Lovely Maid Part 10




Lovely Maid Part 10



“Vi, gimana seluruh perhitungan modal kita?” tanya Shilla yang duduk di sebelah Agni. Sore ini mereka berempat lagi duduk-duduk di depan teras rumah Via karena di antara keempat rumah yang ada, hanya rumah Via yang enggan disinggahi oleh matahari. Jadi, hanya rumah Via yang satu-satunya teduh.
       “Bentar, dikit lagi,” jawab Via tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang penuh dengan angka-angka yang bersusun abstrak.
       Sementara Agni dan Ify hanya duduk dengan menatap kosong ke penjuru bagian lingkungan yang bisa ditangkap oleh indra pengelihatan mereka. Sekali-kali gadis yang berdagu tirus diantara keduanya menghela nafas pelan. Ntahlah…..apa yang dipikirkan gadis itu.
       “Udah deh, Fy. Anggep aja lo diberi tugas mulia oleh Om Zeth buat liatin Putra Mahkota Mario,” ucap Agni dengan ledekannya.
       Ify makin manyun. Jadi, dari tadi ia memikirkan tugas yang telah diberikan oleh Om Zeth sejak lima hari yang lalu. Tentu saja, sejak lima hari yang lalu pula, Ify diam-diam memperhatikan Rio dan mencatat semua kelakukan yang dilakukan oleh Rio itu. Anehnya lagi, semua yang Rio lakukan itu dalam hal yang baik-baik semua, kecuali bila Rio dan ketiga antek-anteknya bertemu dengan Ify dan ketiga sohibnya. Dan parahnya lagi, tidak mungkin Ify melaporkan kepada Om Zeth mengenai Rio yang hanya berbuat hal yang kejam kepada dirinya dan teman-temannya. Bisa-bisa Ify dikatakan pembohong dan tukang cari perhatian. Sehingga memungkinkan beasiswanya akan dicabut dan dia bakalan didepak dari sekolah yang telah diraih ini dengan susah payah dan penuh perjuangan.
       “Woii….gue udah hitung semuanya. Modal kita rata-rata sehari adalah seratus enam puluh ribu rupiah,” ucap Via dan menuliskannya di buku yang tadi menjadi coretannya. “Berhubung kita udah jualan selama lima belas hari, jadi modal kita semuanya itu segini,” lanjut Via dan menuliskan angka Rp 2.400.000.
       “Tapi uang kita nggak sampai segitu kali, Vi,” timpal Shilla.
       Agni menepuk jidat Shilla pelan. “Ya nggak mungkinlah, Shill. Kan modalnya terus bergulir, modal hari ini digunakan untuk jualan besoknya, pasti uangnya udah kepake tahu,” ujar Agni dan geleng-geleng kepala.
       “Hehehhe…iya-iya,” ucap Shilla.
       “Giliran gue,” ujar Ify dan mengambil buku yang digunakan Via tadi. Ia menuliskan beberapa angka beserta judul kecilnya. Ketiga sohib itu mengangguk-ngangguk. “Nah, berarti untung kita Cuma lima ratus empat puluh enam ribu kotornya,” ucap Ify.
       “Dikit banget ya?” gumam Via.
       Agni menjentikan jarinya. “Gue ada ide,” seru Agni semangat.
       “Apa-apa?”
       “Kita nggak ada pilihan lain selain kerja. Gimana? Besokan minggu. Jadi kita harus cari kerja yang mulainya jam tiga sore.”
       “Kerja yang mulai jam tiga, emang ada ya?” tanya Via.
       “Gue setuju sama, Agni. Gue mau……besok kita carinya gimana? Sekarang udah sore dan nggak mungkin cari kerja sore-sore gini,” ucap Ify tak kalah semangat dari Agni.
       “Ada kok, Vi. Insyaallah ada,” jawab Agni.
       “Kalau semuanya setuju, gue ikutan juga deh,” ujar Shilla. Agni mengangguk dan akhirnya Via juga ikutan setuju.
       “OKE BESOK CARI KERJA. SEMANGAT!!!!!” seru Ify, Via, Agni, dan Shilla serentak. Lalu mereka senyum-senyum sendiri dan menikmati keindahan langit sore.
***************

       Seorang pemuda tengah menikmati langit sore yang terpampang jelas dari balkon kamarnya. Ia duduk di kursi santai yang memang telah tersedia dengan handphone yang berada di dalam genggamannya. Sepi yang ia rasakan. Sudah sejak kelas sepuluh SMA dulu, pemuda itu sudah memutuskan untuk memiliki rumah sendiri. Setelah meminta dengan sang Papa disertai janji kalau dirinya akan siap menggantikan posisi papanya saat ia telah lulus kuliah nanti, akhirnya pemuda itu berhasil mendapatkan rumah ini. Rumah yang mewah dengan fasilitas yang lengkap.
       Rumah ini memang sepi, hanya mamanya yang sering mengunjunginya bersama sang Adik. Adik yang sangat ia sayangi. Papanya hanya sekali dua kali melihat keadaannya. Sebenarnya, papanya juga tidak perlu repot-repot melihat keadaannya karena dia akan baik-baik saja. Lagian, sebenarnya ia tidak sendiri, karena sahabat-sahabatnya juga berada di dekatnya. Hanya tinggal teriak sedikit, maka sahabat-sahabatnya akan datang.
       Bunyi pintu kamar dibuka terdengar. Seorang wanita yang sudah berusia lanjut berjalan tergopoh-gopoh menghampiri pemuda yang lagi bersantai di balkon tersebut. “Tuan Muda, ada Nyonya dan Tuan Muda Ray di bawah,” ucap wanita tua itu.
       Si Tuan Muda berdiri dari posisi bersantainya dan berjalan mendahului si Wanita Tua a.k.a pembantunya keluar kamar dan menuju lantai bawah.
       Mata pemuda itu berbinar-binar manakala ia mendapati adik kesayangnya sedang duduk di salah sofa sambil meminum susu. “Ray,” panggil Rio semangat.
       “Kakak,” ucap Ray yang sudah berada digendongan Rio. Rio memeluk adiknya itu penuh sayang dan mencium pipi Ray berkali-kali. Rio sangat merindukan adik semata wayangnya ini. Satu-satunya saudara yang ia punya. Soalnya selama ini Ray selalu ikut bersama bundanya keluar negeri untuk menemani papanya menjalani bisnis.
       “Lay lindu sama Kak Lio,” ucap Ray dan tersenyum senang. Bocah laki-laki kecil itu meletakan botol susunya di atas meja dan tentu saja dibantu oleh Rio.
       “Mama mana, Ray?” tanya Rio.
       Bukannya menjawab Ray menunjuk ke arah ruang yang memang khusus untuk ruang kerja Rio alias ruang belajar Rio, bisa juga dibilang perpustakaan rumah ini. Rio mengangguk-angguk.
       “Kak, kata mama Lay akan tinggal sama Kak Lio, lho,” ujar Ray dan menggerakan jari telunjuknya membentuk garis lengkungan di awang-awang.
       Mata Rio melotot. Benaran? Dulu ia sangat meminta Ray untuk tinggal bersamanya, namun mama dan papanya menolak. Tapi sekarang? “Beneran, Ray?”
       “Benar kok, Yo. Nanti Ray bakalan tinggal di sini. Kamu nggak keberatankan?” tanya Bunda Rio balik. Bunda baru saja keluar dari ruang kerja Rio sambil membawa lembaran yang cukup banyak. Lalu wanita berparas cantik itu duduk di sebelah putra bungsunya.
       “Nggak dong, Bun. Rio udah dari dulu maunya Ray tinggal di sini. Tapi, kenapa tiba-tiba gini?” tanya Rio.
       “Tiba-tiba gimana? Nggak dong, Rio. Kan tahun ini Ray akan masuk paud. Nggak mungkin Ray ikut Bunda sama papa terus keluar negeri, nanti nggak selesai sekolahnya,” jawab Bunda Manda.
       “Iya-ya, tahun ini umur Ray lima tahun,” ujar Rio dan manggut-manggut lalu melirik adiknya yang lagi asyik bermain dengan jari-jarinya, mungkin lagi menghitung, pikir Rio.
       “Maka dari itu, besok Bunda akan cari babysitter untuk Ray selama dua minggu. Soalnya, selama dua minggu itu bunda sama papa akan pergi ke Paris untuk mengurusi perusahaan yang ada di sana. Ada sedikit kekacauan,” ucap Bunda Manda sambil membaca ulang kertas yang baru saja beliau cetak.
       Rio mengangguk-ngangguk mengerti. “Jadi, nanti babysitter itu akan tinggal di sini juga?” tanya Rio.
       “Iya dong sayang. Masa harian. Kasihan nanti Ray-nya. Kamu kan kadang-kadang sibuk dan harus berangkat pagi,” jawab Bunda Manda.
       “Oh….Ya udah, Rio setuju aja deh,” ucap Rio. “Yuk, Ray kita jalan-jalan ke rumah Kak Alvin,” ajak Rio kepada adiknya. Ray mengangguk antusias dan segera minta gedong ke Rio. “Bun, Rio sama Ray ke rumah Alvin dulu ya,” pamit Rio kepada Bundanya yang lagi sibuk dengan telponnya.

************

       “Kita harus gimana nih?” tanya Via. Saat ini ia bersama Ify dan Shilla lagi berada di dalam mall. Mencoba mencari pekerjaan. Sedangkan Agni, ia sudah mendapatkan pekerjaan di salah satu bengkel yang ada di kota ini. Tepatnya, bengkel yang berada tidak jauh dari rumah mereka. Tadi, Agni iseng-iseng bertanya dan nggak tahunya ia diterima. Sedangkan, Ify, Via, dan Shilla harus melanjutkan perjalanan mereka untuk menemukan pekerjaan.
       “Dik….ini brosur. Di baca ya,” ujar seorang bapak-bapak. Ify yang menerima brosur ini mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Brosur itu ternyata adalah sebuah lembaran yang berisi lowongan kerja. Bayangkan lowongan kerja!!! Hal yang sedang dicari-cari mereka saat ini.
       “Lowongan jadi babysitter. Tapi cuma untuk satu orang,” ucap Ify. Via tampak tertarik sementara Shilla hanya menghela nafas malas.
       “Gue nggak ikutan ah yang ini. Gue nggak bakat ngurus anak kecil,” ujar Shilla. “Coba lo lihat syaratnya, Fy, pasti gue merinding,” lanjut Shilla.
       “Baca dong, Fy,” pinta Via.
       Ify mengangguk. “Pertama, usia minimal 15 tahun. Kedua, pandai dalam mengurus anak kecil. Ketiga, bla…..bla……Terakhir, harus tinggal di rumah si Anak,” ucap Ify.
       “Syarat terakhirnya itu, Fy. Jadi harus tinggal di rumah anak yang akan kita jaga?” tanya Via. Ify mengangguk.
       “Gue cari kerja di tempat itu ya,” ucap Shilla dan menunjuk restoran siap saji. Ify dan Via mengangguk. “Gue duluan dauble Pi, berjuang ya!” pamit Shilla. Setelah melambaikan tangan, dia segera menuju restoran yang ia tunjuk tadi.
       “Gimana, Fy. Ikutan nggak?” tanya Via kepada Ify yang kembali focus pada brosur.
       Ify diam saja. Tiba-tiba ia tercengang. “Vi…..liat ini, Vi….liat,” ucap Ify dan menunjuk bagian yang diberi lingkaran dalam brosur tersebut. Via juga ikutan tercengang. “Hanya dua minggu, gajinya dua juta,” ucap Ify tak percaya.
       “Kita harus ikut, Fy. Biar deh tinggal di sana, penting gajinya gede, kalo gini kita bisa focus sama sekolah dan kalau libur baru kerja lagi,” ujar Via semangat.
       “Ayo-ayo. Kita harus ke daerah Melatih Indah,” ucap Ify. Via mengangguk.

***************

            Mata Ify dan Via melotot ngeri melihat antrian sepanjang tidak. Mereka benar-benar kaget melihat banyaknya peminat untuk menjadi babysitter. Bahkan ada salah satu pengantri yang telah memakai pakaian khusus babysitter lengkap dengan map yang berada di dalam pelukannya. Mungkin saja itu predikat yang telah ia kumpulkan selama menjadi babysitter.
       Ify menelan salivanya. Ia tidak percaya. Bagaimana ia bisa menjadi babysitter, bahkan saingannya adalah babysitter professional. Lha, dia? Cuma gadis miskin yang ingin bekerja. Yang benar saja dong!!!
       “Masih ikutan ngantri nih, Fy?” bisik Via.
       Ify mengangguk yakin. “Dicoba aja deh, Vi. Kita udah sampai di sini,” ucap Ify dan menghitung antrian yang ada. “Empat puluh enam,” gumam Ify. Dia ada di nomor 46 sedangkan Via 45. Keduanya pun tenggelam dalam kesunyian yang berada dalam keramaian.
       “Anaknya susah banget. Masa udah setengah dari yang pagi tadi, belum juga ada yang diterima,” ucap seorang ibu-ibu. Ify menajamkan telinganya untuk mendengar obrolan ibu-ibu yang telah keluar dari ruang seleksi.
       “Sama. Saya juga gitu. Baru nyebutin nama saja, anak itu udah nangis. Padahal lucu sekali anaknya,” timpal ibu yang satu lagi.
       “Susah juga ya. Saya duluan ya,” pamit ibu-ibu yang mengenakan baju babysitter lengkap.
       Ify menghentikan aksi mengupingnya. Ia focus pada antriannya kembali. “Orang yang professional aja nggak terima. Gimana dengan gue?” batin Ify.
       Antrian semakin lama semakin bergerak juga dan mulai mendikit. Berhubung hari sudah mulai sore, seleksi dilakukan sekaligus dua orang. Tepat pukul tiga lewat sepuluh menit dan sama juga dengan telah mengantri selama tiga jam, akhirnya tiba giliran Via dan Ify.
       Saat ini Ify dan Via sedang duduk di kursi yang telah disediakan. “Nama saya Sivia Azizah. Biasa dipanggil Via. Saat ini masih sekolah kelas sepuluh SMA,” ucap Via memperkenalkan diri. Bunda si Anak mengangguk dan tersenyum.
       “Gini Nak Via. Saya membutuhkan seorang babysitter untuk menjaga anak saya Ray selama saya pergi ke Paris. Itu waktunya dua minggu,” ucap Ibu itu. “Berhubung Nak Via masih sekolah. Via sanggup untuk tinggal di rumah ibu selama dua minggu itu?”
       Via mengangguk. “Sanggup kok, Bu,” jawab Via.
       Sementara Via diwawancara, Ify menunggu di kursi tunggu. Awalnya ia merasa tidak terjadi apa-apa, bahkan merasa cukup senang saat Via masih diwawancara dan wawancaranya lancar-lancar aja. Namun, Ify merasa risih. Seperti ada yang melihat ke arah dirinya terus. Saat ia melihat ke sofa yang dihuni oleh anak kecil berusia enam tahun, bisa Ify tebak anak itu yang akan dijaga oleh babysitter yang diterima nanti.
       Ify melihat bola mata hitam dan bening anak kecil it uterus menatap tepat ke arah dirinya. Ify bingung, siapa sih yang dilihat oleh anak itu? Ify atau orang lain. Ify melihat ke belakang, tidak ada apa-apa. Berarti dia dong yang dilihat anak kecil itu.
       Bocah laki-laki itu sungguh menggemaskan. Pipinya tembem dan putih, mirip sekali dengan bakpau. Rambutnya sedikit panjang seperti rambut Baim si Artis Cilik. Sedikit gondrong-gondrong. Ify menghela nafas, ia melirik wawancara yang sedang dijalani oleh Via. Sepertinya masih cukup lama dan kemungkinan diterima kayaknya ada.
       Ify manyun dan menekun wajahnya. Capek juga menunggu seperti ini. Lalu tanpa sadar ia merentangkan tangannya untuk melemaskan agar tidak terlalu lelah. Tiba-tiba suara ketawa tak sengaja Ify dengar. Ify mengangkat wajahnya dan mendapati si Anak Kecil tadi tertawa. Ify melongo parah seperti orang dodol saja. Makin tertawalah anak kecil itu. Mungkin bagi bocah laki-laki menggemaskan itu, Ify seperti badut ancol.
       “Ray,” panggil ibunya.
       Bocah laki-laki itu ternyata bernama Ray. Ia langsung pindah duduk dekat dengan bundanya. “Kenapa, Bun?” tanya Ray.
       “Ini Kak Via yang akan jaga Ray,” jawab Bundanya.
       Ray menatap Via dan melihat calon babysitternya dengan saksama. Lalu ia melihat sosok yang berada di belakang Via. Ray tersenyum layaknya anak kecil. Tersenyum yang sungguh menggemaskan.
       Via kira, Ray tersenyum karena dirinya. Karena terlanjur senang, Via meraih Ray dan menggendongnya. “Kenalin Ray, Kak Via,” ucap Via.
       Ray tidak merespon sama sekali. Ia malah….hueee……hueeee……hhhuuuueeee…….. Ray menangis. Via terlonjak kaget. Kenapa tiba-tiba Ray menangis? Padahal dia tadi tersenyum kepadanya. Ray masih saja menangis di pangkuan Via. Lalu sang Bunda meraih Ray untuk menenangkan, namun Ray tetap saja menangis.
       “Maaf, Bu,” ucap Via.
       “Nggak apa-apa kok. Sama yang lain tadi juga gini,” ucap Ibu Manda.
       Ray masih saja menangis, lalu Bunda Manda berdiri sambil menggendong Ray untuk menenangkan putra bungsunya itu. Sayangnya, Ray masih saja menangis. Saat mereka berdiri tidak jauh dari Ify, Ray mengulurkan tangannya ke arah Ify. Huee….hueee….hueee…..tangis Ray. Ify tidak ngeh sama sekali. Sedangkan Ray masih mengulurkan tanganya. Bahkan Ray meronta-ronta dalam gendongan bundanya.
       Tanpa sengaja Bunda Manda melihat Ify dan juga tangan Ray yang terulur ke gadis manis itu. Bunda Manda mengangkat sebelah alisnya. Ini pertanda dan ia tidak menyangka. “Maaf, Nak. Bisa gendong putra saya sebentar,” pinta Bunda Manda.
       Ify kaget dan reflex mengangguk. Saat Ray berada di dalam gendongannya, Ray masih menangis namun sedikit meredah. Menyadari posisi gendong Ray yang tidak sempurna, Ify memperbaikinya. Kini kepala Ray tepat berada di sebelah kananya.
       Melihat hal tersebut, Bunda Manda tersenyum. Ia memanggil pekerjanya dan berbisik sesuatu. “Bisa duduk di sana, Nak,” ucap Bunda Manda dan menujuk kursi yang di duduki Ray tadi. Ify menurut saja. Saat ia ingin melepaskan Ray, Ray-nya sendiri yang menolak, malah memeluk dirinya. Jadi Ify duduk di sofa dan Ray berada dalam pangkuannya.
       “Nak Via bisa pindah ke sini,” ujar Bunda Manda.
       Saat Via sudah duduk di dekat Ify, Bunda Manda mulai berbicara. “Pertama, saya minta maaf saya Nak Via, sepertinya Nak Via tidak bisa menjadi babysitternya Ray karena Nak Via bisa lihat sendiri, siapa yang dipilih oleh Ray,” ucap Bunda Manda.
       Via mengangguk dan malah tersenyum bahagia. “Nggak apa-apa kok, Bu. Saya senang malah, kalau yang menjad babysitter ini adalah sahabat saya sendiri,” ujar Via.
       “Untuk kamu, maaf siapa namanya?” tanya Bunda Manda.
       “Alyssa Saufika Umari. Panggil aja Ify kok, Nyonya,” jawab Ify.
       Bunda Manda terkekeh. “Baiklah. Nak Ify, jadi kamu yang dipilih putra saya untuk menjadi babysitternya. Nak Ify mulai bisa bekerja hari ini. Ditambah hari ini, lama Nak Ify bekerja jadi lima belas hari dan gajinya ditambah jadi 2,4 juta,” ucap Bunda Manda.
       Ify terpana. Ia tidak percaya kalau ia akan mendapat gaji sebesar itu. “Terima kasih, Nyonya,” ucap Ify.
       Bunda Manda mengangguk. “Jadi, gajinya mau ditransfer sekarang atau kapan?”
       Ify berbisik kepada Via dan akhirnya berkata, “Nanti saja saat kontrak kerjanya selesai,” jawab Ify.
       “Kalau begitu, kita langsung ke rumah kamu saja. Pasti kamu perlu mengambil pakaian dan peralatan sekolahmu,” ujar Bunda Manda.
       “Biar saya saja, Nyonya. Nanti saya ke rumah Nyonya sendiri saja,” ucap Ify. Via menyikut Ify. Ify balas melotot.
       “Gimana sih lo, Fy,” bisik Via.
       “Nggak apa-apa kok, Nak Ify. Biar sedikit cepat. Karena saya harus terbang ke Paris mala mini juga dan kamu harus berkenalan sama putra saya satunya lagi,” ucap Bunda Manda, lalu tersenyum kecil ke Ify. “lagi pula sepertinya Ray tidak mau lepas dari kamu,” lanjut beliau sambil mencubit pipi anaknya gemes.
       Ify tak ada pilihan lain lagi, semua yang dikatakan Nyonya Barunya ini adalah benar dan ia hanya perlu menerimanya. Akhirnya Ify mengangguk tanda setuju.

***************

       Setelah mengucapkan perpisahan sekaligus berdada-dada alias say good bye ke Via, Ify beserta Bunda Manda dan Ray juga supir pribadi Bunda Manda segera menuju kediaman yang akan Ify huni selama dua minggu ini. Selama perjalanan itu juga, Ify memilih untuk banyak diam. Ia hanya menikmati dinginya AC mobil ini dan juga Ray yang tertidur di pangkuannya.
       Oh iya, saat Bunda Manda bertanya kepada Ify mengenai Ray yang tiba-tiba menempel langsung kepada Ify membuat Bunda Manda heran sehingga menanyakan alasannya. Namun Ify juga tidak tahu sama sekali, ia hanya menggeleng dan tersenyum kecil.
       Hanya dengan membutuhkan waktu selama setengah jam akhirnya Ify tiba di kediaman Nyonya Barunya. Mata Ify terbelalak takjub melihat rumah yang berada di hadapannya ini. Ini rumah atau istana? Atau istana yang menyerupai rumah? Ia bingung. Sangat bingung malah. Ify mengerjap-ngerjapkan matanya untuk menyakinkan kalau ini adalah nyata bukan khayalan dan ia tidak salah memberi opini terhadap kediaman yang ia lihat, istana atau rumah?
       “Mari masuk, Nak Ify,” ajak Bunda Manda. Ify mengangguk sambil menggendong Ray yang terus menempel kepadanya. Tas yang berisi pakaian serta peralatan sekolahnya telah dibawa oleh supir Nyonyanya yang Ify ketahui bernama Pak Wisno. Sekarang ia melawati pintu utama kediaman mewah ini. Di dinding sebelah kanan dari pintu, terdapat symbol huruf M capital dengan diukir sedemikian rupa, sehingga sangat cantik untuk dilihat. Ify terpesona.
       Saat melewati ruang tamu, lagi-lagi Ify dibuat terpesona. Ruang tamu ini sungguh luar biasa. Gayanya sederhana dan tidak begitu terkesan mewah namun hanya saja sangat memikat. Mata Ify terfokus dengan foto-foto yang tergantung di dinding ruangan ini. Matanya membola tidak tanggung-tanggungnya saat melihat foto keluarga Bunda Manda.
       Foto itu berisi empat orang. Dua dewasa, satu anak laki-laki hampir seusia dengannya dan satu anak laki-laki lagi sudah pasti itu Ray. Dua orang dewasa itu adalah Bunda Manda dan tentu saja suaminya. Yang membuat Ify membelo adalah foto anak laki-laki Bunda Manda yang hampir seusia dengannya. Kalau Ify tidak salah lihat itu adalah kakak kelasnya yang super songong dan juga merupakan ketos di sekolahnya, bagi Ify adalah ketos mesum. Kyaaaa……mampus gue, batin Ify.
       Ify ingin sekali salah lihat dengan apa yang dia lihat, namun sayangnya tidak bisa. Habis……foto suaminya Bunda Manda itu adalah Om Zeth dan Ify ketahui kalau Om Zeth adalah ayah dari Rio si Ketos Mesum. Ya ampun….dosa apa Ify selama ini????!!!!! Jelas saja ia tidak salah lihat dan tidak salah prediksi, Om Zeth adalah ayah Rio dan foto itu pasti adalah Rio. Gila!!!!!
       Diam-diam Bunda Manda memperhatikan Ify. Dahinya berkerut samar saat mendapati ekspresi Ify ketika melihat foto keluarganya, terutama foto putra pertamanya. Apakah Ify langsung jatuh cinta saat melihat foto putranya? Tapi, ekspresi Ify tadi bukanlah ekspresi penuh dengan cinta ataupun mabuk asmara. Beliau yakin, kalau raut wajah Ify tadi adalah raut wajah orang tidak percaya dan sedikit kesal. Pasti, Rio kenal terhadap Ify dan keduanya memiliki sesuatu. Pasti. Bunda Manda yakin karena ia juga pernah merasakan dunia putih abu-abu. Yang menjadi pikirannya sekarang adalah ada apa antara Rio dan Ify?
       “Nak Ify, ayo duduk di sini,” ujar Bunda Manda sambil menepuk kursi yang berada di sebelahnya. Ify mengangguk dan segera duduk. Berat badan Ray yang harus ia tanggung tidak berasa sama sekali, apalagi sejak Nyonyanya ini mengatakan, “Saya mau memperkenalkan putra sulung saya. Nanti dia yang akan tinggal di sini bersama Ify, Ray juga pekerja di sini. Sedangkan saya harus pergi ke Paris bersama suami saya. Oh iya, putra saya sedang berada di jalan.”
       Jdddeeerrr………….bagai disambar petir Ify mendengar penuturan majikannya ini. Putra sulungnya? Itu berarti Rio dong. Status Ify disini adalah maid dan maid harus melayani majikannya. Karena Rio adalah putra dari majikannya, Ify harus juga patuh terhadap majikannya itu. Ya ampun!!! Kiamat. Bagaimana ini?
       Ify harus memikirkan cara untuk terlepas dari amanat patuh terhadap perintah Rio. Harus. Ify sangat yakin kalau Rio itu sangat very dan sangat dendam dengan dirinya. Ia kan tahu kalau Rio itu anti orang miskin. Lagian Ify juga nggak mau kerja untuk Rio. Nggak sudi. Ia tidak mau disuruh-suruh Rio. Apalagi kalau Rio mengundang ketiga sahabatnya juga perkumpulan nenek lampir itu ke rumah ini dan pastinya Ify yang harus menyediakan minuman juga cemilannya. Ogah!! Pasti ia bakalan dikerjai habis-habisan. Bagaiamana pun ia harus segera menemukan cara agar terbebas dari perintah Rio dan hanya bekerja just as babysitter no for other, right.
       “Nya…” panggil Ify.
       Bunda Manda menoleh ke Ify. “Jangan panggil saya Nyonya, tante saja,” ucap Bunda Manda dan tersenyum lembut. “Ada apa, Fy?” tanya Bunda Manda.
       “Jadi gini, Tan,” jawab Ify memulai ceritanya. Ify menjelaskan semua dengan jujur tentang dia dan Rio. Bunda Manda hanya tersenyum-senyum dalam menanggapinya. “Gitu, Tan. Bisa ya, Tan?” pinta Ify dengan wajah melasnya.
       “Hmmm…..gimana ya, Fy?”
       “Please deh, Tan. Rela deh gajinya dipotong, bener. Tolongin, Tan. Nanti Ify bakalan sangat hati-hati dalam menjaga Ray. Please, Tan.”
       “Sangat penting ya, Fy?” tanya Bunda Manda.
       Ify mengangguk kuat-kuat. “Untuk antisipasi dong, Tan. Habis Kak Rio itu….ishsh…..nyebelin pokoknya. Ya, Tan? Tante baik deh…..”
       “Memang Rio seperti itu, Fy? Yang bener? Selama ini nggak pernah.”
       Ify manyun. “Berani sumpah deh, Tan…. Kak Rio itu kayak anti banget sama orang miskin, apalagi Ify. Ayolah dong, Tan,” pinta Ify lagi.
       Tiiiinn…….Tinnnn……… bunyi klakson motor terdengar.
       “Ya ampun, Tan. Please deh. Potong gaji jadi setengah nggak apa-apa deh. Please, Tan. Huahaa….. Kak Rio udah dateng…!!!” seru Ify panic.
       Bunda Manda tersenyuum-senyum geli. Sepertinya masalah Rio dan Ify pelik banget. “Oke. Tante setuju. Nanti malem Ify dateng aja ke Tante untuk tanda tangan, Ify buat aja sekarang di ruangan itu,” ucap Tante Manda dan menunjuk ruang kerja.
       Berbinar-binarlah mata Ify seperti tokoh kartun Hagemaru si Kepala Botak ketika lagi mendapat undian. Jiaaah……… setelah mengucapkan beribu-ribu terima kasih dan menidurkan Ray di sofa dengan baik, Ify segera lari ke ruang kerja dan mulai menjalankan rencananya.

****************

       Rio turun dari motor kesayangannya dan tak lupa melepaskan helm yang menempel di kepalanya. Ia benar-benar heran dengan bundanya hari ini. Bisa-bisanya bundanya itu menelpon dirinya untuk segera pulang karena beliau mau mengenalkannya dengan babysitter yang akan mengasuh Ray selama bundanya di Paris.
       Padahalkan Rio bisa bertemu dengan babysitter itu ketika ia pulang nanti, toh babysitter itu akan serumah dengannya selama dua minggu ini. Lagian, babysitter itu seperti tamu kehormatan saja sehingga ia harus melihatnya sekarang juga.
       Tadi Rio sempat menolak permintaan bundanya namun mendengar ucapan bundanya kalau beliau akan terbang ke Paris mala mini juga Rio memilih untuk pulang dan di sinilah ia saat ini. Rio membuka pintu utama rumahnya dan segera masuk ke dalam.
       Saat tiba di ruang keluarga ia mendapati bundanya sedang duduk dengan santai berserta Ray yang sedang tertidur. Rio jadi bingung sendiri? babysitternya di mana? Kan dia penasaran juga tuh. Dasar Rio.
       “Sore, Bun,” sapa Rio dan duduk di depan Bundanya.
       “Eh udang dateng. Nggak ngabarin lagi,” ucap Bundanya.
       Rio tersenyum kecil dan melirik adik semata wayangnya. Mata Ray sedikit membengkak, pasti kebanyakan nangis. Dan Rio yakin, pasti Ray banyak menolak calon babysitter yang datang padanya. Beruntunglah babysitter itu dipilih oleh Ray. “Babysitternya mana, Bun? Kan tadi bunda yang minta Rio pulang cepat biar ketemu babysitter Ray,” tanya Rio.
       “Bunda panggilin sebentar,” jawab Bunda Manda. “Alyssa, putra saya sudah datang,” ucap Bunda Manda untuk memanggil pekerja barunya.
       Ify yang lagi membaca ulang hasil kerjanya segera melipat kertas tersebut dan memasukannya ke dalam kantung celananya dan ia berlari keluar. Saat pertama kali keluar dari pintu ruangan itu, Ify langsung dapat melihat putra sulung Bunda Manda. Ify tidak mungkin salah, dia benar, ia sendiri bisa mengenali ketos mesum itu hanya melihat dari belakang. Ify menghela nafas sejenak untuk menenangkan.
       “Iya, Tan,” ucap Ify. Ia berdiri di sebelah Bunda Manda. Lalu Bunda Manda menyuruhnya untuk duduk di sebelah beliau, Ify menurut.
       “Rio, ini babysitternya Ray,” ujar Bunda Manda saat Ify sudah duduk di sofa.
       Awalnya Rio menundukan kepala, lalu ia mengangkatnya saat bundanya mengatakan kalau babysitter Ray sudah datang. Perlahan-lahan tapi pasti Rio mengangkat wajahnya dan cengolah dia sesaat ketika melihat sosok yang berada di depannya. “Pinky?” cetus Rio.
       Ify mencibir. “Saya Ify, Tuan Muda Rio,” ucap Ify dengan sengaja dilebih-lebihkan dengan manambah kata Tuan Muda di depan nama Rio.
       Sungguh mulanya Rio tidak terima dengan kedatangan Ify di rumah ini. Ia ingin sekali mengusir Ify dari rumahnya karena menurutnya bisa-bisa kena jamuran orang miskin. Namun, akal bulus Rio muncul. Ia tidak harus mengusir Ify dari rumah ini. Lagian, susah untuk mencari babysitter lain yang sesuai pilihan Ray dan yang paling keren itu, dia bisa mengerjai adik kelasnya ini.
       “Oke..oke…..selamat datang di RUMAH gue, Ify si Pinky,” balas Rio dan mengeluarkan evilsmile-nya.
       Ify bergidik ngeri melihat senyum itu, tapi ia memiliki cara jitu untuk menghapus seringaian menyebalkan itu. Dengan percaya dirinya, Ify membalas evilsmile Rio dengan evilsmile dirinya sendiri yang lebih menakutkan.
       Bunda Manda berhasil dibuat heran oleh keduanya. Pasti ada apa-apanya, dilihat dari tingkah keduanya.
       “Bagaimana, Yo? Kamu setuju kalau Ify jadi babysitternya Ray?” tanya Bunda Manda.
       Rio langsung mengangguk. “Sangat setuju kok, Bun,” jawab Rio dan masih tersenyum evil ke Ify. Bagi Ify senyuman itu mengartikan ‘mati lo’.
       “Kalau begitu, Bunda bisa tenang berangkat nanti malem. Ingat, jaga Ray baik-baik. Rio kamu juga bantu-bantu Ify,” pesan Bunda Manda. Keduanya mengangguk kompak. “Bunda mau istirahat dulu sekalian bareng Ray. Kalian berdua silakan kenalan dulu aja,” tambah beliau dan segera menggendong Ray lalu pergi.
       Setelah yakin bundanya pergi, Rio segera mengambil ahli. “Heh, Pinky miskin. Lo,” tunjuk Rio ke muka Ify “tinggal di rumah gue dan status lo babysitter adek gue. So, lo itu maid-nya gue. My maid. Lo tahu kan tugas maid itu apa?”
       Ify mengangguk santai dan kalem. Melihat itu semua Rio mengira Ify sudah berhasil ia tundukan. “Karena lo udah tahu, gue nggak usah jelasin lagi. Sekarang, lo kerjakan semua apa itu tugas seorang maid dengan benar. Ingat! Benar,” ucap Rio lagi.
       “Iya, Tuan Muda,” ujar Ify dengan nada sedikit jengkel. Kesel melihat tingkah Rio yang seperti ini. Kakak kelasnya itu belum tahu aja apa rencananya. Kalau tahu? Ify tidak bisa membayangkannya. Syukurin…. “Kalau tidak ada yang tuan muda ingin bicarakan lagi, saya permisi. Mau beres-beres dulu,” pamit Ify.
       Tanpa menunggu persetujuan Rio, Ify segera kabur menuju kamarnya di rumah ini. Sedangkan Rio? “Sialan,” desis pemuda tampan itu. Sebenarnya, Rio ingin mengerjai Ify terlebih dahulu sebagai pemanasan. Berhubung korban sudah kabur duluan, Rio hanya bisa mengumpat.

***************
      
       Rio, Ify, dan Ray berdiri di teras kediaman mewah yang telah Ify ketahui adalah milik Mario Stevano Aditya Haling, bukan atas nama Zeth Haling. Awalnya tidak percaya, namun apa daya, memang begitulah kenyataannya. Benar-benar tidak menyangka, kakak kelas sok itu telah memiliki rumah sendiri di usianya yang baru 17 tahun. Tak perlu ambil pusing, Ify segera melenyapkan pikiran seperti itu.
       “Dadah Bunda……!!!” teriak Ray untuk kesekian kalinya. Bocah lucu itu terus melambaikan kedua tangannya hingga mobil yang ditumpangi bundanya telah menghilang. “Kak Lio, bunda udah pelgi ke Palis. Masuk yuk,” ajak Ray.
       Rio menganngguk-ngangguk. “Ray duluan aja ke dalam, kakak ada urusan sebentar sama si Pinky ini,” ujar Rio.
       Dahi kecil Ray berkerut. “Pinky?” ulang Ray.
       “Maksudnya Kak Ify, Ray. Ray ke dalam dulu ya,” ucap Rio. Ify hanya diam saja dan tersenyum saat Ray memandang ke arahnya. Dengan pancaran matanya, Ify meminta Ray untuk masuk ke dalam.
       “Jadi, lo mau apa Tuan Muda Rio?” tanya Ify sinis saat Ray sudah masuk ke dalam rumah.
       “Hello Alyssa Pinky Miskin!!! Gue tuan lo dan lo maid-nya gue,” Rio memandang wajah Ify tepat lurus ke depan “gue nggak suka cara bicara lo. Ngomong yang sopan kalo di depan gue. Gue ini TUAN lo dan lo MAID-nya gue,” tambah Rio dan tersenyum evil.
       Ify memutar bola matanya malas. Alasan klise lagi. Males banget dia dengerin ocehan kakak kelasnya ini. Nggak mau. “Terus Tuan Muda Rio mau apa?” tanya Ify dibuat-buat kalem.
       Rio tersenyum penuh kemenangan. “Hmmm….gue mau lo siapin gue makan malam lengkap dengan minumannya. Terus, lo bantuin gue nyelesain tugas sejarah gue ngebuat peta,” ucap Rio dan mengangguk-angguk yakin.
       Ify melengos. “Kalo gue nggak mau?” tanya Ify.
       Rio melotot dan kemudian memperlihatkan evilsmile-nya. “Simple. Gue pecat lo.”
       “Oh ya? Gue rasa lo nggak ada hak buat nyuruh-nyuruh gue apalagi ngepecat gue, Pu…tra Mah…kota Ma…rio,” ucap Ify dengan menekan kata Putra Mahkota Mario.
       “Jelas gue punya hak. Lo kerja di rumah gue,” balas Rio.
       Ify tersenyum evil. Jemarinya meronggoh-ronggah saku celana jeans tiga perempatnya. Rio memperhatikan apa yang Ify lakukan. Tak lama kemudian, kertas berbentuk persegi yang sudah dilipat-lipat berada di tangan Ify. “Ayo kita buktikan, Ketos Mesum,” ucap Ify.
       Perlahan-lahan Ify membuka kertas yang ia ambil dari saku celana jeansnya. Dengan hati-hati pula ia membuka lipatan demi lipatan kertas tersebut. Saat kertas itu telah kembali keukuran semula, Ify menatap Rio sinis.
       “Habis ini lo nggak bisa ngatur-ngatur gue apalagi memberi perintah ke gue,” desis Ify tajam.
       Rio berdecih. “Gaya lo, Miskin.”
       Ify balas mencibir. “Ini lo baca!!!” seru Ify dan memperlihatkan kertas yang ia pegang tepat di depan muka Rio.
       Sementara Rio membaca kertas yang diberikan Ify. Ify sibuk memperhatikan setiap ekspresi Rio. Awalnya tuan mudanya itu malas-malasan. Lalu, matanya tiba-tiba melotot dan mulutnya ternganga dan terakhir menyipit ke arah Ify. “PINKY SIALAN!!!!!!!!” maki Rio.
       Kertas itu berisi pernyataan Bundanya akan tugas Ify di rumah ini. Isinya seperti ini. Dibagian atas kertas tersebut terdapat judul ‘Surat Pernyataan Pekerjaan’. Di bawahnya dalam paragraph baru tertulis, ‘saya Amanada Kusuma Haling dalam keadaan sadar dan tanpa terpaksa menyatakan bahwa Alyssa Saufika Umari selaku babysitter dari Raynald Aditya Haling  hanya bertugas dalam menjaga Ray dan tugas lainnya yang berhubungan dengan Ray. Selain pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan Ray, tidak wajib dikerjakan oleh Alyssa. Tapi, ia akan mengerjakannya kalau ia mau tanpa harus disuruh-suruh, termasuk oleh Mario Stevano Aditya Haling’. Surat pernyataan tersebut simple, tapi di bawah kalimat itu, terdapat nama jelas Bunda Rio sendiri lengkap dengan tanda tangan di atas matrai bernilai 6000. Itu berarti hal ini bisa berlajut dalam hukum.
       Ify tertawa penuh kemenangan. “Alyssa dilawan,” ujar Ify dan kemudian kabur ke dalam rumah. “Ray!!! Kak Ify dateng!!!” seru Ify dengan riangnnya.
       Sementara Rio mengatur nafasnya. Baru satu orang yang berani menertawai dan mengerjai dirinya. Ia benar-benar mati kutu. Orang itu tak lain dan tak bukan adik kelasnya sendiri. Orang miskin yang paling ia benci. Tak ia sadari kalau kertas yang Ify berikan kepadanya sudah menjadi bola kertas. “Sialan,” decih Rio dan berjalan masuk ke dalam rumah.

********************


BERSAMBUNG....


Jelek ya? Makin ancur aja? Mian ya... Thanks for read this story :)

Lovely Maid Part 9



     
 Lovely Maid Part 9




“Ifffyyyy…………….,” panggil seorang cewek chubby yang berlari tergopoh-gopoh dari ujung koridor sebelah barat. Ify langsung menoleh ke barat dan menemukan Via dengan tas tebal serta beberapa buku panduan belajar yang dia selipkan di depan dadanya.
       Hoshh….hossh…..nafas Via memburu saat tiba di tempat Ify berdiri. “Lha, Vi? Sabar aja kali. Lo dari mana sih?” tanya Ify dan terkekeh pelan.
       “Ishh…..kasih gue minum kek, Fy. Gue haus nih,” jawab Via dan masih berusaha mengatur nafasnya. Ify geleng-geleng kepala dan mengambil tempat air minumnya di dalam tas.
       “Ini minum dulu,” ujar Ify sambil menyodorkan botol air minumnya.
       “Lega….” Seru Via setelah menghabiskan air minum Ify. “Makasih ya, Fy,” ucap Via dan memasukan botol air minum itu ke atas Ify.
       “Jadi, lo dari mana?” tanya Ify lagi untuk kedua kalinya.
       “Gue dari perpus tadi, minjem buku ini,” jawab Via sambil menunjukan buku paket berjudul Biologi untuk kelas X dan Kimia IA. Ify mengangguk-ngangguk mengerti. “Ah iya, hampir lupa. Kita harus ke lapangan, tadi Agni pesen buat nunggu dia di lapangan,” ucap Via.
       “Oke….kita ke sana aja sekarang,” balas Ify dan memutar badannya menuju koridor Timur yang akan membawa mereka ke lapanga basket sekolah.
       “Shilla?” tanya Via.
       “Ah iya, kita jemput Shilla dulu. Gue rasa dia udah latihan kayaknya.”
       “Oke….ayo,” ajak Via penuh semangat. Buktinya ia sudah menarik Ify menuju ruang latihan dance.

***********

       Saat ini, Ify, Via, dan Shilla lagi asyik-asyiknya duduk di pinggir koridor yang menghadap ke lapangan. Ketiga gadis itu tengah asyik menikmati semilir angin sore dan permainan basket putri sekolah mereka. Salah seorang gadis diantara ketiganya bersorak gembira manakala ada bola yang berhasil masuk ke ring.
       “Semangat!!! Semangat!!!” seru Via sambil bertepuk tangan. Senyum lebar terpeta di wajah manis gadis bermata sipit itu.
       “Eh….eh….lihat deh itu,” ucap Shilla tiba-tiba. Ify yang tadi berdiri jadi duduk kembali dan Via menghentikan aksi sorak menyoraknya.
       “Apaan sih, Shill?” tanya Ify kepo.
       “Itu,” ucap Shilla sambil menunjuk ke arah lapangan sebelah kanan dan menemukan segerombolan orang cewek sepertinya tim cheers. “Itu Si Jazz Merah? Mereka cheers ya?” tanya Shilla kepada Ify dan Via.
       Ify dan Via sama-sama kompak memejamkan matanya lalu menyipitkannya perlahan-lahan dan terakhir melotot garang ke Shilla. “SHIILLLAAAA!!!!!!!!” teriak Ify dan Via serempak.
       Shilla jadi cengengesan sendiri, ia tahu dia yang salah. Menanyakan hal yang ternyata tidak penting dengan awalnya tampang yang begitu serius. Ify dan Via kesal karena ulahnya tersebut. “Sorry deh ah, gue kan penasaran aja sama mereka. Di mana-mana bergentayangan mulu.”
       “Lo pikir hantu!” dumel Via dan kembali duduk ke posisinya semula. Lalu asyik lagi dengan kegiatannya yang dihentikan Shilla.
       Sedangkan Ify, gadis berdagu tirus itu lebih memilih untuk berdiri dan agak maju beberapa langkah mendekati lapangan. “Yo….Yo…Yo….semangat!!! Yoooooooo……Seeemangaaaattt!!!!” seru Ify penuh semangat. Gadis itu melompat-lompat riang sambil mengarahkan jari jempolnya ke lapangan. Tidak dia ketahui, kalau tingkahnya itu menarik perhatian seseorang.

*****************

       “Yo….Yo…Yo….semangat!!! Yoooooooo……Seeemangaaaattt!!!!” suara tersebut tertangkap oleh telinga seseorang.
       “Eh….Yo, ada yang nyebut nama lo deh,” ucap Cakka dengan wajah seriusnya.
       Rio, pemuda yang dipanggil oleh Cakka jadi ngeh. Dari tadi dia memang mendengar suara orang yang bilang Yo….Yo….. Berarti memanggil dirinya dong. Apalagi di belakang kata Yo tadi disebut aja semangat. Pas bangetkan sama dia. Dia kan lagi bermain basket, lebih tepatnya mendribble bola menuju lapangan basket. “Kayaknya iya, Ka,” timpal Rio.
       “Palingan juga fans lo,Yo. Biasa aja kali,” ucap Gabriel dan mengambil bola basket yang berada di tangan Rio.
       “Maybe,” sahut Rio.
       Alvin yang hanya satu-satunya orang yang belum berbicara sendari tadi dan lebih memilih untuk memperhatikan sekelilingnya, tepat menangkap sosok seseorang yang lagi melompat-lompat riang lalu orang itu berbalik badan sambil bertepuk tangan dan mengucapkan sesuatu. Alvin memperhatikan gerak bibir orang tersebut. Lalu, ia tersenyum sinis.
       “Orang yang manggil elo dari tadi itu dia, Yo,” ucap Alvin sambil menunjuk Ify.
       Rio mengikuti arah tunjuk Alvin dan Alvin berhasil membuat Rio melotot. Rio jelas kaget. Masa iya, adik kelasnya yang sangat anti dengan dirinya, menyebut-nyebut namanya sendiri? Nggak mungkin kan?
       “Samperin yok. Lihat deh, Yo adik kelas miskin itu masih nyebut-nyebut nama, lo,” timpal Gabriel.
       “Nggak sudi. Ngapain juga nyamperin orang miskin. Nggak guna, Yel.”
       Sayangnya, Rio ditinggal oleh ketiga sohibnya. Ketiga cowok itu sudah berjalan menghampiri tempat adik kelasnya. “Wooii tunggu,” teriak Rio.

************

       “Yo….Yo…Yo….semangat!!! Yoooooooo……Seeemangaaaattt!!!!” seru Ify untuk kesekian kalinya. Ia terus melompat-lompat kecil sambil bertepuk tangan.
       “Fy, duduk gih. Gue geli liat lo lompat-lompat mulu. Kayak kelinci aja lo,” ujar Via dan cekikikan sendiri.
       Ify yang masih melompat-lompat itu manyun dan berbalik badan ke arah Via dengan melompat pula. Whuussss…..dengan sekali gerakan Ify telah berdiri di hadapan Via.
       “Dasar iri nggak bisa melompat, wweeeeekkkkk,” ledek Ify.
       “Gue setuju sama Ify. Via iri tuh, Fy. Lo lucu kok lompat-lompat gitu,” ucap Shilla dan tersenyumlah Ify. Ganti Via yang manyun.
       “Nih, gue ajarin, Vi gimana caranya,” ucap Ify dengan pede-nya. Lalu ia kembali mempraktekan gayanya tadi.
       “Gimana…gimana….gimanaa? Lucu kan, Vi?” tanya Ify dengan bangga kepada Sivia. Via melengos.
       “Ya deh…..ya deh….” Jawab Via akhirnya.
       “Via ngambek….Via ngambek….Via ngambek….” Seru Shilla dan Ify langsung ikutan juga. Lagi asyik-asyiknya ngeledek Via, suara seseorang menghancurkan keasyikan mereka.
       “Heh, Miskin!! Ngapain lo manggil-manggil nama Rio?” tanya Gabriel dengan bentakan.
       Ify, Via, dan Shilla langsung berhenti dan menatap keempat kakak kelas mereka yang sudah berdiri di belakang ketiganya. Ify, Via, dan Shilla langsung melempar pandangan penuh tanda tanya. Jelas dong, ketiganya merasa tidak pernah memanggil nama Rio seperti yang dituduhkan. Lagian Rio siapa sih? Sampai namanya aja tidak boleh disebut. Rio itu Voldemort ya? Yang bila namanya disebut akan mendapatkan hukuman. Yang benar saja dong!!!
       “Kami rasa lo semua salah orang deh. Kita nggak merasa manggil nama Rio. Ya kan, Vi, Shill?” ucap Ify sekaligus meminta bantuan kepada kedua sohibnya.
       “WOI MISKIN!! Kita belum budek kali, kita denger lo manggil Rio,” ujar Cakka sinis.
       Via, Ify, dan Shilla menatap jengkel keempat senior mereka ini. Ify menoleh ke arah Rio. “Eh, emang lo nyimpulin dari mana kalo salah satu dari kami mangggil elo?” tanya Ify.
       Rio memasang wajah dinginnya. “Itu Alvin yang bilang,” jawab Rio pendek.
       “Kak Alvin dari mana nyimpulinnya?” kali ini Via yang bertanya.
       “Tadi lo,” Alvin menunjuk Ify “nyebut gini ‘Yo….Yo…Yo….semangat!!! Yoooooooo…… Seeemangaaaattt!!!!’”
       Ify, Via, dan Shilla seketika cengok. Mereka bertiga saling pandang dan lalu……Huahhaaa….haaaa…… tawa mereka bertiga pecah seketika. Alvin, Rio, Gabriel, dan Cakka menatap ketiga heran. Kening mereka berempat bukanlah keriting langsung kribo. Rasa kesal juga melanda mereka. Ketiga gadis ini lah yang berani menertawakan mereka, ditambah lagi di depan mereka. Selama ini tidak pernah dan belum pernah. Sekarang? Mereka ditertawakan terang-terangan.
       “Lo bertiga kenapa ketawa, Hah?” tanya Alvin.
       Hahahah…. “Eh…..sini….hahahha….aduh…..sini deh Kak Alvin,” ucap Ify dan menarik tangan Alvin lalu membawanya ke dekat lapangan. Shilla yang mengerti arti dari kode yang diberikan Ify secara selintas langsung menyusul Ify diikuti dengan Via. Sementara, Gabriel, Rio, dan Cakka tetap di tempat mereka berdiri.
       “Nah, udah deket, Kak Alvin,” ucap Shilla.
       “Kak Alvin lihat ke sana,” ujar Via sambil mengangkat tangan kanan Alvin dan menunjuk Agni yang lagi asyik bermain basket.
       “Yang Via tunjukin itu orang yang kita sorakin dari tadi. Yang kita beri semangat, bukan temen lo itu,” ucap Ify sambil menahan tawanya.
       “Jadi itu namanya Yo juga?” tanya Alvin yang tiba-tiba jadi bloon.
       “Bukanlah kakak,” Shilla yang menjawab. Dia sudah tidak tahan lagi untuk tidak tertawa. Ternyata orang-orang sok berkuasa ini dan sering ngatain mereka miskin, bisa mendadak jadi bodoh gini. Huahhaaa…
       “Maksud lo bilang Yo-Yo itu apa?” kalin ini Rio yang bertanya. Ia makin tidak mengerti dengan apa yang dibilang si Pinky ini.
       Ify melengos hati-hati. Lalu ia melangkah menuju tempat Rio berdiri. Tepat di depan wajah Rio ia berdiri dengan jarak satu meter. Ify mengangkat wajahnya dan sejajar dengan wajah Rio. “Kak Rio yang Ketos. Maksud gue itu, Yo….Yo…. Cuma panggilan singkat yang diambil dari kata ayo. Bukan berarti nyebut nama lo. Mana sudi gue manggilin elo dan bilang semangat untuk lo. Nggak akan pernah. Dengar ya!!! Mau lo lomba basket se-internasional se-dunia alam akhirat gue nggak akan pernah kasih semangat buat elo. Nggak akan, orak sudi!!!!” Mata Ify melotot ke Rio dan wajahnya kesal. Ify meninggalkan Rio dan meraih tasnya. “Gue masih nggak terima sama kata-kata lo saat di Gramedia. Gue sakit hati,” ucap Ify selintas sebelum ia pergi meninggalkan Rio dan menuju pinggir lapangan tempat Agni latihan. Shilla dan Via saling pandang lalu melakukan hal yang sama.
       “Yo….Yo…Yo….semangat!!! Yoooooooo……Seeemangaaaattt, Aaaagggnniiiiiii!!!!” seru Ify. Wajahnya kembali menjadi ceria.
       Rio terpaku di tempat. Ia jadi tidak mengerti dengan apa yang dipikirkan adik kelasnya. Ia sama sekali tidak mengerti.
       “Ada apa sih antara lo sama orang miskin itu?” tanya Gabriel.
       “Gue nggak ngerti. Latihan, Bro,” jawab Rio dan kembali mendrible bola ke lapangan basket.

****************

        “Tadi ada apaan sih?” tanya Agni setelah bergabung dengan ketiga sahabatnya. Ia meraih botol air minum yang berada di dalam tasnya.
       “Biasa deh, Ag. Kakak kelas yang sok dan merasa kegeeran. Mereka kira Ify manggil-manggil Kak Rio,” jawab Shilla.
       “Pulang, Yuk. Udah sore, mana kita belum buat tugas kimia,” usul Via yang sudah berdiri dari posisi duduknya.
       “Oke, yuk. Naik angkot aja gimana?” ujar Shilla.
       “Gue setuju, lagian capek banget hari ini dan kita kan punya uang hasil jualan kue kita selama beberapa hari ini,” ucap Agni.
       “Oh iya, tapi hari ini jadwal gue kan yang ngambil kue di tokonya Pak Fadli,” Via, Agni dan Shilla mengangguk kompak. “Berhubung toko kuenya cukup deket dengan sekolah kita, gue jalan kaki aja ya. Pulang ke rumah baru gue naik angkot,” lanjut Ify.
       Via, Agni, dan Shilla saling pandang. “Nggak usah, kita temenin lo ngambil kue,” ujar Via.
       “Jangan deh, Vi. Sekarang aja udah jam lima lewat. Lo bertiga pulang ke rumah dan masak untuk makan malem,” tolak Ify halus.
       “Kan bisa Agni sama Shilla yang masak,” Via tetap keukeuh aja.
       “Via, lo kan harus buat adonan kue buat besok gimana sih. Agni dan Shilla yang masak. Tenang aja, gue pasti pulang dalam keadaan utuh,” ujar Ify lalu memberi tatapan penuh harapan bantuan kepada Shilla dan Agni.
       “Ify pasti pulang kok, Vi. Tenang aja. Yuk kita pulang. Lebih cepat, lebih baik,” ujar Agni dan menarik Via agar berjalan menuju gerbang sekolah.
       Saat tiba digerbang sekolah, mereka berempat berdiri di trotoar. Kemudian, angkot berwarna lewat di depan mereka. “Pak….Pak….” panggil Agni.
       “Kita duluan ya, Fy,” pamit Shilla lalu naik ke angkot.
       “Beliin dauble polio nanti, Fy untuk tugas kita,” pesan Agni sebelum ia naik angkot sementara Via hanya menatap Ify dan kemudian naik ke angkot juga.
       Setelah angkot itu pergi, Ify mulai berjalan kaki. Ia berjalan dengan langkah yang bisa dibilang pelan. Dalam kepalanya masih dipenuhi dengan kekesalan akan sosok Rio. Kejadian, di toko buku Gramedia itu masih terbayang jelas dalam benaknya. Ia masih sakit hati, saat dikatain akan mengutil di sana. Ia memang miskin dan Rio harusnya tidak sampai segitunya mengata-ngatai dirinya. Mencuri adalah hal sensitive terhadap semua orang. Sebagai manusia, tidak baik memfitnah seseorang akan hal mencuri. Semiskin-miskin orang, belum tentu ia akan mencuri. Apalagi dirinya, Ify masih bisa menabung untuk membeli apa yang ia inginkan dan tidak akan pernah ia akan mencuri.
       “Huuuuuffhhhhtttt….” Ify menghela nafas sejenak. Ia melirik matahari sore yang semakin berwara orange. Dia tidak perlu memikirkan hal-hal yang menyakitkan untuk dirinya. Ia bukan orang bodoh, yang rela memikirkan hal-hal yang membuat dirinya menjadi sakit. Tidak akan. Banyak hal lain yang bisa ia lakukan, selain hal tidak berguna itu. Jadi, pilihan terakhir Ify adalah berjalan secepat mungkin agar bisa sampai di tokonya Om Fadli.
***********
       Ify melangkah perlahan-lahan menuju restoran sekaligus toko kue milik Om Fadli. Seseorang yang dulu telah menolong Ify dan ketiga sahabatnya. Pertemuan mereka di tragedy Kereta Api Maut. Itu dulu, dulu sekali. Om Fadli inilah yang membiayai hidup Ify dan ketiga sahabatnya pada awal-awal mereka tinggal di Jakarta ini, bahkan Om Fadli ini juga yang rela menjadi wali dari Ify, Via, Agni, dan Shilla. Om Fadli ini lah yang mengambil raport mereka di sekolah, menemani mereka mengambil reward dari semua prestasi yang berhasil mereka raih. Om Fadli sangat berjasa dalam hidup Ify dan ketiga sahabatnya dan mereka telah berjanji untuk tidak akan pernah mengecewakan Om Fadli.
       “Sore, Om,” sapa Ify saat tiba di pintu masuk restoran ini. Ia mengucapkan sapaan sore itu karena Om Fadli tengah duduk di meja yang hanya berjarak satu setengah meter dari pintu masuk. Lain itu juga, Om Fadli juga melihat ke arahnya.
       “Sore juga, Fy. Sendiri aja?” tanya Om Fadli ramah dan tangannya melambai-lambai untuk mengajak Ify menuju mejanya yang ia tempati bersama seseorang.
       “Iya, Om,” jawab Ify. “Sore, Om,” sapa Ify sopan kepada seorang laki-laki yang kira-kira berusia empat puluh tahunan, seumuran dengan Om Fadli.
       “Om bisa minta tolong nggak, Fy?” tanya Om Fadli.
       Alis Ify bertaut. Ia bingung, memang Om Fadli mau minta tolong apa? Meminta ia untuk bantu-bantu di restoran ini? Itu sih tidak jadi masalah. “Minta tolong apa, Om?” tanya Ify.
       “Sebenarnya saya yang minta tolong. Bisa Nak Ify bermain piano sambil menyanyi? Dari tadi saya penasaran dengan mendengar cerita dari Fadli. Katanya, diantara anak asuhnya, hanya kamu yang bisa bermain piano sambil bernyanyi,” jawab temannya Om Fadli. “Saya perkenalkan diri dulu, panggil saja Om Zeth,” ucap orang itu dan tersenyum ramah.
       “Saya Ify, Om,” balas Ify dan tersenyum pula. Ketika melihat Om Zeth ini, Ify merasa tidak asing dengan wajahnya. Ia seperti pernah melihat wajah ini. “Kalau begitu, Ify bakalan nyanyi,” ucap Ify. Om Fadli bersama Ify-pun menuju panggung yang disediakan memang untuk bernyanyi. Setelah bisik-bisik dengan bagian hiburan, Om Fadli kembali ke bangkunya dan Ify mulai bernyanyi.
       Intro awal dari lagu Yang Terbaik punyanya Ada Band mulai terdengar. Aura wajah Ify mulai berubah. Ia seperti sangat menikmati akan lagu ini.

Teringat masa kecilku kau peluk dan kau manja
Indahnya saat itu buatku melambung
Disisimu terngiang hangat napas segar harum tubuhmu
Kau tuturkan segala mimpi-mimpi serta harapanmu

Menyanyikan bagian awal lagu ini, membuat Ify langsung terdampar dalam kisah hidup masa lalunya. Ia jadi teringat, saat ayahnya sedang menggendong dirinya dan berkata, ‘nanti kalau sudah besar, ayah ingin melihat Neng menjadi seorang yang berguna untuk bangsa ini dan diri Neng. Berguna untuk orang lain dan disukai banyak orang. Ayah ingin, neng selalu dikenang orang dalam hal yang baik-baik. Neng bisa menyalurkan apa yang Neng bisa kepada orang lain’. Air mata menitik di sudut mata Ify. Ia masih ingat jelas harapan ayahnya.

Kau inginku menjadi yang terbaik bagimu
Patuhi perintahmu jauhkan godaan
Yang mungkin ku lakukan dalam waktu ku beranjak dewasa
Jangan sampai membuatku terbelenggu jatuh dan terinjak

Ify juga teringat, saat ayahnya bilang ‘jangan pernah Neng mencoba berbohong karena sekali Neng berbohong, maka Neng akan berbohong lagi. Jadilah anak yang jujur. Ayah harap Neng bisa menjadi orang yang jujur’. Kata-kata itu Ify terima dari ayahnya, saat ia kelas empat SD, masa di saat anak-anak mulai bisa bermain kata-kata dan sedikit berani dalam segala hal, termasuk berbohong.

Bukan hanya ayahnya saja yang member nasihat kepada dirinya. Om Fadli juga. Om Fadli yang telah memberikan nasihat kepada ia dan ketiga sahabatnya. Om Fadli adalah ayah mereka saat ini. ‘Nanti kalian harus menjadi anak yang baik-baik, jangan sampai terlena akan keglamoran kota ini. Jangan sungkan-sungkan untuk bertanya. Tetaplah berjalan di jalan awal yang memang telah dibuat untuk kalian’. Itu kata-kata yang disampaikan oleh Om Fadli.

Tuhan tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuknya
Ku terus berjanji tak kan khianati pintanya
Ayah dengarlah betapa sesungguhnya ku mencintaimu
Kan ku buktikan ku mampu penuhi maumu

Saat ini, Ify jadi rindu dengan ayahnya yang telah berada di Surga. Ia rindu beliau. Rindu semua akan kasih sayang yang ayahnya telah berikan. Ify rindu sekali. Lantas, Ify melihat ke arah Om Fadli, ayahnya sekarang. Tak bisa menahan lagi, air mata Ify tumpah. Ia menyanyi sambil bernyanyi. “Aku merindukan ayah. Tolong Tuhan bilang sama Ayah, kalau Ify kangen,” batin Ify.

Andaikan detik itu kan bergulir kembali
Ku rindukan suasana basuh jiwaku
Membahagiakan aku yang haus akan kasih dan sayangmu
Tuk wujudkan segala sesuatu yang pernah terlewati

Tuhan tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuknya
Ku terus berjanji tak kan khianati pintanya
Ayah dengarlah betapa sesungguhnya ku mencintaimu
Kan ku buktikan ku mampu penuhi maumu

“Kan ku buktikan ku mampu penuhi ma….uu….muuu….,” nyanyi Ify sebelum melodi lagu itu selesai. Tepuk tangan membahan dalam restoran itu. Semua penghuni terpersona dengan penampilan Ify. Setelah selesai bernyanyi, Ify kembali ke belakang.

**************
      
       “Dia benar-benar luar biasa, Dli. Sama persis dengan yang kamu bilang,” ucap Zeth sambil menyeka air matanya.
       “Seperti yang kamu lihat. Dia benar-benar seorang gadis yang kuat. Sejak SMP hanya tinggal bersama ketiga sahabatnya.”
       “Kamu pasti bahagia punya anak seperti dia. Dia tadi melihatmu, Dli. Dia sudah memandangmu sebagai ayahnya. Berbahagialah,” ucap Zeth dan meminum kopinya.
       Fadli hanya tersenyum saja. Dia senang mendengar apa yang diucapkan oleh sahabatnya itu. Dia juga melihat, saat menyanyikan lagu tadi, Ify melihat ke arahnya dan mencoba untuk tersenyum. Ia menyukai itu. Dia senang, akhirnya rasa memiliki anak kembali pada dirinya.
       “Ify itu mengingatkanku pada putraku. Kamu tahu, Dli. Rio semakin keterlaluan saja. Semua yang ia punya seperti membutakan putraku itu,” cerita Zeth.
       Fadli mendengarkan dengan saksama apa saja yang diceritakan sahabat lamanya itu. Dia jadi mengerti kalau Zeth selama ini sedikit ada masalah dengan putranya itu. Setahu Fadli, selama ini Rio adalah anak yang baik, bahkan bisa dibilang sempurna. Tampan, pintar seperti Zeth sendiri, dan sopan terhadap orang lain. Tapi, ternyata, Rio hanya sopan dengan sesame orang kaya. Bahkan, Zeth mengatakan kalau Rio pernah mencaci orang miskin tepat di depan mata kepala Zeth sendiri.
               “Sudahlah Zeth. Bagaimanapun dia putramu. Dia hanya sedikit tergoda dengan dunia ini,” nasihat Fadli.
               “Rio sudah kelas dua SMA dan dia semakin dewasa. Bagaimana aku bisa mengatakan kalau aku berhasil jadi ayah sementara Rio seperti itu.”
               “Rio pasti akan berubah. Percayalah. Dia hanya sedikit tergoda.”
               “Aku percaya saja kalau dia benar-benar akan berubah,” ucap Zeth. “Itu Ify. Sepertinya dia mau menghampirimu.”
               Apa yang dibilang Zeth benar. Ify berjalan menuju meja yang dihuni oleh mereka berdua. “Udah mau pulang, Fy?” tanya Om Fadli.
               Ify mengangguk. “Iya, Om.”
               “Belajar yang rajin, jangan kerja mulu. Istirahat,” pesan Om Fadli.
               “Oke siippoo, Om. Nanti Ify bakal tunjukin kalau Ify bisa menembus tiga besar. Ify janji sama, Om,” ujar Ify semangat.
               Om Fadli dan Om Zeth terkekeh pelan. “Ify kelas berapa?”
               “Sepuluh, Om.”
               “Kenal sama anak Om dong.”
               “Siapa, Om? Siapa, Om?” tanya Ify antusias. Siapa tahu anak Om Zeth ini bisa menjadi temannya bahkan sahabatnya. Dapat teman baru gitu, siapa yang nggak senang????!!!
               “Rio kelas sebelas,” jawab Om Zeth singkat.
               Mata Ify melebar. “Rio? Mario Stevano Aditya Haling?”
               “Iya, Fy.”
               “Ya ampun, Om. Jangan cerita-cerita sama Ketos gila itu……eh….ooopppssss…maksud Ify sama Kak Rio, kalau Om kenal Ify. Jangan ya, Om! Please, Om. Please banget. Ify bakal lakuin apa aja deh buat Om, tapi jangan bilang kalau Om kenal Ify,” ujar Ify sedikit memohon. Gila!!! Dunia berasa sebesar daun kelor aja, berarti kecil dong. Kenapa selalu ada saja hal yang menghubungkan dia dengan Ketos mesum itu. Kenapa? Apakah ini kerjaan takdir???
               “Emang kenapa?”
               Ify manyun dan mengerucutkan bibirnya. “Pokoknya jangan, Om. Ini masalah Ify sama Kak Rio. Jangan ya, Om? Please banget. Om kan baik, ya ya ya?”
               Om Zeth terkekeh pelan. Sebenarnya ada apa antara putranya dengan Ify. “Baiklah, Om setuju. Tapi, Om titip Rio sama Ify ya. Ify pasti lebih tahu tentang Rio di sekolah daripada Om. Tolong liatin anak Om itu. Kalau Ify ada waktu, kasih tahu Om,” ucap Om Zeth sambil mengambil kartu nama yang berada di dalam dompetnya. “Ini kartu nama, Om. Ify bisa melapor apa saja tentang anak Om. Om sangat berharap sama Ify,” ujar Om Zeth.
               Ify sedikit menggerutu. Kalau ini mah sama aja. Keluar lubang kucing, masuk lubang harimau. Uuughhh…… “Oke deh, Om,” ucap Ify dan mengambil kartu nama. “Ify pulang dulu. Permisi, Ayah dan Om Zeth,” ucap Ify dan meninggalkan restoran.
       “Sudah ku bilang, Dli. Dia benar-benar manganggapmu ayah,” ucap Zeth dan membuat Fadli tertawa haru.




BERSAMBUNG