Meet -1st- 01 Juni 2015




"Meet"


Ia menatap langit itu sekali lagi. Terik matahari yang begitu menyengat di siang hari tidak ia perdulikan. Langit. Jelas untuk menatap langit. Birunya langit begitu menghipnotis kedua bola mata hitam bening yang dimilikinya.

            Senyum... seulas senyum terukir di wajahnya. Ia tersenyum. Gadis itu tersenyum tatkala kedua bola matanya mengunci langit yang terhampar luas di atas sana. Ah.... gadis itu masih tersenyum. Apa yang spesial dari langit? Bukankah duduk di bawah pohon rindang lebih menarik??? Apalagi di siang hari yang sangat panas ini.

            “Selalu indah. Langit biru memang sangat indah untuk dilihat,” gumam gadis itu. Rambut panjang lebih sebahunya yang dikuncir ekor kuda tampak berkibar di ujung. Walaupun matahari sangat bersemangat menyinari bumi, anginpun tetap berhembus. “Ah... sudah jam setengah tiga,” tambah gadis itu sembari melirik pergelangan tangannya di mana sebuah jam tangan berwarna hitam melingkar.

            Sekali lagi gadis itu menatap langit dan tersenyum dan kemudian memperbaiki posisi tas gitarnya lalu perlahan melanjutkan perjalannya entah ke mana.

******

Gadis itu—ya gadis yang menatap langit di pinggir jalan tadi—memberhentikan langkahnya ketika ia tiba di sebuah taman. Taman itu berbentuk persegi panjang dengan di kiri-kanan gerbang masuknya terdapat bunga bugenfil besar yang bunganya berwarna-warni. Ini pasti hasil perkawinan silang atau cangkok. Gadis itu berhenti dua langkah dari pintu masuk dan menatap sekitar.

            “Selalu ramai,” gumam gadis itu. Setiap setengah tiga sore ia selalu berada di taman ini. Hal-hal yang ia lakukan sangat bervariasi. Dari sekedar bengong atau melamun saja, membuat tugas, menyanyi, memperhatikan sekitar, dan sebagainya. Namun, yang paling sering gadis itu lakukan adalah bernyanyi sambil bermain gitar. Terkadang tak heran kalau ia sering di kelilingi oleh anak-anak kecil.

            “Sebaiknya aku duduk di bangku dekat kolam,” ucap gadis itu sembari berjalan menuju kolam yang berada di sebelah kanan taman.
            Tidak membutuhkan waktu lama gadis itu telah duduk di bangku di dekat kolam. Dikeluarkannya gitar dari tasnya dan di letakkan di sampingnya. Haruskah ia bermain gitar? Ntahlah... gadis itu tampak tidak bersemangat.

Raindrops on roses and whiskers on kittens
Beautiful rainbows and warm woolen mittens
Brown paper packages tied up with strings
These are a few of my favorite things

Cream colored ponies and crisp apple strudels
Door bells and sleigh bells and schnitzel with noodles
Wild geese that fly with the moon on their wings
These are a few of my favorite things

            “Suara siapa ini?” Gadis tadi bertanya-tanya ketika ia mendengar seseorang bernyanyi. Suara yang begitu halus dan sangat enak di dengar. Gadis tadi langsung memetik gitarnya dan ikut bernyanyi.

Girls in a white dresses with blue satin sashes
Snowflakes that stay on my nise and eyelashes
Silver white winters that melt into springs
These are a few of my favorite things...

            “Siapa yang bernyanyi?” tanya gadis itu lagi dan kedua bola matanya bergerak dengan liar menyapu sekeliling taman dan gotcha... gadis itu berhasil menemukan si pemilik suara. Tergesa-gesa ia menghampiri si pemilik suara yang ternyata seseorang yang sedang duduk di dekat lampu taman. Lagi-lagi gadis itu tersenyum. Ntahlah... hanya mendengar suara seseorang saja membuat gadis itu langsung bersemangat dan bernyanyi. Membangkitkan mood yang hilang.

            Meskipun tak sabar ingin berkenalan dengan si pemilik suara, namun gadis itu tidak sampai hati mengangu si pemilik suara bernyanyi. Ia menunggu dalam diam dan memperhatikan si pemilik suara bernyanyi. Hingga pada lirik terkahir gadis itu bersiap-siap untuk berkenalan dengan si pemilik suara.

I simply remember my favorite things
And then I don’t feel so bad....

             “Hai...,” sapa gadis itu tepat setelah lirik akhir selesai dinyanyikan dan si pemilik suara membuka matanya.

            “Ha... hai...,” balas pemilik suara. “Ada apa?”

            Gadis tadi tersenyum sembari menggeleng. “Tidak apa-apa... aku sangat suka suaramu. Tadi aku mengikutimu bernyanyi ngomong-ngomong,” jawab gadis itu. “Aku Alyssa Raifyna Amaryliss. Kau bisa panggil aku Ify. Aku harap kau mau berteman denganku.”

            Si pemilik suara menatap Ify—gadis tadi—dengan kedua bola mata yang membesar. Oh bukan memandang Ify sebagai orang aneh. Hanya saja kaget mendapatkan tawaran berteman dari gadis berdagu tirus itu.

            “Kau sungguh ingin berteman denganku?” tanya si pemilik suara dengan nada sedikit ragu.

            Ify mengangkat sebelah alisnya. “Apa berteman denganmu adalah sesuatu yang salah?” Ify bertanya balik.

            Si pemilik suara hanya menggerakan kedua bahunya ke atas. “Aku tidak tahu. Perlu kau tahu, di sekolah aku terkenal penyendiri. Apa itu tidak mengapa?”

            Bukannya terkejut atau memperlihatkan ekspresi kaget, Ify malah hampir tertawa. “Kau tahu... aku tidak tahu ini kebetulan atau bukan. Aku juga penyendiri. Aku lebih suka bernyanyi di taman belakang sekolah saat istirahat, kau tahu. Bukankah baik untuk kita berteman?”

            “Sungguh?” Si pemilik suara memastikan. Ia juga tidak tahu ini kebetulan atau bukan. Ify mengangguk penuh semangat. “Aku tidak tahu ini kebetulan atau bukan, tetapi aku pernah membaca kalau di dunia ini tidak ada kebetulan. Pertemuan singkatpun sudah direncanakan oleh Allah.”

            “Seperti kita? Kita bertemu untuk berteman atau mungkin bersahabat bukan? Bukankah kita memiliki hobi yang sama?”

            Si pemilik suara mengangguk dan wajahnya berbinar-binar senang. “Aku harap begitu. Ngomong-ngomong namaku Navia Daisy Galihena. Dan kau bisa memanggilku Via saja,” ucap si pemilik suara, Via. Gadis berpipi chubby itu mengulurkan tangannya.

            Melihat niat untuk berkenalannya disambut baik oleh Via, Ify tidak segan-segan menyambut uluran tangan Via. Semuanya terasa lebih baik. Dengan begini ia akan memiliki teman untuk bernyanyi.

            “Selamat bertemu, Vi. Kau tahu, pertemuan tak sengaja kita ditakdirkan untuk berteman dan bisa saja untuk menjadi sahabat,” ucap Ify dan mengambil posisi duduk di sebelah Via.

            Desauan angin sore berhembus seolah menyatakan kesetujuan atas perteman Via dan Ify yang baru saja terjalin. Bahkan, awanpun turut mendukung dengan tiadanya terik matahari menjelang sore hari. Sungguh suasana yang sangat menyejukkan.

            “Kau tahu, banyak sekali tadir yang kita temui di setiap harinya,” ucap Via memulai percakapan singkat mereka.

            “Misalnya seperti apa?”

            “Setiap hari kita bertemu orang-orang yang baru. Seperti aku yang ditakdirkan berteman denganmu. Atau seperti aku terhadap Mbak itu...” Via menunjuk seorang  wanita yang berusia sekitar 25 tahunan yang sedang berbincang-bincang melalui handphone “...kau tahu, aku dan Mbak itu hanya ditakdirkan sebagai teman seperjalan menuju taman ini.”

            Ify tampak tertarik dengan topik pembicaraan Via. “Kalian barengan jalan kaki ke sini?” tanya Ify antusias.

            Via mengangguk sebagai jawabannya. “Aku dan kau dengan orang-orang ini ditakdirkan hanya bertemu untuk saling melihat sekilas tanpa ada takdir yang menyatakan kalau kita akan berkenalan atau berteman dengan orang-orang di sini.”

            “Oh... kalau begitu seperti aku dengan laki-laki tadi,” ucap Ify pelan.

            “Laki-laki tadi? Kau bertemu dengan seorang laki-laki saat berjalan ke sini?” tanya Via semangat.

            Ify mengangguk pelan. “Aku hampir dua kali menabraknya. Sungguh memalukan. Apakah takdirku hanya untuk bertabarkan dengannya?”

            Via terkekeh kecil. Takdir untuk bertabrakan? Lucu!!! “Aku rasa tidak. Mungkin ada rencana lain untuk insiden tabarakan dua kali yang kau alami, Fy,” ujar Via.

            “Tidak bertemu juga tidak apa-apa. Menjalani takdir tabrakan sebanyak dua kali di satu hari pada satu orang yang sama bukanlah takdir yang ingin aku ulangi. Tak ada muka untuk bertemu dengannya,” gerutu Ify.

            Via merasa Ify sudah sedikit badmood apabila membahas tentang insiden tabrakan. Lebih baik tinggalkan topik itu. “Apa kau pernah menyadari takdir lainnya?” tanya Via iseng. “Seperti bertemu dengan artis idolamu?”

            “Artis idola?” ulang Ify.

            “Iya.”

            “Sayangnya belum pernah. Kau tahu, apakah ada takdir bila aku bertemu dengan Lee Jong Suk Oppa atau Choi Minho Oppa atau bisa juga Lee Jong Hyun Oppa atau Kim Soo Hyun Oppa. Kau tahu aku sangat menyukai mereka,” cerita Ify antusias. Bercerita tentang artis idola tentu saja Ify langsung teringat dengan artis Korea favoritnya, terutama Lee Jong Suk.

            “Kau mengidolakan Jong Suk Oppa?” tanya Via takkalah antusias.

            Sungguh. Ify benar-benar mengangguk penuh semangat. “Ah... jangan membicarakan Jong Suk Oppa. Aku jadi ingin melihatnya. Dia sangat tampan, bukan?”

            “Tentu saja. Apalagi perannya sebagai Park Hoon di Docter Stranger. Aku juga suka Jong Suk Oppa ngomong-ngomong!!!”

            “Ayo kita berhigh five,” ajak Ify dan mereka pun bertos ria. Bertemu seseorang yang memiliki hobi yang sama dan idola yang sama bukankah sebuah anugerah?? “Kau tahu, aku sangat suka semua peran Jong Suk Oppa.”

            Via mengangguk-ngangguk sembari tersenyum. Mungkin ia sedang mengingat kembali peran yang dimainkan Lee Jong Suk. “Kau sudah mendengar Jong Suk Oppa bernyanyi?”

            “Tentu saja sudah. Tidak rekaman saja suaranya enak didengar, apalagi rekaman ya!! Aku selalu menunggu Jong Suk Oppa bernyanyi.”

            “Aku pun begitu. Drama barunya saja belum ada tanda-tanda. Semoga saja nanti ada drama barunya dan Jong Suk Oppa mengisi soundtracknya,” ujar Via dan tiba-tiba kedua bola mata gadis itu menyipit. “Eh... kenapa laki-laki itu melihat ke sini? Kau tahu dia sudah dua kali melihat ke sini, Fy.”

            “Mana?”

            “Itu...” Via menunjuk ke arah tempat duduk di seberang mereka yang sedikit terhalang dengan tiang lampu taman “....kau melihatnya?”

            Ify melihat ke arah yang ditunjuk oleh Via. “Astaga...” gumam Ify sembari menempelkan telapak tangan kanannya di depan bibirnya. Bukankah itu laki-laki yang ia tabrak tadi?

            “Astaga kenapa, Fy?” tanya Via bingung. “Eh... laki-laki itu tersenyum ke arah kita dan dia berjalan ke sini. Kau mengenalnya, Fy?” tanya Via beruntun.

            Ify mengerjap-ngerjapkan kedua matanya seolah ingin memastikan apakah laki-laki itu benar-benar berjalan ke arah mereka atau tidak. Tetapi kenyataannya laki-laki itu memang berjalan ke arah mereka. Untuk memastikan lagi Ify melihat ke belakang mereka dan tidak ada orang lain. Sepertinya laki-laki itu benar-benar akan menghampiri dirinya—atau—bukankah bisa saja laki-laki itu menghampiri Via? Bukankah ada kemungkinan takdir kalau laki-laki itu tertarik mendengar suara Via sama seperti dirinya.

            “Fy... Ify... kau mengenalnya?” Via bertanya ulang.

            “Tidak. Sungguh aku tidak mengenalnya,” jawab Ify. Namun, mata Via seolah mengisyaratkan meminta jawaban. “Sungguh, Vi, aku benar-benar tidak mengenal di...”

            “Kau sungguh tidak mengenalku, Alyssa Raifyna Amaryliss?”

            Suara ini adalah suara laki-laki. Spontan Via dan Ify menatap ke depan dan menemukan laki-laki yang melihat ke arah mereka telah berdiri dengan tegap di hadapan mereka.

            “Kau sungguh tidak mengenalku, Fy?” ulang laki-laki tadi.

            Via menyenggol siku tangan kanan Ify dan spontan Ify menggeleng. “Aku sungguh tidak tahu kau siapa.”

            Bukannya marah, tetapi laki-laki itu tertawa kecil. “Tidak apa-apa kau belum mengenalku. Dan alasan kenapa aku tahu namamu adalah ketika kau bernyanyi di tepi kolam itu dua minggu yang lalu. Kau ingat?”

            Dua minggu yang lalu? Menyanyi di tepi kolam? Bukankah itu saat ia di kelilingi oleh adik-adik kecil dan... Ify tersentak. “Kau orang yang bertanya siapa namaku dua minggu yang lalu?”

            Laki-laki itu mengangguk dan tersenyum senang. “Dua minggu yang lalu adalah takdir di mana aku menganggumimu dan hanya tahu namamu. Hari ini takdir kau menabrakku dan membuatku memiliki kesempatan untuk mengenalmu.”

            “Takdir. Apa dia...” Ify bertanya tanpa suara kepada Via.

            “Ngomong-ngomong, bukankah pembicaraan kalian mengenai takdir dan aku hanya mengaitkannya dengan kejadian yang aku alami. Itu saja,” tambah laki-laki itu. “Boleh berkenalan?”

            Ify bertanya kepada Via yang raut wajahnya seolah akan meledek Ify. Harusnya Ify tidak harus bertanya kepada Via bila ia sadar kalau Via akan langsung mengatakan iya. “Iya. Aku Ify. Dan kau?”

            “Ini bukan perkenalan yang aku harapkan. Tetapi lebih baik begini daripada tidak sama sekali. Aku Rio, Bintang Orion Raditya Grahatama. Kau bisa memanggilku apapun asalkan masih ada di nama panjangku,” ucap Rio.

            Ify mengangguk-ngangguk. Dia tidak ambil pusing untuk urusan seperti ini.

            “Dan kau teman barunya Ify....?

            “Via,” ucap Via pendek.

            Rio mengangguk-ngangguk. “Ngomong-ngomong ini pitch gitarmu.” Rio mengulurkan sebuah benda kecil kepada Ify.

            “Astaga... di mana kau menemukannya? Aku sungguh tidak menyadari bahwa ini terjatuh. Terima kasih banyak karena kau telah menemukannya,” ucap Ify sembari mengambil pitch gitarnya dan Rio mengangguk sebagai jawaban sama-samanya.

            “Jadi... apakah aku boleh bergabung dengan kalian? Bukankah kalian akan bernyanyi?” tanya Rio.

            Ify dan Via saling melempar tatapan untuk siapa yang memberi jawaban.

            “Apakah tidak bisa? Kau tahu... aku cukup bisa bernyanyi,” tambah Rio. Namun, kedua gadis itu masih saling melempar tatapan.

            Diam....
            Hening...
            Sunyi...

            “Bagaimana bila aku ikut bergabung? Ngomong-ngomong aku Alviano Davindra. Kalian bisa memanggilku Alvin,” ucap seorang laki-laki bermata sedikit sipit dan berperawakan tinggi sama dengan Rio secara tiba-tiba.

            “Hah... kau... kau bukankah yang duduk di bangku itu?” tanya Ify dan menunjuk bangku yang berada di belakang tempat Via duduk.
            Alvin mengangguk. “Benar. Aku dari tadi mendengar suara Via bernyanyi dan kemudian kau datang...” Alvin menunjuk Ify “...dan kemudian dia datang,” jawab Alvin dan menunjuk Rio.

            “Jadi... bagaimana bila aku dan Alvin bergabung bersama kalian?” tanya Rio lagi. Tidak perlu berkenalan secara resmi Rio sudah bisa akrab dengan Alvin. Mungkinkah ini cara kaum laki-laki berteman?

            “Sebentar... hari ini sungguh takdir yang aneh. Aku bertemu dengan Ify dan Ify yang bertemu kembali dengan Rio. Lalu, kami bertemu denganmu?” ucap Via penuh kebingungan.

            Alvin tertawa diikuti oleh suara tawa Rio. “Tak perlu kau pikirkan. Bukankah setiap hari kau bertemu dengan ratusan orang dan mereka bisa saja menjadi takdir untuk berteman denganmu, bersahabat denganmu atau sekilas menyapamu atau hanya teman seperjalanan tanpa tahu nama. Biarkan pertemuan kita hari ini menjadi misteri apa arti sesungguhnya di balik ini semua,” ujar Alvin diplomatis.

            “Benar, Vi. Alvin benar. Biarkan menjadi misteri dan kita tidak perlu mencari-cari makna sebenarnya. Biarkan ia mengalir apa adanya. Seperti aku yang mulai berteman denganmu,” ucap Ify.

            “Bisa juga seperti aku yang bertemu kembali dengan Ify,” tambah Rio sambil tersenyum kepada Ify.

            Via mengangguk-ngangguk. Sepertinya memang benar. Pertemuan-pertemuan yang kita alami mimiliki makna dan misteri tersendiri. Yang jelasnya, setiap hari kita memiliki takdir untuk bertemu dengan orang lain. Apakah takdir itu hanya sebagai teman seperjalanan satu bus? Apakah sebagai teman makan bersama secara tak sengaja? Apakah takdir antara penjual dan pembeli? Apakah takdir hanya sebagai teman sekelas? Apakah takdir sebagai orang yang terjebak dalam pesona? Apakah takdir sebagai orang tak dikenal yang saling lempar senyuman? Dan masih banyak takdir lainnya.

            “Jadi bagaimana? Apakah kami boleh bergabung dengan kalian untuk bernyanyi?” tanya Alvin.

            “Sepertinya kita ditakdirkan bertemu untuk bernyanyi bersama dengan mereka, Fy. Jadi sebaiknya boleh saja. Bagaimana menurutmu?” Via menoleh ke arah Ify.

            Ify mengangguk. “Tetapi aku hanya membawa gitar. Apakah kalian tidak membawa alat musik sama sekali?” tanya Ify kepada Rio dan Alvin.

            Kedua laki-laki itu tampak menggeleng. “Tidak apa-apa. Aku bisa memainkan gitar sambil bernyanyi dan kalian bertiga bisa bernyanyi saja. Bagaimana?” usul Rio.

            Ify dan Via kompak mengangguk, sedangkan Alvin tampak menimbang-nimbang. “Apakah tidak ada alat musik yang lainnya?” tanya Alvin. “Sungguh aneh rasanya bernyanyi dengan aku sendiri laki-laki tanpa alat musik,” tambahnya.

            Rio mengangguk. Ia mengerti maksud Alvin. Dia sendiri juga merasa aneh kalau bernyanyi tanpa alat musik dan kenapa ia bisa meninggalkan gitarnya di rumah?? Aha... “Tunggu sebentar,” ucap Rio dan laki-laki itu berjalan menuju seorang anak laki-laki berusia sebelas tahun yang sedang asyik bermain air di kolam dengan gitar di sebelahnya. Tak lama kemudian, Rio kembali dengan sebuah gitar di tangannya.

            “Kau bisa memainkan ini, Vin,” ujar Rio dan menyerahkan gitar hasil pinjamannya tadi.

            “Kita akan bernyanyi lagu apa?” Ify bertanya.

            “Bagaimana dengan lagu Almost ist never enough?” usul Via.

            “Tidak-tidak. Bagaimana dengan lagu The Call-nya Regina Spektor?” usul Ify.

            Kali ini Via mengangguk sementara Alvin dan Rio hanya mengangguk setuju. “Ngomong-ngomong, kalian tahu kunci gitarnya?” tanya Ify.

            “Tentu saja!!!” jawab Rio dan Alvin kompak.


"The End"