Sejak kejadian di kantin, Ify dan Rio semakin dekat. Mereka jadi
sering bersama. Apalagi sifat Rio yang dingin hanya berlaku bagi orang lain.
Tidak untuk Ify. Bersama Ify sifat Rio menjadi hangat, lembut dan bersahabat.
Orang-orang pada heran dengan perubahan Rio yang begitu mencolok. Terlebih lagi
para fans-nya, yang mendadak membenci
Ify dan sinis terhadap cah ayu itu.
Bagaimana dengan Via dan Alvin?? Wah, kita
ketinggalan. Mereka berdua udah main jadian aja. Ckck...
Flash back on
"Vi, ikut
gue bentar ya?" pinta Alvin yang datang tiba-tiba. Via yang lagi sendiri
menunggu Ify yang ke toilet lantas kaget. Dia kira hantu.
"Tapi gue
lagi nunggu Ify, Vin," ujar Via. Dia tidak enak kalo meninggalkan Ify.
"Nggak
usah nungguin Ify. Ayo." Alvin tak perduli dengan penolakan Via. Dia
menarik Via. Jemarinya melingkar dengan kokoh di pergelangan tangan si Manis
Via.
"Tapi,
Vin. Eh...Vin. Alvin..." Via memperotes. Tapi Alvin cuek aja. Maafin gue,
Fy, batin Via.
******************
Alvin membawa
Via ke taman sekolah. Via merasa canggung dan aneh. Tidak pernah Alvin membawa
Via seorang diri ke area ini. Diam-diam
Via mengamati seluruh pelosok taman. Ada yang aneh, batin Via. Dirinya sendiri
tidak menyadari kalo Alvin meninggalkannya.
Tiba-tiba
petikan suara gitar terdengar oleh kedua telinga Via. Mata Via liar menatap
sekelilingnya dan menangkap sosok Alvin dengan sebuah gitar dipangkuannya.
Alvin sendiri tengah duduk di sebuah bangku sambil bernyanyi.
Seanggun warna senja menyapa
Bersambut musim yang dijalani
Semoga bintang penuh harapan
Mencoba tuk terangi
Dalam gelapnya malam
Ungkapanku untuknya
Untuk seorang wanita
yang kupuja dan kupuji
Takkan ku rasa jenuh
Dirinya dihatiku...
Parasnya sungguh indah sekali
Menggugah rasa tuk selalu
bersamanya
Senyumnya menggetarkan jiwaku
Meresap indah dalam alunan syair
laguku...
Lagu itu
berakhir. Membuat Via jadi deg-deg-an setengah abad. Jatungnya bak pelari
meraton, lari sana sini. Nggak kasihan amat sama Via yang udah mau mati
berdiri. Dia, Alvin menatap fokus Via.
"Vi, gue mungkin bukan cowok romantis, gue juga nggak tahu lagu
tadi itu pantes atau nggak untuk ngungkapin perasaan gue ke elo dan gue bukan
juga yang pertama ngungkepin rasa ke elo." Alvin menghela nafas sesaat.
"Gue juga sadar kalo gue bukan cowok sempurna dan perfect. Karena itu gue
minta maaf. Tapi, gue nggak mau minta maaf kalo gue udah jatuh cinta sama lo
sejak pertama kita bertemu." Alvin memejamkan matanya sejenak. Mengingat
sesuatu mungkin. Via sungguh berdebar. Tanpa sadar ia menahan nafasnya. Inilah
saat yang sangat dan selalu ia mimpikan sebelum ia terlelap di setiap malamnya.
"Gue suka
sama lo yang ceria, ramah, apa adanya dan senyum lo. Walaupun elo kadang-kadang
lemot,” ucap Alvin dengan muka serius dan kata terakhir yang diucapkannya
membuat Via tersadar dan menggerutu kesal. “So, would you be my girlfriend
Sivia Azizah?"
Harusnya Via
bisa bilang 'I would' langsung karena inilah yang ia inginkan. Ketika
pangerannya, Alvin Jonathan Sindunata mengucapkan kata ajaib itu. Tapi, dua
kata itu tak sanggup ia lontarkan. Hingga akhirnya Via mengangguk malu-malu.
Mukanya bersemu merah.
Alvin tersenyum
lega dan menatap kekasihnya itu. "Makasih ya, Vi," ucap Alvin lembut.
Via hanya mengangguk (lagi). Tidak bisa berkata apa-apa karena hari ini dia
bukan lagi seorang gadis pemimpi yang menunggu prince charming-nya. Tetapi, dia
adalah gadis yang memang telah nyata memiliki dan menemukan pangerannya.
Flash back off
*********************
Hari ini sebenarnya Ify males banget untuk masuk
sekolah. Ia berharap tiba-tiba ada hujan meteor atau gempa bumi secara
tiba-tiba. Atau yang ringannya, boleh saja Pak Dave ada urusan mendadak atau
tiba-tiba sakit gitu tapi jangan
parah-parah banget. Boleh juga yang lebih simple,
Pak Dave kena kutu air. Pokoknya apa aja yang bisa membuat Pak Dave nggak masuk
sekolah. Biar nggak ketemu fisika.
Tetapi apa yang diimpikan gadis berdagu tirus itu
hanya sekedar mimpi lagi. Nyatanya dia sendiri sedang duduk di bangkunya sendiri
di kelas XI IPA 2. Wajahnya lesu dan dia sedikit ketakutan juga gemeteran.
Apalagi dari tadi Pak Dave udah duduk di mejanya sendiri, meja guru. Sambil
membagikan kertas ulangan harian minggu lalu. Ify semakin gelisah. Dia takut
nilai ulangannya tidak menunjukkan perbaikan. Ditambah lagi dia udah belajar
sama Rio sekitar seminggu penuh tanpa absen untuk menghadapi ulangan itu. Dan
Rio, Ify sudah sadar dan tahu kalau lelaki itu seorang guru yang baik bagi
dirinya. Dan Ify akan sungguh merasa bersalah kalau nilainya tetap membuncit.
Lima.
“Alyssa Saufika,” panggil Pak Dave. Ify seperti orang
linglung saja. Dia bangkit dari posisi duduknya. Wajahnya ditekuk. Dia tidak
siap untuk melihat nilai yang tertera di kertas ulangannya. Apalagi Pak Dave
tidak memberinya seulas senyum seperti yang beliau lakukan ketika memanggil
Rahmi yang berhasil memperoleh nilai Sembilan. Malah Pak Dave menjadi suram
begitu menyebut nama dirinya.
Ify sudah berdiri di samping meja Pak Dave. Namun
guru killer itu tak kunjung memberikan
hasil ulangannya. Malah beliau memanggil anak kesayangannya, siapa lagi kalau
bukan Rio. “Mario,” panggil Pak Dave. Pasti nilai gue acur banget. Rio aja
sampai dipanggil gini. Gimana? batin Ify. Dia melihat pemuda itu maju dengan
santainya. Tidak ada beban sama sekali. Tapi Ify tahu, mata Rio menatap dirinya
lurus dan seakan mengatakan ‘jangan buat gue malu’. Ify menelan saliva-nya.
Pak Dave menatap siswinya -Ify- sekilas. Lalu beliau
menarik selembar kertas dari tumpukan kertas yang berada di mejanya. Ify
sungguh berdebar. Baginya ini seperti menunggu vonis penjara. Pelan-pelan tapi
pasti Ify mengambil kertas itu dari tangan Pak Dave. Matanya memejam ketika
kertas itu utuh berada ditangannya.
Sementara Rio menatap gadis di sebelahnya itu
bingung. Alis kanannya terangkat dan memperhatikan mata Ify yang memejam. Dia
tahu apa yang ditakutin gadis itu. Lantas Rio geleng-geleng kepala dan akhirnya
menyikut lengan kiri Ify.
Ify tersadar dan dia melihat Rio yang menatapnya
seolah berbicara ‘lihat nilai lo’. Ify sontak menggelang, namun Rio melotot
kepadanya. Sedangkan teman sekelas mereka menatap tiga sosok di depannya itu
dengan bingung. Apa yang terjadi di depan mereka seperti slow-mation saja.
Dengan takut-takut Ify memaksa kepalanya untuk
memandang ke bawah, ke kertas ulangannya. Seketika matanya melebar dan dia
terperangah sendiri melihat nilai 88 tertera di sudut kanan kertas ulangannya.
Sangking ketidakpercayaannya Ify sampai mengucek-ngucek matanya dan sesekali
melotot. Dia menatap Pak Dave yang kini tersenyum. Bagi Ify itu seperti mimpi
saja, Pak Dave begitu ramah dan baik kepadanya, biasanya guru asal Medan itu
menyemprotnya selalu dengan nasihat-nasihat agar belajar lebih baik tak lupa
menyebut nilainya selalu buncit alias lima.
Refleks Ify meloncat-loncat begitu senangnya. “Gue
nggak dapet lima,” seru gadis itu riang. Dia tersenyum sumringah dan ketika
melihat Rio di sebelahnya gadis itu melompat kepelukan pemuda hitam manis itu
yang kaget begitu melihat reaksi Ify. “Huaaaaaa, makasih banyak Io. Berkat
bantuan lo gue nggak dapet lima lagi. Thanks
so banget,” seru gadis itu dan memeluk Rio. Karena dirinya memeluk Rio yang
notabane berada di sebelahnya, badan
Ify menghadap ke depan, ke teman sekelasnya.
“Ciiiiiiiiiiiiiiieeeeeeeeeeeee, Iiiiiiiiiiiiifffffffffffffffyyyyyyyyy…….”
koor teman sekelasnya. Ify memperhatikan mereka satu persatu, dia melihat Via
yang paling semangat menggodanya. Ify masih belum sadar kalau dia memeluk Mario
Stevano Aditya Haling di depan seluruh penghuni XI IPA 2.
“Peeeeeeeeeellluuuuuuuuuukkkk
teeeeeeerrrrruuuuuusssss, Fy,” goda Rizky dan bersiul nyaring. Siulan Rizky
seperti sengatan listrik dan lebah bagi Ify. Karena dia sadar sudah memeluk
pemuda hitam manis, tampan dan yang memiliki nama Rio. Ify sontak melepaskan
pelukannya. Namun teriakan teman-temannya masih saja seru terdengar.
“Sttttooooop,”
ucap Pak Dave keras. Seluruh warga XI IPA 2 mendadak sunyi bagai di kuburan.
Ify langsung menjaga jarak dari Rio dan menunduk.
“Alyssa,” ujar Pak Dave. Ify tinggal menerima nasib,
dia sadar kalau perbuatannya memang keterlaluan, tapi sungguh dia tidak
sengaja. Hal itu refleks dia lakukan karena dia sedang dalam luapan begitu
gembira. “selamat kamu tidak mendapat nilai kebanggaan mu itu. Pertahankan
nilai mu,” lanjut Pak Dave dan membuat Ify melonjak kegirangan dalam hati. Ify
sungguh senang karena Pak Dave tidak pernah mengaggap insiden peluk-pelukan
tadi terjadi.
“Dan kamu Mario. Kamu memang siswa yang paling saya
kagumi. Kamu berhasil membuat siswi saya, Alyssa memperbaiki nilainya yang
sungguh amat memalukan itu,” ucap Pak Dave.
Rio mengagguk. “Itu juga berkat Bapak sebagai guru
saya. Selain itu Ify juga terus berjuang dan belajar dengan tekun. Walaupun
sempat membuat saya keki setengah mati karena harus berulang-ulang menjelaskan
setiap sub materinya sampai otaknya yang lemot itu nyambung dan mengerti,” ucap
Rio santai dan penuh rasa hormat. Padahal kata-katanya sungguh nggak banget dan
membuat Ify hampir berjanji untuk membunuh anak itu karena mempermalukannya
lagi. Tapi tidak jadi, karena siapa lagi yang bisa mengajarinya hingga kenaikan
kelas nanti. Kan materi fisika itu masih buanyak banget.
Pak Dave mengagguk-ngagguk mengerti dan menatap Ify
lurus. Seolah bilang kepada siswinya itu ‘kamu harus berterima kasih pada Mario
dan jangan pernah membuat Rio kesal’. Alam bawah sadar Ify memaksa Ify
mengaggukan kepala tanpa ia sadari. “Ini kertas ulanganmu. Dan bapak memberikan
nilai plus sebagai penghargaan buat
kamu,” ujar Pak Dave dan memberikan selembar kertas kepada Rio. Ify melirik kertas
itu dan melongo tidak percaya. Rio berhasil mendapat nilai sempurna. Seratus.
Berarti tidak ada yang salah dalam jawabannya. Mata Ify semakin melebar ketika
di samping angka sempurna itu tertera tanda plus.
Enak banget jadi Rio, udah dapet seratus, plus lagi, batin cewek berdagu tirus
itu.
“Pak, Rio dapat nilai plus tuh. Saya juga dong, Pak. Kan saya udah belajar dengan baik,” ucap
Ify memelas.
Pak Dave menatap Ify garang. “Sini kertas ulanganmu.
Bapak kasih nilai minus,” ucap Pak Dave tegas. Ify langsung kicep.
“Nggak deh, Pak. Makasih. Saya kembali ke bangku aja
deh, Pak,” cengir Ify. Ia langsung balik badan dan kembali ke bangkunya. Pak
Dave hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah ajaib siswinya itu. Sedangkan
Rio?? Dia terlalu sibuk tertawa dalam hati dan akhirnya kembali ke bangku
setelah Pak Dave menyuruhnya.
**************************
Hari ini Via dan Ify lagi menikmati waktu senggang
mereka di tepi pantai. Biasa Hang out
pada weekend. Kedua gadis itu duduk
di pinggir pantai, tak perduli dengan ombak yang menyeret mereka bahkan air
laut yang membuat sebagian tubuh mereka basah. Inilah yang mereka suka,
bercerita sambil memandang laut lepas. Tak lupa terkadang tangan mereka
bermain-main saling menyipratin satu sama lain. Dan biasanya diakhiri dengan
teriakan Via yang menyuruh Ify berhenti karena bajunya udah pada basah semua.
“Eh, Fy. Lo nggak ada perasaan apa-apa sama Rio?”
tanya Via membuka percakapan pertama mereka sejak dirinya dan sohibnya itu tiba
di pantai ini.
Ify yang semula menatap lurus jauh ke depan, menatap
ombak pantai yang bergulung-gulung lantas menolehkan kepalanya ke kanan.
Melihat sohibnya itu. “Kenapa nanya gitu?” Ify malah balik bertanya.
“Yah, aneh aja kalo lo nggak punya rasa apa-apa sama
Rio. Secara Rio selalu sama dia. Apalagi kalian deket banget, kayak orang
pacaran tau nggak sih. Suka berdua gitu. Ke kantin aja berdua, perpus apalagi.
Lagian Rio sering ke rumah elo, nyokap bokap lo udah kenal lagi. Terus Rio selalu
ngejagain elo. Yang pentingnya, kalian berdua itu kalo marahan langsung minta
maaf. Apa itu nggak pacaran?” jelas Via sejelas-jelasnya dan mampu membuat Ify
cengo.
Perasaan sama Rio? batin Ify. Dia memang merasakan
sesuatu sama Rio. Tepatnya hatinya. Tapi, gadis itu tidak yakin kalo itu yang
disebut dengan sayang, suka apalagi cinta. Karena dia tidak menyukai orang sok cool, pendiem dan sok misterius.
Sementara Rio memiliki semua itu, walaupun tidak parah seperti awal pertama
kali Rio menjadi bagian warga XI IPA 2. Namun, perasaan itu sungguh mengganjal
jika tidak dibilang sayang. Ify jadi bingung karena rasa dia ke Rio berbeda
dengan rasa yang dia punya ke Gabriel waktu dulu.
“Nggak. Rio itu teman yang sangat menyenangkan. Wajar
gue sama dia sering bersama, karena dia tutor gue dan gue muridnya. Kalo orang
tua gue kenal sama dia, pantes sih. Dia sering ke rumah buat ngajarin gue,”
jawab Ify akhirnya. Ketika menyebut kata teman, hati Ify serasa memberontak.
Tapi gadis itu tidak mau menyadarinya bahkan mempelajari rasa itu.
Via manggut-manggut. “Kalau yang kalian marahan dan
kemudian maafan itu apa? Kok kayak gue sama Alvin aja,” tanya Via lagi.
“Kan kalo kita salah, ya minta maaf. Sesama teman,
bahkan orang lain ya harus minta maaf. Hehehe…” cengir Ify.
Via mendesah kesal. Sahabatnya ini pura-pura bego
atau memang nggak tahu sih tentang perasaannya sendiri. Tetapi Via bijak, dia
memilih untuk diam. Dia membiarkan Ify sendiri untuk memahami dan mengerti tentang
perasaan gadis itu sendiri.
“Lo bener, Fy,” ujar Via. Ia kembali melirik lautan
yang sungguh tenang dan menenangkan itu. “Menurut elo Rio itu gimana, Fy? Apa
sih yang elo tahu tentang dia?”
“Rio ya? Dia baik, pasti. Pinter, jangan ditanya.
Manis dan tampan walaupun item.” Ify nyengir. Via ikut mengagguk setuju. “Sifatnya
pendiem, jarang ngomong, dingin dan gue akuin dia cool. Tapi, gue ngerasa Rio nggak gitu. Hati gue bilang, Rio itu
ramah, lembut dan bersahabat. Juga narsis kayaknya,” lanjut Ify. Ia menerawang
ke depan. Mengingat kejadian ketika Rio terasa berbeda.
“Hehehe…” Via malah cengengesan. Dia udah mau
tertawa. Ini yang lo bilang nggak punya rasa ke Rio. Ify-Ify, padahal lo udah
nemuin diri asli Rio. Ck, decak Via dalam hati.
Ify menjadi diam dan Via ikutan juga. Mereka berdua
sibuk dengan pikiran masing-masing. Mata keduanya memang menatap jauh ke depan,
tapi pikiran melayang. “Gue ngerasa pernah ketemu Rio,” ucap Ify tiba-tiba.
“Kapan?” tanya Via cepat. Ini yang membuat dia
penasaran dari dulu. Soalnya Rio selalu mengatakan dengan tegas dan yakin kalau
dia pernah bertemu Ify. Sedangkan Via nggak tahu Ify pernah atau nggak ketemu
Rio. Dia takut kalau Rio salah orang.
Ify menggeleng tanda ia tidak tahu. “Gue lupa kapan.
Gue merasa kenal sama senyum Rio. Senyum Rio itu beda sama senyum orang lain
pada umumnya. Senyum yang kadang-kadang terlintas dalam bayangan gue. Malahan
belakangan ini senyum itu muncul, apalagi kalo gue lagi dekat Rio. Waktu mau
melihat Rio, gue langsung diemkan? Soalnya senyum itu muncul dalam pengelihatan
gue,” jawab Ify.
Via bukannya marah pada Ify yang melupakan kejadian
penting itu. Gadis chubby itu malah
tersenyum senang. Sekarang Via get the
point tentang Ify ke Rio. Dia udah dapat kuncinya. Hanya saja Via tahu
kalau sohibnya ini nggak menyadari atau mungkin tak mahu tahu. Dan seperti
keputusan awalnya, Via memilih diam. Biar Ify mengerti sendiri tanpa dia harus
turun tangan. Dan bila ada sesuatu yang ‘mengacam’ sohibnya ini bahkan Rio dia
akan turun tangan. Karena feeling-nya
bilang akan terjadi sesuatu.
“Vi, ganti deh lo cerita tentang lo sama Alvin. Dari
tadi gue mulu,” ujar Ify dan memutar tubuhnya menghadap Via. Kini kedua gadis
itu saling berhadapan dan tetap membiarkan air laut bermain-main sendiri di
sekitar tempat mereka duduk. “Lo masa nggak curiga gitu, kalo Alvin kayak udah
ngenalin lo lebih daripada diri lo sendiri. Padahal lo ketemu dia baru sebulan
ini, jadian aja nggak lebih dari tiga minggu,” sambung Ify dan menatap Via
menyipit.
Via hanya menghela nafas. Dia udah penasaran dari
dulu dan sampai sekarang dia masih nggak tahu. Ketika menayakan hal ini kepada
Alvin. Alvin hanya tersenyum dan bilang ‘hati
gue dan elo udah nyatu, makanya gue ngenalin lo banget’. “Gue nggak tahu,
Fy. Gue juga bingung, tapi Alvin nggak ngejawab waktu gue tanya. Gue bosen
nyari tahu, biarin aja. Yang penting dia nggak nyakitin gue, malah dia baik
banget. Beruntungnya jadi Sivia Azizah.”
Ify mencibir mendengar kalimat terakhir Via. Via
malah menimpuknya dengan segenggam pasir. “Iri aja, lo,” balas Via.
“Wleeeee….” Ify melet dan membersihkan wajahnya yang
kena serangan pasir Via. “Pulang yok, Fy. Udah sore. Lagian Alvin udah jemput,”
ajak Via sambil sibuk dengan BB-nya. Mungkin membalas SMS dari Alvin.
“Dasar lo-nya aja yang mau ketemu Alvin. Tapi, oke deh. Baju gue udah basah semua.” Ify
menyetujui. Akhirnya dua gadis penyuka laut itu beranjak dari duduk santai
mereka. Kini langkah keduanya menjauhi pantai yang menenangkan itu dan yang
selalu menjadi teman curhat keduanya.
************************
“Hai,” sapa seorang cewek berambut panjang lebih
sebahu tetapi tak menyampai pinggang. Bayangkan sendiri ya panjangnya? J kepada Ify yang lagi
asyik membaca novel di perpustakaan. Ify lagi seorang diri. Alvin dan Via lagi
ke kantin berduaan, nggak mungkin kan dia ikutan nimbrung terus. Ntar jadi obat
nyamuk lagi. Apalagi Rio nggak masuk. Katanya sih izin, ada urusan keluarga
seperti yang tertera di surat keterangan izin Rio.
“Hai juga. Acha kan?” balas Ify dan tersenyum senang.
Dia kenal cewek di sampingnya ini. Acha. Ya, Larissa Safanah Arief. Salah satu most wanted girl dan sahabat Ashilla
Zahrantiara. Cewek terkenal seantreo GNS. Siapa yang nggak tahu dia? Tapi,
tumben aja Acha menghampirinya.
Acha balas tersenyum. “Iya. Eh, Fy. Tapi jangan marah
ya?” Acha menatap Ify dan Ify mengangguk. “Elo pacaran sama Rio ya?” tanya
Acha.
Ify kaget dan bingung. Bukan bingung dengan jawaban
yang harus ia berikan ke Acha. Tapi, bingung kenapa Acha menanyakan perihal ini
kepada dirinya. “Nggak kok. Emang kenapa?”
“Beneran?”
Ify mengagguk. “Bener lah. Gue sama Rio deket karena
dia tutor fisika gue. Pak Dave yang menyuruh Rio buat ngajarin gue yang
dong-dong ini.” Ify nyengir.
Kini Acha semangat sekali dan menatap Ify yakin.
“Jadi lo nggak pacaran sama Rio. Berarti gue ada kesempatan,” seru Acha girang.
Ify bingung mode
on. “Kesempatan apa?” tanya Ify akhirnya. Dia penasaran.
Acha memasang wajah memelasnya. “Gue sebenarnya udah
suka sama Rio sejak dia pindah ke sekolah kita ini, Fy. Tapi gue takut buat
deket sama Rio. Lo tahu kan dia cuek banget.” Ify mengangguk. “Gue ngerasa kalo
gue itu nggak mungkin deket sama Rio. Waktu gue tahu kalau elo deket sama Rio,
gue patah hati. Tapi, kini gue senang. Ternyata elo nggak pacaran sama dia. Gue
seneng banget, Fy. Gue ngerasa ini kesempatan buat gue.” Acha menatap Ify
dengan tampang kalau Ify itu seperti malaikat baginya. “Jadi, kesempatann itu
maksudnya. Lo mau kan bantu gue buat deket sama Rio? Tolong banget, Fy. Ini
kesempatan buat gue. Please, Fy. Kan
elo nggak suka sama Rio,” lanjut Acha dan sedikit memohon ke Ify.
Hati Ify tertohok. Acha suka sama Rio. Cewek popular
dan cowok popular, Rio Acha, batin Ify. Dia merasa nyesek sekali. Nafasnya
tercekat bahkan dia merasa kini sulit bernafas. Hati Ify menolak untuk membantu
acara PDKT Acha ke Rio. Tapi, apa alasannya. Gadis itu tidak mempunyai hak
untuk melarang siapapun termasuk Acha buat dekat sama Rio. Apalagi Rio dan Acha
sama-sama most wanted-nya GNS. Pasti
cocok.
“Gue kan nggak suka sama Rio. Kenapa juga gue nggak
bantu Acha? Baik sama temen dapat pahala kali, Fy,” ujar Ify kepada dirinya
sendiri. Dia menghela nafas sejenak. “Ya udah, gue bantu sebisa gue.” Akhirnya
Ify siap menjadi matchmaker-nya Acha.
Acha tersenyum sumringah. Dia tidak menyangka akan
secepat ini Ify menyetujui untuk membantu dirinya. Apalagi Acha yakin tidak
mungkin Ify tidak memiliki rasa ke Rio. Tapi sebodo amat baginya, karena dia
tidak perduli dan tidak mau perduli. Yang penting dia bisa mendapatkan Rio.
Lagian Ify udah bilang kalo dia tidak pacaran sama Rio. “Makasih banget ya, Fy.
Lo emang baik,” ucap Acha. Ify mengagguk. “Sama-sama.”
“Kalo gitu gue balik ke kelas ya. Jangan lupa!” ucap
Acha sebelum menghilang di balik rak-rak buku.
Di luar perpustakaan Acha heboh dan tersenyum ketika
seseorang menghampirinya. “Gimana, Cha?” tanya orang itu.
“Berhasil dong. Lo nggak salah nyuruh gue buat minta
tolong sama Ify, Shill. Dia setuju aja,” jawab Acha ke Shilla. Ternyata cewek
yang menghampiri Acha itu Shilla.
“Ashilla gitu. Bentar lagi kita berdua akan tenar
banget, gue sama Iel dan lo sama Rio. Gue yakin Rio suka sama lo. Secara lo the
most wanted girl.”
“Siip. Thanks
banget, Shill.”
“Welcome.
Yuk ke kelas. Iel nunggu.” Acha mengangguk dan kedua orang itu meninggalkan
perpustakaan.
*************************
Siang menjelang sore ini Ify dan Rio lagi belajar di
taman sekolah. Apalagi kalau bukan belajar fisika. “Io, yang ini gimana? Kok
gue nggak dapet juga hasilnyaa?” tanya Ify ke Rio yang duduk di sebelahnya. Io
adalah panggilan Ify ke Rio dan hanya Ify yang memanggilnya ‘Io’. Rio menghela
nafas berat. Lagi-lagi Ify belum mengerti juga, tapi cowok tampan itu tak bosan
dan tak lelah mengajari gadis berdagu tirus itu.
“Ini dimasukin ke rumus ini dulu. Terus baru dibagi
sama koefisiennya. Baru deh pake rumus yang ini,” jelas Rio. Ify mengangguk
sambil nyengir dan kembali mengerjakan soalnya. Rio mengusap puncak kepala Ify.
Gadis ini sungguh membuatnya gemas.
Tangan Ify dengan lincah mencoret-coret dibuku
buramnya. Menjawab soal yang udah keempat kalinya dia jawab namun hasilnya
salah. Tidak seperti jawaban Rio. “Nah, Io. Gue udah selesai. Coba deh lo samaain
sama jawaban lo. Pasti sama,” ujar Ify pe-de dan menyodorkan jawabannya. Rio
mengambil buku Ify dan menatap gadis itu sekilas. Lalu dia kembali menyocokan
jawaban Ify dengan jawabannya. Tiba-tiba handphone
Ify berbunyi.
“Good, Fy.
Lo makin pinter aja. Walapun harus lima kali ngerjain soal sebelum nemu jawaban
yang bener,” ucap Rio alias ngeledek Ify. Ify mendengus kesal dan memukul bahu
Rio pelan tak lupa dia manyun.
“Elo jangan ngeledek dong, Io. Ish… sebel deh.” Ify
merajuk manja. Nada suara manja ini yang Rio suka, ternyata gadis itu bisa
manja juga. Manja Ify ini nggak dibuat-buat, memang asli dan nyata seperti ini.
Mangkanya Rio suka, nggak seperti cewek-cewek lainnya. Kemudian Ify kembali
menatap layar handphone-nya.
Rio tertawa melihat reaksi gadis ini. Sungguh lucu.
Harusnya Ify menyadari kalau Rio menyukainya. Terlihat dari sikap Rio ke Ify.
Semua orang yang melihat kalau mereka lagi berdua pasti mengira kalau Rio dan
Ify itu sepasang kekasih. Tapi nyatanya hubungan mereka hanya sebatas just friend.
“Io, kita istirahat dulu yok. Ke lapangan bakset. Kan
Via sama Alvin ada di sana. Ya ya ya?” pinta Ify ke Rio sedikit memaksa. Padahal
tanpa Ify harus memaksa Rio akan suka rela mengikuti kemauan gadis ini. Rio
tidak menjawab sama sekali.
“Lo nggak kangen main basket, Io? Kita main basket.
Alvin kan lagi latihan, lo kan juga latihan harusnya. Ya??” pinta Ify lagi.
“Ayok.” jawab Rio akhirnya dan menarik tangan Ify
menuju lapangan basket.
@Lapangan Basket
Di lapangan basket bukan hanya tim cowok yang sedang
latihan. Tapi anak cheers juga
latihan. Ify dan Via duduk di pinggir lapangan melihat Rio dan Alvin yang lagi
berusaha menaklukan si Bulat Orange.
Anak-anak cheers juga, bukannya
latihan malah sibuk berteriak-teriak memberi semangat kepada tim cowok.
Sebenarnya mereka latihan juga sih, latihan tereaknya doang. Hehehe…
Ify tidak fokus. Sejujurnya dia meminta Rio ke
lapangan basket karena sebuah SMS. SMS dari Acha. Acha pingin ngeliat Rio main
basket karena dia sedang di lapangan. Dan kini Ify melihat itu. Melihat Acha
yang terus berteriak nama Rio. Memberi semangat kepada cowok itu. Lagi-lagi Ify
mendesah. Dia heran, kenapa dengan dirinya. Dia tidak menyukai kalau Acha
melakukan hal itu.
Rio bermain basket dengan semangat sekali. Gerakannya
lincah membawa bola untuk masuk ke ring walaupun dia tidak mengenakan seragam
basket. Rio hanya berbalut seragam batik GNS. Rio mendengar teriakan
cewek-cewek menyebut namanya. Tapi telinganya fokus kepada seorang cewek yang
duduk di pinggir lapangan. Menunggu cewek itu meneriaki namanya. Sayangnya
tidak pernah, walaupun cewek itu sering menemaninya bermain basket, tidak
sekali pun nama Rio terlontar dari bibir manis Ify. Ify hanya teriak ‘ayo’
untuk memberi semangat kepada dirinya juga anggota team lainnya.
Rio mengoper bola itu ke Cakka yang sudah siap
menembak di dekat ring. Sementara dia fokus ke Ify yang sekarang ini mendadak
jadi berubah. Lebih pendiam. Baru setengah jam yang lalu Ify mengingatkannya
dengan sangat semangat untuk mengajarinya fisika. Menyelesaikan soal-soal di
buku kumpulan soal yang baru dia beli. Tetapi, cewek itu menjadi pendiam ketika
handphone-nya berbunyi dan
kemungkinan menerima sebuah SMS.
Teriakan penonton membahana, Rio melirik sekilas ke
permainan basket dan ternyata Cakka berhasil menembak bola ke ring. Kembali Rio
melirik Ify, gadis itu tetap diam. Dia seperti tidak perduli dengan sekitarnya.
Bahkan, Rio yakin gadis itu tidak menyadari teriakan Sivia yang duduk tepat di
sebelahnya.
Rio bingung dan memutuskan untuk kembali bermain
basket. Sekarang bola ada dipihak lawan. Team
Cakka, Rio, Alvin dan Gabriel berusaha merebut bola. Namun gagal, karena si
Pemegang sudah melakukan shooting jarak
jauh. Sayangnya, bola itu bukan mencetak angka tapi mencetak cap merah di dahi
seorang penonton.
****************************
Ify masih juga melamun. Dia menatap ke arah lapangan
tapi pandangannya kosong. Dia tidak menyadari bola basket meluncur ke arahnya.
“Iiiiiiiifffffffyyyyy aaaaawwwwwaaaaassssssss…”
teriak Rio yang menyadari kalau bola itu menuju ke arah Ify. Karena posisinya
yang jauh dari Ify, mungkin gadis itu tidak mendengar sama sekali. Bahkan tetap
melamun. Bugh…. Bola basket sukses menghantam dahi Ify. Dia kaget dan meringis.
Kepalanya puyeng.
Baru saja Rio mau berlari menghampiri Ify, tiba-tiba
anak cheers berteriak “Achaaaaaaaaaa…”
Seorang anggota cheers mendekati Rio
yang berdiri tidak jauh dari mereka untuk meminta pertolongan. “Yo, tolongin
Acha. Dia keseleo,” ucap Shilla menahan Rio yang udah mau berlari mendekati
Ify.
“Gue mau nolongin, Ify,” tolak Rio cepat. Shilla
tidak menyerah. “Udah banyak yang nolong, Ify. Lo nolongin Acha aja. Tolong
bopong ke UKS,” pinta Shilla. Rio menoleh ke arah Ify. Perkataan Shilla benar
Ify memang sudah banyak yang nolongin. Bahkan Alvin sudah memgendong Ify ke UKS
ditemani Sivia.
“ Ya udah,” ucap Rio. Dia menghampiri Acha yang sedang
kesakitan dan kemudian mengendong gadis itu menuju UKS.
@UKS
“Via hati-hati
dong, sakit nih kepala. Emang nggak sakit kena bola basket.” Ify meringis
kesakitan ketika Via mengompres dahi Ify.
“Cerewet banget
lo, Fy. Untung Via mau ngobatin lo. Siapa lagi yang mau ngobatin lo kalo bukan
Via?” Alvin mendukung pacarnya. Via tersenyum penuh kemenangan.
Ify mencibir.
“Ada kok. Rio. Wleeee….” balas Ify dan tak lupa melet. Tepat pada saat itu
pintu UKS terbuka. Ternyata seseorang datang. Ya Rio datang, pandangan Rio
tertuju pada Ify. Awalnya Ify mau meneriaki Rio buat ngobatinnya, tapi batal
ketika melihat siapa yang ada dalam gendongan Rio. Acha. Cewek yang lagi PDKT
ke Rio dan orang yang akan Ify tolong buat menjadi kekasih Rio. Ify menghela
nafas berat.
Rio cepat-cepat
menidurkan Acha ke kasur UKS yang berjarak tiga kasur dari Ify. Dia memanggil
seorang petugas UKS, Rahmi. Untuk mengobati keseleo Acha. Sedangkan dia berlari
menuju tempat Ify.
“Lo nggak
apa-apa, Fy? Luka di mana? Sakit nggak? Sini gue obatin,” seru Rio cepat ketika
dirinya ada di samping Ify. Ify mau saja menjawab, ‘Ya, Io. Obatin gue ya’,
tapi dia menangkap sorotan mata Acha yang menyuruh Ify meminta Rio untuk
menolong Acha.
“Nggak apa-apa
kok. Nggak sakit lagi,” balas Ify. Dia melotot ke Via dan Alvin yang udah mau
menyela ucapannya.
“Baguslah. Sini
gue aja yang ngompres,” ujar Rio dan mau mengambil kompresan dari tangan Via.
Ify langsung mendorong tangan Rio hingga kompresan itu jatuh ke lantai. Via
kaget. Apalagi Rio, dia terperangah
“Elo nggak usah
ngompresin gue, Yo. Lo tolongin Acha aja, ada Via kok yang ngompressin gue.
Lagian yang bawa Acha lo. Nggak enak tahu.”
“Gue maunya
jagain lo, Fy.” Rio tetap bersikeras.
“Gue bilang nggak
usah ya nggak usah. Sana,” bentak Ify. Alvin dan Via terperangah. Tadi Ify
bilang dengan bangganya kalau Rio akan mengobatinya, tapi sekarang gadis
berdagu tirus itu menolaknya.
Rio kaget melihat
reaksi Ify. Matanya menyipit berusaha mencari apa yang salah dengan gadis itu.
Lalu dia menoleh ke Via dan Alvin. “Lo ke Acha aja dulu, Yo. Kita bakal jagain
Ify kok,” bisik Alvin ke Rio. Rio menurut dan menghampiri Acha yang
menyambutnya dengan senyum termanis yang dimiliki Acha.
“Gue mau pulang,
Vi,” pinta Ify setelah melihat Acha berdua sama Rio melalui ekor matanya.
“Tapi elo masih
sakit Ipong.”
“Gue mau pulang.
Antarin pokoknya.” Ify ngotot. Via dan Alvin hanya bisa setuju. Kemudian
ketiganya meninggalkan UKS.
Rio yang berada
di dekat Acha menghela nafas berat. Laki-laki itu bingung kenapa dengan Ify. Elo
kenapa sih, Fy? Gue khawatir sama lo, batin Rio. Apalagi tadi Ify memanggil dia
dengan sebutan ‘Yo’ bukan ‘Io’. Tumben-tumbenan.
“Yo, lo suka yang
mana ke bioskop atau ke mall buat hang
out?” tanya Acha nggak penting banget. Ini lagi. batin Rio. Cewek ini bukan
sakit, tapi seperti sedang PDKT dari tadi nanyain dia mulu mulai dari yang dia
suka hingga hal yang nggak penting gini.
“Gue sukanya ke
pantai. Gue pulang dulu, ya. Moga lo cepat sembuh,” jawab dan pamit Rio. Tanpa
menunggu jawaban Acha, Rio meninggalkan gadis itu.
***********************
Semakin hari Ify
semakin berubah. Tidak ada lagi Ify yang dekat sama Rio, Ify yang membuat Rio
tertawa, Ify yang selalu bersama Rio di mana pun. Ify yang ceria juga mendadak
diculik, digantikan Ify yang pendiem dan senyumnya maksa. Berkali-kali Rio
mengajak Ify ke kantin atau sekedar jalan-jalan ke taman menghabiskan waktu
istirahat, berkali-kali juga Ify menolak. Ify memang terlihat sama seperti
biasa setiap harinya, tapi tingkahnya kadang berubah dan hanya Rio yang
mengerti juga kedua sahabat Rio dan Ify. Via dan Alvin.
Sekarang yang ada
Acha dan Rio. Setiap hari Acha ngintilin Rio. Kemana-mana ada Rio pasti Acha
ada di belakangnya. Rio sendiri terganggu dengan kehadiran gadis itu. Tetapi
tidak enak untuk mengusirnya. Via dan Alvin jadi heran melihat ini. Rio juga
kembali menjadi Rio yang pendiam dan dingin, karena kunci pencairnya telah
pergi.
“Vin, lo merasa
ada yang aneh nggak dengan Ify?” tanya Via ke Alvin. Mereka berdua lagi di
kantin.
“Hmm…. Ada sih,
menurut cerita lo dan yang gue lihat. Ify jadi pendiam dan menyendiri. Rio
apalagi dia kembali ke sosok semula. Apalagi sekarang dia sering sama Acha. Rio
dan Ify berantem ya?”
“Nah lo pinter. Itu
dia, Vin. Mereka nggak berantem yang ada gue curiga sama kehadiran Acha. Tuh
cewek kegenitan sama Rio,” seru Via berapi-api.
“Kita sebaiknya
selidikin, Vi. Feeling gue, Ify
ngebantu Acha mendekati Rio.”
“Hah?!” Via
terperangah dengan argumen Alvin. Kok bisa sama dengan feeling-nya sendiri. “Kok feeling
kita samaan, Vin?” tanya Via bingung dan menatap Alvin lekat.
Alvin memberikan
Via seulas senyum manisnya. “Karena kita sehati, Say.” Gombal Alvin. Via tersipu malu.
“Gombal aja, lo.
Ayok, kita selidikin sekarang,” ujar Via dan menarik tangan Alvin keluar dari
kantin.
****************************
Ify sedang
menikmati udara segar pantai, tempat dia dan Via sering menghabiskan liburan
dan waktu kosong bersama. Sore ini dia datang sendirian dan memutuskan untuk
melihat sunset mumpung besok minggu.
Jadi tidak apa-apa kalau dia pulang sedikit kemalaman. Apalagi sudah seminggu
ini dia melamun dan menjadi pendiam. Menyesali semua kebodohannya. Melerakan
cintanya pergi.
Seperti biasa,
Ify duduk di pinggir pantai tapi kali ini tidak duduk di tempat gelombang
pantai bisa menggapai dirinya dan membasahi bajunya. Ia tidak membiarkan air
laut itu menyetuh ujung kakinya sama sekali. Ify memilih duduk di atas pasir
kering. Matanya fokus ke lautan yang udah berubah mulai gelap.
Harusnya gue
sadar dari dulu, kalo gue sayang sama Rio dan nggak mutusin buat nolong Acha.
Gue bego. Bego banget. Gue baru nyadar ketika Rio dekat sama cewek lain. Gue
nyesel, kenapa kisah gue tragis mulu. Dulu gue suka sama Iel dan nggak sempat
dekat malah dia udah jadian. Tapi sekarang gue baru nyadar sayang sama Rio. Gue
sayang banget sama dia. Gue baru sadar kalo gue ke Iel itu cuma obsesi,
sedangkan ke Rio? Itu baru cinta. Dan sekarang gue gagal. Kenapa kisah gue
nggak seindah Via? Gue juga nggak butuh cerita cintanya Cinderella, Snow White
bahkan Sleeping Beauty yang sungguh
indah dan romantis itu. Karena itu semua omong kosong. Mimpi belaka. Guma cuma
mau kisah cinta Alyssa. Cinta yang Alyssa tunggu dan kalau bisa cinta sejatinya
Alyssa. Cuma Alyssa. Ify merenung. Matanya fokus ke depan melihat matahari yang
hanya tinggal separuhnya saja.
“Gue sayang
banget sama lo, Io. Gue kangen sama lo,” gumam Ify. “Lo udah jadian sama Acha
ya? Selamat deh kalo gitu.” Ify berbicara sendiri dan tertawa hambar. Dia
benar-benar seperti orang linglung. Langit semakin gelap. Deburan ombak masih
terdengar. Angin malam mulai menusuk tulang rusuk gadis itu. Gadis yang melamun
dan menatap kosong apa yang ada di depannya.
****************************
Rio memutuskan
untuk ke pantai. Menenangkan dirinya dan mencoba mencari kesalahan apa yang
sudah dia perbuat ke Ify hingga gadis itu kini menjauh dengan dirinya. Rio
tidak menyangka ini akan terjadi, bukankah sudah cukup perpisahan dia selama
delapan tahun lalu menjadi ujian baginya. Menguji cintanya pada gadis itu.
Bagaimana Rio mempertahankan rasa cinta ke gadis yang hanya ia temui sekali dan
hanya menyimpan selembar foto gadis itu tanpa mengetahui perkembangan gadis
tersebut. Sementara begitu banyak gadis cantik yang berada di sekelilingnya.
Tapi, hatinya tetap dia patenkan untuk seorang gadis yang dulu tidak
diketahuinya tentang perubahannya. Waktu tujuh tahun tidak mungkin tidak mengubah
seseorang, pasti ada yang berubah. Begitu juga dengan cewek yang ia suka itu.
Untuk anak umur
Sembilan tahun, cinta sesuatu yang awam dan pasti tidak dimengerti. Namun untuk
Rio yang berusia sembilan tahun, cinta adalah kata yang pertama tercipta
dihatinya ketika dia melihat gadis itu. Melihat dia. Melihat dia yang sedang
tersenyum begitu melihat deburan ombak yang menghantam tubuhnya. Membasahi
baju-bajunya. Senyum gadis yang berteriak dengan senang ketika bermain-main
dengan gulungan ombak besar itu. Rio sendiri masih ingat, dia tersenyum melihat
gadis itu yang menertawakan dirinya sendiri ketika terjatuh di tepi pantai.
“Fy, gue kangen
sama lo,” ucap Rio pelan. Kini dia berada di tepi pantai. Melihat ciptaan Tuhan
yang menjadi tempat dia bertemu dengan peri kecilnya. Rio menatap sekeliling
dan merapatkan jaketnya ketika angin malam berdesir menusuk tulang rusuk.
Matanya menangkap sebuah sosok. Dia duduk di tepi pantai, tapi tidak tersentuh
lautan. Rio mengenal jelas sosok itu. Rambut panjang bergelombang diujungnya.
Cara gadis itu duduk dan sebuah tangan gadis itu yang menopang tubuhnya. “Ify,”
gumam Rio.
Angin semakin
dingin. Rio menyadari kalau Ify kedinginan. Wajar gadis itu kedinginan karena
dia hanya memakai celana jeans dan
baju kaos biru gambar Doraemon.
“Kalo dingin pake
ini aja,” ucap Rio dan menyodorkan jaketnya. Rio sendiri memakai kemeja panjang
yang tangannya dilipat hingga siku.
Ify mengalihkan
pandangannya dari depan ke samping. Ia mendapati Rio yang sudah duduk di
sampingnya. “Nggak usah. Terima kasih,” tolak Ify. Angin seperti tidak menyukai
tingkah Ify itu, hingga angin itu berhembus lebih hebat dan membuat tubuh Ify
gemetaran.
“Dan kayaknya lo
nggak punya pilihan lain selain memakai jaket ini kecuali kalo elo mau mati
kedinginan.”
Ify mendesah
berat. Ia menerima jaket itu dan menyelimuti badan rampingnya yang udah
kedinginan. “Kenapa lo ke pantai?” tanya Ify basa-basi.
“Gue emang suka
pantai. Karena pantai tempat pertama gue ketemu dia. Dia yang tertawa dan
berhasil membuat gue tersenyum. Dia, delapan tahun yang lalu,” jawab Rio. “Elo
sendiri?”
Ify menatap Rio.
Dia canggung dengan pemuda itu. Sudah seminggu mereka tidak bertukar cerita.
“Gue memang suka sama pantai dari dulu. Dari gue kecil. Pantai nggak pernah
menghinati teman yang mencari ketenangan dengannya, karena pantai selalu
memberikan ketenangan buat setiap orang yang menatap jauh dirinya. Pantai juga
membawa kerinduan. Itu bagi gue, setiap gue rindu sama kakak gue yang udah di
surga, pantai selalu menyampaikan balasan rindu dari kakak gue melalui sentuhan
gelombangnya.” Ify menarik satu tarikan nafas. “Dan sejak umur gue sembilan
tahun, di pantai gue menemukan ketenangan hati yang sesungguhnya. Senyuman itu.
Senyum yang ngebuat gue tenang ketika melihatnya. Sayang, gue cuma diberi
kesempatan sekali buat melihat senyum itu. Senyum penuh ketenangan sama seperti
ketenangan yang diberikan laut. Nggak, bahkan lebih dari ketenangan yang
diberikan laut.” Ify bercerita tanpa sadar dan menatap lautan luas itu. Rio
terdiam. Apakah Ify kecil melihat dia tersenyum juga waktu itu? Atau orang lain
yang Ify lihat. Rio melamun.
“Haaaaaatccccchiiiiiii……….”
Ify bersin.
“Ayo pulang. Gue
anter,” ujar Rio. Ify mau protes. “Dan nggak bisa nolak,” sambung Rio dan
menarik gadis itu. Ify tidak protes. Dia membiarkan Rio menarik tangannya
karena dia merindukan sentuhan jemari Rio di pergelangan tangannya. Seperti
hari-hari mereka dulu.
Hari ini. Pantai
(lagi) mempertemukan dua anak Adam dan Hawa yang sama-sama memiliki cerita
abadi di pantai ini.
*********************************
Prok...prok... Via bertepuk tangan. Dirinya kini
berdiri di depan dua cewek yang sedari tadi berbicara empat mata dan isi
pembicaraan mereka membuat telinganya panas. "Ck...hebat banget dua sejoli
kita. Punya rencana oke banget," decak Via dan dia tersenyum miring. Dua
sejoli itu -Acha dan Shilla- melirik Via dengan tampang malas.
"Elo nggak usah ikut campur. Ini urusannya SAZA,"
balas Acha. SAZA itu gang-nya the most
wanted girl. Diambil dari huruf depan nama mereka.
Shilla-Acha-Zevana-Angel.
"Jelas itu urusan gue. Lo" tunjuk Via ke
Acha. "berani-beraninya minta tolong ke Ify buat deket sama Rio."
"Itu hak dia," timpal Shilla. Via melotot
ke Shilla. "Suara lo nggak pengen gue denger," desis Via tajam.
"Ify mau dan dia setuju aja waktu gue minta
tolong. So, elo nggak usah sok ikut
campur urusan orang," balas Acha.
Via mendelik. "Lo orang yang nggak peka sama
orang lain." Via menatap Acha dengan ekspresi merendahkan. "Hati lo
udah ketutup banget ya? Lo harusnya nyadar, mata lo buta apa? Asal lo tahu,
semua orang juga tahu kalo Rio dan Ify itu saling suka. Nggak usah lo minta
kepastian dari Ify. Cukup dari mata dia.”
“Heh nona sok care.
Lo nggak usah capek-capek ngomong nggak penting gitu ke kita. Hak Acha lagi
suka sama Rio dan mau PDKT.” Shilla berujar pongah.
“Urusan Rio itu cuma antara gue dan Ify. Lo nggak
punya celah buat ikut masuk.” Suara Acha kembali terdengar dan dia sudah
berdiri di depan Via. Menatap cewek chubby
itu dengan senyum miring dan air muka super nyebelin, setidaknya bagi Via.
“Gue jelas tahu kalo nenek lampir ini” tunjuk Via
tepat di wajah Acha. “punya hak buat suka sama siapa aja termasuk Rio dan minta
tolong sama siapapun buat comblangin dia. Tapi, dia nggak punya hak sama
SEKALI, tidak sedikit pun untuk ngelarang Ify dekat sama Rio.” Via menatap Acha
bengis. “Lo pikir gue nggak tahu, kalo lo yang selalu meminta Ify dengan
tampang melas lo yang ogah dan enek banget gue lihat itu untuk buat Ify jauh
dari Rio karena lo ingin diposisi Ify.”
Acha semakin terpojokan. Apa yang diucapkan Sivia
sangat benar. Bila ini ujian nasional, maka Via menjadi peraih nilai tertinggi
dan jikalau ini undian seratus miliyar, cewek di depannya ini sudah menjadi miliyarder termuda se-Indonesia. “Lo
siapa sih ikut campur urusan gue? Lo cuma temen sekelasnya dia kali,” balas
Acha sewot.
Sivia berdeham dan menatap Acha layaknya orang yang
paling bego diantara orang bodoh lainnya. She
is like a foolish woman. “Gue sahabat Ify dari kecil dan gue orang yang
sangat kenal Rio. Gue nggak mau aja koar sana sini kalo gue kenal Mario Stevano
sangat baik udah dari lama karena gue nggak mau jadi sasaran orang-orang kayak
lo. Orang-orang yang cuma ngaku cinta sama seseorang karena harta dan
tampangnya.” Via tersenyum miring.
“Lo.” Tunjuk Acha ke Via. Dan satu telapak tangannya
hampir menciptakan bercak merah berbentuk lima jari di pipi chubby Via. Baru hampir karena seseorang
menahan tangan laknat cewek itu.
“Jangan sekali-kali lo sentuh cewek gue,” desis Alvin
dan menghempaskan tangan Acha kasar.
“Alvin. Lo harusnya nggak pacaran sama cewek gendut ini.
Lebih baik lo sama Zevana, dia sangat LEBIH BAIK dari dia.” Shilla angkat
bicara ketika melihat sosok Alvin yang berdiri di sebelah Via. Dan kini
menggenggam tangan cewek itu.
Alvin tersenyum miring. “Oh ya? Bukannya lo yang
harusnya sangat bersyukur karena Gabriel beneran sayang sama lo. Coba aja lo
peka kalo Gabriel nggak suka tingkah lo yang seperti ini. Gue kasihan banget
sama Iel, bisa-bisanya cowok sebaik dia jatuh cintanya sama cewek macem elo.
Nggak ada baiknya sama sekali,” jelas Alvin dan membuat Shilla ternganga. Cewek
itu sungguh kaget.
“Apa perduli lo? Lo jangan ikut campur.”
“Gue perduli karena Iel sahabat gue dan Rio. Satu
lagi, jangan sekali-kali lo ngehina cewek gue. Seaneh dan sejelek apapun Via
bagi lo, tapi bagi gue dia yang terbaik dan paling baik.” Alvin menarik Via
meninggalkan Acha dan Shilla yang kini terperangah serta merasa dipermalukan.
*************************
0 comments:
Posting Komentar