Lovely Maid Part 9




     
 Lovely Maid Part 9




“Ifffyyyy…………….,” panggil seorang cewek chubby yang berlari tergopoh-gopoh dari ujung koridor sebelah barat. Ify langsung menoleh ke barat dan menemukan Via dengan tas tebal serta beberapa buku panduan belajar yang dia selipkan di depan dadanya.
       Hoshh….hossh…..nafas Via memburu saat tiba di tempat Ify berdiri. “Lha, Vi? Sabar aja kali. Lo dari mana sih?” tanya Ify dan terkekeh pelan.
       “Ishh…..kasih gue minum kek, Fy. Gue haus nih,” jawab Via dan masih berusaha mengatur nafasnya. Ify geleng-geleng kepala dan mengambil tempat air minumnya di dalam tas.
       “Ini minum dulu,” ujar Ify sambil menyodorkan botol air minumnya.
       “Lega….” Seru Via setelah menghabiskan air minum Ify. “Makasih ya, Fy,” ucap Via dan memasukan botol air minum itu ke atas Ify.
       “Jadi, lo dari mana?” tanya Ify lagi untuk kedua kalinya.
       “Gue dari perpus tadi, minjem buku ini,” jawab Via sambil menunjukan buku paket berjudul Biologi untuk kelas X dan Kimia IA. Ify mengangguk-ngangguk mengerti. “Ah iya, hampir lupa. Kita harus ke lapangan, tadi Agni pesen buat nunggu dia di lapangan,” ucap Via.
       “Oke….kita ke sana aja sekarang,” balas Ify dan memutar badannya menuju koridor Timur yang akan membawa mereka ke lapanga basket sekolah.
       “Shilla?” tanya Via.
       “Ah iya, kita jemput Shilla dulu. Gue rasa dia udah latihan kayaknya.”
       “Oke….ayo,” ajak Via penuh semangat. Buktinya ia sudah menarik Ify menuju ruang latihan dance.

***********

       Saat ini, Ify, Via, dan Shilla lagi asyik-asyiknya duduk di pinggir koridor yang menghadap ke lapangan. Ketiga gadis itu tengah asyik menikmati semilir angin sore dan permainan basket putri sekolah mereka. Salah seorang gadis diantara ketiganya bersorak gembira manakala ada bola yang berhasil masuk ke ring.
       “Semangat!!! Semangat!!!” seru Via sambil bertepuk tangan. Senyum lebar terpeta di wajah manis gadis bermata sipit itu.
       “Eh….eh….lihat deh itu,” ucap Shilla tiba-tiba. Ify yang tadi berdiri jadi duduk kembali dan Via menghentikan aksi sorak menyoraknya.
       “Apaan sih, Shill?” tanya Ify kepo.
       “Itu,” ucap Shilla sambil menunjuk ke arah lapangan sebelah kanan dan menemukan segerombolan orang cewek sepertinya tim cheers. “Itu Si Jazz Merah? Mereka cheers ya?” tanya Shilla kepada Ify dan Via.
       Ify dan Via sama-sama kompak memejamkan matanya lalu menyipitkannya perlahan-lahan dan terakhir melotot garang ke Shilla. “SHIILLLAAAA!!!!!!!!” teriak Ify dan Via serempak.
       Shilla jadi cengengesan sendiri, ia tahu dia yang salah. Menanyakan hal yang ternyata tidak penting dengan awalnya tampang yang begitu serius. Ify dan Via kesal karena ulahnya tersebut. “Sorry deh ah, gue kan penasaran aja sama mereka. Di mana-mana bergentayangan mulu.”
       “Lo pikir hantu!” dumel Via dan kembali duduk ke posisinya semula. Lalu asyik lagi dengan kegiatannya yang dihentikan Shilla.
       Sedangkan Ify, gadis berdagu tirus itu lebih memilih untuk berdiri dan agak maju beberapa langkah mendekati lapangan. “Yo….Yo…Yo….semangat!!! Yoooooooo……Seeemangaaaattt!!!!” seru Ify penuh semangat. Gadis itu melompat-lompat riang sambil mengarahkan jari jempolnya ke lapangan. Tidak dia ketahui, kalau tingkahnya itu menarik perhatian seseorang.

*****************

       “Yo….Yo…Yo….semangat!!! Yoooooooo……Seeemangaaaattt!!!!” suara tersebut tertangkap oleh telinga seseorang.
       “Eh….Yo, ada yang nyebut nama lo deh,” ucap Cakka dengan wajah seriusnya.
       Rio, pemuda yang dipanggil oleh Cakka jadi ngeh. Dari tadi dia memang mendengar suara orang yang bilang Yo….Yo….. Berarti memanggil dirinya dong. Apalagi di belakang kata Yo tadi disebut aja semangat. Pas bangetkan sama dia. Dia kan lagi bermain basket, lebih tepatnya mendribble bola menuju lapangan basket. “Kayaknya iya, Ka,” timpal Rio.
       “Palingan juga fans lo,Yo. Biasa aja kali,” ucap Gabriel dan mengambil bola basket yang berada di tangan Rio.
       “Maybe,” sahut Rio.
       Alvin yang hanya satu-satunya orang yang belum berbicara sendari tadi dan lebih memilih untuk memperhatikan sekelilingnya, tepat menangkap sosok seseorang yang lagi melompat-lompat riang lalu orang itu berbalik badan sambil bertepuk tangan dan mengucapkan sesuatu. Alvin memperhatikan gerak bibir orang tersebut. Lalu, ia tersenyum sinis.
       “Orang yang manggil elo dari tadi itu dia, Yo,” ucap Alvin sambil menunjuk Ify.
       Rio mengikuti arah tunjuk Alvin dan Alvin berhasil membuat Rio melotot. Rio jelas kaget. Masa iya, adik kelasnya yang sangat anti dengan dirinya, menyebut-nyebut namanya sendiri? Nggak mungkin kan?
       “Samperin yok. Lihat deh, Yo adik kelas miskin itu masih nyebut-nyebut nama, lo,” timpal Gabriel.
       “Nggak sudi. Ngapain juga nyamperin orang miskin. Nggak guna, Yel.”
       Sayangnya, Rio ditinggal oleh ketiga sohibnya. Ketiga cowok itu sudah berjalan menghampiri tempat adik kelasnya. “Wooii tunggu,” teriak Rio.

************

       “Yo….Yo…Yo….semangat!!! Yoooooooo……Seeemangaaaattt!!!!” seru Ify untuk kesekian kalinya. Ia terus melompat-lompat kecil sambil bertepuk tangan.
       “Fy, duduk gih. Gue geli liat lo lompat-lompat mulu. Kayak kelinci aja lo,” ujar Via dan cekikikan sendiri.
       Ify yang masih melompat-lompat itu manyun dan berbalik badan ke arah Via dengan melompat pula. Whuussss…..dengan sekali gerakan Ify telah berdiri di hadapan Via.
       “Dasar iri nggak bisa melompat, wweeeeekkkkk,” ledek Ify.
       “Gue setuju sama Ify. Via iri tuh, Fy. Lo lucu kok lompat-lompat gitu,” ucap Shilla dan tersenyumlah Ify. Ganti Via yang manyun.
       “Nih, gue ajarin, Vi gimana caranya,” ucap Ify dengan pede-nya. Lalu ia kembali mempraktekan gayanya tadi.
       “Gimana…gimana….gimanaa? Lucu kan, Vi?” tanya Ify dengan bangga kepada Sivia. Via melengos.
       “Ya deh…..ya deh….” Jawab Via akhirnya.
       “Via ngambek….Via ngambek….Via ngambek….” Seru Shilla dan Ify langsung ikutan juga. Lagi asyik-asyiknya ngeledek Via, suara seseorang menghancurkan keasyikan mereka.
       “Heh, Miskin!! Ngapain lo manggil-manggil nama Rio?” tanya Gabriel dengan bentakan.
       Ify, Via, dan Shilla langsung berhenti dan menatap keempat kakak kelas mereka yang sudah berdiri di belakang ketiganya. Ify, Via, dan Shilla langsung melempar pandangan penuh tanda tanya. Jelas dong, ketiganya merasa tidak pernah memanggil nama Rio seperti yang dituduhkan. Lagian Rio siapa sih? Sampai namanya aja tidak boleh disebut. Rio itu Voldemort ya? Yang bila namanya disebut akan mendapatkan hukuman. Yang benar saja dong!!!
       “Kami rasa lo semua salah orang deh. Kita nggak merasa manggil nama Rio. Ya kan, Vi, Shill?” ucap Ify sekaligus meminta bantuan kepada kedua sohibnya.
       “WOI MISKIN!! Kita belum budek kali, kita denger lo manggil Rio,” ujar Cakka sinis.
       Via, Ify, dan Shilla menatap jengkel keempat senior mereka ini. Ify menoleh ke arah Rio. “Eh, emang lo nyimpulin dari mana kalo salah satu dari kami mangggil elo?” tanya Ify.
       Rio memasang wajah dinginnya. “Itu Alvin yang bilang,” jawab Rio pendek.
       “Kak Alvin dari mana nyimpulinnya?” kali ini Via yang bertanya.
       “Tadi lo,” Alvin menunjuk Ify “nyebut gini ‘Yo….Yo…Yo….semangat!!! Yoooooooo…… Seeemangaaaattt!!!!’”
       Ify, Via, dan Shilla seketika cengok. Mereka bertiga saling pandang dan lalu……Huahhaaa….haaaa…… tawa mereka bertiga pecah seketika. Alvin, Rio, Gabriel, dan Cakka menatap ketiga heran. Kening mereka berempat bukanlah keriting langsung kribo. Rasa kesal juga melanda mereka. Ketiga gadis ini lah yang berani menertawakan mereka, ditambah lagi di depan mereka. Selama ini tidak pernah dan belum pernah. Sekarang? Mereka ditertawakan terang-terangan.
       “Lo bertiga kenapa ketawa, Hah?” tanya Alvin.
       Hahahah…. “Eh…..sini….hahahha….aduh…..sini deh Kak Alvin,” ucap Ify dan menarik tangan Alvin lalu membawanya ke dekat lapangan. Shilla yang mengerti arti dari kode yang diberikan Ify secara selintas langsung menyusul Ify diikuti dengan Via. Sementara, Gabriel, Rio, dan Cakka tetap di tempat mereka berdiri.
       “Nah, udah deket, Kak Alvin,” ucap Shilla.
       “Kak Alvin lihat ke sana,” ujar Via sambil mengangkat tangan kanan Alvin dan menunjuk Agni yang lagi asyik bermain basket.
       “Yang Via tunjukin itu orang yang kita sorakin dari tadi. Yang kita beri semangat, bukan temen lo itu,” ucap Ify sambil menahan tawanya.
       “Jadi itu namanya Yo juga?” tanya Alvin yang tiba-tiba jadi bloon.
       “Bukanlah kakak,” Shilla yang menjawab. Dia sudah tidak tahan lagi untuk tidak tertawa. Ternyata orang-orang sok berkuasa ini dan sering ngatain mereka miskin, bisa mendadak jadi bodoh gini. Huahhaaa…
       “Maksud lo bilang Yo-Yo itu apa?” kalin ini Rio yang bertanya. Ia makin tidak mengerti dengan apa yang dibilang si Pinky ini.
       Ify melengos hati-hati. Lalu ia melangkah menuju tempat Rio berdiri. Tepat di depan wajah Rio ia berdiri dengan jarak satu meter. Ify mengangkat wajahnya dan sejajar dengan wajah Rio. “Kak Rio yang Ketos. Maksud gue itu, Yo….Yo…. Cuma panggilan singkat yang diambil dari kata ayo. Bukan berarti nyebut nama lo. Mana sudi gue manggilin elo dan bilang semangat untuk lo. Nggak akan pernah. Dengar ya!!! Mau lo lomba basket se-internasional se-dunia alam akhirat gue nggak akan pernah kasih semangat buat elo. Nggak akan, orak sudi!!!!” Mata Ify melotot ke Rio dan wajahnya kesal. Ify meninggalkan Rio dan meraih tasnya. “Gue masih nggak terima sama kata-kata lo saat di Gramedia. Gue sakit hati,” ucap Ify selintas sebelum ia pergi meninggalkan Rio dan menuju pinggir lapangan tempat Agni latihan. Shilla dan Via saling pandang lalu melakukan hal yang sama.
       “Yo….Yo…Yo….semangat!!! Yoooooooo……Seeemangaaaattt, Aaaagggnniiiiiii!!!!” seru Ify. Wajahnya kembali menjadi ceria.
       Rio terpaku di tempat. Ia jadi tidak mengerti dengan apa yang dipikirkan adik kelasnya. Ia sama sekali tidak mengerti.
       “Ada apa sih antara lo sama orang miskin itu?” tanya Gabriel.
       “Gue nggak ngerti. Latihan, Bro,” jawab Rio dan kembali mendrible bola ke lapangan basket.

****************

        “Tadi ada apaan sih?” tanya Agni setelah bergabung dengan ketiga sahabatnya. Ia meraih botol air minum yang berada di dalam tasnya.
       “Biasa deh, Ag. Kakak kelas yang sok dan merasa kegeeran. Mereka kira Ify manggil-manggil Kak Rio,” jawab Shilla.
       “Pulang, Yuk. Udah sore, mana kita belum buat tugas kimia,” usul Via yang sudah berdiri dari posisi duduknya.
       “Oke, yuk. Naik angkot aja gimana?” ujar Shilla.
       “Gue setuju, lagian capek banget hari ini dan kita kan punya uang hasil jualan kue kita selama beberapa hari ini,” ucap Agni.
       “Oh iya, tapi hari ini jadwal gue kan yang ngambil kue di tokonya Pak Fadli,” Via, Agni dan Shilla mengangguk kompak. “Berhubung toko kuenya cukup deket dengan sekolah kita, gue jalan kaki aja ya. Pulang ke rumah baru gue naik angkot,” lanjut Ify.
       Via, Agni, dan Shilla saling pandang. “Nggak usah, kita temenin lo ngambil kue,” ujar Via.
       “Jangan deh, Vi. Sekarang aja udah jam lima lewat. Lo bertiga pulang ke rumah dan masak untuk makan malem,” tolak Ify halus.
       “Kan bisa Agni sama Shilla yang masak,” Via tetap keukeuh aja.
       “Via, lo kan harus buat adonan kue buat besok gimana sih. Agni dan Shilla yang masak. Tenang aja, gue pasti pulang dalam keadaan utuh,” ujar Ify lalu memberi tatapan penuh harapan bantuan kepada Shilla dan Agni.
       “Ify pasti pulang kok, Vi. Tenang aja. Yuk kita pulang. Lebih cepat, lebih baik,” ujar Agni dan menarik Via agar berjalan menuju gerbang sekolah.
       Saat tiba digerbang sekolah, mereka berempat berdiri di trotoar. Kemudian, angkot berwarna lewat di depan mereka. “Pak….Pak….” panggil Agni.
       “Kita duluan ya, Fy,” pamit Shilla lalu naik ke angkot.
       “Beliin dauble polio nanti, Fy untuk tugas kita,” pesan Agni sebelum ia naik angkot sementara Via hanya menatap Ify dan kemudian naik ke angkot juga.
       Setelah angkot itu pergi, Ify mulai berjalan kaki. Ia berjalan dengan langkah yang bisa dibilang pelan. Dalam kepalanya masih dipenuhi dengan kekesalan akan sosok Rio. Kejadian, di toko buku Gramedia itu masih terbayang jelas dalam benaknya. Ia masih sakit hati, saat dikatain akan mengutil di sana. Ia memang miskin dan Rio harusnya tidak sampai segitunya mengata-ngatai dirinya. Mencuri adalah hal sensitive terhadap semua orang. Sebagai manusia, tidak baik memfitnah seseorang akan hal mencuri. Semiskin-miskin orang, belum tentu ia akan mencuri. Apalagi dirinya, Ify masih bisa menabung untuk membeli apa yang ia inginkan dan tidak akan pernah ia akan mencuri.
       “Huuuuuffhhhhtttt….” Ify menghela nafas sejenak. Ia melirik matahari sore yang semakin berwara orange. Dia tidak perlu memikirkan hal-hal yang menyakitkan untuk dirinya. Ia bukan orang bodoh, yang rela memikirkan hal-hal yang membuat dirinya menjadi sakit. Tidak akan. Banyak hal lain yang bisa ia lakukan, selain hal tidak berguna itu. Jadi, pilihan terakhir Ify adalah berjalan secepat mungkin agar bisa sampai di tokonya Om Fadli.
***********
       Ify melangkah perlahan-lahan menuju restoran sekaligus toko kue milik Om Fadli. Seseorang yang dulu telah menolong Ify dan ketiga sahabatnya. Pertemuan mereka di tragedy Kereta Api Maut. Itu dulu, dulu sekali. Om Fadli inilah yang membiayai hidup Ify dan ketiga sahabatnya pada awal-awal mereka tinggal di Jakarta ini, bahkan Om Fadli ini juga yang rela menjadi wali dari Ify, Via, Agni, dan Shilla. Om Fadli ini lah yang mengambil raport mereka di sekolah, menemani mereka mengambil reward dari semua prestasi yang berhasil mereka raih. Om Fadli sangat berjasa dalam hidup Ify dan ketiga sahabatnya dan mereka telah berjanji untuk tidak akan pernah mengecewakan Om Fadli.
       “Sore, Om,” sapa Ify saat tiba di pintu masuk restoran ini. Ia mengucapkan sapaan sore itu karena Om Fadli tengah duduk di meja yang hanya berjarak satu setengah meter dari pintu masuk. Lain itu juga, Om Fadli juga melihat ke arahnya.
       “Sore juga, Fy. Sendiri aja?” tanya Om Fadli ramah dan tangannya melambai-lambai untuk mengajak Ify menuju mejanya yang ia tempati bersama seseorang.
       “Iya, Om,” jawab Ify. “Sore, Om,” sapa Ify sopan kepada seorang laki-laki yang kira-kira berusia empat puluh tahunan, seumuran dengan Om Fadli.
       “Om bisa minta tolong nggak, Fy?” tanya Om Fadli.
       Alis Ify bertaut. Ia bingung, memang Om Fadli mau minta tolong apa? Meminta ia untuk bantu-bantu di restoran ini? Itu sih tidak jadi masalah. “Minta tolong apa, Om?” tanya Ify.
       “Sebenarnya saya yang minta tolong. Bisa Nak Ify bermain piano sambil menyanyi? Dari tadi saya penasaran dengan mendengar cerita dari Fadli. Katanya, diantara anak asuhnya, hanya kamu yang bisa bermain piano sambil bernyanyi,” jawab temannya Om Fadli. “Saya perkenalkan diri dulu, panggil saja Om Zeth,” ucap orang itu dan tersenyum ramah.
       “Saya Ify, Om,” balas Ify dan tersenyum pula. Ketika melihat Om Zeth ini, Ify merasa tidak asing dengan wajahnya. Ia seperti pernah melihat wajah ini. “Kalau begitu, Ify bakalan nyanyi,” ucap Ify. Om Fadli bersama Ify-pun menuju panggung yang disediakan memang untuk bernyanyi. Setelah bisik-bisik dengan bagian hiburan, Om Fadli kembali ke bangkunya dan Ify mulai bernyanyi.
       Intro awal dari lagu Yang Terbaik punyanya Ada Band mulai terdengar. Aura wajah Ify mulai berubah. Ia seperti sangat menikmati akan lagu ini.

Teringat masa kecilku kau peluk dan kau manja
Indahnya saat itu buatku melambung
Disisimu terngiang hangat napas segar harum tubuhmu
Kau tuturkan segala mimpi-mimpi serta harapanmu

Menyanyikan bagian awal lagu ini, membuat Ify langsung terdampar dalam kisah hidup masa lalunya. Ia jadi teringat, saat ayahnya sedang menggendong dirinya dan berkata, ‘nanti kalau sudah besar, ayah ingin melihat Neng menjadi seorang yang berguna untuk bangsa ini dan diri Neng. Berguna untuk orang lain dan disukai banyak orang. Ayah ingin, neng selalu dikenang orang dalam hal yang baik-baik. Neng bisa menyalurkan apa yang Neng bisa kepada orang lain’. Air mata menitik di sudut mata Ify. Ia masih ingat jelas harapan ayahnya.

Kau inginku menjadi yang terbaik bagimu
Patuhi perintahmu jauhkan godaan
Yang mungkin ku lakukan dalam waktu ku beranjak dewasa
Jangan sampai membuatku terbelenggu jatuh dan terinjak

Ify juga teringat, saat ayahnya bilang ‘jangan pernah Neng mencoba berbohong karena sekali Neng berbohong, maka Neng akan berbohong lagi. Jadilah anak yang jujur. Ayah harap Neng bisa menjadi orang yang jujur’. Kata-kata itu Ify terima dari ayahnya, saat ia kelas empat SD, masa di saat anak-anak mulai bisa bermain kata-kata dan sedikit berani dalam segala hal, termasuk berbohong.

Bukan hanya ayahnya saja yang member nasihat kepada dirinya. Om Fadli juga. Om Fadli yang telah memberikan nasihat kepada ia dan ketiga sahabatnya. Om Fadli adalah ayah mereka saat ini. ‘Nanti kalian harus menjadi anak yang baik-baik, jangan sampai terlena akan keglamoran kota ini. Jangan sungkan-sungkan untuk bertanya. Tetaplah berjalan di jalan awal yang memang telah dibuat untuk kalian’. Itu kata-kata yang disampaikan oleh Om Fadli.

Tuhan tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuknya
Ku terus berjanji tak kan khianati pintanya
Ayah dengarlah betapa sesungguhnya ku mencintaimu
Kan ku buktikan ku mampu penuhi maumu

Saat ini, Ify jadi rindu dengan ayahnya yang telah berada di Surga. Ia rindu beliau. Rindu semua akan kasih sayang yang ayahnya telah berikan. Ify rindu sekali. Lantas, Ify melihat ke arah Om Fadli, ayahnya sekarang. Tak bisa menahan lagi, air mata Ify tumpah. Ia menyanyi sambil bernyanyi. “Aku merindukan ayah. Tolong Tuhan bilang sama Ayah, kalau Ify kangen,” batin Ify.

Andaikan detik itu kan bergulir kembali
Ku rindukan suasana basuh jiwaku
Membahagiakan aku yang haus akan kasih dan sayangmu
Tuk wujudkan segala sesuatu yang pernah terlewati

Tuhan tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuknya
Ku terus berjanji tak kan khianati pintanya
Ayah dengarlah betapa sesungguhnya ku mencintaimu
Kan ku buktikan ku mampu penuhi maumu

“Kan ku buktikan ku mampu penuhi ma….uu….muuu….,” nyanyi Ify sebelum melodi lagu itu selesai. Tepuk tangan membahan dalam restoran itu. Semua penghuni terpersona dengan penampilan Ify. Setelah selesai bernyanyi, Ify kembali ke belakang.

**************
      
       “Dia benar-benar luar biasa, Dli. Sama persis dengan yang kamu bilang,” ucap Zeth sambil menyeka air matanya.
       “Seperti yang kamu lihat. Dia benar-benar seorang gadis yang kuat. Sejak SMP hanya tinggal bersama ketiga sahabatnya.”
       “Kamu pasti bahagia punya anak seperti dia. Dia tadi melihatmu, Dli. Dia sudah memandangmu sebagai ayahnya. Berbahagialah,” ucap Zeth dan meminum kopinya.
       Fadli hanya tersenyum saja. Dia senang mendengar apa yang diucapkan oleh sahabatnya itu. Dia juga melihat, saat menyanyikan lagu tadi, Ify melihat ke arahnya dan mencoba untuk tersenyum. Ia menyukai itu. Dia senang, akhirnya rasa memiliki anak kembali pada dirinya.
       “Ify itu mengingatkanku pada putraku. Kamu tahu, Dli. Rio semakin keterlaluan saja. Semua yang ia punya seperti membutakan putraku itu,” cerita Zeth.
       Fadli mendengarkan dengan saksama apa saja yang diceritakan sahabat lamanya itu. Dia jadi mengerti kalau Zeth selama ini sedikit ada masalah dengan putranya itu. Setahu Fadli, selama ini Rio adalah anak yang baik, bahkan bisa dibilang sempurna. Tampan, pintar seperti Zeth sendiri, dan sopan terhadap orang lain. Tapi, ternyata, Rio hanya sopan dengan sesame orang kaya. Bahkan, Zeth mengatakan kalau Rio pernah mencaci orang miskin tepat di depan mata kepala Zeth sendiri.
               “Sudahlah Zeth. Bagaimanapun dia putramu. Dia hanya sedikit tergoda dengan dunia ini,” nasihat Fadli.
               “Rio sudah kelas dua SMA dan dia semakin dewasa. Bagaimana aku bisa mengatakan kalau aku berhasil jadi ayah sementara Rio seperti itu.”
               “Rio pasti akan berubah. Percayalah. Dia hanya sedikit tergoda.”
               “Aku percaya saja kalau dia benar-benar akan berubah,” ucap Zeth. “Itu Ify. Sepertinya dia mau menghampirimu.”
               Apa yang dibilang Zeth benar. Ify berjalan menuju meja yang dihuni oleh mereka berdua. “Udah mau pulang, Fy?” tanya Om Fadli.
               Ify mengangguk. “Iya, Om.”
               “Belajar yang rajin, jangan kerja mulu. Istirahat,” pesan Om Fadli.
               “Oke siippoo, Om. Nanti Ify bakal tunjukin kalau Ify bisa menembus tiga besar. Ify janji sama, Om,” ujar Ify semangat.
               Om Fadli dan Om Zeth terkekeh pelan. “Ify kelas berapa?”
               “Sepuluh, Om.”
               “Kenal sama anak Om dong.”
               “Siapa, Om? Siapa, Om?” tanya Ify antusias. Siapa tahu anak Om Zeth ini bisa menjadi temannya bahkan sahabatnya. Dapat teman baru gitu, siapa yang nggak senang????!!!
               “Rio kelas sebelas,” jawab Om Zeth singkat.
               Mata Ify melebar. “Rio? Mario Stevano Aditya Haling?”
               “Iya, Fy.”
               “Ya ampun, Om. Jangan cerita-cerita sama Ketos gila itu……eh….ooopppssss…maksud Ify sama Kak Rio, kalau Om kenal Ify. Jangan ya, Om! Please, Om. Please banget. Ify bakal lakuin apa aja deh buat Om, tapi jangan bilang kalau Om kenal Ify,” ujar Ify sedikit memohon. Gila!!! Dunia berasa sebesar daun kelor aja, berarti kecil dong. Kenapa selalu ada saja hal yang menghubungkan dia dengan Ketos mesum itu. Kenapa? Apakah ini kerjaan takdir???
               “Emang kenapa?”
               Ify manyun dan mengerucutkan bibirnya. “Pokoknya jangan, Om. Ini masalah Ify sama Kak Rio. Jangan ya, Om? Please banget. Om kan baik, ya ya ya?”
               Om Zeth terkekeh pelan. Sebenarnya ada apa antara putranya dengan Ify. “Baiklah, Om setuju. Tapi, Om titip Rio sama Ify ya. Ify pasti lebih tahu tentang Rio di sekolah daripada Om. Tolong liatin anak Om itu. Kalau Ify ada waktu, kasih tahu Om,” ucap Om Zeth sambil mengambil kartu nama yang berada di dalam dompetnya. “Ini kartu nama, Om. Ify bisa melapor apa saja tentang anak Om. Om sangat berharap sama Ify,” ujar Om Zeth.
               Ify sedikit menggerutu. Kalau ini mah sama aja. Keluar lubang kucing, masuk lubang harimau. Uuughhh…… “Oke deh, Om,” ucap Ify dan mengambil kartu nama. “Ify pulang dulu. Permisi, Ayah dan Om Zeth,” ucap Ify dan meninggalkan restoran.
       “Sudah ku bilang, Dli. Dia benar-benar manganggapmu ayah,” ucap Zeth dan membuat Fadli tertawa haru.




BERSAMBUNG

0 comments:

Posting Komentar