Ma’nene...
(Mayat Berjalan di Tanah Toraja)
TORAJA. Apa yang Anda
pikirkan ketika mendengar kata Toraja? Tentu saja tentang budaya mistik nan
indah yang lahir dan berkembang di daerah tersebut. Toraja adalah salah satu daerah di Sulawesi Selatan yang
masih sangat kental dengan budaya luhur nenek moyang mereka. Konon, berdasarkan
sumber yang ada bahwa leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari
nirwana. Nenek moyang orang Toraja-lah yang pertama kali menggunakan “tangga
dari langit” untuk turun dari nirwana ke dunia. Kemudian tangga itu berfungsi
sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa). Mitos ini
terus melegenda hingga kini secara lisan di kalangan masyarakat Toraja.
Dilihat dari sisi sejarah, Toraja adalah salah satu suku
bangsa tua di Indonesia dan termasuk suku bangsa yang masuk ke Indonesia dari
Dataran Tingga Yunan dan menetap di pegunungan di Sulawesi yang kemudian
membentuk suku yang bernama Toraja.
Berbicara tentang suku Toraja tentu saja banyak sekali
pembahasannya. Suku Toraja sendiri terbagi lagi menjadi beberapa daerah, ada
Toraja Barat, Toraja Utara dan sebagainya. Setiap daerah di Toraja memeliki
keunikan budaya tersendiri. Misalnya saja di Toraja Utara tepatnya di Kecamatan
Baruppu. Pasti setiap orang akan merasa heran dan lucu ketika mendengar “mayat
berjalan”. Tentu saja heran dan lucu adalah rasa pertama yang terbersit di
hati. Mayat berjalan?? Sesuatu yang sangat tidak masuk akal. Irasional. Namun,
ketika sudah melihat dengan mata kepala sendiri bahwa “mayat berjalan” itu
memang ada lenyap sudah kesan heran dan lucu berganti dengan rasa takut
sekaligus penasaran.
Mayat berjalan sangat berkaitan erat dengan budaya yang
lahir dan berkembang di Tanah Toraja Utara tepatnya di Kecamatan Baruppu.
Setiap pada bulan Agustus warga Baruppu menggelar upacara mayat berjalan yang
dikenal dengan Ma’nene. Pertama
kalinya mayat ditemukan di sebuah gua Sillanang dalam keadaan utuh. Mayat
tersebut tidak membusuk dan bahkan tidak dimakan serangga. Hanya saja seluruh kulit
mayat tersebut terlihat kusut dan ada warna putih kecoklat-coklatan seperti
bekas dibakar. Menurut orang Toraja kematian adalah hal yang sakral dan harus
dihormati. Maka dari itu mereka yang telah mati biasanya diletakkan di dalam
gua selama bertahun-tahun.
Keanehan yang diberikan oleh gua tersebut adalah tidak
adanya pembusukan yang dialami oleh mayat. Padahal, mayat tersebut tidak
diawetkan dengan memberikan sejenis balsem seperti yang dilakukan orang Mesir
Kuno saat membuat mummi ataupun diberi ramuan khusus. Mayat itu secara alami
tanpa diberi apapun hanya diletakkan di dalam gua lalu didiamkan selama
bertahun-tahun. Hal ini sungguh memancing dua pemikiran, yaitu pemikiran
rasional dan irasional.
Bila
ditinjau dari segi irasional, tidak mungkin tidak terjadinya pembusukan pada
mayat apalagi diletakkan di dalam gua yang pasti di dalam gua tersebut banyak
terdapat serangga dan tumbuhan detritivor yang dapat membusukan mayat. Pastilah
pemikiran irasional akan menjelaskan fenomena tidak membusuknya mayat dengan
ilmu mistis yang dimiliki orang Toraja.
Bila
dilihat dari segi rasional hal tersebut bisa saja terjadi. Masyarakat setempat
mengatakan bahwa ada semacam zat yang berada di dinding gua di mana mayat
tersebut di letakkan. Zat tersebut membuat serangga ataupun tumbuhan detritivor
tidak menyentuh mayat-mayat tersebut. Zat itu dapat dikatan sebagai
antipembusukan. Sebenarnya, mayat disenderkan di dinding gua selama
bertahun-tahun. Penjelasan adanya zat yang berada di dinding gua dan membuat
mayat tetap utuh adalah hal yang berkesinambungan. Untuk membuktikan hal
tersebut dibutuhkan para ahli geologi dan kimia yang bersedia menyelidikinya.
Ritual
Ma’ Nene bermula dari seorang pemburu
bernama Pong Rumsek yang berburu ke hutan di pegunungan Balla, Toraja Utara.
Saat berburu, Pong malah menemumkan jasad manusia yang telah meninggal dunia
bukannya hewan buruan. Jasad manusia itu terletak di bawah pepohonan dan
terlantar bahkan ada yang tinggal tulang-belulang. Kasihan melihat mayat-mayat
tersebut, Pong membawanya dan memakaikan pakaian yang layak untuk mayat-mayat
itu lalu dikuburkannyalah di tempat yang aman. Sejak saat itu, setiap Pong
berburu ia selalu mendapatkan berkah. Tanaman pertanian miliknya panen lebih
cepat dari waktu biasanya. Saat berburu, Pong sering kali mendapatkan hasil
buruan dengan mudah. Dan saat berburu di hutan, Pong sering bertemu dengan
arwah yang ditolongnyaa yang kemudian arwah tersebut ikut membantunya dalam
perburuan sebagai petunjuk jalan. Oleh karena peristiwa tersebut, Pong
berpendapat bahwa jasad orang yang telah meninggal harus tetap dirawat dan
dihormati, meskipun jasad tersebut sudah tidak berbentuk lagi. Kemudian, Pong mewariskan
amanahnya kepada penduduk Baruppu. Penduduk
Baruppu-pun menjaga amanah Pong dengan terus dilaksanakannya ritual Ma’ Nene setiap setahun sekali di bulan
Agustus setelah panen besar.
Bila
ingin membuktikan apakah kisah tentang pemburu bernama Pong Rumsek benar atau
tidak memang terjadi sangatlah sulit. Di beberapa sumber, asal muasal Ma’ Nene selalu dikaitkan dengan kisah
Pong Rumsek. Oleh karena itu, rasa percaya atau tidak percaya terhadap kisah
tersebut tergantung pendapat individu masing-masing. Dari kisah Pong Rumsek
dapat diambil hikmahnya adalah bahwa masyarakat Toraja sangat menghormati jasad
manusia yang telah meninggal. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan mereka
terhadap roh nenek moyang yang sampai sekarang masih sangat melekat dalam
kehidupan sehari-hari dan kebudayaan mereka, meskipun sudah memeluk agama samawi.
Ritual
Ma’ Nene dimulai dengan mengunjungi
lokasi pemakaman para leluhur di pemakaman Patane di Lembang Paton, Kecamatan
Sarieale, Kabupaten Toraja Utara. Saat tiba dipemakaman para anggota keluarga
serta tetua yang biasa dikenal dengan Ne’ Tomina Lumba berada di sekitar peti.
Sebelum peti dibuka untuk mengangkat mayar, Ne’ Tomina Lumba membacakan do’a
dalam bahasa Toraja Kuno. Kemudian, mayat tersebut diangkat dan mulai
dibersihkan dari atas kepala hingga ujung kaki dengan menggunakan kuas atau
kain bersih. Penggunaan kuas atau kain bersih tidak memiliki makna yang cukup
mendalam. Hanya sebatas sebagai alat untuk membersihkan saja. Setelah itu,
mayat tersebut dipakaikan baju yang warnanya sesuai dengan kesukaan si mayat.
Hal ini menunjukkan rasa hormat dan peduli kepada sang mayat. Saat membersihkan
mayat dan memakaikan baju pada mayat, posisi mayat berdiri. Hal ini dimaksudkan
agar memudahkan dalam pengerjaannya. Setelah mayat mengenakan pakaian baru, si
mayat berdiri bersama keluarga—sebelum dimasukan ke dalam peti—seolah masih
hidup. Ini mungkin menunjukkan rasa hormat kepada leluhur dan rasa kekeluargaan
yang masih terikat, meskipun leluhur telah meninggal.
Selama
acara membersihkan dan mengganti pakaian mayat, sebagian laki-laki dari
masyarakat setempat membentuk lingkaran sambil menyanyikan lagu dan tarian yang
melambangkan kesedihan. Gerak tari dan lagu berfungsi untuk memberi semangat
kepada keluarga yang telah ditinggalkan si mayat.
Ritual
Ma’ Nene tidak hanya sebatas
membersihkan mayat dan mengganti pakaian mayat, tetapi ada juga ritual Ma’ Nene yang berkaitan dengan mayat
berjalan. Ritual ini dimulai dari mengeluarkan mayat dari peti lalu
dibangkitkan agar si mayat kembali ke rumah dengan cara berjalan. Sungguh
tradisi yang unik.
Ritual
Ma’ Nene mayat berjalan dimulai dari mengangkat
dan mengeluarkan mayat-mayat yang dimakamkan di kuburan tebing atau kuburan
batu yang telah bertahun-tahun lamanya. Pada saat mengeluarkan mayat, para
kerabat keluarga akan menangis. Tradisi menangis ini mungkin saja seperti
sambutan selamat datang kepada si mayat untuk kembali ke rumah. Setelah mayat
dikeluarkan, maka inilah saatnya untuk membangkitkan si mayat.
Bila
kita berpikir cara untuk membangkitkan si mayat tentu saja pikiran kita akan
melayang ke mana-mana. Bahkan, kita pun tidak akan percaya. Bagaimana seorang
manusia dapat membangkitkan mayat yang notabane-nya
manusia yang telah meninggal?? Berdasarkan sumber yang ada, konon untuk
membangkitkan mayat orang Toraja menggunakan ilmu kuno. Ilmu yang sudah sangat
lama dan hanya dapat diajarkan oleh “guru” atau sesepuh. Diceritakan pula, bila
mayat dihipnotis dengan menggunakan ilmu kuno tersebut maka otomatis si mayat
akan bangun dan berdiri lalu berjalan kembali ke rumahnya—tempat tinggal
sebelum meninggal—. Hal yang paling mengejutkan lagi bahwa ada syarat agar si
mayat dapat berjalan hingga sampai ke rumah. Syaratnya itu cukup simple, yaitu
dengan tidak menyentuh sang mayat.
Bila
dilihat dari sisi rasional, membangkitkan mayat adalah hal yang tidak mungkin
terjadi. Bila dilihat dari sisi irasional, membangkitkan mayat adalah hal yang
bisa saja terjadi. Apalagi kebangkitkan berhubungan dengan penggunaan ilmu kuno
yang tentu saja berkaitan dengan ilmu mistis di Tanah Toraja.
Cerita
mengenai mayat berjalan memiliki banyak versi. Versi pertama menceritakan bahwa ratusan tahun dulu, pernah terjadi
perang saudara di Tanah Toraja. Perang tersebut melibatkan orang-orang Toraja
Barat dan Toraja Timur. Dalam peperangan tersebut, orang Toraja Barat kalah dan
banyak yang tewas. Saat akan pulang kampung, seluruh mayat orang Toraja Barat
bangkit dari kematian dan berjalan menuju kampung halaman, sedangkan orang
Toraja Timur yang masih hidup menggotong saudaranya yang sudah meninggal dan
perang pun dianggap seri.
Versi
kedua ini merupakan pendapat dari Tampubolon. Beliau beranggapan bahwa mayat
berjalan dengan cara kaku dan tersentak-sentak itu adalah sisa kehidupan masa
lalu yang masih mengakar. Dahulu, orang-orang Toraja biasa menjelajahi daerah
pegunungan yang banyak gua dengan berjalan kaki. Saat penjelajahan yang berat
itu, beberapa orang yang tidak kuat untuk melanjutkan perjalanan dan jatuh
sakit. Oleh karena bekal dan obat-obatan yang dibawa kurang, mereka yang sakit
akhirnya meninggal. Bagi orang Toraja sangat mustahil untuk meninggalkan
jenazah teman dan sangat merepotkan bila harus membawa pulang jenazah. Maka
dengan ritual gaib—penggunaan ilmu kuno—mereka membangkitkan mayat tersebut dan
mengendalikannya. Mereka menuntut mayat tersebut hingga sampai ke rumahnya dengan
syarat mayat tidak boleh disentuh sebelum sampai di rumah. Jika mayat disentuh,
maka mantra yang ada pada mayat akan hilang.
Walaupun
demikian, dari semua sumber dan artikel yang memuat kisah ini, hanya ada
beberapa foto yang menunjukkan seseorang sedang memegang tangan orang yang
telah meninggal. Fotonya cukup menyeramkan, tetapi tidak banyak foto yang
beredar di internet mengenai kisah mayat berjalan ini. Bila dipikirkan lagi,
jika memang mayat berjalan ini benar-benar ada seharusnya foto yang tersedia
akan lebih banyak lagi atau bahkan tersedia videonya. Kurangnya bukti yang
menunjukkan fenomena mayat berjalan di Toraja ini benar-benar ada mungkin ada
alasannya seperti adanya peraturan yang melarang pengabadian ritual Ma’ Nene lewat foto atau video.
Sumber
lain ada yang mengatakan bahwa ritual pembangkitan mayat ini telah menjadi
budaya orang Toraja pada generasi selanjutnya dalam hal menguburkan seseorang
yang baru saja meninggal. Menurut generasi ini, orang yang telah meninggal
dapat kembali ke rumah. Oleh karena itu, bila ada seseorang yang baru meninggal,
mayatnya diletakkan di sebuah kamar. Kemudian melalui ritual Ma’ Nene mayat tersebut dihipnotis untuk
berjalan sendiri ke liang kuburnya. Nah, pada sewaktu-waktu bila si mayat ingin
kembali ke rumah, maka si mayat dapat bangkit dari kubur dan berjalan ke rumah
untuk menempati kamar yang telah disediakan untuknnya.
Membayangkan
mayat berjalan dari rumah ke liang kubur lalu kembali ke rumah adalah hal yang
menyeramkan dan bila memang terjadi sulit untuk dipercaya. Berdasarkan
kepercayaan agama samawi yang dianut masyarakat Toraja hal tersebut tidak
mungkin terjadi selain kehendak Tuhan. Namun, orang Toraja tetap
mempercayainya. Orang Toraja yang telah menganut agama samawi dalam keadaan
tertentu akan mengatakan “berdasarkan kehendak Tuhan”, sedangkan dalam
kesahariannya tetap saja percaya pada leluhur dan sering mengatakan “Menurut
orang tua dulu... atau jangan seperti itu, itu tidak sesuai dengan budaya
kita”. Jadi dapat disimpulkan, orang Toraja tetap menjalankan prinsip percaya
pada nenek moyang dan lebih dominan pada adat. Oleh karena itulah, budaya Ma’ Nene terus dilaksanakan.
Point penting dari budaya Ma’ Nene adalah jasad orang
yang telah meninggal dikubur di peti dan bukan dikubur di dalam tanah. Ternyata
hal tersebut berkaitan dengan leluhur orang Toraja yang berasal dari langit dan
bumi. Seperti yang telah dibahas di atas, leluhur orang Toraja berasal dari
nirwana (langit) lalu menikah dengan dewa di bumi sehingga tidak semestinya
orang yang telah meninggal dunia jasadnya dikubur di dalam tanah. Sebab, bagi
orang Toraja hal tersebut merusak kesucian bumi dan dapat menyebabkan berkurangnya
kesuburan tanah.
Di samping itu, dengan melaksankan budaya Ma’ Nene ada hikmah yang muncul secara
eksplisit, yaitu bertambah eratnya kekerabatan antar orang Toraja sebab saat
melaksanakan ritual mereka saling tolong-menolong dan menyemangti satu sama
lain dan budaya Ma’ Nene sendiri
secara tidak tertulis telah menjadi budaya yang wajib dilaksanan setiap tahun
dan orang Toraja pun mengikuti peraturan tersebut. Tidak kalah pentingnya juga,
budaya Ma’ Nene telah menjadi daya
tarik wisatawan asing untuk berkunjung sehingga dapat meningkatkan devisa
negara dan menambah semangat orang Toraja untuk mempertahankan dan melestarikan
budayanya.
Dengan demikian, jika Anda masih ragu akan kebenaran
budaya ini atau penasaran bagaimana cara mayat ‘berjalan’silakan berkujung ke
Toraja pada tanggal budaya tersebut dilaksanakan.
0 comments:
Posting Komentar