Lovely Maid Part 7



                                        Lovely Maid Part 7



Hari minggu ini Rio benar-benar merasa bosan. Ketiga sohibnya mempunyai acara masing-masing. Apalagi Cakka, masa saat Rio menelpon si Cakka, Cakka bilang kalau hari ini ia ada kencan dengan delapan orang cewek. Parah banget tuh kan Cakka!! Playboy cap Jurik!!!!
       Rio sendiri tak begitu perduli dengan istilah pacaran. Ntah kenapa dia tdak memiliki keinginan untuk mempunyai seorang pacar. Bahkan mantanpun ia tak punya. Beda dengan Alvin dan Gabriel, mereka berdua memiliki mantan setahu Rio. Tapi sudah lama banget zaman SMP itu. Kalau Cakka jangan ditanya deh, mantannya bila dikumpulkan dapat membentuk dua tim sepak bola.
       Rio sendiri mengakui bahwa dirinya sering tebar pesona dengan cewek-cewek. Ia akui itu. tapi hal tersebut hanya untuk hiburan semata. Sedikitpun hati dan perasaannya tidak ikut campur. Ia tidak perudli dengan cewek yang terperangkap pesonannya. Masa bodoh!!!
       Bahkan Rio menyadari kalau Dea si Kapten Cheers juga anggota OSIS itu tertarik pada dirinya. Dea sendiri layak menjadi katagori pacarnya. Dea canitk, kaya dan paling penting sederajat dengannya. Dea bukanlah pilahan yang buruk untuk dijadikan pacar. Karena itu juga, Rio terkadang membiarkan Dea begitu dekat dengan dirinya.
       Namun  biarpun begitu, Rio tidak tertarik dengan Dea. Terpikir untuk menyatakan cinta pada gadis itu juga tidak. Sepertinya, Rio hanya akan menjadikan Dea stok ataupun pilihan terakhirnya untuk dijadikan pacar bila nanti ia tidak menemukan seseorang yang benar-benar membuatnya jatuh cinta.
       Kesendiriannya hari ini membawa Rio mengunjungi tokoh buku favorite-nya, yaitu Gramedia. Pemuda hitam manis itu memilih untuk menghabiskan Minggu siang hingga sore-nya di toko buku ini.
       Heran mengapa Rio memilih toko buku? Perlu diketahui bahwa Rio itu memiliki hobby membaca. Ia suka membaca buku bacaan berat seperti perbisnisan. Wajar sih, dia adalah pewaris Haling Cooparation. Dan karena itulah ia harus memiliki kemampuan dan pengetahuan yang luas. Untuk mendapatkan itu semua, dia harus banyak membaca.
       Dengan langkah santai dan tampang cool-nya Rio berjalan menuju rak dunia bisnis. Selama berjalan menuju tempat favorite-nya, Rio menyadari kalau banyak orang yang mencuri pandang ke arahnya. Ya seperti biasanya Rio selalu tampil mempesona. Rambut ala spike, jeans hitam dan kemeja biru yang digulung hingga siku dan sepatu kets yang melapisi kakinya membuat Rio tampak begitu keren. Namun Rio tidak perduli sama sekali dengan orang-orang yang terjangkit pesonanya.
       Saat ia melewati rak dengan lebel novel fantasi terjemahan, langkahnya terhenti saat mengenali orang yang membelakang dirinya. Perawakan orang itu tinggi langsing dan rambut panjang sebahu lebih namun kurang sepinggang serta bergelombang diujungnya. Rio mengenali sosok itu. Yeah…..itu adik kelasnya si Pinky.

       Sudut bibir kanan Rio tertarik. Ia terseyum. Rio tidak menyangka akan bertemu dengan ‘adik kelas’-nya ini. Adik kelasnya harus pakai tanda kutip, soalnya bagi Rio si Pinky ini bukanlah adik kelas biasa. Tetapi, si Pinky ini alias Ify adalah adik kelas yang paling anti dengan dirinya. Bila Rio bertemu dengan Ify, maka ia seperti melihat spanduk besar-besaran dengan tulisan ‘anti Rio’.
       Rio memperpendek jaraknya dengan Ify dengan cara memajukan langkahnya sebanyak enam langkah. Ia mendengar apa yang sedang Ify ucapkan, soalnya Rio mendengar suara seperti orang mengobrol, tentu saja itu Ify. Saat mengetahui apa yang sedang Ify ucapkan sulit untuk Rio agar mampu menahan tawanya supaya tidak meledak.
       Siapa juga sih yang tidak tergoda untuk tertawa saat melihat bahwa ada orang yang berbicara dengan buku dan menyebut buku itu dengan panggilan ‘lo’, seolah sedang berbicara dengan orang lain saja.
       Rio benar-benar berjuang untuk tidak tertawa. Apa yang Ify ucapkan untuk buku tersebut hanyalah sebuah janji untuk membeli buku tersebut. “Kocak,” pikir Rio. Iya lah, apa sih susahnya beli novel terjemahan yang dipegang Ify tersebut. Toh harganya Cuma Rp 56.000. Murah kali. Tapi yang Rio tangkap bahwa Ify menilai buku itu sangatlah mahal.
       Ooopss……baru Rio ingat kalau adik kelasnya ini miskin. M to the I to the S to the K to the I and the last to the N. MISKIN. “Dasar orang miskin,”batin Rio dalam hati. Sekarang ia benar-benar tidak tahan untuk tidak mengejek adik kelasnya yang sebenarnya tidak salah sama sekali bahkan tidak memiliki salah terhadap dirinya.
       “Heh miskin!! Ngapain lo di sini?? Mau ngutil lo??”

**************

       Ify tersentak kaget dan matanya terbelalak. Apa sih maunya kakak kelasnya di depannya ini yang sok sempurna ini ngatain dirinya, “Heh miskin!! Ngapain lo di sini?? Mau ngutil lo??”
       Nyeri yang dirasakan Ify. Ia sadar dan betul-betul menyadari kalau dirinya ini adalah orang miskin. Tidak seperti Rio yang kaya raya. Dia mau apapun pasti terpenuhi. Tidak seperti dirinya yang harus menunggu dan menunggu kapan keinginannya bisa terpenuhi. Karena keinginan tidak terlalu penting daripada kebutuhan.
       Tapi yang paling membuat Ify sakit hati adalah saat Rio mengatakan bahwa dia mau ngutil dan tidak layak untuk berada di toko buku ini Memangnya hanya orang kaya yang boleh mengunjung Gramedia? Hanya orang berkantong tebal ?? Tentu saja tidak. Siapa saja boleh datang ke sini dan kakak kelasnya ini dengan soknya mengatakan kalau dirinya tak layar untuk berada di toko buku ini. Ify juga mempunyai uang walaupun jumlahnya takkan pernah bisa mengalahkan jumlah uang jajan Rio untuk sehari.
       Seharusnya Rio tak perlu mengatakan dirinya berniat untuk mengutil. Bagaimana kalau orang lain mendengar. Bagaimana?? Apakah dia akan langsung dipukulin layaknya seorang maling. Tetapi, pastinya kakak kelasnya ini tidak perduli. Bahkan mungkin sangat senang.
       "Kenapa lo diem? Benerkan lo mau ngutil. Untung aja gue ngeliat elo. Kalau nggak? Jangan-jangan lo udah ngutil," ucap Rio dan Ify yang mendengarnya hanya mampu menahan nafas.
       "Dasar miskin lo!! Orang miskin itu nggak layak di sini. Tempat yang pantes untuk lo itu dipinggiran. Kan banyak tuh toko buku pinggiran. Jangan sok deh lo mau ke sini," ucap Rio lagi dan sangat sadis. Ia memandang Ify dengan tatapan ia sedang melihat kucing berada di pinggir got.

       Ify benar-benar tidak tahan untuk tidak memplaster mulut Rio ini. Harusnya Ify memanggil Rio dengan tambahan sufiks Kak di depannya. Jadi Kak Rio. Namun Ify ogah dan males banget!! Sorry-sorry aja ya!!!! Nggak sudi!!
       "Lo" tunjuk Ify di depan wajah Rio "jaga ucapan lo! Lo nggak perlu nuduh gue kayak gitu. Gue cukup sadar siapa gue," lanjut Ify.
       "Oh ya?" timpal Rio dan menaik turunkan alisnya sebelah. Meremehkan Ify tentunya.
       "Apa gue punya salah sama lo?"
       "Ada. Lo salah karena lo miskin," balas Rio sinis. "Beli novel itu aja lo nggak mampu. Lo bukan miskin lagi. Tapi miskin melarat," lanjut Rio.
       "Mau lo apa?"
       "Mau gue? Simple. Lo beli semua novel ini sekarang."
       Ify tahu dia akan kalah telak dalam hal yang berhubungan dengan uang. Ia harusnya tidak sampai emosian seperti ini. Ia harusnya tahu siapa yang menjadi lawannya ini.
       "Nggak mampukan lo? Banyak gaya lo. Sadar dong kalo lo itu miskin," ucap Rio sadis.
       Ify terdiam. Apakah dia salah kalau berada di sini? Bimbangkah ia? Semua novel itu tiga ratus ribu. Untuk ukuran Rio memang tidak mahal. Tapi, kalau untuk dirinya?? Itu sangat mahal. Uang segitu bisa untuk hidup mereka hingga sebulan.
       Yang paling tepat sekarang adalah ia tidak harus melawan Rio. Karena ia dan sohib-sohibnya lebih membutuhkan uang dari pada novel. Minimal untuk saat ini.
       "MISKIN...nggak usah sok," desis Rio dan memandang Ify dengan tampang jijik. Seperti takut kena kutu air.
       Ify memandang Rio, lebih tepatnya menatap Rio nanar. Gadis itu tak memberi perlawanan seperti biasanya. "Lo menang!! Lo tahu kalau gue nggak akan pernah mampu beli semua itu, walau itu novel favorite gue," ucap Ify sendu. "lo harus tahu, bagi gue uang tiga ratus ribu lebih berharga buat hidup gue sama sahabat-sahabat gue. Walaupun tiga ratus ribu buat elo itu nilai yang kecil," lanjut Ify. Entah dorongan apa yang membuat dia sampai berbicara seperti ini. Dadanya sesak dan air matanya mulai menitik di sudut matanya.
       Reaksi Ify membuat Rio tertegun. Rasa bersalah mulai menyergap dirinya.
       “Lo benar. Terima kasih sudah ngingetin kalau gue itu miskin," ucap Ify lembut. Rio diam saja. Ia tahu gadis di depannya ini terluka. "Iya lo selalu benar, Kak Rio. Asal lo tahu, buat beli buku resep kue brownies itu aja gue nggak mampu. Padahal cuma lima ribu. Gue miskinkan? Tapi, bagi gue uang lima ribu itu lebih berguna untuk biaya makan sehari-hari gue," lanjut Ify. Bola mata itu menatap Rio sayu. Rio tak bisa berbicara apa-apa lagi. Ia tak sanggup mengeluarkan ucapan kasarnya. Tidak sanggup saat suara Ify yang didengarnya seperti orang yang sangat terluka. Dadanya sesak. Kini yang ada hanya perasaaan yang begitu besar untuk memeluk adik kelas yang berada di depannya ini. Ia terasa begitu terluka saat bola mata yang selalu menatapnya tajam itu mengeluarkan cairan bening walau secara samar.
       "Oke gue permisi. Terima kasih udah ngingetin gue kalau gue miskin. Anda baik sekali, Kak Rio," pamit Ify. Ia meletakan novel yang berada digenggamanya tadi ke tempat semua. Lalu berjalan meninggalkan Rio dan kemudian ditelan oleh rak-rak buku.
       Rio masih terdiam. Rasa bersalah itu memenuhi rongga-rongga dalam dirinya. Ia merasa bahwa dirinya sudah terlalu jahat. Ingin dia raih adik kelasnya itu. Tapi, rasa gengsi dan arrogant yang mendominasi dirinya mampu mengalahkan semua nuraninya.

       "Itu hal yang wajar karena dia miskin," ucap Rio dan meninggalkam tempat yang nantinya -mungkin- menjadi suatu kenangan dalam hidupnya.

*************

BERSAMBUNG

0 comments:

Posting Komentar