Balada
Terawih
Author :
Shally Sagita Davitri
Cast :
Alyssa Raifyna Azzahra a.k.a
Ify
Muhammad Rio Aditya Al Fatih a.k.a Rio
Muhammad
Reihan Harris Al Fatih a.k.a Rei
Genre :
Family
Page :
10 pages
Malam di bulan Ramadhan merupakan hal
yang menakjubkan. Ketakjuban itu bukan terletak pada suara petasan yang
menggelegar bak bom meledak, tetapi ramainya. Ramai karena orang-orang berlomba
menuju masjid untuk melaksanakan ibadah sholat terawih berjamaah. Tak heran
bila melihat satu keluarga yang berjalan bersama menuju masjid. Terlihat manis.
Para perempuan terlihat anggun dengan mukenah yang menutupi aurat secara
sempurna atau para laki-laki yang mengenakan sarung atau celana panjang kain
dengan atasan baju kokoh dan dilengkapi dengan peci. Perjalanan mereka menuju
masjid disertai dengan obrolan ringan dan santai. Sungguh seperti keluarga
sakinah mawadah waromah yang merupakan keluarga yang diidamkan banyak orang.
Ah... itu juga dapat terlihat dari keluarga kecil Al Fatih yang sedang bersiap-siap
menuju masjid.
“Nda...
nda.... Lrei ikut Bunda ya,” pinta bocah laki-laki berbadan gempal dan berpipi chubby kepada seorang wanita yang
usianya memasuki kepala tiga. Wanita tampak tersenyum menatap bocah laki-laki
yang tak lain adalah putranya.
“Memang
Bunda mau ke mana, Rei?” tanya Ify menjahili putra kesayangannya. Putranya
bersama Rio yang tumbuh menjadi anak laki-laki yang berbadan gempal dan berpipi
chubby dengan kulit putih—meniru
dirinya—serta rambut yang modelnya persis seperti sang papa.
“Cholat
kan, Nda?” jawab Rei dengan wajah polosnya. Bocah laki-laki berusia empat tahun
setengah itu menatap bundanya lama karena sang bunda belum memberi respon.
“Nda...,” melas Rei dan memeluk bundanya yang telah mengenakan mukenah. “Nda...
nda...,” ujar Rei lagi.
Ify
hanya diam menatap putranya ini. Ia ingin sekali tertawa melihat wajah polos
sekaligus memelas milik putranya. “Ah....”
“Oh...
udah siap, Dek?” Rio yang datang tiba-tiba ke kamar memotong ucapan sang istri
yang ingin menjawab permintaan putranya. Rio sudah tampak rapi dengan celana
dasar hitam panjangnya dan baju kokoh berwarna putih serta peci berwarna hitam
yang terpasang di atas kepalanya. Laki-laki berusia 33 tahun itu sangat tampan dan mempesona dengan penampilannya
saat ini.
“Papa...”
panggil Rei. Kali ini sasarannya ganti kepada sang papa. Kepalanya yang berada
di lekukan leher bundanya menjulur menatap papanya.
“Ada
apa jagoan?” tanya Rio menghampiri buah hatinya sekaligus melihat cengiran
istrinya. Ah... Rio tahu. Lagi-lagi Ify menjahili putranya sendiri. Memang
benar sih putranya sangat lucu bila dijahili. Photokopi dirinya sendiri.
Persis, kecuali warna kulit. Rio jadi ingat saat Rei lahir, Ify sedikit nyiyir
karena Rei terlalu mirip dirinya. Rio terkekeh pelan tatkala mengingat ucapan
Ify 4,5 tahun yang lalu. “Iya, mirip kamu banget, Kak, sampai gigi gingsulnya
aja kamu banget. Aku cuma mirip warna kulitnya aja.”
“Lrei
mau ikut Bunda, Pa, tapi Bunda diam dalri tadi,” adu Rei dengan muka
cemberutnya. Tawa Ify pecah seketika, hahaha... putranya ini sangat pintar. Dia
mengadu.
“Ikut
bunda ke masjid?” tanya Rio dan kedua tangannya terjulur ke depan bermaksud
untuk mengajak Rei berada pada gendongannya. “Jangan ketawa lagi Bundanya. Itu
Rei bingung,” tegur Rio kepada Ify yang masih cengar-cengir.
Rei
langsung melompat kegendongan Rio dengan antusias. Ah... bocah laki-laki itu
sangat menyukai bila digendong papanya. Bahkan, dia bisa berjam-jam berada di
pangkuan papanya.
“Rei
sama papa ambil wudhu dulu dan Bunda nyiapin baju Rei,” ucap Rio disertai
anggukan Ify. Lalu kedua laki-laki yang sangat Ify cintai di dunia berlalu
menuju kamar mandi.
“Dasar
kembar. Ekpresi aja samaan. Bikin iri,” dumel Ify lalu ia terkekeh pelan. Ada
apa dengan ibu muda ini? Marah-marah lalu tertawa!! Ify segera berdiri dari
posisi duduknya menuju lemari pakaian dan mengambil baju kokoh berwarna putih
untuk sang buah hati. “Oh iya...bawa susu untuk Rei,” ucap Ify dan mengambil
tas kecil milik putranya itu.
Tidak
membutuhkan waktu lama Ify telah siap dengan keperluan Rei. Sebotol susu sudah
berada di dalam tas bersama sebuah sejadah kecil serta roti kesukaan putranya.
Sungguh ini bukan untuk piknik di masjid. Ify memiliki tujuan untuk sholat
tarawih berjamaah dan putranya mau ikut. Jadi tentu saja harus ada keperluan putranya agar
buah hatinya itu tidak rewel dan menganggu kekhusyukan jama’ah lain.
“Tas
itu untuk apa, Dek?” tanya Rio heran melihat istrinya yang sudah menunggu di
ruang keluarga dengan sebuah tas dan baju kokoh untuk putranya. Sementara Rei
sudah turun dari gendongan papanya dan menuju sang bunda untuk meminta
dipakaikan baju.
“Biasa,
Kak, roti dan susu untuk Rei. Nanti waktu lagi sholat tarawih Rei duduk aja
sambil minum susu atau makan roti. Lagian, Rei sama aku aja. Nanti kakak kan
sholatnya di depan jadi nggak mungkin bawa Rei. Kalo sama aku nanti kami di
saf belakang paling pinggir aja biar
nggak menganggu yang lain,” jawab Ify panjang lebar sambil memakaikan Rei baju.
Rio
terkekeh pelan dan mengundang tanda tanya untuk Ify. Ify mentap suaminya curiga
sementara Rio hanya mengangkat sebelah tangannya sebagai tanda tidak ada
apa-apa. Padahal.... laki-laki itu menertawakan tingkah cerewet istrinya.
“Pasti
nertawain karena aku cerewet,” nyinyir
Ify. Rio semakin tertawa, sedangkan Rei hanya menatap kedua orang tuanya dengan
wajah polosnya. “Nah... udah siap. Ganteng lagi anak bunda,” puji Ify dan
mencium kedua pipi buah hatinya. Rei tertawa. Ah... bocah laki-laki itu sangat
imut. “Rei pakai tas dulu ya, Sayang,” ujar Ify dan memasangkan tas bergambar
power ranger itu ke Rei.
“Sudah
siap, ayo kita berangkat,” ajak Rio.
“Kita
berangkat berdua kan, Rei? Nggak usah sama papa,” ucap Ify kepada buah hatinya.
Ia masih kesal kepada suaminya. Rei hanya menuruti sang bunda, sedangkan Rio
mengulum senyum melihat tingkah istrinya.
“Udah
ambil wudhu nggak boleh marah-marah. Ntar batal wudhunya,” usil Rio dan menguci
pintu rumah mereka. Ada-ada saja tingkah
istrinya. Padahal sudah berumur tiga puluh tahun, tetap saja ada tingkah
bocahnya. Rio terkekeh geli dan berjalan menuju masjid mengejar istri dan buah
hatinya yang telah duluan beberapa langkah di depannya.
******
Ketika tiba di masjid, Ify langsung
mengambil saf barisan ketiga paling pinggir. Seperti kemaren, barisan untuk
para perempuan dewasa sampai barisan ketiga dan selanjutnya diisi oleh remaja
dan anak kecil.
“Bunda
ambil dulu sejada untuk Rei,” ujar Ify sambil melepaskan tas milik putranya
itu. Diambilnya sejadah berukuran cukup besar itu dan dibentangkannya di pinggir
sejadahnya. Ify sengaja memilih sejadah yang cukup tebal dan lembut agar
putranya itu terasa nyaman dan tidak rewel. “Abang duduk di sini ya,” ucap Ify
kepada Rei yang dibalas dengan anggukan lucu dan menggemaskan ala putranya.
Panggilan abang sengaja Ify biasakan untuk memanggil Rei. “Bunda sholat dulu
ya, Sayang.”
Rei
duduk di sejadahnya dengan nyaman. Kepalanya sibuk bergerak memperhatikan
sekitarnya. Diperhatikannya bundanya sedang sholat itu. Bola mata bulat
hitamnya menatap intens wajah bundanya. Ah... bocah laki-laki itu heran, tumben
bundanya tidak membalas tatapannya. Biasanya bila ditatap, maka bundanya akan
membalas menatap dirinya kemudian tertawa dan terakhir mencium gemas kedua pipi
tembemnya. Bosan... Rei memperhatikan ke depan. Ah... papa... Rei berucap pelan
seraya menunjuk ke depan, tepat kepada papanya yang balas tersenyum kepadanya
sambil melambaikan tangan. Betapa senangnya hati bocah kecil itu. Ia membalas
dengan tak kalah menghebohkan. Ia angkat kedua tangannya dan berucap papa...
papa... dengan volume yang cukup kencang.
Di
depan sana Rio terkekeh pelan melihat keantusiasan putranya. Mirip sekali
dengan Ify... suka berteriak. Lalu laki-laki itu menempelkan jari telunjuknya
di depan bibir yang mengisyaratkan untuk diam kepada putranya. Rio terkekeh
kembali tatkala putranya itu mengangguk dan ikut menemplekan jari telunjuknya
di depan bibir. Mirip sekali. Wajar saja Ify iri kepada dirinya. Ia dan Rei
benar-benar bak pinang dibelah dua. Rio menunjuk ke arah Ify sambil mengangguk.
Ah sepertinya jagoan kecilnya mengerti bahwa papanya akan melaksanakan sholat.
Rio terkekeh kembali dan langsung mengambil saf dan melaksanakan sholat tayatul
masjid.
Ah...
tidak ada teman mengobrol. Mungkin itu yang dipikirkan bocah tembem nan
menggemaskan itu. Ia menatap sekelilingnya dan ia heran. Mungkin saja heran
karena ia berbeda sendiri di tempatnya duduk saat ini. Hanya dia yang
mengenakan peci. Dirabanya peci yang terpasang di kepalanya lalu dilepasnya dan
ia amati peci tersebut sampai sebuah suara menarik perhatiannya.
“Wah...
ada Dedek Rei,” ujar Azza, anak perempuan berumur sepuluh tahun yang menatap
Rei dengan gemas. Dicubitnya pipi tembem milik tetangganya itu.
Rei
hanya diam sambil menatap Azza. Tidak tahu apa yang ia pikirkan. Bocah laki-laki
itu hanya menatap Azza yang kini sedang memperbaiki mukenah.
“Abang...
itu Kak Azza manggil. Kok diem aja,” tegur Ify kepada putranya. Bukannya
menegur Azza malah Rei tersenyum lebar. Wah... bundanya sudah selesai sholat.
Rei memeluk bundanya. “Abang kenapa?” tanya Ify melihat tingkah Rei yang malah
menyembunyikan kepalanya di dalam pelukan bundanya.
“Dedek
Rei-nya sombong, Nte. Azza panggilin juga,” gerutu gadis kecil itu.
Ify
terkekeh. “Rei-nya malu, Za,” ujar Ify.
Azza
mengangguk-ngangguk dan mengambil saf tepat di belakang Ify. Gadis kecil itu
kemudian tersenyum. Setidaknya ia bisa melihat Rei yang menggemaskan dan sangat
tampan itu.
Waktu
terus berlalu. Sholat isya sudah dilaksanakan. Bahkan ceramah sebelum sholat
terawih sudah selesai. Jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan lewat lima
belas menit dan saatnya melaksanakan sholat terawih.
“Abang
duduk di sini ya, jangan ribut. Kalo haus minum susunya,” titah Ify penuh
sayang kepada putranya. Rei mengangguk dan mengambil botol susunya. Ternyata ia
sudah haus.
Suara
panggilan bilal sudah terdengar. Ini berarti waktu sholat teraweh telah
dimulai. Rei mengamati orang-orang di sekelilingnya berdiri dan akan
melaksanakan sholat seperti yang dilaksanakan bundanya tadi. Bocah laki-laki
itu memilih tiduran di atas sejadahnya sambil meminum susunya. Rei tiduran
terlentang dengan menghadap ke belakang. Bola matanya fokus melihat Azza. Rei
mengamati Azza intens lalu tertawa sendiri. Tentu saja wajah lucunya segera
terlihat. Rei mengangkat botol susunya ke arah Azza seperti memiliki maksud
untuk memberikan susunya kepada Azza.
Azza...
anak perempuan berumur sepuluh tahun itu tanpa sengaja mengkap wajah lucu Rei.
Ah... anak sepuluh tahun... Azza malah menatap kembali wajah lucu milik Rei dan
kini bola mata Azza berbinar ketika Rei seperti ingin memberikan botol susunya.
Sungguh... bukan botol susu yang Azza inginkan, tetapi Rei. Bocah laki-laki
tampan bin menggemaskan binti pengen dibawa pulang itu menarik perhatiannya.
Dari dulu. Ingin sekali ia memiliki adik seperti Rei. Lucu, tampan, dan
menggemaskan. Kombinasi yang sangat pas. Terlupa sudah suara imam dan sholat
yang telah dilaksanakan. Azza lebih fokus pada Rei. Gerakannya masih mengikuti
imam, tetapi matanya jelalatan melihat tingkah Rei.
Rei
tertawa-tawa melihat Azza yang balas menatap dirinya. Saat tertawa itu.... Azza
benar-benar tak sanggup untuk tidak mengakat kepalanya saat mendengar suara
tawa milik Rei ketika ia sedang sujud. Ia ingin sekali melihat Rei tertawa
riang. Rei sangat menggemaskan bila tertawa, gigi putih milik bocah itu
terlihat ditambah lagi senyum mata milik Rei serta gingsulnya. Ya ampun. Kapan
lagi Azza bisa melihat seperti itu???!!! Bahkan di sekolah pun tidak ada
laki-laki seumuran dirinya yang tampannya seperti Rei.
“Assalamu’alaikum....”
Azza
cepat-cepat duduk seperti jama’ah lain untuk mengucapkan salam. Ia sadar betul
sholatnya tidak sah. Dapat dikatakan ia pura-pura sholat. Azza tampak tidak
peduli. Bocah sepuluh tahun. Begitulah alasannya mungkin. Alasan untuk
membenarkan tindakan tidak benarnya. Bukan salah umur... ini murni salah Azza
yang lebih tertarik pada Rei, bukannya sholat. Godaan Rei sangat besar.
Azza
tahu ini sholat terawih empat rakaat yang kedua. Ia bimbang memilih sholat atau
tidak. Ia ingin mengamati Rei. Jarang-jarang ia dapat bertemu Rei, idolanya di
lingkungan rumah. Jiaah... Azza menatap teman-temannya. Wah... merasa mendapat
teman Azza sudah cukup yakin untuk tidak melaksanakan teraweh yang kedua.
Teman-temannya pada asyik menulis buku catatan ramadhan sambil mengunyah snack.
Dia sudah selesai mencatat. Untunglah. Azza memilih duduk di tempatnya.
Rei
mengamati bundanya lalu Azza. Kemudian Azza lalu bundanya. Selalu seperti itu.
Bocah itu mungkin bingung. Kenapa Azza tidak sholat? Kenapa bundanya sholat??
Lelah—mungkin saja—Rei memilih meminum susunya lagi. Kini ia memilih duduk dan
tentu saja kesempatan untuk Azza.
Melihat
gelagat Rei akan duduk, Azza segera membantuk Rei. Duh... bocah imut, batin
Azza. “Kak Azza bantuin,” bisik Azza pelan. Ingin... ingin... ingin sekali ia
mempunyai adik seperti Rei. Apa ia bisa meminjam Rei pada Tante Ify untuk
beberapa hari saja? Pemikiran bodoh. Tentu saja tidak bisa!!! Wong Rei itu anak
satu-satunya Tante Ify dan Om Rio. Om Rio?? Satu lagi.... Azza tahu kalau Om
Rio banyak dibicarain kakak-kakak teman sepermainannya di lingkungan rumah.
Apalagi Mbak Hani, ia sangat senang ketika melihat Om Rio. Kalau kata Mbak
Hani, Om Rio itu tampannya delapan kuadrat. Beruntung sekali Tante Ify dan Mbak
Hani merasa ia ditikung oleh Tante Ify. Ada-ada saja. Waktu itu Azza mendengar
celotehan Mbak Hani.
“Coba aja Mbak lahirnya duluan atau
barengan sama Tante Ify, pasti yang jadi jodohnya Om Rio itu Mbak. Secara Mbak
cantik gini.”
“Memang kenapa kalo Mbak lahir
sekarang?”
“Oh... tentu saja Mbak udah ditikung
waktu ditambah ditikung sama Tante Ify pula. Kan kalo Mbak lahirnya cepetan,
Mbak bisa ketemu Om Rio duluan, bukannya malah Tante Ify.”
Azza
terkekeh pelan mengingat itu. Mana mungkin Om Rio mau sama Mbak Hani yang
selengean, batin Azza. Dia yakin, meskipun Mbak Hani lahir barengan Tante Ify,
Om Rio juga ogah sama Mbak Hani, tampang boleh anak baik-baik, tingkahnya wah
banget bak preman.
“Assalamu’alikum...”
Terdengar
ucapan salam dan sholat teraweh empat rakaat kedua telah selesai dan Azza
menyesal melewatkannya dengan hanya mengingat Mbak Hani, ia lupa kalau misinya
adalah memperhatikan Si Tampan Rei.
Do’a
oleh bilal sudah dilaksanakan dan panggilan untuk menunaikan sholat witir telah
terlaksanakan.
“Tiga
rakaat, sholat aja deh,” ujar Azza. Ia lagi-lagi melihat ke arah temannya. Ia lihat
Rina dan Imah sudah mengambil posisi berdiri di sebelahnya. Mereka bertiga
menampilkan cengiran serentak. Lalu mengikuti imam yang mulai membacakan surat
Al-Fatihah.
Lagi-lagi
Rei benar-benar godaan. Bocah laki-laki itu duduk sambil menatap tupperware-nya
dengan sangat fokus. Pipi-nya menggembung dan bibirnya mencibir menatap kotak
segiempat yang susah untuk ia buka. Azza—lagi-lagi—tanpa sengaja melirik Rei
dan ia refleks terkekeh pelan. Kini... Rei berhasil membuka kotak rotinya dan
bertepuk tangan singkat dan tanpa sengaja Rei mendapati Azza tertawa ke arah
dirinya. Rei menunjuk dirinya dengan telunjuknya sontak Azza tertawa dan Rei
menampilkan ekspresi bingungnya. Tiba-tiba Rei tertawa ketika melihat Azza
buru-buru ikutan sujud. Ternyata gadis kecil itu lupa bahwa ia sedang sholat
(lagi)!!!!
Rei
memakan roti nya dengan lahap. Ia menjulurkan tangannya ke arah Azza dengan
sepotong roti yang baru ia ambil dari kotak. Azza sontak menggeleng dan Rei cuek
saja lalu memakan rotinya. Azza menatap roti Rei dengan kepengen, tapi ia lagi
sholat. Sholat??!! Bukankah ia sudah batal. Gawat bila mamanya tahu kalau ia
main-main lagi sholat lagi. Buru-buru Azza memfokuskan sholatnya, gadis kecil
itu lupa kalau dua rakaat telah ia lewati dengan mengamati Rei. Besok-besok
jangan di dekat Rei lagi, gerutu gadis kecil itu, tetapi tetap saja matanya
fokus melihat Rei, meskipun kini ia sedang melaksanakan tahyat akhir. Tingkah
Azza jangan ditiru sama sekali.
“Abang
makan rotinya sudahan dulu ya, kita pulang ke rumah,” ujar Ify kepada Rei.
Ibadah teraweh sudah selesai dilaksanakan. Ibu-ibu sudah saling salam-salaman.
Sembari membereskan bekal Rei, Ify menyambut salam wanita seumurannya. Tak lupa
Rei mendapat hadiah berupa cubitan di pipi tembemnya. Ify terkekeh melihat
putranya yang diam saja.
“Rei
benar mirip papanya ya, Nak Ify,” ucap Ibu Hajah Marni sembari memberikan
kecupan di pipi tembem Rei secara tiba-tiba. Rei terkejut lalu langsung memeluk
bundanya. Ibu Hajah Marni tertawa disambut ibu-ibu yang lainnya. Ify ikutan
terkekeh sembari mengusap kepala putranya.
“Cucu
Oma hebat, ndak ribut. Ndak ada suara Rei ribut tadi,” puji Oma Ratih, tetangga
sebelah rumah Ify yang selalu mengajarkan jagoannya untuk memanggilnya Oma,
katanya Oma Ratih kangen cicit-cicitnya yang jarang mengunjunginya.
“Nda...
nda...,” rengek Rei. Ia merasa tidak nyaman.
“Rei-nya
ngambek. Cubit ah...,” usil Via, wanita berusia 26 tahun yang berstatus
pengantin baru. Via tidak main-main, wanita itu mencubit tangan Rei pelan dan
meladaklah tangis Rei.
“Hikss...
hiks.... Nda.... pulang...hiks.....”
Bukannya
merasa bersalah Via malah tertawa. “Sorry nih, Mbak Ify, anakmu lucu. Gemes
banget. Pengen punya anak kayak Rei,” ujar Via. Ify ikutan terkekeh. Rei memang
lucu dan menggemaskan.
“Nggak
apa-apa, Vi. Palingan Rei udah ngantuk, makanya manja gini,” balas Ify dan
menutup tas Rei. Sembari Rei dijahilin tetangganya, Ify bersalaman sembari
merapikan bekal dan sejadah Rei. Untunglah Via adalah tetangga terakhir yang
menjahilin putranya dengan begitu ia bisa pulang.
“Abang
kita pulang,” ucap Ify, tetapi Rei sama sekali tidak melepaskan pelukannya. Ini
berarti putranya itu minta gendong.
“Gendong,
Nda...”
Ify
terkekah dan menggendong Rei sambil memegang tas putranya itu. Berdua... ia dan
Rei keluar dari masjid yang mulai sepi. Saat di gerbang ia menemukan suaminya
sedang berbincang dengan Pak Halim, ketua RT.006/024. Ia tahu Rio sedang
menunggunya. Untunglah. Rei cukup berat dan Ify rasanya tidak sanggup
menggendong Rei sampai ke rumah.
“Jagoan
papa kenapa?” tanya Rio ketika Ify bersama putranya menghampiri dirinya. Pak
Halim sudah duluan pulang ke rumah.
“Biasa,
Kak, diusilin sama ibu-ibu. Ngambek dia,” ujar Ify sambil terkekeh. Rio ikutan
terkekeh. Rei yang belum tidur semakin memeluk leher papanya dengan kencang. Ia
tidak suka diketawain.
“Bukan
Rei aja yang diusilin, Nte, Om,” ujar Azza yang tiba-tiba sudah bersama
keluarga kecil Al Fatih.
“Eh...
Azza... Imah dan Rina,” sapa Ify ramah. “Memang kenapa, Za?”
“Besok
Dedek Rei nggak usah diajak ke masjid, Nte, masa Azza jadinya nggak sholat
karena diliatin Rei,” lapor Azza dengan wajah cemberut.
“Nggak
gitu, Nte, Azza aja yang ngeliatin Rei terus. Rina liat tadi kok waktu sholat
witir,” sanggah Rina dengan dihadiahi jitakan oleh Azza.
“Tapikan,
Nte, sama aja, Rei sih imut banget mana nawarin susu sama roti ke Azza jadikan
Azza nggak fokus,” ujar Azza tak mau kalah. Tidak ia pedulikan cibiran Rina dan
Imah.
“Wah...
jagoan papa nakal. Masa nawarin Kakaknya makanan waktu sholat,” ucap Rio dan
mengelus ubun-ubun Rei dengan sayang. Rei diam saja, masih ngambek dia.
“Kalo
gitu lain kali Azza nggak usah sholatnya di dekat Rei, masa Tante ninggalin Rei
sendiri di rumah,” ujar Ify dan disetujui oleh Imah dan Rina.
“Tenang
aja, Nte Ify, besok biar Imah sama Rina jauhin Azza dari Rei. Azza kan memang
suka banget sama Rei kayak Mbak Hani yang suka ngeliatin Om Rio,” ucap Imah
dengan suara tegas dan tentu saja membuat alis Ify terangkat sebelah.
“Hani
anaknya Pak Halim yang kuliah itu?” tanya Ify.
“Iya,
Nte, Mbak Hani kan demen banget sama Om Rio. Katanya Om Rio itu gantengnya
delapan kuadrat, berhubung Tante Ify udah nikung Mbak Hani jadi Mbak Hani patah
hati deh,” celoteh Rina dan dihadiahi jitakan oleh Azza.
“Apaan
sih, Za, sakit tahu!!!” kesal Rina. “Bukan hanya Mbak Hani aja sih yang suka
ngeliatin Om Rio kalo lewat, tapi Mamanya Indah juga sering, kami pernah liat
lho, Nte Ify. Terus Om Alvin dan Om Rio sering digosipin juga sama ibu-ibu yang
suka ngobrol di warungnya Teh Inah,” tambah Rina dan bukk... kali ini Azza dan
Imah menoyor kepala Rina.
“Itu
rahasia tahu, Rina. Gimana sih!!!” kesal Azza.
“Udah,
Za, kita pulang duluan aja. Rina ember bocor banget. Kalo kita ketahuan ngasih
tahu ke Tante Ify sama Om Rio kan gawat. Mau diulek sama Mbak Hani dan nggak
diajarin matematika lagi,” omel Imah dan menarik tangan Azza lalu keduanya
berlari pulang disusul oleh Rina.
Rio
tertawa mendengar ocehan tiga gadis kecil itu, sementara Ify menatapnya intens.
Siaga satu, pikir Rio.
“Senang
ya tahu kalo diidolain ibu-ibu di sini, mana yang muda ada naksir,” nyinyir
Ify. Ia cemburu. Bisa-bisanya suaminya diidolain warga tempat ia tinggal dan ia
sendiri tidak tahu.
Rio
semakin tertawa. Lucu melihat tingkah cemburu istrinya. Pasti ngomong terus dan
bibirnya dicibirin. Rio benar. Sekarang mereka sudah di depan rumah dan
istrinya masih aja mengomel.
“Besok-besok
Kakak kelilingin aja daerah ini biar fans
kakak semakin banyak,” celoteh Ify kesal sambil mengambil Rei yang sudah
tertidur dari Rio. Rio tidak memberikannya dan malah memberikan kunci rumah
mereka.
“Rei,
Kak,” ujar Ify.
Rio
menggeleng. “Buka pintunya. Ngejalani perintah suami itu ibadah.”
Ify
cemberut dan mengambil kunci rumah. Ditutupnya gerbang lalu dikunci dan segera
menuju pintu rumah. Rio geleng-geleng melihat tingkah ajaib Ify. Apa Ify tidak
ingat bagaimana perjuangannya agar Ify menerima lamarannya??? Rio terkekeh.
“Rei
siniin, Kak,” pinta Ify dari ruang tamu.
Rio
berjalan menuju ruang tamu lalu menutup pintu. Kemudian diraihnya Ify dalam
pelukannya—bergabung dengan Rei yang juga ada dipelukannya.
“Kamu
ingat kan, Dek, gimana perjuangan Kakak untuk mendapatkan kata ‘ya’ dari kamu sebelum
lamaran ke rumah,” ujar Rio. Dirasakannya Ify mengangguk. “Kakak nggak akan
melihat yang lain. Cuma kamu, Rei, dan calon anak-anak kita yang lainnya nanti
yang ada di hati kakak,” tambah Rio dan memberikan kecupan di kening Ify. Ify
hanya bisa mengangguk.
Ify
sadar. Seharusnya cerita ketiga gadis kecil tadi tidak ia masukan ke dalam
hati. Bukankah dari cerita ketiga gadis kecil itu, Ify dapat mengetahui bahwa
suaminya memang sangat tampan diusia 33 tahunnya??? Ify tertawa. Iya, harusnya
ia tidak ambil pusing.
“The
End”