan ini akan berlangsung lama… dan Rio akan selalu berada di dekatnya. Yang Ify tahu, tidak baik untuk membenci teman seperjalan.

Selain itu… selain itu… Ify merasa aman dan tenang dengan perjalanan ini karena ada Rio didekatnya. Sebelum mengatakan akan pergi, jauh di dalam hatinya, ketakutan menggerogoti. Namun sekarang, dengan Rio yang berada didekatnya… dengan genggaman tangan Rio… membuat dirinya merasa aman dan tenang untuk menjalankan perjalanan ini. Ya seperti itu… dirinya seperti mendapatkan kekuatan baru.

Ify seperti siap menjalani perjalanan yang tidak tahu harus dimulai dari mana ini…
Perjalanan dengan bahaya apa yang menatinya dan ketiga sahabatnya di depan sana…
Ia seperti sudah siap….