Belajar dan Hakikat Fisika
Sebagian besar orang
memahami bahwa IPA adalah ilmu pengetahuan yang terdiri dari fisika, biologi dan
kimia. Cara pandang sekelompok orang terhadap IPA
berbeda-beda. Misalnya,
sebagian orang memandang IPA sebagai kumpulan informasi ilmiah, para
ilmuwan memandang IPA sebagai sebuah cara (metode) untuk menguji dugaan (hipotesis), dan para
ahli filsafat memandang IPA sebagai cara bertanya tentang kebenaran dari segala
sesuatu yang diketahui.
Masing-masing pandangan itu adalah
benar menurut sudut pandang yang digunakannya. Sementara itu, kesamaan pandangan para pendidik
dan pengajar tentang hakikat IPA termasuk fisika di dalamnya sangatlah penting.
Hal ini dikarenakan
agar tidak terjadi disparitas dalam merencanakan dan mengembangkan pembelajaran IPA.
Salah satu pembelajaran IPA adalah
pembelajaran fisika. Hal ini dikarenakan fisika adalah bagian dari IPA. Pembelajaran fisika dipandang sebagai suatu
proses untuk mengembangkan kemampuan memahami konsep, prinsip maupun
hukum-hukum fisika sehingga dalam proses pembelajarannya harus
mempertimbangkan strategi atau metode pembelajaran yang efektif dan efisien.
Pembelajaran fisika di sekolah menengah pertama merupakan salah satu mata
pelajaran IPA yang dapat menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari diri
sendiri dan alam sekitar. Dalam pembelajaran fisika, pengalaman proses sains
dan pemahaman produk sains dalam bentuk pengalaman langsung akan sangat berarti
dalam membentuk konsep siswa. Hal ini juga sesuai dengan tingkat perkembangan
mental siswa SMP yang masih berada pada fase transisi dari konkrit ke formal,
akan sangat memudahkan siswa jika pembelajaran sains mengajak anak untuk belajar merumuskan konsep secara induktif berdasar
fakta-fakta empiris di lapangan.
Dalam pembelajaran akan ada komunikasi antara guru dengan siswa. Seperti
yang dikemukakan Latuheru (1988: 1) bahwa segala sesuatu yang menyangkut
pembelajaran merupakan proses komunikasi. Komunikasi dalam pembelajaran
merupakan komunikasi timbal balik (interaksi edukatif) yang terjadi
tidak dengan sendirinya tetapi harus diciptakan oleh guru dan siswa.
Collette dan Chiappetta (1994) menyatakan
bahwa “sains pada hakikatnya
merupakan sebuah kumpulan pengetahuan (“a body of knowledge”), cara atau
jalan berpikir (“a way of thinking”), dan cara untuk penyelidikan (“a
way of investigating”)”.
Berdasarkan
pernyataan di
atas, pandangan kebanyakan
orang, pandangan para ilmuwan, dan pandangan para ahli filsafat seperti yang telah dikemukakan
di atas tidaklah salah. Masing-masing pandangan hanya merupakan salah satu dari
tiga hakekat IPA dalam pernyataan itu. Pernyataan
Collette dan Chiappetta lebih merupakan pandangan yang komprehensif atas
hakekat IPA atau sains. Pernyataan yang lebih tepat tentang hakikat IPA adalah IPA sebagai produk
untuk pengganti pernyataan IPA sebagai sebuah kumpulan pengetahuan (“a body
of knowledge”), IPA sebagai sikap untuk pengganti pernyataan IPA sebagai
cara atau jalan berpikir (“a way of
thinking”), dan IPA sebagai proses untuk pengganti pernyataan IPA sebagai
cara untuk penyelidikan (“a way of investigating”).
Oleh
karena fisika merupakan bagian
dari IPA atau sains maka sampai pada tahap ini kita dapat menyamakan persepsi
bahwa hakikat fisika
adalah sama dengan hakikat IPA atau
sains. Jadi, hakikat fisika adalah sebagai produk
(a body of knowledge), fisika sebagai sikap (a way of
thinking), dan fisika sebagai proses (a way of investigating).
Untuk memperjelas bagaimana fisika sebagai produk, fisika
sebagai proses, dan fisika sebagai sikap maka masing-masing hakikat fisika
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut (Sutrisno, 2006):
A. Fisika
sebagai Produk
Dalam rangka pemenuhan kebutuhan manusia,
terjadi interaksi antara manusia dengan alam lingkungannya. Interaksi itu memberikan
pembelajaran kepada manusia sehinga menemukan pengalaman yang semakin menambah
pengetahuan dan kemampuannya serta berubah perilakunya. Dalam wacana ilmiah, hasil-hasil penemuan dari
berbagai kegiatan penyelidikan yang kreatif dari para ilmuwan diinventarisir, dikumpulkan dan disusun secara
sistematik menjadi sebuah kumpulan pengetahuan yang kemudian disebut sebagai
produk atau “a body of knowledge”.
Pengelompokkan hasil-hasil penemuan itu menurut bidang kajian yang sejenis
menghasilkan ilmu pengetahuan yang kemudian disebut sebagai fisika, kimia dan
biologi. Untuk fisika, kumpulan pengetahuan itu dapat berupa fakta,
konsep, prinsip, hukum, rumus, teori dan model. Substansi
fisika ini perlu dikuasai oleh siswa melalui pendidikan fisika. Dengan penguasaan
pengetahuan fisika, siswa
diharapkan dapat mengerti dan mengaplikasikan sains untuk tujuan pemecahan
masalah dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pembelajaran
fisika sebagai kumpulan pengetahuan atau fisika sebagai produk hendaknya tidak
dipandang sebagai transfer pengetahuan semata.
1. Fakta
Fakta adalah keadaan atau kenyataan yang sesungguhnya dari segala peristiwa
yang terjadi di alam. Fakta merupakan dasar bagi konsep, prinsip, hukum, teori atau model.
Sebaliknya kita juga dapat menyatakan bahwa konsep, prinsip, hukum, teori, dan model keberadaannya adalah untuk
menjelaskan dan memahami fakta.
2. Konsep
Konsep adalah abstraksi dari berbagai kejadian,
objek, fenomena dan fakta. Konsep memiliki
sifat-sifat dan atribut-atribut tertentu. Menurut Bruner, Goodnow dan Austin
(collette dan chiappetta: 1994) konsep memiliki lima elemen atau unsur penting
yaitu nama, definisi, atribut, nilai (value), dan contoh. Yang dimaksud
dengan atribut itu misalnya adalah warna, ukuran, bentuk, bau, dan sebagainya.
Sesuai dengan perkembangan intelektual anak, keabstrakan dari setiap konsep
adalah berbeda bagi setiap anak. Menurut Herron dan kawan-kawan (dalam Collette
dan Chiappetta 1994), konsep fisika dapat dibedakan atas konsep yang baik contoh
maupun atributnya dapat diamati, konsep yang contohnya dapat diamati tetapi
atributnya tidak dapat diamati, dan konsep yang baik contoh maupun atributnya
tidak dapat diamati.
3. Prinsip dan hukum
Istilah prinsip dan hukum sering
digunakan secara bergantian karena dianggap sebagai sinonim. Prinsip dan hukum
dibentuk oleh fakta-fakta dan konsep-konsep. Ini sangat perlu dipahami bahwa,
hukum dan prinsip fisika tidaklah mengatur kejadian alam (fakta), melainkan
kejadian alam (fakta) yang dijelaskan keberadaannya oleh prinsip dan atau
hukum.
4. Rumus
Rumus adalah pernyataan matematis
dari suatu fakta, konsep, prinsip, hukum, dan teori. Dalam rumus kita dapat
melihat saling keterkaitan antara konsep-konsep dan variable-variabel. Pada
umumnya prinsip dan hukum dapat dinyatakan secara matematis.
5. Teori
Teori disusun untuk menjelaskan sesuatu yang
tersembunyi atau tidak dapat langsung diamati, misalnya teori atom, teori
kinetik gas, teori relativitas. Teori tetaplah teori tidak mungkin menjadi
hukum atau fakta. Teori bersifat tentatif sampai terbukti tidak benar dan
diperbaiki. Hawking (1988) yang dikutip oleh Collette dan Chiappetta (1994)
menyatakan bahwa “kita tidak dapat membuktikan kebenaran suatu teori meskipun
banyak hasil eksperimen mendukung teori tersebut karena kita tidak pernah yakin
bahwa pada waktu yang akan datang hasilnya tidak akan
kontradiksi dengan teori tersebut, sedangkan kita dapat membuktikan
ketidakbenaran suatu teori cukup dengan hanya satu bukti yang menyimpang”. Jadi, teori memiliki fungsi yang berbeda dengan fakta, konsep maupun hukum.
6. Model
Model adalah sebuah presentasi
yang dibuat untuk sesuatu yang tidak dapat dilihat. Model sangat berguna untuk
membantu memahami suatu fenomena alam, juga berguna untuk membantu memahami
suatu teori. Contohnya adalah model atom Bohr
membantu untuk memahami teori atom.
B. Fisika
sebagai Proses
IPA sebagai proses atau juga disebut sebagai “a
way of investigating” memberikan gambaran mengenai bagaimana para ilmuwan
bekerja melakukan penemuan-penemuan. Jadi, IPA sebagai proses memberikan gambaran mengenai pendekatan yang digunakan
untuk menyusun pengetahuan. Dalam IPA dikenal banyak metode yang menunjukkan usaha manusia untuk menyelesaikan masalah.
Contoh dari IPA sebagai proses
adalah para ilmuwan astronomi menyusun pengetahuan
mengenai astronomi dengan berdasarkan kepada observasi dan prediksi. Ilmuwan
lain banyak yang menyusun pengetahuan dengan berdasarkan kepada kegiatan
laboratorium atau eksperimen yang terfokus pada hubungan sebab akibat. Sampai
pada tahap ini kiranya cukup jelas bahwa, untuk memahami fenomena alam dan
hukum-hukum yang berlaku, perlu dipelajari objek-objek dan kejadian-kejadian di
alam itu. Objek-objek dan kejadian-kejadian alam itu harus diselidiki dengan
melakukan eksperimen dan observasi serta dicari penjelasannya melalui proses
pemikiran untuk mendapatkan alasan dan argumentasinya.
Jadi pemahaman fisika sebagai
proses adalah pemahaman mengenai bagaimana informasi ilmiah dalam fisika
diperoleh, diuji, dan divalidasikan. Dari uraian di atas kiranya dapat
disimpulkan bahwa pemahaman fisika sebagai proses sangat berkaitan dengan
kata-kata kunci fenomena, dugaan, pengamatan, pengukuran, penyelidikan, dan
publikasi. Pembelajaran yang merupakan tugas guru termasuk ke dalam bagian
mempublikasikan itu. Dengan demikian pembelajaran fisika sebagai proses
hendaknya berhasil mengembangkan keterampilan proses sains pada diri siswa.
Melalui pendidikan fisika, logika berpikir siswa menjadi
sistematis terarah dalam memandang alam lingkungannya, mengidentifikasi masalah
yang ada serta pemecahannya (Suastra, 2006). Dalam pengajaran sains, aspek
proses ini muncul dalam bentuk kegiatan belajar mengajar. Ada tidaknya aspek
proses di dalam pengajaran sains sangat tergantung pada guru. Teori-teori dalam
buku-buku fisika seharusnya diajarkan dengan membawa persoalannya dalam bentuk
yang kontekstual dan akrab dengan siswa. Kemudian siswa dibimbing melakukan
berbagai aktivitas melalui kegiatan penyelidikan. Hal ini membuat siswa akan
lebih paham terhadap fenomena-fenomena sains melalui pengalaman sensoris
mereka, dibandingkan dengan hanya menjadi pendengar di depan kelas.
Indikator dari setiap
keterampilan proses meliputi mengamati, mengklasifikasi, mengukur, mengajukan
pertanyaan, merumuskan hipotesis, merencanakan penyelidikan, menafsirkan, dan mengkomunikasikan kerampilan
proses adalah sebagai berikut.
a. Indikator mengamati (observasi)
1.
Menggunakan alat indera yang sesuai.
2.
Memberi
penjelasan apa yang diamati.
3.
Memilih bentuk
pengamatan yang sesuai.
4.
Mencatat
persamaan, perbedaan, keteraturan.
5.
Membandingkan
hasil objek pengamatan.
6.
Membuat
pengamatan dalam perioda tertentu.
7.
Mencatat
kekecualian atau hal yg tak diharapkan.
8.
Menjelaskan
suatu pola.
9.
Menemukenali (identifikasi menurut pola tertentu).
b. Indikator mengklasifikasi/mengkatagori/seriasi
1.
Memberi urutan
pada peristiwa yang terjadi.
2.
Mencari
persamaan dan perbedaan.
3.
Menentukan
kriteria pengelompokkan.
4.
Menempatkan pada kelompok tertentu berdasarkan kriteria.
5.
Memilih (memisahkan dengan jumlah kelompok tertentu).
6.
Mengelompokkan berdasarkan ciri-ciri tertentu yang ditemukan dalam
pengamatan.
7.
Memisahkan
dengan berbagai cara.
c. Indikator mengukur/melakukan pengukuran
1.
Memilih alat
ukur yang sesuai.
2.
Memperkirakan
dengan lebih tepat.
3.
Menggunakan
alat ukur dengan ketepatan tertentu.
4.
Menemukan
ketidakpastian pengukuran.
d. Indikator mengajukan pertanyaan
1.
Mengajukan
sebanyak mungkin pertanyaan.
2.
Mengidentifikasi
pertanyaan yang dapat dijawab dengan penemuan ilmiah.
3.
Mengubah
pertanyaan menjadi bentuk yang dapat dijawab dengan percobaan.
4.
Merumuskan
pertanyaan berlatar belakang hipotesis (jawab dapat dibuktikan).
e. Indikator merumuskan hipotesis:
1.
Merncoba menjelaskan pengamatan dalam terminologi konsep dan prinsip.
2.
Menyadari fakta bahwa terdapat beberapa kemungkinan untuk menjelaskan suatu
gejala.
3.
Menggunakan penjelasan untuk membuat prediksi dari sesuai yang dapat
diamati atau dibuktikan.
f. Indikator merencanakan penyelidikan/percobaan
1.
Merumuskan
masalah.
2.
Menemukan dan
mengenal variabel kontrol.
3.
Membandingkan
variabel bebas dan variabel terikat.
4.
Merancang cara melakukan pengamatan untuk memecahkan masalah.
5.
Memilih alat dan bahan yang sesuai.
6.
Menentukan
langkah-langkah percobaan.
7.
Menentukan cara
yang tepat untuk mengumpulkan data.
g. Indikator menginterpretasi/menafsirkan informasi
1.
Menarik
kesimpulan.
2.
Menggunakan
kunci atau klasifikasi.
3.
Menyadari bahwa
kesimpulan bersifat tentatif
4.
Menggeneralisasi.
5.
Membuat dan
mencari pembenaran dari kesimpulan sementara.
6.
Membuat
prediksi berdasarkan pola atau patokan tertentu.
h. Indikator berkomunikasi
1.
Mengikuti
penjelasan secara verbal.
2.
Menjelaskan
kegiatan secara lisan, menggunakan diagram.
3.
Menggunakan
tabel, grafik, model, dll, untuk menyajikan informasi.
4.
Memilih cara yang paling tepat untuk menyajikan informasi.
5.
Menghargai
adanya perbedaan dari audien, dan memilih metoda yang tepat.
6.
Mendengarkan
laporan, menanggapi dan memberikan saran.
7.
Memberi sumbangan saran pada kelompok diskusi.
8.
Menggunakan
sumber tidak langsung untuk memperoleh informasi.
9.
Menggunakan teknologi
informasi yang tepat.
C. Fisika
sebagai Sikap
Berdasarkan penjelasan mengenai
hakikat fisika sebagai produk dan hakikat fisika sebagai proses di atas, tampak
terlihat bahwa penyusunan pengetahuan fisika diawali dengan kegiatan-kegiatan
kreatif seperti pengamatan, pengukuran dan penyelidikan atau percobaan, yang
semuanya itu memerlukan proses mental dan sikap yang berasal dari pemikiran.
Jadi dengan pemikirannya orang bertindak dan bersikap sehingga pada akhirnya
dapat melakukan kegiatan-kegiatan ilmiah itu.
Pemikiran-pemikiran
para ilmuwan yang bergerak dalam bidang fisika itu menggambarkan rasa ingin
tahu dan rasa penasaran mereka yang besar dan diiringi dengan rasa percaya,
sikap objektif, jujur dan terbuka serta mau mendengarkan pendapat orang lain.
Sikap-sikap itulah yang kemudian memaknai hakikat fisika sebagai sikap atau “a
way of thinking”.
Oleh
para ahli psikologi kognitif, pekerjaaan dan pemikian para ilmuwan IPA termasuk
fisika di dalamnya, dipandang sebagai kegiatan kreatif karena ide-ide dan
penjelasan-penjelasan dari suatu gejala alam disusun dalam pikiran. Oleh sebab
itu, pemikiran dan argumentasi para ilmuwan dalam bekerja menjadi rambu-rambu
penting dalam kaitannya dengan hakikat fisika sebagai sikap.
Selama ini tampaknya pengajaran sains di sekolah lebih memberi penekanan
pada sains sebagai produk dari pada sains sebagai proses dan sikap. Pendidikan
sains yang relevan dengan hakikat sains membutuhkan suasana yang memungkinkan
siswa terlibat langsung dalam proses belajarnya sehingga dengan memiliki sikap ilmiah dan setelah melalui serangkaian proses
pembelajaran, siswa dapat sampai pada suatu kesimpulan yang ia bentuk sendiri.
Thoifuri (2007) menyatakan bahwa dalam mempelajari
fisika tidak hanya berhubungan dengan rumus-rumus, bilangan-bilangan serta
operasi-operasinya, tetapi fisika juga berkenaan dengan ide-ide,
struktur-struktur, dan hubungannya yang diatur secara logika sehingga fisika
itu berkaitan dengan konsep-konsep yang abstrak. Sebagai suatu struktur dan
hubungan-hubungan, maka fisika memerlukan simbol-simbol untuk membantu
memanipulasi aturan-aturan dengan operasi yang ditetapkan. Simbolisasi
berfungsi sebagai komunikasi yang dapat diberikan keterangan untuk membentuk
suatu konsep baru. Konsep tersebut dapat terbentuk bila sudah memahami konsep
sebelumnya.
Ukuran
keberhasilan siswa dalam belajar fisika menurut Sappaile (2005), tidak
hanya ditentukan oleh penguasaan fisika secara kognitif, afektif, dan
psikomotor, tetapi juga perlu penguasaan pengetahuan tentang proses ilmiah,
keterampilan individu, dan pengetahuan fisika secara konseptual.
Belajar dan pembelajaran fisika
dapat diklasifikasikan menjadi lima hal penting (Widodo: 2007), yaitu:
1. Belajar telah memiliki pengetahuan awal.
2. Belajar merupakan proses pengkonstruksian suatu
pengetahuan berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki.
3. Belajar adalah perubahan konsepsi belajar.
4. Proses pengkonstruksian pengetahuan berlangsung
dalam suatu konteks sosial tertentu.
5. Pelajar bertanggung jawab terhadap proses belajarnya.
Berdasarkan
uraian tersebut jelas bahwa pembelajaran fisika lebih
menekankan pada keterampilan proses sehingga siswa menemukan fakta-fakta,
membangun konsep-konsep, teori, dan sikap ilmiah di pihak siswa yang dapat
berpengaruh positif terhadap kualitas maupun produk pendidikan. Pembelajaran
fisika selama ini lebih banyak menghafalkan rumus, fakta, prinsip, dan teori
saja. Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu dikembangkan strategi
pembelajaran fisika yang dapat melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan
pembelajaran untuk menemukan dan menerapkan ide-ide mereka.
Sumber:
Sadia, I W., Suastra, I. W. & Tika, K. 2004. Laporan
Penenlitian Pengembangan model dan strategi pembelajaran fisika di sekolah menengah
umum (SMU) untuk memperbaiki miskonsepsi siswa. : Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Negeri Singaraja.
Sappaile, B. I. 2005. Pengaruh Metode Mengajar dan Ragam Tes terhadap Hasil Belajar Matematika dengan Mengontrol Sikap Siswa. Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan. No.056. Tahun ke-11. 668-692
Suastra, I W. 2006. Buku Ajar Belajar dan Pembelajaran Sains. Jurusan Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Genesha.
Suparno, P. 1997. Filsafat Kontruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius
Thoifuri. 2007. Menjadi Guru Inisiator. Semarang: Rasail Media Group
Widodo, A. 2007. Konstruktivisme dan Pembelajaran Sains. Jurnal pendidikan dan kebudayaan.
13(064). 91-105.
0 comments:
Posting Komentar