Andai Aku Rela



Ini cerpen, gue buat selama pelajaran jam kosong di sekolah. Buatnya sambil-sambilan lagi. Kalau ini cerpen mengecewakan, mian ya karena udah baca :D.

Warning :: Ceritanya nggak jelas. Konfliknya -nggak ada-.

Kalau ada yang baca, Happy Reading aja!

Andai Aku Rela


Hujan turun dengan lebatnya. Debu-debu yang semulanya memenuhi jalanan raya tenggelam begitu saja. Uap panas terasa di mana-mana, tak terkecuali halte bus di tepi jalan MT Haryono. Di halte bus tersebut, terlihat sekitar ada enam orang berteduh. Ada seorang ibu-ibu berusia sekitar empat puluh tahun-an dengan seorang anak perempuan berseragam Sekolah Menengah Pertama berdiri di sebelah kiri ibu tersebut. Dan tiga orang lainnya adalah tiga anak laki-laki berseragam biru-putih tampak mengobrol asyik. Kelihatannya ketiga anak itu berasal dari sekolah yang sama. Satu orangnya lagi adalah seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun. Satu-satunya penghuni sementara halte bus yang raut wajahnya tidak bisa digambarkan. Titik demi titik air menetes dari ujung rambut hitamnya yang diujungnya sedikit bergelombang. Tetesan air hujan yang jatuh ke wajahnya membuat raut wajah gadis itu sulit untuk digambarkan. Dia seperti habis menangis, tetapi bisa jadi air yang berada di pelupuk matanya itu adalah tetesan air hujan. Tidak ada yang tahu. Karena, menangis ketika hujan, sulit untuk ditebak. Ya, kita sendiri mengetahui apa sebabnya. Dan bagi orang yang sulit bercerita kepada orang lain dan tidak mau perasaannya diketahui oleh orang lain, menangis ketika hujan adalah hal yang terbaik. Hujan akan memberikan apa yang diinginkan. Karena hujan akan menemani kita dan dengan airnya hujan akan menyamarkan air mata kita.

Kembali lagi pada gadis itu, ia duduk di bagian paling ujung dari kursi halte yang terbuat dari semen. Ia menjaga jarak dengan orang-orang di sekitarnya. Hujan masih mengguyur bumi. Satu dua bus telah melewati halte tersebut. Berangsur-angsur dua dari enam orang penghuni bus telah pergi menaiki bus yang singgah. Hanya tinggal gadis berusia dua puluh tiga tahun itu dengan tiga orang anak laki-laki berseragam SMP.

Percikan air hujan dari mobil-mobil yang lewat dan mengenai sedikit ujung sepatunya sepertinya tidak menganggu dirinya. Tidak seperti ketiga anak laki-laki, diumur sedini itu ketiganya berani mengeluarkan kata-kata kasar sebagai ungkapan makian bagi pengendara mobil.

“Sepatu, Mbak, kotor, lho,” ujar salah satu dari ketiga anak laki-laki itu.

Gadis itu mengangkat wajahnya dan tersenyum samar kepada anak laki-laki itu. “Nggak apa-apa kok, nanti bisa dilap.”

Anak laki-laki itu hanya mengangguk sebagai tanda hormat mungkin. Namun, ketiga gadis yang lebih tua dari dirinya tadi kembali menunduk, ia berbisik-bisik kepada kedua temannya. Bisik-bisiknya sangat pelan.

Ciiiitttttttt………..

Bunyi bus yang mengerem di depan halte. “Kita duluan ya, Mbak,” pamit anak laki-laki yang berambut sedikit botak kepada gadis tersebut. Tanpa mengakat wajahnya, gadis itu hanya mengangguk. Dan sepertinya ungkapan pamit tersebut hanya basa-basi, soalnya tanpa menunggu gadis berusia 23 tahun itu membalas, ketiganya sudah langsung menaiki bus.

Merasa kalau dirinya tinggal sendirian di halte bus ini, gadis itu mulai bangkit untuk berdiri. Ia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan putihnya. Kemudian ia merapikan rambutnya sebagai sentuhan terakhir ia tersenyum. Hanya sebentar ia tersenyum dan kemudia menatap jalanan yang dibasahi hujan dengan wajah kecut.

Hujan? Hujan mengingatkannya pada hari itu. Hari di mana ia merasa sangat-sangat…….ya sangat menyesakkan. Hari di mana ia merasa sangat tidak berarti. Hari di mana ia seperti terlempar dalam lubang hitam penghisap kebahagiaan dan ia merasa kebahagiaannya lenyap begitu saja. Bukan hanya itu, hari itu adalah hari di mana ia menitikan air mata untuk pertama kalinya…..hari di mana ia harus melihat orang yang sangat berarti dalam hidupnya, mengkhiantinya begitu saja. Hari di mana ia, merasakan luka yang amat sangat perih. Yang bekasnya tidak mungkin hilang, karena luka bukan melukai kulitnya, tetapi hatinya. Bagian yang paling sensitive akan rasa. Terutama rasa sakit yang sangat……amat sangat……sulit untuk dikatakan, karena setiap orang berbeda dalam merasakannya.

“Aku nggak rela. Sangat nggak rela, kalo kamu sama dia. Nggak. Nggak akan pernah rela kalau kamu bahagia dan aku? Aku di sini terluka. Aku tahu, kamu telah memilih dia, bukan aku. Aku tahu. Dan kamu harus tahu, aku nggak rela kalau kamu bahagia……bahagia bersama dia,” gumam gadis itu sebelum meninggalkan halte bus dan mulai berjalan kaki.

***************


“Ify,” sapa seorang gadis manis berkulit putih dengan mata sedikit sipit saat mendengar suara pintu dibuka. Ia tersenyum ramah sambil melambaikan tangan. Ya, untuk menyapa rekan sekerjanya di perpustakaan ini.

“Hai, Sivia. Udah lama kamu sampai?” tanya Ify balik. Gadis bernama Ify itu melepaskan sepatu hak tingginya dan menggantinya dengan sandal yang memang disediakan di perpustakaan ini bagi pegawai-pegawainya.

“Baru kok, Fy. Kamu keringin dulu deh rambutmu. Basah gitu. Kehujanannya?” tanya Sivia lagi.

Ify mengangguk. “Waktu sampai di halte, hujan. Kehujanan deh, hehehhe…..,” jawab Ify dan berjalan menuju meja khusus penjaga dan meletakan tasnya di meja. “Tolong letakin ya? Aku mau keringin rambut dulu,” lanjut Ify dan berjalan menuju toilet. Di sana lengkap. Ada handuk sama hairdryer.

Sivia geleng-geleng kepala melihat rekan sekerjanya itu. Selalu saja begini. Terkadang Sivia tidak pernah bisa membayangkan kalau dia berada di posisi Ify. Gadis itu sungguh kuat. Tidak ada gadis yang masih berangkat untuk bekerja dan tersenyum seperti Ify ketika hati polosnya sedang tercabik-cabik. Sivia jelas melihat kejadian itu. Ia adalah saksi matanya. Ia……waktu itu…….ia menangis. Padahal Ify tidak mengeluarkan air mata sedikitpun. Yang Sivia ingat, Ify hanya menatap laki-laki berengsek itu dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Dari berbagai sudut pandang yang diambil, tatapan gadis itu memberikan kesan yang berbeda. Ia seperti menangis, tetapi tidak ada air mata yang menitik di sana. Tidak pula, mata indahnya berkaca-kaca. Ia senang? Tetapi gadis itu tidak tersenyum ataupun tertawa. Tidak ada. Tidak…..tatapan itu kosong? Sesungguhnya tidak. Ntahlah….tidak ada yang tahu selain Ify sendiri. Yang Sivia tahu, kalau Ify benar-benar terluka. Dan laki-laki berengsek itu? Benar-benar minta dihajar. Walaupun Ify tidak becerita kepadanya, Sivia sudah mengira kalau laki-laki itu mulai tidak perduli lagi dengan Ify. Laki-laki itu sudah jarang menjemput Ify di perpustakaan ini. Jarang menemani Ify ke mana-mana dan jarang sekali nyaris tidak pernah menghubungi Ify lagi. Hingga, hari itu terjadi. Dugaannya selama ini benar.

“Hei….ngapain melamun?” tanya Ify yang sudah berdiri di sebelah Sivia dan kemudian duduk di kursinya.

“Udah selesai kamu, Fy? Cepet amat,” malah Sivia balik bertanya.

“Yeee…..ditanya malah nanya balik. Gimana sih?” dumel Ify.

Sivia terkekeh pelan. “Hujan ya, Fy?” tanya Sivia seperti gumaman.

Ify diam saja dan menatap nanar hujan yang turun ke bumi. Ia menyukai hujan dan setiap kejadian buruk yang menimpa dirinya, pasti selalu terjadi saat hujan. Ia harusnya menyukai hujan, tetapi sebaliknya. Ia sangat menyukai hujan. Hari yang menyakitkan itu juga terjadi di waktu hujan turun.

Menyadari kalau Ify tidak menjawab sama sekali, Sivia tersadar. Ia sepertinya telah menyentuh titik terperih dalam diri Ify. “Maaf, Fy. Aku nggak maksud kok, Fy. Maaf ya?” ujar Sivia benar-benar menyesal. Ia sungguh tidak bermaksud untuk menyinggung masalah tersebut. Yang dia inginkan, Ify untuk melupakan kejadian tersebut. Melupakan. Untuk melupakan, bukan mengingat.

“Nggak apa-apa kok, Vi. Aku mengingat hujan karena aku menyukai hujan,” ucap Ify seraya tersenyum.

Bukan baru satu bulan, dua bulan ia mengenal Ify. Ify bukan hanya teman seprofesinya. Tetapi, ia dan Ify telah berteman sejak kuliah. Mereka sama-sama bekerja di perpustakaan karena sama-sama mempunyai kegemaran membaca. Dan Sivia tahu kalau senyum Ify itu hanya senyum palsu. “Nggak usah bohong, Fy. Pasti kamu inget sama kejadian itu. Aku benar-benar nggak sengaja, Fy,” ucap Sivia dan menatap Ify lembut. “Kamu udah bisa melupakan kejadian itu?” tanya Sivia lagi.

“Kamu mau jawaban jujur ya, Vi?” tanya Ify dengan suara pelannya. Sivia sama sekali tidak memberi respond, itu berarti kalau Sivia meminta jawaban yang jujur. “Kamu udah tahu pasti, Via. Aku nggak bisa melupakan kejadian itu. Karena kamu tahu kan? Kalau aku benar-benar udah terlanjur cinta sama dia,” sambung Ify.

“Tapi dia udah tunangan sama cewek itu, Fy. Dia udah memilih gadis itu. Kamu harus kuat nerima itu, Fy. Harus. Karena kebahagiaanmu masih ada. Kebahagiaanmu bukan berpusat pada dia seorang. Masih ada yang lain, Fy,” nasihat Sivia.

“Aku udah terlalu cinta sama dia, Via. Aku tahu kalau dia dari dulu udah nggak perduli sama aku.”

“Bukannya aku kejam, Fy. Cuma aku sayang sama kamu, kamu sahabat aku. Aku mau kamu yang terbaik. Dia….bukan ditakdirkan untukmu. Bukan dia, Ify.”
                 
‘“Aku udah janji sama dia, Fy. Kalau aku sama dia akan menikah. Kita berdua saling mencintai. Dan aku mohon kamu mengerti. Dia hidupku dan aku hidupnya,”’ Ify berkata dengan mata terpejam. Sivia menutup mulutnya. Ia tidak menyangka kalau Ify akan mengulang kata-kata menyakitkan itu.

“Ify….” ucap Sivia lirih.

“Kata-kata itu sellau terekam , Via. Aku tahu. Aku nggak rela kalau dia bahagia sama cewek itu. Nggak pernah, Sivia. Aku benci dengan diriku yang nggak rela kalau dia bahagia sama orang lain. Aku benci, Sivia. Aku benci,” ujar Ify. Air matanya mulai menitik.

“Kamu gadis yang kuat, Ify. Pasti kamu bisa melewati ini. Jangan pernah membenci dirimu,” ujar Sivia dan menepuk-nepuk bahu Ify.

“Aku akan coba melupakan dia. Aku akan coba,” ucap Ify dan Sivia mengangguk untuk menyakinkan sahabatnya itu.

********************


Ify berjalan-jalan ke mall. Ia ingin membeli beberapa keperluan dapur serta sehari-harinya. Karena di mall ada supermarket yang menyediakan diskon besar-besaran, ia memilih untuk ke sana sepulang bekerja. Sivia sudah pulang duluan, ia dijemput oleh Alvin, kekasih Sivia sendiri. Dan waktu saat ini, Ify sedang berjalan mengelilingi mall.

Saat tiba di Giant, ia mulai menelusuri supermarket tersebut. Ia menuju tempat rak sabun-sabunan. Dengan postur tubuh yang setara dengan model, ia berhasil mengambil sabun untuk mencuci yang berada di rak yang cukup tinggi. Setelah mengambil sabun, ia menuju tempat penjualan sayur-sayuran. Selama perjalanan ke  sana tanpa sadar ia mendengar………

“Sayang, tolong ambilkan yang itu dong. Aku nggak sampai,” ucap seorang gadis.

“Oke, De. Yang mana?” tanya ulang laki-laki yang bersama gadis bernama Dea.

“Yang itu, Rio. Ya yang itu.”

Ify terpaku di tempatnya berdiri. Matanya mencari sumber suara. Sumpah, ia ingin pergi dari sini. Tapi ia tidak bisa melangkahkan kakinya. Ia ingin memastikan apakah yang berbicara tadi itu Mario Stevano Aditya Haling  bersama Dea Christa Amanda, atau bukan? Ia ingin tahu sekali.

“Ify….apa kabar?” tanya seseorang.

Ify terkejut. Ia sedikit terlompat kaget. Suara itu. Ia masih ingat. Itu suara seorang yang sangat ia cintai.

“Hai, Ify. Aku sama Rio lagi belanja. Kamu juga?” tanya Dea dan meraih lengan Rio lalu memeluknya erat.

Mata Ify melebar melihat semua itu. Dulu, hanya dia yang berhak seperti itu. Hanya dia pemilik tangan kokoh itu. Hanya dia….dulu hanya dia yang berdiri di samping pemuda itu. Hanya dia….tetapi, sekarang…..di depan matanya….gadis lain telah menjadi pemilik lengan itu.

“Aku baik-baik saja kok,” ucap Ify sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan Rio. Lalu Ify menatap Dea dan tersenyum manis pada gadis itu. Gadis yang harusnya tidak ia benci. “Biasa. Kebutuhan di rumah udah habis,” ucap Ify ganti pada Dea.

“Ya udah. Kita duluan ya?” pamit Dea dan menarik Rio. Ify sempat melihat Rio mengangguk padanya. Lalu dengan santainya dan tersenyum, ia menerima tangan Dea yang terjulur mengajaknya untuk pergi.

Sementara kedua sosok itu pergi. Ify masih saja berdiri di tempatnya tadi. Ia sama sekali tidak bergerak. Air mata mulai menitik. Sungguh, ia masih sangat mencintai Rio. Ia tidak berusaha merebut Rio dari Dea. Ia bukan wanita yang tidak tahu diri. Ia lebih baik memendam rasanya daripada harus mempermalukan diri demi seorang laki-laki.

“Aku benar-benar terluka dan kamu bahagia,” gumam Ify seraya menghapus air mata yang berada dipelupuk matanya. Terluka bahagia. Seperti hokum III newton saja, aksi sama dengan minus reaksi. Sama saja kan, dengan bahagia dan tidak bahagia. Dan tidak bahagia itu bisa dikatakan terluka.
               
“Percuma kalau nggak rela kamu sama dia. Kamu dan dia seperti sudah ditakdirkan untuk bersama. Andai kamu tahu, Rio. Aku nggak rela kamu sama dia. Aku terluka melihatmu sama dia. Tetapi aku sadar, kalau kamu memang untuknya. Andai saja….andai aku bisa menjaga takdirmu dengannya. Andai aku bisa nerima dirimu untuk bersama dengan Dea, Yo. Andaikan aku bisa……”  batin Ify.

*****************

Mengecewakan bukan?? Gomen ya?

0 comments:

Posting Komentar