Lovely Maid Part 6
Sudah dua bulan lebih Ify, Via, Agni dan Shilla menjadi siswa GNIS. Sekarang adalah hari Minggu. Tentunya kegiatan belajar mengajar di sekolah diliburkan. Namun, GNIS tetap tidak sepi karena banyaknya eskul yang sedang melakukan kegiatannya pada hari ini.
Tetapi hal tersebut tidak terjadi pada empat sekawan. Mereka tampak begitu santai duduk-duduk di bawah pohon jambu yang rindang yang tak jauh berada dari rumah mereka dan salah satu dari mereka memegang sebuah buku tulis.
“Panes ya?” komentar Via dan mengibas-ngibaskan jarinya.
“Jadi gimana, Ag?” tanya Shilla sambil menatap lurus ke depan. Ntah apa yang ia lihat, tak ada yang tahu.
“Uang kita tinggal dua ratus ribu bersihnya,” jawab Agni yang sendari tadi menghitung pengeluaran mereka di buku catatan khusus “PENGELUARAN SISA”.
“Dua ratus ribu?? Beneran?? Nggak salah hitung??” tanya Ify beruntun. Yang benar saja. Kalau uang Cuma dua ratus ribu lagi. Mau makan apa mereka sehari-harinya?? Batu??
“Iya, Fy. Kita harus gimana?” jawab dan tanya Agni balik. Bersekolah di GN ternyata membuat keuangan mereka menjadi sulit. Soalnya, jadi susah cari waktu untuk bekerja. Pulang saja jam dua siang, kalau ada eskul sampai jam empat sore, kadang sampai jam lima. Mana pulang sekolah itu capek lagi. Kalau langsung kerja?? Bisa tepar dong. Belum lagi belajar untuk mempertahankan beasiswa. Seperti memang benar, mereka ‘salah’ bersekolah di GN ini.
“Kerja,” cetus Via tiba-tiba. Memang sudah lebih dari sebulan mereka berempat tidak ada yang bekerja. Ya dikarenakan sibuk sekolah dan uang mereka masih cukup. Hasil kerja selama sesudah ujian nasional kelas IX SMP kemarin.
“Tapi kita sekolah, Via. Kerjanya Cuma bisa hari minggu dan harusnya hari ini,” balas Shilla.
“Gue ada ide,” ujar Ify semangat.
“Apa…apa…apa….??”
“Kita buat kue dan nitip di kantin sekolah. Kan lumayan tuh, kerja sambil sekolah. Kalau nggak mau nitip di sekolah. Kita nitip di restorannya Pak Fadli. Kan beliau selalu bilang akan membantu kita. Nggak apa-apa deh sekali-kali manfaatin kebaikan orang. Kan kita lagi butuh nih,” ujar Ify. Matanya berkilat gembira. Harusnya mereka melakukan hal ini sejak masuk SMA.
“Gue setuju…..setuju dong!!!! Gue udah kangen banget buat kue. Terakhir waktu udah ujian kemarin,” tanggap Via yang sudah meremas-remas tangannya sendiri dan tersenyum lebar.
“Keren juga ide lo, Fy. Terus hari minggu kita baru kerja,” ujar Shilla. Ify mengangguk setuju.
“Modalnya dari mana?” tanya Agni. Dia bingung, uang mana yang harus digunakan. Uang yang dua ratus ribu tadi?? Kalau uang itu yang digunakan, alamat tidak makan dua minggu tertuju dong. Susah yak kalau nggak mampu gini.
“Iya ya…modalnya dari mana?? Kalau yang dua ratus ribu tadi dipake, kita makan apa?” ucap Shilla dan mengangguk-ngangguk.
Keheningan terjadi di antara keempat gadis tersebut. Semilir angin menerpa wajah keempatnya yang melamun memikirkan sesuatu. Kalau mereka tidak bekerja, bagaimana meneruskan hidup?? Masuk ke panti asuhan?? Nggak deh….nggak. Jalan mereka hanya satu, bekerja. Karena dengan begitulah mereka bisa melanjutkan hidup. Mencukupi keperluan mereka. Masalahnya bukan pekerjaan itu berat. Toh, mereka berempat sudah biasa bekerja. Ide untuk pekerjaan sudah ada, masalahnya sekarang modal untuk pekerjaan mereka itu dapat dari mana??? Kan rencananya mau berjual kue dan itu membutuhkan modal.
“Kenapa kita nggak minjam sama Bu Nia saja? Mungkin aja Bu Nia mau bantu,” usul Via. Inilah solusi yang berhasil ia dapatkan setelah berpikir sejak tadi.
“Jangan, Vi. Nanti Bu Nia nyusahin Bu Nia saja. Bu Nia kan ada Chika dan Chika itu masih kecil. Pasti Bu Nia butuh banyak uang. Lagian kita juga nggak tahu bisa kapan bisa ngembaliin uang itu,” sanggah Agni.Ya Agni memang benar. Mereka tidak bisa menjamin dengan pasti kapan uang itu bisa dikembalikan. Dari pada menjalankan usul Via, lebih baik membatalkannya saja. Biar tidak terlalu menyusahkan orang.
“Kalau minjam sama Pak Fadli?” usul Shilla.
“Nggak bisa juga. Masa nanti kita nitip kue di tempat Pak Fadli dan nantinya minjam modal di sana juga, nggak lucu tau,” respon Via. Walaupun dirinya tahu kalau Pak Fadli pasti akan membantu mereka. Karena Pak Fadli sendiri sudah bilang, kalau beliau adalah wali untuk dirinya, Ify, Agni dan Shilla.
“Nah, kenapa kita nggak pakai uang yang dua ratus ribu itu dulu. Kita coba buat kue dengan modal seratus ribu aja. Kan belum tentu kue kita laku. Nanti untuk keperluan hari berikutnya, kita kerja di hari minggu,” usul Ify.
“Gue setuju sama, Ify. Lo emang hebat, Fy. Keren-keren!!” seru Agni riang. Iya juga sih, kenapa mesti pusing-pusing dan repot-repot gitu. Kenapa nggak ngusul pakai uang mereka saja. Walaupun dikit, tapi nggak nyusahin orang.
“Seratus ribu ya? Kita bikin kue apa nih?” tanya Via.
“Yang murah meriah, rasanya enak dan penampilannya menarik,” jawab Shilla.
“Yang banyak coklatnya,” tambah Agni.
Ify mengangguk-ngangguk setuju. “Tahu-kan kita harus ke mana?”
“GRAMEDIA!!!!” seru keempat sekawan tersebut.
************
Tumpukan buku dengan harga Rp 5.000 yang terpampang jelas di papan merek menjadi tempat sasaran Ify, Via, Agni dan Shilla. Setelah berunding mengenai apa yang akan mereka lakukan untuk kehidupan masa depan, mereka berempat-pun memutuskan untuk segera pergi ke Gramedia. Tokoh buku yang paling terkenal, terkonplit dan menyediakan fasilitas yang super oke. Memang sih, kan Gramedia adalah tokoh buku yang paling top se-Indonesia.
“Cepet-cepet tahu. Kita mesti ke tempat buku yang di sana,” ajak Via saat mereka sudah tiba di Gramedia. Ify dan Shilla geleng-geleng kepala melihat tingkah Via yang super heboh itu.
“Kyaaaaa!!!!” seru Via. “gue mau buku yang itu,” lanjut gadis berpipi chubby dengan senyum sumringahnya. Ia meraih sebuah buku yang kira-kira berukuran 20 centi meter dengan cover berwarna hijau kekuning-kuningan dan bergambar berbagai kue bolu sebagai sampul depannya. Sesuai dengan judulnya sih, aneka macam bolu.
Ify dan Shilla lagi-lagi menggelengkan kepalanya melihat tingkah sohib mereka tersebut. Via memang suka memasak sih, apalagi kue. Makanya dia semangat sekali melihat gambar-gambar yang sangat menggiurkan tersebut.
Ify sendiri mengambil sebuah buku resep dengan judul aneka brownies dan blackforest. Ingin sekali ia membuat kedua kue tersebut. Tapi kapan ya?? Dia tidak tahu kapan ia akan mewujudkan mimpinya yang sangat sederhana tersebut. Memang sederhana kan?? Hanya membuat kue. Tapi bagi Ify itu bukanlah mimpi yang sederhana. Karena ya dia tidak mempunyai uang yang cukup untuk membuat kue tersebut. Uang yang ia miliki hanya cukup untuk membiayai hidup sehari-harinya. Tidak ada untuk keperluan lainnya. Ya begitulah.
Brownies dan blackforest sebenarnya bukan sekedar kue bagi Ify. Ia memiliki filosofi sendiri untuk kedua kue tersebut. Walaupun dia kurang mampu, Ify pernah mencicipi kedua kue tersebut. Yak…waktu itu kedua orang tuanya masih hidup, ia masih sempat merasakan rasa kedua kue itu.
Brownies Ify ibaratkan sebagai kehidupan. Kehidupan itu akan terasa manis bila dijalani dengan sebaik-baiknya. Tidak banyak mengeluh akan kesusahan hidup yang dijalani, maka kehidupan akan berbuah manis karena penuh kebahagiaan. Sama dengan brownies yang rasanya sangat manis. Sedangkan, blackforest adalah hutan coklat. Yang bagi dirinya adalah bagian gelap dari kehidupan yang dijalaninya. Seperti hidunya, yang pernah mengalami sisi gelap kehidupan. Sisi gelap itu saat menghadapi kenyataan kalau kedua orang tuanya meninggal dunia dan dia telah menjadi anak yatim dan piatu. Yang selama ini belum pernah terlintas dibenaknya bahwa ia dengan begitu cepatnya menjadi yatim piatu. Tetapi siapa yang tahu dengan kehidupan?? Tidak ada yang berani bermain-main dengan kehidupan. Karena memang tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi dalam kehidupannya dikemudian hari. Kehidupan hanya perlu dijalani sebaik-baiknya.
Ify sadar, meninggalnya kedua orangtuanya bukanlah akhir dari hidupnya. Ia harus tetap tegar dalam menjalani kehidupan selanjutnya. Percaya ia bahwa ia akan berhasil melanjutkan hidupnya ini. Ia akan mendapatkan manisnya hidup. Sama seperti blackforest, gelap namun terasa manis.
Ify meletakan kembali buku resep cake tersebut. Ia ingin sekali membeli buku ini dan harganya juga tidak mahal, hanya Rp 5.000. Namun, untuk saat ini uang Rp 5.000 itu lebih berguna untuk kehidupannya ketimbang digunakan untuk membeli buku resep ini yang ntah kapan ia mampu mempraktekannya. Ia tidak tahu. Jadi, Ify memilih untuk mengembalikan buku itu pada tempat semula. Ia juga berjanji pada diirnya, pasti ia akan membeli buku resep tersebut. Suatu hari nanti.
“Vi, Ag, Shill gue kebagian novel dulu ya. Ada yang mau gue lihat. Urusan buku resep gue ikut aja deh,” pamit Ify kepada ketiga sahabatnya dan dia melangkah menuju rak yang penuh dengan novel-novel. Sebagai jawaban ketiga sohibnya hanya mengangguk tanpa perlu mengeluarkan sedikit suarapun.
*******************
Shilla membaca berulang-ulang dua buku yang berada di genggaman tangannya. Satu buku yang diusulkan Via dan satunya lagi buku yang ia pilih sendiri. Buku yang Shilla pilih adalah buku resep tentang aneka gorengan dan snack. Pada buku itu menjelaskan cara membuat berbagai jenis gorengan. Setelah menimbang-nimbang, sepertinya ia setuju dengan usul Via saja. Sebab, untuk membuat satu jenis gorengan saja membutuhkan bahan yang begitu banyak jenisnya. Ya lebih baik membuat bolu yang tidak terlalu banyak jenis untuk bahan dasarnya. Dengan uang seratus ribu, ia dan ketiga sohibnya bisa membuat cukup banyak kue bolu.
“Gue setuju sama ide lo, Vi,” ucap Shilla dan meletakan buku aneka resep gorengan ke tempatnya semula.
Via mengangguk riang. Tentu saja dia senang dong karena idenya bisa diterima. “Yeah, Shiila udah setuju. Ify bilang ia setuju-setuju aja, berarti tinggal Agni,” ucap Via.
Via mendekati Agni yang lagi asyik membaca buku tentang otomotif. Via tidak terlalu mengerti tentang buku yang menjadi salah satu buku favorite Agni itu. Sekarang yang membuat dia bingung adalah adari maan Agni mendapatkan buku itu. Padahalkan mereka dari tadi berada di kumpulan buku resep, bukan otomotif. Ntahlah dan Via langsung menghilangan kepikiran tersebut. Ia tidak usah pusing-pusing mikirin buku tersebut.
“Ag, Shilla sama Ify udah setuju sama resep kue bolu. Lo gimana?” tanya Via.
“Gue setuju juga,” jawab Agni tanpa mengalihkan perhatiannya dari buku yang sedang ia baca.
Via sama sekali tidak merasa sakit hati saat Agni tidak menolehkan kepalanya dari buku ketika menjawab pertanyaannya. Via tahu, Agni sedang serius menekuni buku otomotif yang ia baca.
“Sekarang kita pulang?” tanya Shilla yang datang tiba-tiba.
Via mengangkat bahu tanda tak tahu. Dia ingat kalau Ify masih berada di bagian novel dan tidak mungkin mereka meninggalkan Ify sendirian.
“Ntaran aja. Tunggu Ify dulu. Lagian gue juga lagi asyik sama buku ini,” jawab Agni dan menggoyang-goyangkan buku yang tadi ia baca.
Shilla dan Via mengangguk mengerti. Dan Shilla segera menuju rak buku tentang dance dan tari, membaca hal yang ia sukai. Sedangkan Via kembali ketempat buku resep. Karena baginya, melihat aneka macam kue yang cantik-cantik itu sangat menarik baginya.
****************
Ify meraih sebuah novel dengan judul Percy Jackson and the Last Olympian. Novel ini adalah seri kelima dari serial pentalogi Percy Jacson and Olympus. Berarti buku itu adalah seri terkahir.
Gadis berdagu tirus itu menarik novel tersebyt dari raknya dan membaca bagian belakang novel tersebut. Tentu saja hanya kutpan yang tertera di cover belakang novel itu dan parahnya hanya satu dua paragraph. Ify menghela nafas sejenak, membaca kutipan pendek itu membuatnya penasaran dan mendorongnya untuk membaca hingga selesai buku itu. Tentu saja ia hasrat memiliki buku itu begitu besar pada dirinya.
Namun apa dayanya. Ia tidak mungkin merelakan uang Rp 56.000 untuk membali sebuah novel dan menggadaikan uang yang lebih berguna untuknya agar bisa melanjutkan hidupnya. Ia bukanlah gadis bodoh dan mudah dikuasai hawa nafsu. Ia tidak akan melakukan hal tersebut. Bagaimanapun dia harus melanjutkan hidupnnya. Ia harus bersekolah dan meraih cita-citanya.
“Gue pasti beli lo nanti. Pasti. Gue bahkan juga akan membali teman-teman lo sama buku resep brownies dan blackforest itu. Pasti gue beli. Tapi nggak bisa sekarang, ya lo harus tahu gue nggak punya uang. Tapi tenang saja, gue bakalan nabung agar bisa beli elo,” ujar Ify dan menatap lekat-lekat novel Percy Jackson tersebut dan tersenyum puas.
Dia benar-benar berjanji untuk membeli novel tersebut. Novel itu sungguh luar biasa bagi Ify. Menceritakan tentang kisah dewa yunani dengan gaya lucu mereka. Bukan dewa yang mengerikan itu. Ditambah lagi dengan cerita persahabatan yang terdapat dalam novel tersebut. Ia menyukai salah satu kalimat dalam novel tersebut ‘percayalah pada sahabat karena siapa lagi yang bisa kau percayai selain mereka’.
Asyik mengamati novel tersebut, sebuah dehaman singkat membuyarkan aktivitasnya. “Hmmm…..”
Ify membaikan badannya ke belakang karena ia merasakan bahwa suara dehaman itu berasal dari belakangnya. Saat ia sudah berbalik, Ify langsung disambut dengan sapaan yang menyakitkan bagi dirinya.
“Heh miskin!! Ngapain lo di sini?? Mau ngutil lo??” ucap orang itu dan membuat Ify langsung terbelalak dan menatap orang yang kini berhadapan dengannya dengan tampang kesal. yang benar saja menuduh orang sembarangannya. Memangnya dia siapa??
“Kauu…..” ucap Ify tertahan.
***************
BERSAMBUNG
0 comments:
Posting Komentar