The Reason Why Love was Called Perfect 3


Ify baru saja tiba di gerbang sekolah. Sekarang baru pukul tujuh kurang sepuluh pagi, berarti masih dua puluh lima menit lagi bel masuk berbunyi. Ify mencoba berjalan menuju kelasnya dengan langkah santai, walaupun dari tadi malam dadanya merasa sesak dan dirinya selalu merasa cemas dan was-was. Tiba-tiba saku kemeja kotak-kotak Ify bergetar. Lantas tangan lincah gadis itu mengambil handphone-nya. Ternyata satu SMS masuk.

From : Acha
Makasih banget, Fy.
Berkat lo gue udah jadian sama Rio. J

                Ify membaca SMS itu perlahan-lahan. Dari nama yang tertera saja Ify tidak mau membacanya, pasalnya setiap berhubungan dengan Acha -si Pengirim SMS- selalu saja membuat Ify semakin menyesal akan kebodohannya. Dan membuat dirinya lemah serta pandangannya berubah sayu dan nanar. Baris kedua SMS itu membuat Ify kontan ternganga dan nafasnya tercekat. Tiga kata. Ya, hanya tiga kata. Ja-di-an-sa-ma-Ri-o. Jika dieja seperti itu. Memang hanya tiga kata yang pendek, namun siapa yang tidak tahu kalau tiga kata yang singkat, padat dan jelas itu memberi dampak yang hebat bagi gadis langsing itu. Tiga kata yang mampu membuat dadanya berdebar-debar dan tegang serta sulit bernafas. Seakan oksigen enggan masuk ke paru-parunya. Matanya nanar dan mulai berair. Dadanya sesak dan dia termangu. Pikiran sang Gadis?? Jangan ditanya. Pikirannya sudah berenang-renang keseluruh kenangan dia sama Rio. Kini, Ify sadar kalau dia tidak boleh menatap Rio seperti dulu lagi, walaupun bisa. Dia tidak boleh sedekat dulu dengan Rio. Dan kini, gadis itu semakin menyesali keputusannya. Hancur sudah cinta pertamanya. Cerita cinta yang sungguh mengenaskan.
                TIIIIIINNNNNN…………… bunyi klakson mobil membangunkan Ify dari mimpi terburuknya. Menurut gadis itu. Alam bawah sadar Ify membawa gadis itu menuju ke pinggir. Ify ingin sekali kalau itu semua mimpi, bahkan SMS itu hanya mimpi. Tapi, semua itu salah. Its real. Nyata. Tidak ada kata semu. Apalagi mata gadis itu menangkap dua sosok yang berjalan berdampingan. Mereka berpegangan tangan –tepatnya, si Cewek yang menggenggam tangan cowoknya–, cewek itu juga bergelayut manja di bahu sang cowok. Ify mangamati dua sosok itu. Lagi-lagi dunia serasa memusuhinya, sekali lagi Ify menerima kenyataan pahit. Ternyata mereka adalah Rio dan Acha.
                Ify memejamkan matanya. Tidak sanggup hanya sekedar untuk melihat. Dia berharap ketika ia membuka mata semua yang membuat hatinya sakit menghilang. Minimal hilang dari pandangannya. Ya benar saja, ketika gadis itu berani membuka matanya. Sosok penimbul rasa nyeri di hatinya telah hilang dari pandangannya. Ify segera mengambil jalan yang berlawanan dengan Rio dan Acha. Ia mengambil jalan lewat belakang untuk menuju kelasnya.
                Gadis berdagu tirus itu memaksakan jemari-jemari lentiknya untuk mengetik sebuah pesan dusta. Dusta terbesar yang dia lakukan.

To : Acha
                Selamat ya J. Lo sama Rio cocok kok.
                Moga langgeng J.
               
                Ketika mengetik nama Rio, Ify memejamkan matanya tak sanggup untuk sekedar menuliskan nama lelaki itu yang kini menjadi pengisi hatinya seutuhnya. Dua senyuman ia berikan dalam pesan dusta itu. Sungguh miris baginya. Bisa-bisanya dia mengetik pesan itu. Berbohong demi kebahagiaan orang lain dan menusuk hatinya sendiri. Memberi luka untuk hatinya. Suatu kebodohan luar biasa.
                Setetes air bening turun dari kedua pelupuk matanya. Menciptakan anak sungai di kedua pipinya. Sungguh, Ify tidak menyangka kalau dia akan menjadi seperti ini. Menangis hanya karena masalah cowok dan cinta. Yang orang bilang cinta anak tujuh belas tahun yang masih dibilang cinta monyet. Gadis itu  menggeleng ketika dipikirannya tercetus kata cinta monyet. Karena Rio bukan cinta monyet baginya dan ia juga tidak tahu cinta seperti apa. Apa mungkin true love-nya ?? Ntahlah tidak ada yang tahu. Cinta monyet bagi Ify ketika ia mencintai Gabriel. Pemuda yang kemarin berbincang kepadanya, meminta solusi kepadanya mengenai kekasihnya. Bagi Ify ya, Gabriel-lah cinta monyetnya. Karena bersama pemuda itu ternyata sama saja. Biasa-biasa. Tidak ada getaran partikel-partikel cinta dalam hatinya. Sungguh berbeda saat ia bersama Rio. Partikel-partikel penyusun cinta yang belakang ini baru ia sadari selalu terasa bergetar dan berdegup tidak menentu ketika ia bersama Rio. Bahkan hanya sekedar mendengar namanya.
                Alyssa. Gadis itu berjalan dalam diam melalui gedung belakang yang tampak selalu sepi. Memang. Karena jalannya berupa tanah biasa yang kalau hujan akan becek dan membuat sepatu kotor. Namun sekarang ini Alyssa Saufika menggunakan jalan itu. Untungnya hari tidak hujan. Untunglah. Gadis itu menghentikan air matanya. Percuma. Ya percuma untuk menangisi kejadian ini. Toh semua itu tidak merubah keadaan. Memang ada orang yang bilang kalau setelah menangis rasa sakit itu akan hilang. Ify percaya, tapi bagaimana ia harus mengahadapi rasa nyeri itu selama ia menangis. Bukankah sangat sulit. Bagaimana? Gadis itu memutuskan untuk berhenti menangis. Mengusap kedua matanya dengan tissue yang selalu setia berada di tasnya.

***********************

                Ify tiba di kelas lebih cepat dari Rio yang melalui jalan depan. Ia sangat bersyukur karena tidak perlu melihat pemuda itu ketika baru tiba di kelas. Ify langsung menuju bangkunya, di sana sudah ada Sivia  sahabatnya yang tengah duduk manis menyambut dirinya.
                “Lo bodoh atau pura-pura nggak mau mengaku?” sambut Via dengan pertanyaan ketika Ify baru duduk di bangkunya.
                “Maksudnya?”
                “Mata lo item gini kenapa?” tanya Via lagi. Sebenarnya dia tidak butuh jawaban Ify karena dia sudah tahu apa penyebabnya.
                “Gue susah tidur tadi malem. Hehehe…” cengir Ify.
                Via mendengus. Dia lelah mengahadapi sohibnya ini. Ify bisa dibilang sangat pandai menyembunyikan keadaannya dari orang lain. Tapi tidak berlaku bagi dirinya. “Bego atau bodoh sih lo sekarang, Fy,” gerutu Via.
                “Gue pinter kali. Apalagi fisika. Gue kan udah belajar sama Rio,” balas Ify. Dia terdiam. Tidak menyangka akan menyebut nama lelaki yang sudah tiga minggu ini seperti orang asing baginya.
                “Gue udah tahu kalo lo bantu si Nenek Lampir Acha buat jadi pacar Rio. Dan gue udah tahu dari dulu kalo lo itu cinta sama Rio. Dan kini, gue yakin lo udah nyadarin perasaan lo,” bisik Via ke Ify.
                Ify diam saja. Dia tidak menanggapi ucapan sohibnya itu. Matanya menerawang ke depan. Via sama sekali tidak membutuhkan reaksi dan jawaban apapun yang keluar dari bibir mungil Ify. Mata. Karena mata Ify udah menjawab semuanya.
                Haruskah lagi? Apakah tidak cukup yang barusan ia hadapi? Apakah memang harus hari ini menjadi hari yang paling menyakiti bagi dirinya? Sepertinya iya. Baru saja ingin menghela nafas lega, Ify harus menerima kenyataan lagi. Ia terpaku mendapati Rio dan Acha yang masuk ke kelas.
                Via mengikuti arah pandangan Ify. Dia juga kaget. Rio dan Acha lagi. Ternyata cewek itu masih tidak malu melakukan hal itu. Tidak sadar sama sekali. “Tujuh lima belas,” gumam Via. “Eh, Ud. Udah bel ya? Kok ada alien yang masuk kelas kita? Salah kelas atau murid baru sih?” tanya Via ke Daud yang duduk tidak jauh darinya. Melalui matanya Via meminta Daud untuk mengerjai orang yang ia tunjuk dengan dagunya.
                “Wah iya, Vi. Gila aja alien dari planet Mars percampuran Merkurius. Ih… masa itu murid baru? Nggak kali, Vi. Kelas kita nggak nerima murid baru macem alien itu. Kelas yang paling ujung noh yang hanya nerima alien macem itu,” jawab Daud. Via tertawa riang dalam hati. Kelas ujung adalah kelas XI IPA 10. Kelas Acha, Shilla, Angel dan Zevana.
                Acha, gadis yang dibilang alien itu menahan amarah. Dia bukan tidak sadar kalau sedang dikata-katain. Simple sih membuat dia tidak melawan, hanya karena ada Rio. “Io, aku ke kelas dulu ya. Nanti ketemu di kantin ya,” pamit Acha. Ia mengatakan dalam suara manja yang dibuat-buat. Via mau muntah seketika. Rio tidak menjawab sama sekali. Dia diam.
                Io? batin Ify. Apa panggilan itu udah tidak berlaku untuk dirinya? Padahal, Rio sudah berjanji hanya Ify yang akan memanggilnya seperti itu. Kedua orang tua Rio saja memanggilnya Rio atau Yo. Bukan Io.
                “Fy. Woi, Fy,” teriak Via di kuping Ify. Ify tetap diam. Dia tidak sanggup. Sungguh. Gadis itu beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan kelas dalam keadaan diam. Padahal bel masuk sudah berbunyi.

*************************

                Gadis itu duduk di bangku taman belakang. Sendirian. Air mata berlinang di kedua pipinya. Ntahlah, gadis itu sudah terlalu rapuh akan kisahnya. Nyeri. Sakit. Teman ia saat ini. Sungguh hatinya menangis. Bagaimana tidak, cintanya kandas akibat ulahnya sendiri. “Gue sakit, Io. Nyeri banget. Hati gue, Io. Harusnya gue nggak kayak gitu. Gue bego,” caci Ify ke dirinya sendiri.
               
Semakin ku ingkari
Semakin ku mengerti
Hidup ini tak lengkap tanpamu
Aku mengaku bisa
Tapi hati tak bisa….a….a….

Sesungguhnyaku berpura-pura
Relakan kan kau pilih cinta yang kau mau
Sesungguhnyaku tak pernah rela
Karna ku yang bisa
Membuat hatimu utuh…

Sakit yang kurasa
Bukan karena dia
Tapi karna kau pilih cinta yang salah
Aku mengaku bisa
Tapi hati tak bisa….

Sesungguhnyaku berpura-pura
Relakan kan kau pilih cinta yang kau mau
Sesungguhnyaku tak pernah rela
Karna ku yang bisa
Membuat hatimu utuh…

Ify bersenandung pelan. Mencoba membuat rasa sakitnya melalui setiap lantunan lirik lagu yang ia nyanyikan. Sungguh tidak berhasil, karena lagu yang ia senandungkan sangat menggambarkan keadaannya saat ini. Rasa nyeri itu semakin menggerogoti hatinya.
“Suara lo bagus,” puji seseorang. Ify menoleh ke kanan. Di dapatinya seorang cewek. Ia manis dan rambutnya sebahu. Tunggu. Ify kenal siapa cewek ini. Ya, dia Agni. Pacarnya Cakka Kawekas Nuraga.
“Hehehe…makasih Ag. Gue berencana buat rekaman,” canda Ify.
Agni menatap Ify salut. Ia bisa merasakan apa yang Ify rasakan karena dirinya pernah terpuruk dalam rasa ini. Tetapi, dia tidak setegar Ify. Agni mengetahui apa yang terjadi dengan Ify, siapa sangka ternyata Agni akrab sama Via. Apalagi kalau bukan karena sering berjumpa ketika menemani Alvin latihan. Agni sendiri menduga kalau Rio dan Ify pacaran ketika pertama kali melihat Rio dan Ify di lapangan basket waktu itu. Dirinya tidak sengaja menangkap sosok Rio yang selalu mengamati Ify. Dan juga sebaliknya. Agni juga tidak menyukai SAZA, karena salah satu anggota SAZA membantu seseorang membuat dia merasakan rasa nyeri dihatinya sebelum ia bersama Cakka.
“Lo hebat, Fy. Gue salut sama lo,” puji Agni. Ify bingung dan dia menatap Agni heran. “Ya lo hebat, Fy. Gue tahu kok kalo lo suka sama Rio. Dan gue rasa lo patah hati melihat Rio dan Acha sekarang ini,” jelas Agni.
“Bukan, Ag. Gue kecewa sama kebodohan gue. Gue bantuin Acha buat jadian sama Rio. Dan sekarang mereka udah jadian.” Ify tidak tahu mengapa dirinya langsung saja cerita sama Agni. Padahal mereka tidak dekat. Tapi hatinya percaya sama Agni.
Agni kaget. Mana mungkin, batin Agni. Dia menatap Ify sayu. Agni membulatkan mulutnya. “Dan elo nyesal. Ternyata elo udah mencintai Rio dari lama. Gue tebak lo baru sadar akan perasaan lo itu,” lanjut Agni.
Ify mengagguk kecil. Gue nggak yakin kalo Acha jadian sama Rio. Karena ini mirip sama trik yang dilakukan salah satu anggota SAZA terhadap gue, pikir Agni. Dia segera membuka akun facebook-nya. Mencari kebenaran dan ternyata benar. Tidak mungkin terjadi seperti ini. Dia langsung mengirim pesan ke seseorang.
“Lo tahu dari mana, Fy?” tanya Agni. Ify tidak menjawab dan dia memberikan handphone-nya pada Agni. Tertera dilayarnya SMS dari Acha. Agni kesal. Cara lama, batin Agni.
“Kayaknya lo mau sendiri, Fy. Gue balik ke kelas gue ya dan elo gue izinin untuk nggak masuk,” ujar Agni. Ify mengangguk dan dia merasa Agni benar.
“Makasih ya, Ag,” ucap Ify.
Agni tersenyum. “Sama-sama. Siip,” balas Agni dan mengancungkan kedua jempolnya. Ify menatap punggung Agni yang semakin menghilang. Setelah Agni benar-benar udah kembali ke kelasnya, Ify kembali melamun.

**************************

“Aarrrrrgggghhhhhhh…………” teriak Rio kesal. Dia masih ingat sore itu. Sore itu ia melihat Ify dan Gabriel yang sedang duduk berdua di koridor sekolah. Sambil tertawa-tawa. Dia sebenarnya tidak sengaja melihat kejadian itu. Sungguh. Kalau boleh memilih ia lebih baik untuk tidak melihatnya.
“Lo masih menyukai Iel ya, Fy? Apa gue belum masuk juga ke hati lo? Sekedar nama gue belom?” tanya Rio pada Ify yang semu. Ify pada bayangannya.
“Hoi. Pesek,” teriak Zazah. Sepupu Rio. Hari ini Zazah kembali berkunjung.
“Apaan sih lo.” Rio berkata kesal.
Zazah tidak perduli. “Lo beneran udah jadian sama Acha?” tanya Zazah ke Rio.
Rio kaget dan terperangah. “Siapa yang bilang? Gue nggak ada apa-apa sama tuh anak,” jawab Rio. Dia kembali dibuat kesal.
“Beneran lo nggak jadian sama Nenek Lampir itu? Gue beneran nggak sudi.”
“Demi. Lo tahu dari mana  gosip itu?” desak Rio.
“Dari Agni dan Agni lihat sendiri di handphone-nya IFY,” jawab Zazah dan memberi penekanan pada kata yang di-capslock.
Rio kaget dan hampir meloncat berdiri. Apa ini yang membuat Ify berubah, batin cowok hitam manis itu. “Gue beneran nggak jadian sama Acha. Demi apapun. Lo percayakan, Za?”
Zazah mengangguk. “Gue percaya, Yo. Masalahnya Ify. Dia nggak tahu sama sekali. Dan lo apa nggak ngerasa perubahan pada Ify?”
“Gue ngerasa. Dia menjadi lebih pendiam dan ngejauh dari gue. Gue udah frustasi banget. Apa sikap gue selama ini nggak menunjukkan kalo gue itu sayang sama dia? Cinta sama dia,” seru Rio dia mengusap rambutnya dengan kedua tangannya. “Kemarin gue ngeliat Ify sama Gabriel berduaan. Gue cemburu, Zah. Apa Ify masih suka sama Iel?”
Zazah menatap sepupunya ini miris. “Apa yang membuat elo berangkat bareng Acha hari ini karena hal itu?” tanya Zazah hati-hati.
Rio mengagguk. “Gue mau Ify ngerasain apa yang gue rasa kemarin. Gue sakit hati.”
Zazah mendecak kesal. “Lo bego Rio. Ck.” Zazah geleng-geleng kepala. “Iel udah hilang dari hati Ify, bahkan tidak pernah ada. Kemarin Iel itu curhat sama gue, Ify dan Agni tentang Shilla. Dia ingin Shilla itu berubah. Nggak suka seenaknya. Pendeknya menjadi baik. Kayak gue, Ify dan Agni,” lanjut Zazah dan sedikit narsis.
Rio cengo dan menatap Zazah mencari kebohongan. Tapi yang ia temukan kebenaran. Tidak ada titik kebohongan sama sekali. “Jadi gue salah paham,” gumam Rio.
Zazah mengangguk. “Ify itu sayang sama lo, Rio. Lo udah buat dia hancur tanpa lo sadari. Dia jadi pendiem karena lo. Lo yang selalu sama Acha.”
“Gue nggak selalu sama Acha. Dia aja yang ngintilin gue,” potong Rio.
“Intinya ada Acha, ada elo. Kembali ke Ify. Dia memang telat nyadari perasaannya ke elo. Tapi lo bisa lihat dalam perubahannya, Yo. Dia nyesal karena bantu Acha buat PDKT sama lo. Saat Acha berada di dekat lo, dia baru sadar kalo dia udah sayang banget sama lo. Coba lo ingat berapa lama lo udah dekat sama Acha? Selama itu juga Ify nahan rasa sakit di hatinya, Yo. Terpuruk dalam penyesalannya. Puncaknya, tadi pagi. Lo ingetkan dia nggak masuk jam pertama sampe ke empat?” Rio mengangguk. “Dia menerima SMS dari Acha kalo lo udah jadian sama Acha dan ditambah lo pake acara bareng nenek lampir gila itu ke sekolah,” lanjut Zazah.
Rio termangu. “Gue udah buat peri kecil gue kecewa. Harus sakit hati,” sesal Rio. Coba dia selidikin dulu kenapa Acha bisa-bisanya mendekat pada dirinya dan kenapa dia tidak mencari tahu tentang sikap Ify. “Lo terlalu baik, Fy. Harusnya lo nggak lakuin itu karena gue tersiksa juga tanpa lo,” ujar Rio. “Jadi gue harus apa , Zah?” tanya Rio.
Zazah menepuk dahinya. “Ya minta maaf dan kalo bisa lo ngungkapin perasaan lo. Dari pada ntar Ify udah melenyapkan perasaannya ke elo.”
So pasti. Bila perlu besok,” ucap Rio semangat. Dia juga menyesali dirinya. Kenapa nggak dari dulu aja dia bilang suka sama Ify. “Tapi gimana caranya?” tanya Rio. Wajahnya melas.
Zazah terkikik geli melihat tampang sepupunya ini dan kemudian dia membisikan sesuatu ke Rio. Rio tersenyum senang dan merangkul cewek itu. Tidak menyadari seseorang melihat kejadian itu.

***********************

“Lho, Rio? Via?” ujar Alvin yang baru saja tiba di teras rumah Rio dan menemukan kekasihnya sedang dirangkul sohibnya.
Via mengenal suara itu jadi menoleh ke depan dan sontak melepaskan rangkulannya. “Vin. Gue bisa jelasin kok. Beneran,” seru Via cepat. Alvin terdiam dan melihat kode samar dari Rio.
Alvin diam dan memasang tampang juteknya. “Vin, beneran gue bisa jelasin kok. Gue itu nggak ada apa-apa sama Rio. Jangan marah ya? Please!” ucap Via yang kini udah berdiri di depan Alvin. Dia merutuki Rio yang tidak membantunya sama sekali. Alvin tidak tahan, ia ingain ketawa melihat tampang Via saat ini. Gadisnya itu benar-benar cemas dan penuh rasa bersalah.
“Vin, gue sama Rio itu se…”
“Sepupuan. Gue udah tahu kok. Udah lama. Dari kita belum jadian. Jadi, jangan panik gitulah,” potong Alvin dan tersenyum jahil.
Via kaget dan dia manyun abis. Dia sadar udah dikerjain. “Siapa yang kasih tahu lo?” tanya Via.
Alvin tertawa-tawa melihat kekasihnya itu. “Gue nebak sih. Oh ya, Vi. Gue mau jawab pertanyaan lo yang dulu itu. Kenapa gue sangat kenal sama elo dan memahami elo.” Via memasang telinganya baik-baik. “Karena dulu waktu SMP Rio selalu cerita sepupunya yang bernama Zazah. Gue sampai bosan dengernya. Zazah yang bawel, cerewet, sok tahu. Tapi baik dan perduli sama orang lain dan bla…bla… Rio seolah promosiin lo ke gue.” Alvin dan Via melirik Rio. Yang dilirik sok nggak ngelihat. “Waktu gue pindah, gue ketemu lo sebagai Sivia Azizah. Dan gue jatuh cinta sama lo karena gue ngerasa kenal sama lo. Dan ternyata ya lo itu Zazah. Sepupu Rio yang Rio ceritain ke gue. Karena cerita Rio gue paham dan kenal kebiasaan lo. Hehehe…” jelas Alvin. Via mendengus kesal dan merasa kecolongan. Dia menatap Rio tajam.
“Dasar tukang gosip lo. Lo pikir gue nggak laku apa pake dipromosiin ke Alvin segala. Bener kata Ify, lo cowok sok cool, sok dingin, sok misterius dan sok lainnya. Padahal aslinya pecicilan, tukang gosip dan narsis,” semprot Via ke Rio. Rio cengengesan dan ketawa-tawa.
“Emang lo nggak laku. Alvin  aja pacar pertama lo,” balas Rio.
“Kayak lo pernah aja,” cibir Via.
“Gue emang nggak pernah. Karena gue nunggu peri kecil gue. Ify.” Rio tak mau kalah.
Alvin bingung melihat pacar dan sohibnya ini. “Stop,” seru Alvin. Rio dan Via yang siap berteriak diam dan menatap Alvin. “Gue ke sini mau nanya masalah Rio sama Ify. Gue penasaran,” ujar Alvin dan duduk di depan Rio.
Via bercerita ke Alvin dari A sampai Z tentang Rio dan Ify. Dari Rio pertama ketemu Ify (delapan tahun lalu) hingga kejadian pagi tadi. Alvin manggut-manggut ngerti. “Gue serasa baca novel. Romantis banget. Jodoh lo Ify, Yo,” seru Alvin ke Rio.
“Wa iya dong. Alyssa Cuma buat Mario,” ucap Rio pe-de narsis. “Lo berdua bantu gue nembak Ify besok,” sambungnya.
Alvin dan Via mengangguk. “Apa rencana lo?” Rio membisikan sesuatu ke Alvin. Rencana yang dia susun bersama Via tadi.

****************************

Gadis itu termangu. Sejak ia menginjakan langkah pertamanya di Global Nusantara School pagi ini, tak sepatah katapun terlontar dari bibir mungil merahnya. Tatapannya sendiri kosong dan sayu. Ify. Gadis nelangsa itu Ify. Sejak ia melakukan kebodohan itu, telinga tak pernah absen mendengar orang-orang berbisik-bisik mengenai hubungan dirinya dengan lelaki tersebut. Tetapi ia tak perduli sama sekali. Memang dulu Ify dan pemuda itu dikenal sebagai sepasang kekasih. Padahal tidak seperti itu hubungan mereka. Namun tidak ada penyelaan dari keduanya, sehingga label itu semakin melekat pada diri kedua orang tersebut.
Kini jam istirahat, Ify berdiam diri di ruang kelasnya yang sepi. Ia menyendiri sepertinya. Gadis itu seakan menutup dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Ya seperti saat ini, ia sama sekali tidak perduli dengan keributan dan kehebohan yang bisingnya kedengaran hingga ke kelasnya. Mungkin itu terjadi di lapangan upacara yang area-nya tidak begitu jauh dari kelasnya.
Suara heboh serta jeritan di luar sana yang tertangkap indra pendengarannya tidak menarik perhatian dan rasa penasarannya sama sekali. Gadis itu menghela nafas berat. Akhirnya Ify memilih untuk menundukkan kepalanya, menenggelamkan wajahnya dalam lingkaran kedua tangannya di permukaan meja. Singkatnya gadis itu menelungkup dan pastinya melamun. Peristiwa demi peristiwa terbayang olehnya. Flash back. Berputar-putar dalam pikiran sang Gadis.
Sejak ia menerima pesan singkat 'itu', seolah-olah satu-satunya sumber cahaya pencipta rasa bahagia pada dirinya mendadak lenyap seketika. Seakan tak cukup puas dengan membuat diri Ify menjadi pendiam, murung dan 'takut'. Parahnya menekan Ify. Si Pengirim SMS berusaha selalu untuk mencoba buat Ify menjauhi siluet itu. Siluet yang diingkinkan oleh pengirim pesan laknat itu. But who know! Gadis itu tak melakukan apa yang diminta cewek yang kini ia sebut egois dan tak tahu makna terima kasih dengan sepenuhnya. Karena mata Ify selalu melihat 'dia' walau dari kejauhan. Itulah sumber kebahagiaannya untuk saat ini. Setidaknya begitu menurut Ify. Namun, pesan singkat yang lebih terkenal dengan sebuah SMS mengambil setitik kebahagiaan itu. Melemparkan diri gadis yang sudah terpuruk ke dalam ketepurukan abadi. Karena Ify merasa, ia sudah tak bisa dan layak melakukan hal pencipta rasa bahagianya.
Pagi tadi Ify melirik melalui ekor matanya. Sama seperti hari-hari sebelumnya, ekor mata itu bekerja dengan fokus memperhatian seseorang yang entah kenapa tak sanggup untuk dia perjuangkan. Padahal motto hidupnya 'no to say MENYERAH' for anyting'. Tetapi, baru juga masalah hati dan perasaan. Ia sudah pasrah dan tinggal mengikuti alur yang mengalir. Intinya, dia melanggar mottonya sendiri.
Alyssa Saufika Umari. Ia tak menangis, tidak sedikitpun air bening itu mengalir di pipinya. Dirinya sudah berjanji untuk tidak menangis. Dalam keterpurukannya ia tertawa hambar. Tak pernah membayangkan dirinya akan jatuh dalam level selemah ini. Lemah-lemah sesungguhnya. Hanya karena seorang Mario Stevano Aditya Haling. Orang yang baru ia kenal selama sebulan ini. Benarkah itu? Mungkin saja benar kalau dilihat berdasarkan logika. Tetapi bagaimana dengan jawaban yang diberikan hati? Justru sebaliknya jawaban yang diberikan hati Ify. Hatinya yakin sudah bertemu Mario sejak lama. Tapi kapan awal pertemuan itu? Pertanyaan yang selalu melayang-layang dalam kepala Alyssa.
Again, again and again. Senyum itu lagi, pikir Ify. Senyum, senyum, senyum dan senyum delapan tahun lalu. Lagi-lagi muncul. Ify terdiam. Otaknya berputar. Mengingat hal kecil yang bisa-bisanya ia lupakan.
Sejak lama ia merasa tak asing dengan senyum itu. Ya memang benar karena seseorang yang dulu dekat dengannya mempunyai senyum yang mirip dengan senyum delapan tahun lalu. Persis, desis Ify. Ia masih ingat dengan jelas senyum itu. Senyum yang selalu orang itu suguhkan pada dirinya ketika dulu, sebelum insiden itu terjadi. Memang persis dengan senyum yang ia lihat ketika usianya 9 tahun dulu.
Bentuk lengkungan bibir yang sungguh indah dan memiliki kekuatan pemberi ketenangan bagi siapapun yang melihatnya. Terutama bagi dirinya.
Ify mencoba mengingat garis-garis pemilik senyum 8 tahun lalu. Awalnya sulit, tapi sekarang tepat saat ini ia sadar bahwa sejak sebulan lalu tepat ketika waktu kedatangan dia Ify merasa wajah bahkan sosok pemilik senyum penuh ketenangan itu menjadi jelas dan dekat.
"Astaga...," gumam Ify. Ia tersentak dan refleks mengangkat kepalanya dari posisi telungkupnya. "Jangan-jangan dia itu...."
"IFY...," teriak dua orang karena suara teriakan itu memiliki perbedaan. Ify lantas menoleh ke arah pintu dan mendapati Via juga seseorang yang ia perhatikan beberapa detik untuk mengenalinya. Ternyata Via dan Agni. "Bener gue kan, Vi!" seru Agni girang. Via mengangguk dan keduanya menghampiri Ify.
"Lo harus ikut kita," ucap Via. Tanpa ba-bi-bu Via dan Agni menarik Ify keluar kelas.
"Apa-apaan sih. Vi, Ag gue mau dibawa kemana?" protes Ify. Namun kedua orang itu tak perduli sama sekali. Tetap menyeret Ify keluar kelas. Ify mendengus kesal dan pasrah.

****************************

Agni dan Via ternyata membawa Ify ke lapangan. Di sana sudah banyak siswa-siswi GNS (Global Nusantara School) yang berkumpul. Ramai sekali. Seperti sedang ada konser dan kedatangan artis saja. Ify hanya bisa pasrah mengikuti kedua sohibnya, kini ia bergabung dalam lingkaran keramaian.
Matanya terbelalak kaget. Di tengah lapangan seorang Mario Stevano duduk dengan santainya di sebuah kursi yang mungkin memang sengaja disiapkan. Serta sebuah gitar di pangkuannya. Lelaki hitam manis itu senyum-senyum! Sesuatu yang jarang sekali terlihat. Tak seperti Rio yang biasa. Ini ada apa sih? batin Ify.
Ify berdiri di sebelah Via dan Agni di sampingnya Via lagi. Ia menatap penuh tanya kepada dua sohibnya yang nggak bertanggung jawab banget menyeret dirinya ke tempat nggak penting gini. Namun keduanya nggak perduli sama sekali. Tetap bungkam. Malah sibuk melempar senyum ke pacar masing-masing yang berdiri di seberang mereka. Di belakang Rio. Lalu Ify menoleh ke sebelahnya dan ia terkejut. Jelas. Di sebelahnya ada Acha dan Shilla. Ify akan biasa saja kalau di sebelahnya itu hanya Shilla karena Ify nggak ada kesal-kesalnya sama Shilla. Kebalik sama Acha. Ify mau menjauh dari cewek itu. Ogah deket-deket. Begitu sadar itu Acha, Ify cepat-cepat buang muka biar Acha nggak ngelihat dia. Tapi telat, Acha udah nyadarin adanya Ify.
“Eh, Ify,” sapa Acha ceria dan Shilla memberi Ify senyum tipis.
Ify bales tersenyum juga. “Hehehe…iya. Selamet ya, Cha. PJ-nya mana nih? Masa udah jadi gue-nya nggak kecipratan PJ,” cengir Ify.
“Lo sih, Fy nggak keliatan belakangan ini.” Shilla menjawab. Ify memamerkan gigi putihnya. Mana tahan gue ngeliat Acha sama Rio, batinnya miris.
“Shill, kira-kira Rio mau ngapain ya? Aha, jangan-jangan dia mau nyanyi buat gue,” seru Acha girang sendiri dan tidak perduli dengan Ify. Matanya berbinar-binar, Shilla mengangguk tanda setuju dengan argumen Acha.
Jder… Ify mendengar pernyataan itu bagai di sambar petir. Luka di hatinya semakin perih. Jadi untuk apa gue di sini? batin Ify. Dia kesal dengan Via dan Agni yang seenaknya saja membawa dirinya ke tempat laknat ini untuk menyaksikan hal yang paling nggak ia inginkan.
Ify terlalu sakit hati hingga ia tidak menyadari sepasang mata memperhatikannya tajam semua gerak-geriknya. Ia mengetahui gelagat Ify yang ingin meninggalkan lapangan. “Stop. Lo jangan bergerak. Tetap di tempat,” teriak Rio tiba-tiba. Semua orang bingung tentunya. Kepada siapakah pemuda manis ini berbicara?
Gadis itu, Ify. Ify yang akan meninggalkan lapangan dalam langkah pertamanya berhenti seketika tepat teriakan itu tertangkap indera pendengarannya. Hati Ify meminta dirinya untuk tetap tinggal di lapangan. Sayangnya Ify bimbang. Mungkinkah ia orang yang dimaksud? Apa ‘lo’ itu sebutan untuk dirinya? Secerah harapan itu pupus karena ia ingat seseorang. Ya Acha. ‘Lo’ yang dimaksud lebih tepat untuk Acha ketimbang dirinya. Jadi, ia memilih untuk tetap meninggalkan lapangan.
“Gue mohon lo tetap di sini, Alyssa Saufika Umari,” teriak Rio namun suaranya lembut. Begitu dalam dan menusuk.
Semua orang kaget, terutama untuk Ify. Ia berhenti mendadak. Tadi nama gue yang disebut, batin Ify. Ia pasti tidak salah dengar. Ia belum tuli ataupun budek. Ify pun membalik tubuhnya ke arah lapangan. Mencari sosok yang menyebut namanya itu. Bola mata Ify langsung bertemu mata bening Rio. Mata yang memberi kesejukan dan keteduhan. Seperti terhipnotis Ify tak mampu memalingkan wajahnya dari mata Rio. Mata yang paling ia suka. Karena melihat tatapan mata itu segalanya terasa menjadi baik-baik saja.
Rio mengambil gitarnya dan mulai memetik. Intro dari lagu Ku Ingin Slamanya punya Ungu mulai mengalun. Di susun suara Rio yang bening dan lembut. Begitu dalam ia menghayati lagu tu. Sehingga suaranya mengena di hati semua orang yang mendengar suara malaikatnya.

Cinta adalah misteri dalam hidupku
Yang tak pernah ku tahu akhirnya
Namun tak seperti cintaku pada dirimu
Yang harus tergenapi dalam kisah hidupku

Ku ingin slamanya mencintai dirimu
Sampai saat ku akan menutup mata dan hidupku
Ku ingin slamanya ada di sampingmu
Menyayangi dirimu sampai waktu kan memanggilku

Di relung sukmaku
Ku labuhkan s ’luruh cintaku
Di hembus nafasku
Ku abadikan s ’luruh kasih dan sayangku

Ku ingin slamanya mencintai dirimu
Sampai saat ku akan menutup mata dan hidupku
Ku ingin slamanya ada di sampingmu
Menyayangi dirimu sampai waktu
kan memanggilku

                Selama menyanyi tatapan Rio tidak pernah lepas dari Ify. Ia memandangi gadis itu sungguh dalam. Ketika lagu itu berakhir semua orang yang berada di lapangan bertepuk tangan riuh. Kagum dengan suara lembut Rio. Rio berjalan menghampiri Ify yang berdiri terpaku serta bertanya-tanya dalam hati apakah lagu itu untuk dirinya apa bukan.
                Saat ini Rio berdiri di depan Ify. Ia menggenggam erat jemari Ify dan membawa gadis itu ke tengah lapangan. Ify manut doang. Ia tidak protes ataupun membentak. Ia rindu dengan kehangatan jemari Rio yang menggenggam jemari-jemarinya. Segalanya terasa baik-baik saja kalau ada Rio di sampingnya.
                Di sisi lapangan lain, seorang cewek menggerutu kesal dan menatap Ify penuh aura neraka. Kebencian dan ketidaksukaan. Dendam mungkin ada. Mencaci Ify tanpa ampun di dalam hatinya.
                Rio meletakkan kedua tangannya di bahu Ify. Menatap gadis itu lekat, seakan-akan tidak ada yang boleh lepas dari pengelihatannya. Siapapun yang melihatnya pasti akan berkata betapa rindunya laki-laki itu terhadap gadis di hadapannya. “Gue minta maaf, Fy. Gue udah bikin lo sedih dan murung. Gue bener-bener minta maaf. Gue salah banget sama lo, Fy,” lirih Rio berujar.
                Tanpa sadar Ify menarik nafas panjang. “Kenapa lo minta maaf? Lo nggak salah apa-apa sama gue.”
                “Gue salah, Fy. Gue udah buat kesalahan terbesar dalam hidup gue dengan membiarkan orang lain mencoba ngeganti posisi lo di deket gue.”
                “Lo nggak salah,” ucap Ify tegas.
                “Gue salah.”
                “Nggak.”
                “Iya.”
                “Nggak, Rio.”
                “Gue salah, Ify.”
                “Nggak.”
                “Iya.”
                Ify menghela nafas berat. Ia jengkel. “Ya udah, kalo lo ngerasa salah gue maafin. Udah kan? Gue balik.”
                “JANGAN. GUE SUKA SAMA ELO,” teriak Rio kencang. Semua yang di lapangan tersadar dari acara nonton telenovela gratisan secara live. Apalagi pemeran utamanya idola mereka, Rio Stevano.
                Ify nggak mungkin salah denger. Kemungkinan itu kecil sekali. Lagian ia berdiri satu meter dari Rio dan indra pendengarannya dalam kondisi sangat baik. Sehat walafiat. Rio meraih Ify dan menarik gadis itu dalam dekapannya. Sang Gadis melongo dan kaget.
                “Gue sayang sama lo, Alyssa. Udah dari lama. Apa sikap gue ke elo kurang nunjukin kalo gue sayang banget sama lo?” ucap Rio. Dada Ify berdegup tak menentu. Ia deg-deg-an. Apa yang barusan Rio ucapkan itu halusinasinya? Apa itu semua mimpi? Pandangan matanya tanpa sengaja menangkap sosok Acha yang seakan berbicar batin pada dirinya. Lo penghianat. Ify tersadara dan ingat bahwa Rio ini sudah menjadi milik orang lain. Ify memberontak dalam pelukan Rio hingga pemuda itu menguraikan pelukannya.
                “Lo mau mempermainkan gue?” Rio diam. “Cukup, Io. Gue udah terlalu sakit selama ini. Lo nggak tahu seberapa terpuruknya gue ngeliat lo sama Acha. Lo nggak tahu berapa banyak mata ini menangis, Io. Jauh dari lo ngebuat gue lemah, Io.” Ify mulai menangis. Ia tidak tahan untuk mencegah air matanya mengalir. “Di sini sakit, Io. Nyeri.” Lirih Ify dan meletakan tangannya di dadanya. Tempat hatinya yang terluka. Air matanya terus menganak sungai dan tatapannya nanar. Rio tak sanggup melihat Ify begini. Baginya membuat Ify jadi pemurung saja itu sudah terlalu buruk.
                Ify menatap Rio yang tidak memberikan reaksi apapun. “Gue minta, Io jangan nambahin luka gue lagi dengan permainan konyol lo ini. Gue nggak tahu bagaimana cara menghadapinya lagi. Bener nggak tahu.” Ify menarik nafas panjang. “Dan kalo lo memang tega buat gue luka, sebaiknya lo kasih tahu gue gimana buat ngehadapinya. Setidaknya itu membuat gue lebih baik dan bisa mengikhlaskan cinta gue ke elo.” Bola mata Ify yang terus mengeluarkan air mata menatap Rio. “Lo sebaiknya urusin pacar lo si Acha itu,” sambung Ify. Ia berat untuk sekedar menyebut nama Acha.
                Rio menggeleng. “Nggak, Fy. Gue nggak pernah pacaran sama Acha. Tertarik sama dia aja nggak.”
                Ify menatap Rio sinis dan memberikan handphone-nya ke Rio untuk menunjukkan SMS dari Acha. SMS terkutuk yang masih saja ia simpan. Rio terbelalak kaget. “Gue nggak pernah nembak Acha. Dia emang ngintilin gue, tapi gue nggak perduliin dia. Lo udah dibohongin Acha, Fy,” ucap Rio tegas dan yakin.
                Ify menggelang. “Nggak. Gue nggak percaya. Nggak mungkin lo sama dia nggak jadian. Gue udah bantuin dia untuk ngedekatin elo,” ujar Ify tidak percaya.
                “Bego,” tunding Rio. “Lo nyakitin hati elo sendiri. Juga nyakitin gue,” bentak Rio. Ify terdiam. “Apa sikap gue selama ini menunjukkan kalo gue orang yang bakal membuat elo terluka, Fy? Nggak kan. Gue itu beneran sayang banget sama lo, Fy. Apa lo nggak bisa ngeliat itu? Lagu tadi buat elo, gue cinta sama elo.” Mata teduh Rio menatap Ify lembut.
                “Jangan ngucapin kata sayang itu, Io. Semuanya semu. Palsu. Tega banget lo buat gue gini. Salah gue apa, Io? Gue udah sakit hati. Gue sayang sama lo. Sayang banget. Betapa menderitanya gue gara-gara rasa ini,” ucap Ify. Ia lagi-lagi menangis dan tak sanggup mengontrol dirinya. “Gue nggak sanggup lagi sakit karena ini. Udah cukup.” Tangis Ify semakin pecah dan tubuh gemetaran. Rio langsung memeluk Ify. Ia sungguh sangat merasa bersalah. Ia tidak sanggup melihat Ify ambruk.
                “Gue nggak main-main, Ify. Buat apa gue berdiri di lapangan, dilihatin banyak orang. Lo tahu sendiri gue bukan tipe orang kayak gitu. Apa itu belum cukup membuktikan? Bahkan di sini ada orang yang lo bilang pacar gue,” ucap Rio semakin frustasi. Ify tertegun. Ia melupakan detail ini. Ia mendorong Rio agar melepaskan pelukannya. Begitu lepas, ia langsung menatap Rio. Mencari kepalsuan dari wajahnya. Mencari kebohongan dan sandiwara. Namun ia tidak menemukan itu, malah ia mendapati kesungguhan dan kejujuran dari wajah lelaki itu. Apalagi mata Rio. Mata itu menatapnya yakin dan penuh kesungguhan.
                “Jangan dipersulit kalo ini nggak sulit, Fy. Gue sayang elo dari umur gue 9 tahun. Lo cinta pertama gue.” Rio menatap Ify dan mengangkat wajah gadis itu agar balas menatapnya. “Pantai. Tempat gue ketemu elo dan tempat gue jatuh cinta. Gue tahu cinta anak 9 tahun itu nggak berarti apa-apa. Tapi, gue ngerasainnya beda. Buktinya gue masih mencintai elo hingga sekarang,” lirih Rio. Ify terdiam. Penonton di lapangan menahan nafas tanpa mereka sadari. Terlalu fokus menatap Rio dan Ify. “Rasa itu nggak pernah berubah, Fy. Di sini,” ucap Rio. Ia menarik tangan Ify dan meletakkannya di dadanya sendiri. “Hanya terukir nama lo. Hanya Alyssa Saufika Umari. Belum pernah dan nggak akan pernah ada yang ngegantiin.”
                Ify menghela nafas lega. Ia menatap Rio yakin. Sekarang dirinya benar-benar yakin Rio menyanginya. Apalagi peristiwa delapan tahun lalu memang takdir dirinya dan Rio. Mario dan Alyssa. Jadi benar kalau Mario Stevano yang ada di hadapannya ini dan yang menyanginya ini pemilik senyum penuh ketenangan itu.
                “Gue juga sayang sama lo, Io,” ucap Ify akhirnya. Ia menyerah. Untuk apa ia menyembunyikan perasaan itu lagi. Nggak ada gunanya menyembunyikannya karena orang yang ia sayangi juga memiliki rasa yang sama dengannya. Ify tidak perduli dengan Acha. Acha nggak punya hak untuk ngelarang dia buat bilang sayang sama orang lain, termasuk Rio.
                Rio tersenyum lega. “Alyssa tatap gue,” pinta Rio. Ify menatap Rio tepat di kedua bola mata milik pemuda itu. “Gue sayang bahkan cinta sama elo. Gue udah terlalu lama nunggu. Maafin gue karena sempat membuat elo sakit hati.” Rio berhenti sejenak. “Gue janji, nggak akan buat elo terluka apalagi hati lo. Gue akan jagain elo. Selamanya. Gue harap di hati elo cuma terukir nama gue. Hanya Mario Stevano Aditya Haling pemilik hati elo.” Rio menarik nafas. Sementara Ify terlalu tegang hingga ia seperti ingin roboh. Untung saja Rio memegang tangannya. “Would you be Mrs. Mario?” Air mata Ify berlinang. Cinta pertamanya tidak jadi kandas. Akhirnya sampai juga pada ending-nya, biarpun tidak seindah di fairy tell. Namun, bagi Ify itu yang paling indah. Terindah.
                Ify mengangguk. “I would, Mr. Mario. Hanya Alyssa Mrs. Mario.”
                Rio begitu lega dan langsung menarik kekasihnya dalam pelukannya. Ia begitu lega dan senang. “Makasih ya, Fy,” ucap Rio. Ify mengangguk dan membalas pelukan Rio.
                Semua penghuni lapangan yang tadinya menahan nafas segara membuangnya. Mereka bertepuk tangan heboh dan riuh. “Eh ciiiiiiiiiiiiieeeeeeeeeee………. Sooooooo ssswwweeeeeeeeettttttt pake baaaangggetttt.”
                “Ciiiiiiieeeeeeeeeeeee Iiiiiifyyyyyyyyyyy Riiiiiiiiiiioooooooooooo…..” koor seluruh warga Global Nusantara School yang terlibat dalam lapangan. Dua pasangan baru itu buru-buru melepaskan pelukannya, salting dong. Jiah…
                “Nah kan bener yang gue bilang, kalo mereka berdua itu memang saling suka. Daud gitu lho,” seru Daud bangga. Seluruh penghuni lapangan mengangguk setuju. Memang sebenarnya Daud yang pertama kali ngomong seperti itu hingga menyebar ke seluruh pojokan GNS. Daud-Daud sok banget dah. Setelah mengucapkan selamat kepada Rio dan Ify, orang-orang yang menuhi lapangan kembali ke kelas masing-masing.
                Via, Agni, Cakka, Alvin dan Iel menghampiri Rio dan Ify. “Gila lo berdua. Gue udah deg-deg-an setengah hidup nunggu sesi penembakan ini. Lama banget tahu,” seru Agni gemes.
                “Pake acara berantem lagi,” timpal Cakka. Rio dan Ify nyengir konyol.
                “Akhirnya sepupu gue jadian juga sama sohib gue. Selamat buat lo berdua,” ucap Via. Ia mendekati Ify dan berbisik. “Feeling gue bener kan.” Ify mengangguk.
                Sepupu, batin Ify. Jadi selama ini Rio sepupu Via. Pantes tuh anak tahu tentang Rio waktu itu. “Viong, lo curang. Pantes lo minta pendapat gue tentang Rio. Ish…nyebelin lo. Gue nggak terima,” ucap Ify manyun. Semuanya tergelak, termasuk Rio. Inilah yang ia sukai. Ify begitu menggemaskan kalau dia sedang kesal. Tampannya lucu banget.
                Good job, Say,” puji Alvin ke Via. Via? Jelas tersenyum senang. “Selamat, Yo. Akhirnya lo jadian juga sama kembaran bawel Via ini.” Alvin menjabat tangan Rio. Rio membalas. “Thanks, Bro.”
                “Gue udah rekam acara tembak menambak ala Rio dan Ify buat kenang-kenangan,” ujar Iel dan menunjukkan Video yang ada di handycam-nya. “Selamat ya, Yo. Langgeng deh.” Rio mengagguk. Ify yang sendari tadi melihat Video itu mukanya mendadak merah. Gila ini mah kayak yang di film-film ntuh, batin Ify.
                “Jangan buat kenang-kenang aja, Yel. Kita kirim ke produser siapa tahu ada yang berminat. Ini kan sungguh romantis. Lumayan nambah uang saku,” celetuk Cakka.
                “Setuju,” seru Via, Alvin, Agni dan Iel.
                “Pala lo dollar, Cak. Sini gue mau hapus. Malu bego,” ujar Ify kesal dan berusaha mengambil handycam Gabriel. Tangannya lincah bergerak-gerak berusaha mengambil benda itu, namun Iel lebih gesit.
                “Udah deh, Fy. Biarin aja. Mereka pada iri sama kita,” ucap Rio sambil menarik tangan Ify dan menggenggamnya. Ify jadi diem.
                “Sumpret lo, pesek,” ujar Alvin keki.
                “Lo sipit. Gue mah ganteng, manis, dan pinter.” Balas Rio narsis. Ify terkekeh pelan. Ia merasakan bahwa ini diri Rio yang asli.
                “Gue yang lebih ganteng. Alvin ganteng,” seru Alvin.
                “Gue. Cakka Kawekas Nuraga yang paling ganteng.” Cakka tak mau kalah.
                “Ngapain lo bertiga ribut-ribut dan nyebutin ciri-ciri gue.” Iel angkat bicara dan tak mau ketinggalan.
                “Pede lo.” Rio, Alvin dan Cakka berteriak di kuping Iel kompak.
                “Lo berempat narsis banget,” seru Agni dan Via yang membuat keempat cowok itu nyengir kuda.
                “Lho, Fy? Kok elo nggak teriak narsis juga. Nggak kompak lo,” tanya Agni heran.
                “Hehehe… Bagi gue Rio memang cakep, manis walaupun item. Pintar lagi.” cengir Ify.
                “Iiiiiipppppooooooongggg……..” teriak Agni dan Via kesal. Ify memasang tampang polosnya dan pura-pura nggak denger. Kelima orang itu geleng-geleng kepala dan Rio senyum-senyum dipuji Ify. Ckckck….

************END************

                Cinta? Cinta memang suka jahil lantaran ia enggan terang-terangan menyadarkan seseorang kalau ia sudah berhasil membuat seseorang jatuh cinta. Cinta itu sedikit pecicilan, menggoda seseorang dengan hanya sedikit memberikan virusanya namun berdampak hebat ke seseorang hanya sekedar untuk menggoda orang lain. Ia menjatuhkan virus mencintai orang yang sama.
Cinta memang kejam, ia tega membuat seseorang menangis dan berbuat egois. Cinta juga hebat karena ia berhasil membujuk sang Waktu bekerja sama untuk membuktikan rasa cinta yang dimiliki seseorang. Lantas cinta juga sudah keterlaluan karena ia sungguh tega menjadikan seseorang begitu rapuh dan lemah. Hanya bisa diam tanpa mau memperjuangan cintanya.
Namun, sejahat-jahatnya cinta toh ia juga kembali ke dua hati yang saling terikat. Saling mencintai. Bahkan ia menyatukan dua hati yang benar-benar merupakan cinta sejati. Cinta juga membuat seseorang untuk dapat mempertahankan cintanya dan yang terbaiknya, cinta mampu membuat rangkain cerita pahit cinta seseorang menjadi begitu indah dan menuju akhir cerita yang paling diharapkan. Karena itulah mengapa cinta disebut sempurna.

************** The End************** 




_Shelly Sagita_

The Reason Why Love was Called Perfect 2

Sejak kejadian di kantin, Ify dan Rio semakin dekat. Mereka jadi sering bersama. Apalagi sifat Rio yang dingin hanya berlaku bagi orang lain. Tidak untuk Ify. Bersama Ify sifat Rio menjadi hangat, lembut dan bersahabat. Orang-orang pada heran dengan perubahan Rio yang begitu mencolok. Terlebih lagi para fans-nya, yang mendadak membenci Ify dan sinis terhadap cah ayu itu.
Bagaimana dengan Via dan Alvin?? Wah, kita ketinggalan. Mereka berdua udah main jadian aja. Ckck...

Flash back on

"Vi, ikut gue bentar ya?" pinta Alvin yang datang tiba-tiba. Via yang lagi sendiri menunggu Ify yang ke toilet lantas kaget. Dia kira hantu.
"Tapi gue lagi nunggu Ify, Vin," ujar Via. Dia tidak enak kalo meninggalkan Ify.
"Nggak usah nungguin Ify. Ayo." Alvin tak perduli dengan penolakan Via. Dia menarik Via. Jemarinya melingkar dengan kokoh di pergelangan tangan si Manis Via.
"Tapi, Vin. Eh...Vin. Alvin..." Via memperotes. Tapi Alvin cuek aja. Maafin gue, Fy, batin Via.

******************

Alvin membawa Via ke taman sekolah. Via merasa canggung dan aneh. Tidak pernah Alvin membawa Via seorang diri ke area ini.  Diam-diam Via mengamati seluruh pelosok taman. Ada yang aneh, batin Via. Dirinya sendiri tidak menyadari kalo Alvin meninggalkannya.
Tiba-tiba petikan suara gitar terdengar oleh kedua telinga Via. Mata Via liar menatap sekelilingnya dan menangkap sosok Alvin dengan sebuah gitar dipangkuannya. Alvin sendiri tengah duduk di sebuah bangku sambil bernyanyi.

Seanggun warna senja menyapa
Bersambut musim yang dijalani
Semoga bintang penuh harapan
Mencoba tuk terangi
Dalam gelapnya malam
Ungkapanku untuknya
Untuk seorang wanita
yang kupuja dan kupuji
Takkan ku rasa jenuh
Dirinya dihatiku...

Parasnya sungguh indah sekali
Menggugah rasa tuk selalu bersamanya
Senyumnya menggetarkan jiwaku
Meresap indah dalam alunan syair laguku...

Lagu itu berakhir. Membuat Via jadi deg-deg-an setengah abad. Jatungnya bak pelari meraton, lari sana sini. Nggak kasihan amat sama Via yang udah mau mati berdiri. Dia, Alvin menatap fokus Via.  "Vi, gue mungkin bukan cowok romantis, gue juga nggak tahu lagu tadi itu pantes atau nggak untuk ngungkapin perasaan gue ke elo dan gue bukan juga yang pertama ngungkepin rasa ke elo." Alvin menghela nafas sesaat. "Gue juga sadar kalo gue bukan cowok sempurna dan perfect. Karena itu gue minta maaf. Tapi, gue nggak mau minta maaf kalo gue udah jatuh cinta sama lo sejak pertama kita bertemu." Alvin memejamkan matanya sejenak. Mengingat sesuatu mungkin. Via sungguh berdebar. Tanpa sadar ia menahan nafasnya. Inilah saat yang sangat dan selalu ia mimpikan sebelum ia terlelap di setiap malamnya.
"Gue suka sama lo yang ceria, ramah, apa adanya dan senyum lo. Walaupun elo kadang-kadang lemot,” ucap Alvin dengan muka serius dan kata terakhir yang diucapkannya membuat Via tersadar dan menggerutu kesal. “So, would you be my girlfriend Sivia Azizah?"
Harusnya Via bisa bilang 'I would' langsung karena inilah yang ia inginkan. Ketika pangerannya, Alvin Jonathan Sindunata mengucapkan kata ajaib itu. Tapi, dua kata itu tak sanggup ia lontarkan. Hingga akhirnya Via mengangguk malu-malu. Mukanya bersemu merah.
Alvin tersenyum lega dan menatap kekasihnya itu. "Makasih ya, Vi," ucap Alvin lembut. Via hanya mengangguk (lagi). Tidak bisa berkata apa-apa karena hari ini dia bukan lagi seorang gadis pemimpi yang menunggu prince charming-nya. Tetapi, dia adalah gadis yang memang telah nyata memiliki dan menemukan pangerannya.

Flash back off

*********************

Hari ini sebenarnya Ify males banget untuk masuk sekolah. Ia berharap tiba-tiba ada hujan meteor atau gempa bumi secara tiba-tiba. Atau yang ringannya, boleh saja Pak Dave ada urusan mendadak atau tiba-tiba  sakit gitu tapi jangan parah-parah banget. Boleh juga yang lebih simple, Pak Dave kena kutu air. Pokoknya apa aja yang bisa membuat Pak Dave nggak masuk sekolah. Biar nggak ketemu fisika.
Tetapi apa yang diimpikan gadis berdagu tirus itu hanya sekedar mimpi lagi. Nyatanya dia sendiri sedang duduk di bangkunya sendiri di kelas XI IPA 2. Wajahnya lesu dan dia sedikit ketakutan juga gemeteran. Apalagi dari tadi Pak Dave udah duduk di mejanya sendiri, meja guru. Sambil membagikan kertas ulangan harian minggu lalu. Ify semakin gelisah. Dia takut nilai ulangannya tidak menunjukkan perbaikan. Ditambah lagi dia udah belajar sama Rio sekitar seminggu penuh tanpa absen untuk menghadapi ulangan itu. Dan Rio, Ify sudah sadar dan tahu kalau lelaki itu seorang guru yang baik bagi dirinya. Dan Ify akan sungguh merasa bersalah kalau nilainya tetap membuncit. Lima.
“Alyssa Saufika,” panggil Pak Dave. Ify seperti orang linglung saja. Dia bangkit dari posisi duduknya. Wajahnya ditekuk. Dia tidak siap untuk melihat nilai yang tertera di kertas ulangannya. Apalagi Pak Dave tidak memberinya seulas senyum seperti yang beliau lakukan ketika memanggil Rahmi yang berhasil memperoleh nilai Sembilan. Malah Pak Dave menjadi suram begitu menyebut nama dirinya.
Ify sudah berdiri di samping meja Pak Dave. Namun guru killer itu tak kunjung memberikan hasil ulangannya. Malah beliau memanggil anak kesayangannya, siapa lagi kalau bukan Rio. “Mario,” panggil Pak Dave. Pasti nilai gue acur banget. Rio aja sampai dipanggil gini. Gimana? batin Ify. Dia melihat pemuda itu maju dengan santainya. Tidak ada beban sama sekali. Tapi Ify tahu, mata Rio menatap dirinya lurus dan seakan mengatakan ‘jangan buat gue malu’. Ify menelan saliva-nya.
Pak Dave menatap siswinya -Ify- sekilas. Lalu beliau menarik selembar kertas dari tumpukan kertas yang berada di mejanya. Ify sungguh berdebar. Baginya ini seperti menunggu vonis penjara. Pelan-pelan tapi pasti Ify mengambil kertas itu dari tangan Pak Dave. Matanya memejam ketika kertas itu utuh berada ditangannya.
Sementara Rio menatap gadis di sebelahnya itu bingung. Alis kanannya terangkat dan memperhatikan mata Ify yang memejam. Dia tahu apa yang ditakutin gadis itu. Lantas Rio geleng-geleng kepala dan akhirnya menyikut lengan kiri Ify.
Ify tersadar dan dia melihat Rio yang menatapnya seolah berbicara ‘lihat nilai lo’. Ify sontak menggelang, namun Rio melotot kepadanya. Sedangkan teman sekelas mereka menatap tiga sosok di depannya itu dengan bingung. Apa yang terjadi di depan mereka seperti slow-mation saja.
Dengan takut-takut Ify memaksa kepalanya untuk memandang ke bawah, ke kertas ulangannya. Seketika matanya melebar dan dia terperangah sendiri melihat nilai 88 tertera di sudut kanan kertas ulangannya. Sangking ketidakpercayaannya Ify sampai mengucek-ngucek matanya dan sesekali melotot. Dia menatap Pak Dave yang kini tersenyum. Bagi Ify itu seperti mimpi saja, Pak Dave begitu ramah dan baik kepadanya, biasanya guru asal Medan itu menyemprotnya selalu dengan nasihat-nasihat agar belajar lebih baik tak lupa menyebut nilainya selalu buncit alias lima.
Refleks Ify meloncat-loncat begitu senangnya. “Gue nggak dapet lima,” seru gadis itu riang. Dia tersenyum sumringah dan ketika melihat Rio di sebelahnya gadis itu melompat kepelukan pemuda hitam manis itu yang kaget begitu melihat reaksi Ify. “Huaaaaaa, makasih banyak Io. Berkat bantuan lo gue nggak dapet lima lagi. Thanks so banget,” seru gadis itu dan memeluk Rio. Karena dirinya memeluk Rio yang notabane berada di sebelahnya, badan Ify menghadap ke depan, ke teman sekelasnya.
“Ciiiiiiiiiiiiiiieeeeeeeeeeeee, Iiiiiiiiiiiiifffffffffffffffyyyyyyyyy…….” koor teman sekelasnya. Ify memperhatikan mereka satu persatu, dia melihat Via yang paling semangat menggodanya. Ify masih belum sadar kalau dia memeluk Mario Stevano Aditya Haling di depan seluruh penghuni XI IPA 2.
“Peeeeeeeeeellluuuuuuuuuukkkk teeeeeeerrrrruuuuuusssss, Fy,” goda Rizky dan bersiul nyaring. Siulan Rizky seperti sengatan listrik dan lebah bagi Ify. Karena dia sadar sudah memeluk pemuda hitam manis, tampan dan yang memiliki nama Rio. Ify sontak melepaskan pelukannya. Namun teriakan teman-temannya masih saja seru terdengar.
Sttttooooop,” ucap Pak Dave keras. Seluruh warga XI IPA 2 mendadak sunyi bagai di kuburan. Ify langsung menjaga jarak dari Rio dan menunduk.
“Alyssa,” ujar Pak Dave. Ify tinggal menerima nasib, dia sadar kalau perbuatannya memang keterlaluan, tapi sungguh dia tidak sengaja. Hal itu refleks dia lakukan karena dia sedang dalam luapan begitu gembira. “selamat kamu tidak mendapat nilai kebanggaan mu itu. Pertahankan nilai mu,” lanjut Pak Dave dan membuat Ify melonjak kegirangan dalam hati. Ify sungguh senang karena Pak Dave tidak pernah mengaggap insiden peluk-pelukan tadi terjadi.
“Dan kamu Mario. Kamu memang siswa yang paling saya kagumi. Kamu berhasil membuat siswi saya, Alyssa memperbaiki nilainya yang sungguh amat memalukan itu,” ucap Pak Dave.
Rio mengagguk. “Itu juga berkat Bapak sebagai guru saya. Selain itu Ify juga terus berjuang dan belajar dengan tekun. Walaupun sempat membuat saya keki setengah mati karena harus berulang-ulang menjelaskan setiap sub materinya sampai otaknya yang lemot itu nyambung dan mengerti,” ucap Rio santai dan penuh rasa hormat. Padahal kata-katanya sungguh nggak banget dan membuat Ify hampir berjanji untuk membunuh anak itu karena mempermalukannya lagi. Tapi tidak jadi, karena siapa lagi yang bisa mengajarinya hingga kenaikan kelas nanti. Kan materi fisika itu masih buanyak banget.
Pak Dave mengagguk-ngagguk mengerti dan menatap Ify lurus. Seolah bilang kepada siswinya itu ‘kamu harus berterima kasih pada Mario dan jangan pernah membuat Rio kesal’. Alam bawah sadar Ify memaksa Ify mengaggukan kepala tanpa ia sadari. “Ini kertas ulanganmu. Dan bapak memberikan nilai plus sebagai penghargaan buat kamu,” ujar Pak Dave dan memberikan selembar kertas kepada Rio. Ify melirik kertas itu dan melongo tidak percaya. Rio berhasil mendapat nilai sempurna. Seratus. Berarti tidak ada yang salah dalam jawabannya. Mata Ify semakin melebar ketika di samping angka sempurna itu tertera tanda plus. Enak banget jadi Rio, udah dapet seratus, plus lagi, batin cewek berdagu tirus itu.
“Pak, Rio dapat nilai plus tuh. Saya juga dong, Pak. Kan saya udah belajar dengan baik,” ucap Ify memelas.
Pak Dave menatap Ify garang. “Sini kertas ulanganmu. Bapak kasih nilai minus,” ucap Pak Dave tegas. Ify langsung kicep.
“Nggak deh, Pak. Makasih. Saya kembali ke bangku aja deh, Pak,” cengir Ify. Ia langsung balik badan dan kembali ke bangkunya. Pak Dave hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah ajaib siswinya itu. Sedangkan Rio?? Dia terlalu sibuk tertawa dalam hati dan akhirnya kembali ke bangku setelah Pak Dave menyuruhnya.

**************************

Hari ini Via dan Ify lagi menikmati waktu senggang mereka di tepi pantai. Biasa Hang out pada weekend. Kedua gadis itu duduk di pinggir pantai, tak perduli dengan ombak yang menyeret mereka bahkan air laut yang membuat sebagian tubuh mereka basah. Inilah yang mereka suka, bercerita sambil memandang laut lepas. Tak lupa terkadang tangan mereka bermain-main saling menyipratin satu sama lain. Dan biasanya diakhiri dengan teriakan Via yang menyuruh Ify berhenti karena bajunya udah pada basah semua.
“Eh, Fy. Lo nggak ada perasaan apa-apa sama Rio?” tanya Via membuka percakapan pertama mereka sejak dirinya dan sohibnya itu tiba di pantai ini.
Ify yang semula menatap lurus jauh ke depan, menatap ombak pantai yang bergulung-gulung lantas menolehkan kepalanya ke kanan. Melihat sohibnya itu. “Kenapa nanya gitu?” Ify malah balik bertanya.
“Yah, aneh aja kalo lo nggak punya rasa apa-apa sama Rio. Secara Rio selalu sama dia. Apalagi kalian deket banget, kayak orang pacaran tau nggak sih. Suka berdua gitu. Ke kantin aja berdua, perpus apalagi. Lagian Rio sering ke rumah elo, nyokap bokap lo udah kenal lagi. Terus Rio selalu ngejagain elo. Yang pentingnya, kalian berdua itu kalo marahan langsung minta maaf. Apa itu nggak pacaran?” jelas Via sejelas-jelasnya dan mampu membuat Ify cengo.
Perasaan sama Rio? batin Ify. Dia memang merasakan sesuatu sama Rio. Tepatnya hatinya. Tapi, gadis itu tidak yakin kalo itu yang disebut dengan sayang, suka apalagi cinta. Karena dia tidak menyukai orang sok cool, pendiem dan sok misterius. Sementara Rio memiliki semua itu, walaupun tidak parah seperti awal pertama kali Rio menjadi bagian warga XI IPA 2. Namun, perasaan itu sungguh mengganjal jika tidak dibilang sayang. Ify jadi bingung karena rasa dia ke Rio berbeda dengan rasa yang dia punya ke Gabriel waktu dulu.
“Nggak. Rio itu teman yang sangat menyenangkan. Wajar gue sama dia sering bersama, karena dia tutor gue dan gue muridnya. Kalo orang tua gue kenal sama dia, pantes sih. Dia sering ke rumah buat ngajarin gue,” jawab Ify akhirnya. Ketika menyebut kata teman, hati Ify serasa memberontak. Tapi gadis itu tidak mau menyadarinya bahkan mempelajari rasa itu.
Via manggut-manggut. “Kalau yang kalian marahan dan kemudian maafan itu apa? Kok kayak gue sama Alvin aja,” tanya Via lagi.
“Kan kalo kita salah, ya minta maaf. Sesama teman, bahkan orang lain ya harus minta maaf. Hehehe…” cengir Ify.
Via mendesah kesal. Sahabatnya ini pura-pura bego atau memang nggak tahu sih tentang perasaannya sendiri. Tetapi Via bijak, dia memilih untuk diam. Dia membiarkan Ify sendiri untuk memahami dan mengerti tentang perasaan gadis itu sendiri.
“Lo bener, Fy,” ujar Via. Ia kembali melirik lautan yang sungguh tenang dan menenangkan itu. “Menurut elo Rio itu gimana, Fy? Apa sih yang elo tahu tentang dia?”
“Rio ya? Dia baik, pasti. Pinter, jangan ditanya. Manis dan tampan walaupun item.” Ify nyengir. Via ikut mengagguk setuju. “Sifatnya pendiem, jarang ngomong, dingin dan gue akuin dia cool. Tapi, gue ngerasa Rio nggak gitu. Hati gue bilang, Rio itu ramah, lembut dan bersahabat. Juga narsis kayaknya,” lanjut Ify. Ia menerawang ke depan. Mengingat kejadian ketika Rio terasa berbeda.
“Hehehe…” Via malah cengengesan. Dia udah mau tertawa. Ini yang lo bilang nggak punya rasa ke Rio. Ify-Ify, padahal lo udah nemuin diri asli Rio. Ck, decak Via dalam hati.
Ify menjadi diam dan Via ikutan juga. Mereka berdua sibuk dengan pikiran masing-masing. Mata keduanya memang menatap jauh ke depan, tapi pikiran melayang. “Gue ngerasa pernah ketemu Rio,” ucap Ify tiba-tiba.
“Kapan?” tanya Via cepat. Ini yang membuat dia penasaran dari dulu. Soalnya Rio selalu mengatakan dengan tegas dan yakin kalau dia pernah bertemu Ify. Sedangkan Via nggak tahu Ify pernah atau nggak ketemu Rio. Dia takut kalau Rio salah orang.
Ify menggeleng tanda ia tidak tahu. “Gue lupa kapan. Gue merasa kenal sama senyum Rio. Senyum Rio itu beda sama senyum orang lain pada umumnya. Senyum yang kadang-kadang terlintas dalam bayangan gue. Malahan belakangan ini senyum itu muncul, apalagi kalo gue lagi dekat Rio. Waktu mau melihat Rio, gue langsung diemkan? Soalnya senyum itu muncul dalam pengelihatan gue,” jawab Ify.
Via bukannya marah pada Ify yang melupakan kejadian penting itu. Gadis chubby itu malah tersenyum senang. Sekarang Via get the point tentang Ify ke Rio. Dia udah dapat kuncinya. Hanya saja Via tahu kalau sohibnya ini nggak menyadari atau mungkin tak mahu tahu. Dan seperti keputusan awalnya, Via memilih diam. Biar Ify mengerti sendiri tanpa dia harus turun tangan. Dan bila ada sesuatu yang ‘mengacam’ sohibnya ini bahkan Rio dia akan turun tangan. Karena feeling-nya bilang akan terjadi sesuatu.
“Vi, ganti deh lo cerita tentang lo sama Alvin. Dari tadi gue mulu,” ujar Ify dan memutar tubuhnya menghadap Via. Kini kedua gadis itu saling berhadapan dan tetap membiarkan air laut bermain-main sendiri di sekitar tempat mereka duduk. “Lo masa nggak curiga gitu, kalo Alvin kayak udah ngenalin lo lebih daripada diri lo sendiri. Padahal lo ketemu dia baru sebulan ini, jadian aja nggak lebih dari tiga minggu,” sambung Ify dan menatap Via menyipit.
Via hanya menghela nafas. Dia udah penasaran dari dulu dan sampai sekarang dia masih nggak tahu. Ketika menayakan hal ini kepada Alvin. Alvin hanya tersenyum dan bilang ‘hati gue dan elo udah nyatu, makanya gue ngenalin lo banget’. “Gue nggak tahu, Fy. Gue juga bingung, tapi Alvin nggak ngejawab waktu gue tanya. Gue bosen nyari tahu, biarin aja. Yang penting dia nggak nyakitin gue, malah dia baik banget. Beruntungnya jadi Sivia Azizah.”
Ify mencibir mendengar kalimat terakhir Via. Via malah menimpuknya dengan segenggam pasir. “Iri aja, lo,” balas Via.
“Wleeeee….” Ify melet dan membersihkan wajahnya yang kena serangan pasir Via. “Pulang yok, Fy. Udah sore. Lagian Alvin udah jemput,” ajak Via sambil sibuk dengan BB-nya. Mungkin membalas SMS dari Alvin.
“Dasar lo-nya aja yang mau ketemu Alvin. Tapi, oke deh. Baju gue udah basah semua.” Ify menyetujui. Akhirnya dua gadis penyuka laut itu beranjak dari duduk santai mereka. Kini langkah keduanya menjauhi pantai yang menenangkan itu dan yang selalu menjadi teman curhat keduanya.

************************

“Hai,” sapa seorang cewek berambut panjang lebih sebahu tetapi tak menyampai pinggang. Bayangkan sendiri ya panjangnya? J kepada Ify yang lagi asyik membaca novel di perpustakaan. Ify lagi seorang diri. Alvin dan Via lagi ke kantin berduaan, nggak mungkin kan dia ikutan nimbrung terus. Ntar jadi obat nyamuk lagi. Apalagi Rio nggak masuk. Katanya sih izin, ada urusan keluarga seperti yang tertera di surat keterangan izin Rio.
“Hai juga. Acha kan?” balas Ify dan tersenyum senang. Dia kenal cewek di sampingnya ini. Acha. Ya, Larissa Safanah Arief. Salah satu most wanted girl dan sahabat Ashilla Zahrantiara. Cewek terkenal seantreo GNS. Siapa yang nggak tahu dia? Tapi, tumben aja Acha menghampirinya.
Acha balas tersenyum. “Iya. Eh, Fy. Tapi jangan marah ya?” Acha menatap Ify dan Ify mengangguk. “Elo pacaran sama Rio ya?” tanya Acha.
Ify kaget dan bingung. Bukan bingung dengan jawaban yang harus ia berikan ke Acha. Tapi, bingung kenapa Acha menanyakan perihal ini kepada dirinya. “Nggak kok. Emang kenapa?”
“Beneran?”
Ify mengagguk. “Bener lah. Gue sama Rio deket karena dia tutor fisika gue. Pak Dave yang menyuruh Rio buat ngajarin gue yang dong-dong ini.” Ify nyengir.
Kini Acha semangat sekali dan menatap Ify yakin. “Jadi lo nggak pacaran sama Rio. Berarti gue ada kesempatan,” seru Acha girang.
Ify bingung mode on. “Kesempatan apa?” tanya Ify akhirnya. Dia penasaran.
Acha memasang wajah memelasnya. “Gue sebenarnya udah suka sama Rio sejak dia pindah ke sekolah kita ini, Fy. Tapi gue takut buat deket sama Rio. Lo tahu kan dia cuek banget.” Ify mengangguk. “Gue ngerasa kalo gue itu nggak mungkin deket sama Rio. Waktu gue tahu kalau elo deket sama Rio, gue patah hati. Tapi, kini gue senang. Ternyata elo nggak pacaran sama dia. Gue seneng banget, Fy. Gue ngerasa ini kesempatan buat gue.” Acha menatap Ify dengan tampang kalau Ify itu seperti malaikat baginya. “Jadi, kesempatann itu maksudnya. Lo mau kan bantu gue buat deket sama Rio? Tolong banget, Fy. Ini kesempatan buat gue. Please, Fy. Kan elo nggak suka sama Rio,” lanjut Acha dan sedikit memohon ke Ify.
Hati Ify tertohok. Acha suka sama Rio. Cewek popular dan cowok popular, Rio Acha, batin Ify. Dia merasa nyesek sekali. Nafasnya tercekat bahkan dia merasa kini sulit bernafas. Hati Ify menolak untuk membantu acara PDKT Acha ke Rio. Tapi, apa alasannya. Gadis itu tidak mempunyai hak untuk melarang siapapun termasuk Acha buat dekat sama Rio. Apalagi Rio dan Acha sama-sama most wanted-nya GNS. Pasti cocok.
“Gue kan nggak suka sama Rio. Kenapa juga gue nggak bantu Acha? Baik sama temen dapat pahala kali, Fy,” ujar Ify kepada dirinya sendiri. Dia menghela nafas sejenak. “Ya udah, gue bantu sebisa gue.” Akhirnya Ify siap menjadi matchmaker-nya Acha.
Acha tersenyum sumringah. Dia tidak menyangka akan secepat ini Ify menyetujui untuk membantu dirinya. Apalagi Acha yakin tidak mungkin Ify tidak memiliki rasa ke Rio. Tapi sebodo amat baginya, karena dia tidak perduli dan tidak mau perduli. Yang penting dia bisa mendapatkan Rio. Lagian Ify udah bilang kalo dia tidak pacaran sama Rio. “Makasih banget ya, Fy. Lo emang baik,” ucap Acha. Ify mengagguk. “Sama-sama.”
“Kalo gitu gue balik ke kelas ya. Jangan lupa!” ucap Acha sebelum menghilang di balik rak-rak buku.
Di luar perpustakaan Acha heboh dan tersenyum ketika seseorang menghampirinya. “Gimana, Cha?” tanya orang itu.
“Berhasil dong. Lo nggak salah nyuruh gue buat minta tolong sama Ify, Shill. Dia setuju aja,” jawab Acha ke Shilla. Ternyata cewek yang menghampiri Acha itu Shilla.
“Ashilla gitu. Bentar lagi kita berdua akan tenar banget, gue sama Iel dan lo sama Rio. Gue yakin Rio suka sama lo. Secara lo the most wanted girl.”
“Siip. Thanks banget, Shill.”
Welcome. Yuk ke kelas. Iel nunggu.” Acha mengangguk dan kedua orang itu meninggalkan perpustakaan.

*************************

Siang menjelang sore ini Ify dan Rio lagi belajar di taman sekolah. Apalagi kalau bukan belajar fisika. “Io, yang ini gimana? Kok gue nggak dapet juga hasilnyaa?” tanya Ify ke Rio yang duduk di sebelahnya. Io adalah panggilan Ify ke Rio dan hanya Ify yang memanggilnya ‘Io’. Rio menghela nafas berat. Lagi-lagi Ify belum mengerti juga, tapi cowok tampan itu tak bosan dan tak lelah mengajari gadis berdagu tirus itu.
“Ini dimasukin ke rumus ini dulu. Terus baru dibagi sama koefisiennya. Baru deh pake rumus yang ini,” jelas Rio. Ify mengangguk sambil nyengir dan kembali mengerjakan soalnya. Rio mengusap puncak kepala Ify. Gadis ini sungguh membuatnya gemas.
Tangan Ify dengan lincah mencoret-coret dibuku buramnya. Menjawab soal yang udah keempat kalinya dia jawab namun hasilnya salah. Tidak seperti jawaban Rio. “Nah, Io. Gue udah selesai. Coba deh lo samaain sama jawaban lo. Pasti sama,” ujar Ify pe-de dan menyodorkan jawabannya. Rio mengambil buku Ify dan menatap gadis itu sekilas. Lalu dia kembali menyocokan jawaban Ify dengan jawabannya. Tiba-tiba handphone Ify berbunyi.
Good, Fy. Lo makin pinter aja. Walapun harus lima kali ngerjain soal sebelum nemu jawaban yang bener,” ucap Rio alias ngeledek Ify. Ify mendengus kesal dan memukul bahu Rio pelan tak lupa dia manyun.
“Elo jangan ngeledek dong, Io. Ish… sebel deh.” Ify merajuk manja. Nada suara manja ini yang Rio suka, ternyata gadis itu bisa manja juga. Manja Ify ini nggak dibuat-buat, memang asli dan nyata seperti ini. Mangkanya Rio suka, nggak seperti cewek-cewek lainnya. Kemudian Ify kembali menatap layar handphone-nya.
Rio tertawa melihat reaksi gadis ini. Sungguh lucu. Harusnya Ify menyadari kalau Rio menyukainya. Terlihat dari sikap Rio ke Ify. Semua orang yang melihat kalau mereka lagi berdua pasti mengira kalau Rio dan Ify itu sepasang kekasih. Tapi nyatanya hubungan mereka hanya sebatas just friend.
“Io, kita istirahat dulu yok. Ke lapangan bakset. Kan Via sama Alvin ada di sana. Ya ya ya?” pinta Ify ke Rio sedikit memaksa. Padahal tanpa Ify harus memaksa Rio akan suka rela mengikuti kemauan gadis ini. Rio tidak menjawab sama sekali.
“Lo nggak kangen main basket, Io? Kita main basket. Alvin kan lagi latihan, lo kan juga latihan harusnya. Ya??” pinta Ify lagi.
“Ayok.” jawab Rio akhirnya dan menarik tangan Ify menuju lapangan basket.

@Lapangan Basket

Di lapangan basket bukan hanya tim cowok yang sedang latihan. Tapi anak cheers juga latihan. Ify dan Via duduk di pinggir lapangan melihat Rio dan Alvin yang lagi berusaha menaklukan si Bulat Orange. Anak-anak cheers juga, bukannya latihan malah sibuk berteriak-teriak memberi semangat kepada tim cowok. Sebenarnya mereka latihan juga sih, latihan tereaknya doang. Hehehe…
Ify tidak fokus. Sejujurnya dia meminta Rio ke lapangan basket karena sebuah SMS. SMS dari Acha. Acha pingin ngeliat Rio main basket karena dia sedang di lapangan. Dan kini Ify melihat itu. Melihat Acha yang terus berteriak nama Rio. Memberi semangat kepada cowok itu. Lagi-lagi Ify mendesah. Dia heran, kenapa dengan dirinya. Dia tidak menyukai kalau Acha melakukan hal itu.
Rio bermain basket dengan semangat sekali. Gerakannya lincah membawa bola untuk masuk ke ring walaupun dia tidak mengenakan seragam basket. Rio hanya berbalut seragam batik GNS. Rio mendengar teriakan cewek-cewek menyebut namanya. Tapi telinganya fokus kepada seorang cewek yang duduk di pinggir lapangan. Menunggu cewek itu meneriaki namanya. Sayangnya tidak pernah, walaupun cewek itu sering menemaninya bermain basket, tidak sekali pun nama Rio terlontar dari bibir manis Ify. Ify hanya teriak ‘ayo’ untuk memberi semangat kepada dirinya juga anggota team lainnya.
Rio mengoper bola itu ke Cakka yang sudah siap menembak di dekat ring. Sementara dia fokus ke Ify yang sekarang ini mendadak jadi berubah. Lebih pendiam. Baru setengah jam yang lalu Ify mengingatkannya dengan sangat semangat untuk mengajarinya fisika. Menyelesaikan soal-soal di buku kumpulan soal yang baru dia beli. Tetapi, cewek itu menjadi pendiam ketika handphone-nya berbunyi dan kemungkinan menerima sebuah SMS.
Teriakan penonton membahana, Rio melirik sekilas ke permainan basket dan ternyata Cakka berhasil menembak bola ke ring. Kembali Rio melirik Ify, gadis itu tetap diam. Dia seperti tidak perduli dengan sekitarnya. Bahkan, Rio yakin gadis itu tidak menyadari teriakan Sivia yang duduk tepat di sebelahnya.
Rio bingung dan memutuskan untuk kembali bermain basket. Sekarang bola ada dipihak lawan. Team Cakka, Rio, Alvin dan Gabriel berusaha merebut bola. Namun gagal, karena si Pemegang sudah melakukan shooting jarak jauh. Sayangnya, bola itu bukan mencetak angka tapi mencetak cap merah di dahi seorang penonton.

****************************

Ify masih juga melamun. Dia menatap ke arah lapangan tapi pandangannya kosong. Dia tidak menyadari bola basket meluncur ke arahnya.
“Iiiiiiiifffffffyyyyy aaaaawwwwwaaaaassssssss…” teriak Rio yang menyadari kalau bola itu menuju ke arah Ify. Karena posisinya yang jauh dari Ify, mungkin gadis itu tidak mendengar sama sekali. Bahkan tetap melamun. Bugh…. Bola basket sukses menghantam dahi Ify. Dia kaget dan meringis. Kepalanya puyeng.
Baru saja Rio mau berlari menghampiri Ify, tiba-tiba anak cheers berteriak “Achaaaaaaaaaa…” Seorang anggota cheers mendekati Rio yang berdiri tidak jauh dari mereka untuk meminta pertolongan. “Yo, tolongin Acha. Dia keseleo,” ucap Shilla menahan Rio yang udah mau berlari mendekati Ify.
“Gue mau nolongin, Ify,” tolak Rio cepat. Shilla tidak menyerah. “Udah banyak yang nolong, Ify. Lo nolongin Acha aja. Tolong bopong ke UKS,” pinta Shilla. Rio menoleh ke arah Ify. Perkataan Shilla benar Ify memang sudah banyak yang nolongin. Bahkan Alvin sudah memgendong Ify ke UKS ditemani Sivia.
“ Ya udah,” ucap Rio. Dia menghampiri Acha yang sedang kesakitan dan kemudian mengendong gadis itu menuju UKS.

@UKS

                “Via hati-hati dong, sakit nih kepala. Emang nggak sakit kena bola basket.” Ify meringis kesakitan ketika Via mengompres dahi Ify.
                “Cerewet banget lo, Fy. Untung Via mau ngobatin lo. Siapa lagi yang mau ngobatin lo kalo bukan Via?” Alvin mendukung pacarnya. Via tersenyum penuh kemenangan.
                Ify mencibir. “Ada kok. Rio. Wleeee….” balas Ify dan tak lupa melet. Tepat pada saat itu pintu UKS terbuka. Ternyata seseorang datang. Ya Rio datang, pandangan Rio tertuju pada Ify. Awalnya Ify mau meneriaki Rio buat ngobatinnya, tapi batal ketika melihat siapa yang ada dalam gendongan Rio. Acha. Cewek yang lagi PDKT ke Rio dan orang yang akan Ify tolong buat menjadi kekasih Rio. Ify menghela nafas berat.
                Rio cepat-cepat menidurkan Acha ke kasur UKS yang berjarak tiga kasur dari Ify. Dia memanggil seorang petugas UKS, Rahmi. Untuk mengobati keseleo Acha. Sedangkan dia berlari menuju tempat Ify.
                “Lo nggak apa-apa, Fy? Luka di mana? Sakit nggak? Sini gue obatin,” seru Rio cepat ketika dirinya ada di samping Ify. Ify mau saja menjawab, ‘Ya, Io. Obatin gue ya’, tapi dia menangkap sorotan mata Acha yang menyuruh Ify meminta Rio untuk menolong Acha.
                “Nggak apa-apa kok. Nggak sakit lagi,” balas Ify. Dia melotot ke Via dan Alvin yang udah mau menyela ucapannya.
                “Baguslah. Sini gue aja yang ngompres,” ujar Rio dan mau mengambil kompresan dari tangan Via. Ify langsung mendorong tangan Rio hingga kompresan itu jatuh ke lantai. Via kaget. Apalagi Rio, dia terperangah
                “Elo nggak usah ngompresin gue, Yo. Lo tolongin Acha aja, ada Via kok yang ngompressin gue. Lagian yang bawa Acha lo. Nggak enak tahu.”
                “Gue maunya jagain lo, Fy.” Rio tetap bersikeras.
                “Gue bilang nggak usah ya nggak usah. Sana,” bentak Ify. Alvin dan Via terperangah. Tadi Ify bilang dengan bangganya kalau Rio akan mengobatinya, tapi sekarang gadis berdagu tirus itu menolaknya.
                Rio kaget melihat reaksi Ify. Matanya menyipit berusaha mencari apa yang salah dengan gadis itu. Lalu dia menoleh ke Via dan Alvin. “Lo ke Acha aja dulu, Yo. Kita bakal jagain Ify kok,” bisik Alvin ke Rio. Rio menurut dan menghampiri Acha yang menyambutnya dengan senyum termanis yang dimiliki Acha.
                “Gue mau pulang, Vi,” pinta Ify setelah melihat Acha berdua sama Rio melalui ekor matanya.
                “Tapi elo masih sakit Ipong.”
                “Gue mau pulang. Antarin pokoknya.” Ify ngotot. Via dan Alvin hanya bisa setuju. Kemudian ketiganya meninggalkan UKS.
                Rio yang berada di dekat Acha menghela nafas berat. Laki-laki itu bingung kenapa dengan Ify. Elo kenapa sih, Fy? Gue khawatir sama lo, batin Rio. Apalagi tadi Ify memanggil dia dengan sebutan ‘Yo’ bukan ‘Io’. Tumben-tumbenan.
                “Yo, lo suka yang mana ke bioskop atau ke mall buat hang out?” tanya Acha nggak penting banget. Ini lagi. batin Rio. Cewek ini bukan sakit, tapi seperti sedang PDKT dari tadi nanyain dia mulu mulai dari yang dia suka hingga hal yang nggak penting gini.
                “Gue sukanya ke pantai. Gue pulang dulu, ya. Moga lo cepat sembuh,” jawab dan pamit Rio. Tanpa menunggu jawaban Acha, Rio meninggalkan gadis itu.
***********************

                Semakin hari Ify semakin berubah. Tidak ada lagi Ify yang dekat sama Rio, Ify yang membuat Rio tertawa, Ify yang selalu bersama Rio di mana pun. Ify yang ceria juga mendadak diculik, digantikan Ify yang pendiem dan senyumnya maksa. Berkali-kali Rio mengajak Ify ke kantin atau sekedar jalan-jalan ke taman menghabiskan waktu istirahat, berkali-kali juga Ify menolak. Ify memang terlihat sama seperti biasa setiap harinya, tapi tingkahnya kadang berubah dan hanya Rio yang mengerti juga kedua sahabat Rio dan Ify. Via dan Alvin.
                Sekarang yang ada Acha dan Rio. Setiap hari Acha ngintilin Rio. Kemana-mana ada Rio pasti Acha ada di belakangnya. Rio sendiri terganggu dengan kehadiran gadis itu. Tetapi tidak enak untuk mengusirnya. Via dan Alvin jadi heran melihat ini. Rio juga kembali menjadi Rio yang pendiam dan dingin, karena kunci pencairnya telah pergi.
                “Vin, lo merasa ada yang aneh nggak dengan Ify?” tanya Via ke Alvin. Mereka berdua lagi di kantin.
                “Hmm…. Ada sih, menurut cerita lo dan yang gue lihat. Ify jadi pendiam dan menyendiri. Rio apalagi dia kembali ke sosok semula. Apalagi sekarang dia sering sama Acha. Rio dan Ify berantem ya?”
                “Nah lo pinter. Itu dia, Vin. Mereka nggak berantem yang ada gue curiga sama kehadiran Acha. Tuh cewek kegenitan sama Rio,” seru Via berapi-api.            
                “Kita sebaiknya selidikin, Vi. Feeling gue, Ify ngebantu Acha mendekati Rio.”
                “Hah?!” Via terperangah dengan argumen Alvin. Kok bisa sama dengan feeling-nya sendiri. “Kok feeling kita samaan, Vin?” tanya Via bingung dan menatap Alvin lekat.
                Alvin memberikan Via seulas senyum manisnya. “Karena kita sehati, Say.” Gombal Alvin. Via tersipu malu.
                “Gombal aja, lo. Ayok, kita selidikin sekarang,” ujar Via dan menarik tangan Alvin keluar dari kantin.

****************************

                Ify sedang menikmati udara segar pantai, tempat dia dan Via sering menghabiskan liburan dan waktu kosong bersama. Sore ini dia datang sendirian dan memutuskan untuk melihat sunset mumpung besok minggu. Jadi tidak apa-apa kalau dia pulang sedikit kemalaman. Apalagi sudah seminggu ini dia melamun dan menjadi pendiam. Menyesali semua kebodohannya. Melerakan cintanya pergi.
                Seperti biasa, Ify duduk di pinggir pantai tapi kali ini tidak duduk di tempat gelombang pantai bisa menggapai dirinya dan membasahi bajunya. Ia tidak membiarkan air laut itu menyetuh ujung kakinya sama sekali. Ify memilih duduk di atas pasir kering. Matanya fokus ke lautan yang udah berubah mulai gelap.
                Harusnya gue sadar dari dulu, kalo gue sayang sama Rio dan nggak mutusin buat nolong Acha. Gue bego. Bego banget. Gue baru nyadar ketika Rio dekat sama cewek lain. Gue nyesel, kenapa kisah gue tragis mulu. Dulu gue suka sama Iel dan nggak sempat dekat malah dia udah jadian. Tapi sekarang gue baru nyadar sayang sama Rio. Gue sayang banget sama dia. Gue baru sadar kalo gue ke Iel itu cuma obsesi, sedangkan ke Rio? Itu baru cinta. Dan sekarang gue gagal. Kenapa kisah gue nggak seindah Via? Gue juga nggak butuh cerita cintanya Cinderella, Snow White bahkan Sleeping Beauty yang sungguh indah dan romantis itu. Karena itu semua omong kosong. Mimpi belaka. Guma cuma mau kisah cinta Alyssa. Cinta yang Alyssa tunggu dan kalau bisa cinta sejatinya Alyssa. Cuma Alyssa. Ify merenung. Matanya fokus ke depan melihat matahari yang hanya tinggal separuhnya saja.
                “Gue sayang banget sama lo, Io. Gue kangen sama lo,” gumam Ify. “Lo udah jadian sama Acha ya? Selamat deh kalo gitu.” Ify berbicara sendiri dan tertawa hambar. Dia benar-benar seperti orang linglung. Langit semakin gelap. Deburan ombak masih terdengar. Angin malam mulai menusuk tulang rusuk gadis itu. Gadis yang melamun dan menatap kosong apa yang ada di depannya.

****************************
                Rio memutuskan untuk ke pantai. Menenangkan dirinya dan mencoba mencari kesalahan apa yang sudah dia perbuat ke Ify hingga gadis itu kini menjauh dengan dirinya. Rio tidak menyangka ini akan terjadi, bukankah sudah cukup perpisahan dia selama delapan tahun lalu menjadi ujian baginya. Menguji cintanya pada gadis itu. Bagaimana Rio mempertahankan rasa cinta ke gadis yang hanya ia temui sekali dan hanya menyimpan selembar foto gadis itu tanpa mengetahui perkembangan gadis tersebut. Sementara begitu banyak gadis cantik yang berada di sekelilingnya. Tapi, hatinya tetap dia patenkan untuk seorang gadis yang dulu tidak diketahuinya tentang perubahannya. Waktu tujuh tahun tidak mungkin tidak mengubah seseorang, pasti ada yang berubah. Begitu juga dengan cewek yang ia suka itu.
                Untuk anak umur Sembilan tahun, cinta sesuatu yang awam dan pasti tidak dimengerti. Namun untuk Rio yang berusia sembilan tahun, cinta adalah kata yang pertama tercipta dihatinya ketika dia melihat gadis itu. Melihat dia. Melihat dia yang sedang tersenyum begitu melihat deburan ombak yang menghantam tubuhnya. Membasahi baju-bajunya. Senyum gadis yang berteriak dengan senang ketika bermain-main dengan gulungan ombak besar itu. Rio sendiri masih ingat, dia tersenyum melihat gadis itu yang menertawakan dirinya sendiri ketika terjatuh di tepi pantai.
                “Fy, gue kangen sama lo,” ucap Rio pelan. Kini dia berada di tepi pantai. Melihat ciptaan Tuhan yang menjadi tempat dia bertemu dengan peri kecilnya. Rio menatap sekeliling dan merapatkan jaketnya ketika angin malam berdesir menusuk tulang rusuk. Matanya menangkap sebuah sosok. Dia duduk di tepi pantai, tapi tidak tersentuh lautan. Rio mengenal jelas sosok itu. Rambut panjang bergelombang diujungnya. Cara gadis itu duduk dan sebuah tangan gadis itu yang menopang tubuhnya. “Ify,” gumam Rio.
                Angin semakin dingin. Rio menyadari kalau Ify kedinginan. Wajar gadis itu kedinginan karena dia hanya memakai celana jeans dan baju kaos biru gambar Doraemon.
                “Kalo dingin pake ini aja,” ucap Rio dan menyodorkan jaketnya. Rio sendiri memakai kemeja panjang yang tangannya dilipat hingga siku.
                Ify mengalihkan pandangannya dari depan ke samping. Ia mendapati Rio yang sudah duduk di sampingnya. “Nggak usah. Terima kasih,” tolak Ify. Angin seperti tidak menyukai tingkah Ify itu, hingga angin itu berhembus lebih hebat dan membuat tubuh Ify gemetaran.
                “Dan kayaknya lo nggak punya pilihan lain selain memakai jaket ini kecuali kalo elo mau mati kedinginan.”
                Ify mendesah berat. Ia menerima jaket itu dan menyelimuti badan rampingnya yang udah kedinginan. “Kenapa lo ke pantai?” tanya Ify basa-basi.
                “Gue emang suka pantai. Karena pantai tempat pertama gue ketemu dia. Dia yang tertawa dan berhasil membuat gue tersenyum. Dia, delapan tahun yang lalu,” jawab Rio. “Elo sendiri?”
                Ify menatap Rio. Dia canggung dengan pemuda itu. Sudah seminggu mereka tidak bertukar cerita. “Gue memang suka sama pantai dari dulu. Dari gue kecil. Pantai nggak pernah menghinati teman yang mencari ketenangan dengannya, karena pantai selalu memberikan ketenangan buat setiap orang yang menatap jauh dirinya. Pantai juga membawa kerinduan. Itu bagi gue, setiap gue rindu sama kakak gue yang udah di surga, pantai selalu menyampaikan balasan rindu dari kakak gue melalui sentuhan gelombangnya.” Ify menarik satu tarikan nafas. “Dan sejak umur gue sembilan tahun, di pantai gue menemukan ketenangan hati yang sesungguhnya. Senyuman itu. Senyum yang ngebuat gue tenang ketika melihatnya. Sayang, gue cuma diberi kesempatan sekali buat melihat senyum itu. Senyum penuh ketenangan sama seperti ketenangan yang diberikan laut. Nggak, bahkan lebih dari ketenangan yang diberikan laut.” Ify bercerita tanpa sadar dan menatap lautan luas itu. Rio terdiam. Apakah Ify kecil melihat dia tersenyum juga waktu itu? Atau orang lain yang Ify lihat. Rio melamun.
                “Haaaaaatccccchiiiiiii……….” Ify bersin.
                “Ayo pulang. Gue anter,” ujar Rio. Ify mau protes. “Dan nggak bisa nolak,” sambung Rio dan menarik gadis itu. Ify tidak protes. Dia membiarkan Rio menarik tangannya karena dia merindukan sentuhan jemari Rio di pergelangan tangannya. Seperti hari-hari mereka dulu.
                Hari ini. Pantai (lagi) mempertemukan dua anak Adam dan Hawa yang sama-sama memiliki cerita abadi di pantai ini.

*********************************

Prok...prok... Via bertepuk tangan. Dirinya kini berdiri di depan dua cewek yang sedari tadi berbicara empat mata dan isi pembicaraan mereka membuat telinganya panas. "Ck...hebat banget dua sejoli kita. Punya rencana oke banget," decak Via dan dia tersenyum miring. Dua sejoli itu -Acha dan Shilla- melirik Via dengan tampang malas.
"Elo nggak usah ikut campur. Ini urusannya SAZA," balas Acha. SAZA itu gang-nya the most wanted girl. Diambil dari huruf depan nama mereka. Shilla-Acha-Zevana-Angel.
"Jelas itu urusan gue. Lo" tunjuk Via ke Acha. "berani-beraninya minta tolong ke Ify buat deket sama Rio."
"Itu hak dia," timpal Shilla. Via melotot ke Shilla. "Suara lo nggak pengen gue denger," desis Via tajam.
"Ify mau dan dia setuju aja waktu gue minta tolong. So, elo nggak usah sok ikut campur urusan orang," balas Acha.
Via mendelik. "Lo orang yang nggak peka sama orang lain." Via menatap Acha dengan ekspresi merendahkan. "Hati lo udah ketutup banget ya? Lo harusnya nyadar, mata lo buta apa? Asal lo tahu, semua orang juga tahu kalo Rio dan Ify itu saling suka. Nggak usah lo minta kepastian dari Ify. Cukup dari mata dia.”
“Heh nona sok care. Lo nggak usah capek-capek ngomong nggak penting gitu ke kita. Hak Acha lagi suka sama Rio dan mau PDKT.” Shilla berujar pongah.
“Urusan Rio itu cuma antara gue dan Ify. Lo nggak punya celah buat ikut masuk.” Suara Acha kembali terdengar dan dia sudah berdiri di depan Via. Menatap cewek chubby itu dengan senyum miring dan air muka super nyebelin, setidaknya bagi Via.
“Gue jelas tahu kalo nenek lampir ini” tunjuk Via tepat di wajah Acha. “punya hak buat suka sama siapa aja termasuk Rio dan minta tolong sama siapapun buat comblangin dia. Tapi, dia nggak punya hak sama SEKALI, tidak sedikit pun untuk ngelarang Ify dekat sama Rio.” Via menatap Acha bengis. “Lo pikir gue nggak tahu, kalo lo yang selalu meminta Ify dengan tampang melas lo yang ogah dan enek banget gue lihat itu untuk buat Ify jauh dari Rio karena lo ingin diposisi Ify.”
Acha semakin terpojokan. Apa yang diucapkan Sivia sangat benar. Bila ini ujian nasional, maka Via menjadi peraih nilai tertinggi dan jikalau ini undian seratus miliyar, cewek di depannya ini sudah menjadi miliyarder termuda se-Indonesia. “Lo siapa sih ikut campur urusan gue? Lo cuma temen sekelasnya dia kali,” balas Acha sewot.
Sivia berdeham dan menatap Acha layaknya orang yang paling bego diantara orang bodoh lainnya. She is like a foolish woman. “Gue sahabat Ify dari kecil dan gue orang yang sangat kenal Rio. Gue nggak mau aja koar sana sini kalo gue kenal Mario Stevano sangat baik udah dari lama karena gue nggak mau jadi sasaran orang-orang kayak lo. Orang-orang yang cuma ngaku cinta sama seseorang karena harta dan tampangnya.” Via tersenyum miring.
“Lo.” Tunjuk Acha ke Via. Dan satu telapak tangannya hampir menciptakan bercak merah berbentuk lima jari di pipi chubby Via. Baru hampir karena seseorang menahan tangan laknat cewek itu.
“Jangan sekali-kali lo sentuh cewek gue,” desis Alvin dan menghempaskan tangan Acha kasar.
“Alvin. Lo harusnya nggak pacaran sama cewek gendut ini. Lebih baik lo sama Zevana, dia sangat LEBIH BAIK dari dia.” Shilla angkat bicara ketika melihat sosok Alvin yang berdiri di sebelah Via. Dan kini menggenggam tangan cewek itu.
Alvin tersenyum miring. “Oh ya? Bukannya lo yang harusnya sangat bersyukur karena Gabriel beneran sayang sama lo. Coba aja lo peka kalo Gabriel nggak suka tingkah lo yang seperti ini. Gue kasihan banget sama Iel, bisa-bisanya cowok sebaik dia jatuh cintanya sama cewek macem elo. Nggak ada baiknya sama sekali,” jelas Alvin dan membuat Shilla ternganga. Cewek itu sungguh kaget.
“Apa perduli lo? Lo jangan ikut campur.”
“Gue perduli karena Iel sahabat gue dan Rio. Satu lagi, jangan sekali-kali lo ngehina cewek gue. Seaneh dan sejelek apapun Via bagi lo, tapi bagi gue dia yang terbaik dan paling baik.” Alvin menarik Via meninggalkan Acha dan Shilla yang kini terperangah serta merasa dipermalukan.

*************************