USAI
Ternyata benar hanya
aku yang kehilangan.
Setelah sekian lama,
aku tetap tidak ada artinya.
Baru saja kita
selesai, kamu bahagia. Hebat sekali.
Tidak ada yang perlu ditangisin, batin Ify untuk sekian
kalinya. Tidak ada. Tidak ada. Tidak ada. Memang tidak ada yang perlu
ditangisin lagi. Cerita mereka sudah selesai atau lebih tepatnya cerita Ify
dengannya lebih baik Ify akhiri. Tidak ada yang perlu dipertanyakan lagi. Toh,
pada akhirnya dia sudah bahagia.
Ia, Alyssa
Raifyna. Seorang gadis biasa saja tetapi menyimpan begitu banyak rahasia. Lebih
memilih mengiyakan daripada mengungkapkan. Lebih sering memendam untuk
mengikhlaskan. Lebih sering menghela napas untuk tetap baik-baik saja.
“Udah nggak
apa-apa kan, Fy?” tanya Via, gadis chubby
yang merupakan sahabat Ify dari kecil. Selalu bersama dari bangku Sekolah Dasar
(SD) hingga Sekolah Menangah Atas (SMA). Ify dan Via sangat sering terlihat
bersama. Toh, namanya juga sahabat. Selalu berisik, bahagia, sedih, susah, dan
tertawa bersama-sama.
“Semoga aja
lah, Vi,” jawab Ify dengan senyum lebarnya. Tentu saja tidak bisa mengelabuhi
Via dan gadis itu sudah tahu.
“Jangan
liat ke kanan ya, Fy,” peringat Via ketika bola matanya tidak sengaja menangkap
sosok yang belum bisa diikhlaskan sahabatnya. Ia ingin marah. Ingin teriak.
Ingin menyampaikan apa yang tidak bisa disampaikan oleh Ify kepada seseorang
itu. Setelah sekian lama, Via kecewa karena membiarkan Ify bersama dia. Via
kecewa. Sungguh kecewa.
Seharusnya
Via tidak usah memperingatkannya lagi. Ify sendiri sudah melihat bagaimana
sosok itu datang menuju kantin melalui kaca jendela. Senyum bahagia terpancar
di wajahnya. Ify meringis. Mengapa dia juga tidak bisa bahagia? Terlalu konyol,
bukan?
Helaan
napas demi helaan terus Ify lakukan untuk meredamkan gemuruh di dalam dadanya.
Tidak lucu untuk menangis di dalam keramaian kantin. Tidak lucu menangisi
seseorang yang belum tentu peduli kepada dirinya. Tentu saja, Ify tidak boleh
membiarkan dirinya menangis karena masalah ini. Bukankah sudah cukup
berhari-hari yang lalu?
“Mau pergi
dari sini?” tawar Via hati-hati. Ia tidak ingin menyakiti sahabatnya dengan
menganggap Ify lemah. Via jelas tahu bahwa Ify adalah seorang gadis tangguh.
“Untuk apa
pergi dari sini? Makanan kita aja belom sampe kali. Rugi banget kalo pergi dari
sini ya kan?”
Via
menampilkan cengiran lebarannya. “Benar juga, Fy, rugi banget kan kita juga
laper, lagian waktu istirahat masih panjang.”
“Yoi, Vi.
Bolehlah sedih sama kecewa, tapi nggak ngerugiin diri sendiri juga,” timpal Ify
dengan cengiran lebarnya. Tidak perlu bersedih. Toh, dia sudah bahagia (bahagia
bersama pemilik hatinya yang baru).
Aku terluka.
Jelas aku terluka.
Aku
Terluka.
Kamu bahagia.
Terlihat betapa
bahagianya kamu.
Selamat.
******
Bukankah semuanya
sudah usai?
Dan mengapa rasa ini
belum selesai?
Sore itu langit sangat bersahabat. Setelah adzan ashar
berkumandang dengan indah, sang langit semakin bersahabat. Warna jingga
mendominasi permukaan biru yang mulai tenggelam. Gradasi warna yang sungguh
menawan.
Di sebuah
rumah yang dikelilingi dengan berbagai macam bunga terdengar sedikit berisik.
Seorang gadis lengkap dengan celana katun panjang dan jaket abu-abu serta topi
hitam yang membungkus penampilannya. Rambut panjang hitamnya yang sedikit
bergelombang diujung dibiarkan saja dengan kunciran ekor kuda.
“Ify mau ke
mana sore-sore gini? Asharnya sudah, Nak?” tanya seorang wanita berumur 40-an
tahun dengan wajah keibuan. Dia adalah Anita, ibunya Ify.
“Mau
sepedaan sama Via, Nda. Udah dong,” jawab Ify. Gadis itu menjawab sambil
memasang sepatu olahraga di kedua kakinya. Sepeda warna biru hitam sudah
nangkring dengan manis di halaman rumahnya tidak jauh dari teras di mana gadis
itu bersiap-siap.
“Via-nya
mana?” tanya Anita sambil melihat ke segala arah. Mencari keberadaan sahabat
putrinya.
“Katanya
tadi udah di jalan sih, Nda,” jawab Ify santai dan tiba-tiba gadis itu
tersenyum lebar dan kedua bola matanya bersinar ceria melihat sosok yang baru
tertangkap fokus lensa matanya. “Haiii adek Reiii,” sapa Ify kelewat ceria. Ify
sangat menyukainya. Dia adalah Rei. Balita berumur lima tahun yang merupakan
tetangga Ify. Anak dari Mbak Rara dan Mas Iel.
Balita itu
tertawa-tawa sambil memegang pagar rumah Ify. Secepat mungkin Ify meraih Rei
dalam dekapannya. Beruntunglah Ify karena Rei juga menyukai keberadaan Ify.
“Hati-hati,
Fy, ntar jatuh si Rei-nya,” peringat Anita takut ia melihat tingkah putrinya
yang terlalu bahagia melihat Rei. Bukan rahasia lagi jika Ify sangat menyukai
Rei. Tetangga di dekat rumahnya pun tahu jika Ify kelewat bahagia jikalau ada
Rei. Dan Anita pun menyadari itu.
“Oke, Nda.”
“Adek Rei
mau ikut Kak Ify sepedaan?” tanya Ify gemes sambil menoel-noel pipi tembemnya
Rei. Balita itu hanya tertawa. “Naik ini lho,” ujar Ify sambil menuju
sepedanya. Rei menganggung-ngangguk bahagia.
“Ntar jatuh
lho, Fy. Mbak Raranya mana? Izin dulu gih.” Anita masih khawatir. Memang bukan
sekali ini Rei ikut Ify bersepeda. Hanya saja rasa khawatir selalu muncul.
“Tenang
kok, Nda. Pasti nggak apa-apa. Ntar sebelum jalan ke rumah Rei dulu bilang sama
Mbak Rara. Lagian Ify heran deh, Nda, kok Rei bisa lepas gini?” cerocos Ify tak
lupa sambil bercanda dengan Rei dan membuat Anita geleng-geleng kepala.
Saat ini, Ify dan Via sedang istirahat di taman depan
kompleks. Setelah berkeliling tanpa ada Rei, keduanya memilih untuk
beristirahat di taman sambil menunggu waktu untuk pulang. Ify sedikit
menyayangkan karena Rei tidak ikut. Ini bukan karena Mbak Rara yang pelit,
hanya saja keluarga kecil nan lucu itu akan pergi. Pantas saja Rei bisa lepas
dari pengawasan Mbak Rara, toh Mbak Rara lagi bersiap-siap dan balita lucu itu
keluar rumah sendirian.
“Gimana
perasaan lo sekarang, Fy?” tanya Via sembari menikmati udara sore yang mulai
sejuk. Jingganya langit perlahan-lahan mulai muncul.
“Selalu
baik-baik aja setiap ketemu Rei. Lo tahu kan?” jawab Ify santai dan tenang. Dia
selalu merasa baik-baik saja ketika Rei ada. Balita lucu dan menggemaskan itu
selalu berhasil membuat mood-nya
kembali bagus. Seperti tidak ada yang perlu dia khawatirkan dan sedihkan lagi,
terutama tentang dia.
“Gue
beneran kali, Fy. Bener sih lo baik-baik aja tiap udah ketemu Rei.”
“Makanya,
Vi, gue bilang kalo gue baik-baik aja.”
Via tetap
tidak menerima jawaban Ify. Sahabatnya itu suka sekali berteka-teki. Menutup
segala kesedihannya. Dia membuat kesedihan itu seperti gas ideal. Tidak akan
pernah ada, kecuali dalam kondisi tertentu. Bukan seperti tekanan yang menekan
ke segala arah. Ify tidak akan membiarkan kesedihan memberikan efek negatif
dalam semua bidang kehidupannya.
Seseorang
bisa saja menipu orang lain. Ia bisa membalut kesedihan dengan senyuman. Ia
bisa menutupi kekecewaan dengan penerimaan. Tetapi, ia tidak bisa menipu diri
sendiri. Ify sadar betul akan hal itu. Ia tahu persis bagaimana kondisi
hatinya. Tetapi, bukankah lebih baik Via tahu jika dia ‘baik-baik saja’? Via
memang sahabatnya, berhak tahu kerisauan hatinya, akan tetapi tetap saja Ify
memilih untuk terlihat baik-baik saja.
Terluka. Kecewa.
Sedih.
Semua itu bisa saja
bukan pilihan.
Tetapi, untuk terlihat
baik-baik saja adalah sebuah keputusan.
******
Untuk Kamu, Penyuka
Fajar.
Nyanyian kenari mulai
terdengar, apakah kamu masih menyukainya?
Pertemuan yang tidak
sengaja di pagi hari, bukankah itu tentang kita (dulu)?
Bagaimana kabar kamu
pagi ini?
Kukira, kabarmu secerah
mentari ketika menyapa.
Desauan angin selalu
kamu dengar, jadi maukah kamu mendengar ceritaku?
Pada suatu masa aku
terluka. Benar-benar terluka.
Memaksa dengan kuat
agar semuanya menghilang secara instan.
Sungguh sulit. Kau
tahu, sangat sulit.
Air mata terus mendorong
untuk menitik, tetapi selalu kubendung.
Sakit. Sakit
berkali-kali ketika menahannya.
Terlihat baik-baik
saja adalah pilihan yang harus diambil. Aku harus menunjukkan jika aku mampu
baik-baik saja. Berat. Sangat berat. Apakah kamu pernah merasakannya?
Aku ingin menyerah.
Meruntuhkan perisaiku dan pergi mencari si pembuat luka. Sungguh konyol bukan?
Konyol ketika dia sudah bahagia dan aku datang tiba-tiba. Hei... aku mau
dianggap apa? Untung saja, kesadaran itu masih ada.
Kamu tahu, aku selalu
bertanya-tanya, mengapa dia bisa bahagia sementara aku tidak? Ternyata hanya
aku yang kehilangan, sedangkan dia tidak. Miris bukan?
Setelah diselami,
ternyata ini bukan hanya tentang aku yang kehilangan ataupun dia yang (mungkin)
tidak pernah menganggapku ada. Ternyata, ini adalah tentang kesalahan cara, cara
untuk melupakannya.
Aku benar-benar
terluka dan itu terjadi berminggu-minggu yang lalu.
Kamu pernah melihat
Monumen Nasional? Monas?
Begitulah keadaanku
sekarang.
Begitu kuat dan kokoh.
Aku tidak lagi terluka
untuk setiap kenangan yang terlintas.
Aku tidak lagi
menyesali untuk setiap rasa yang masih ada.
Aku tidak lagi bersedih
untuk setiap kebahagian dia yang terlihat olehku.
Aku tidak lagi kecewa
untuk perpisahan yang telah terjadi.
Begitu hebatnya bukan?
Memaksa untuk
menghilangkan adalah pilihan yang salah.
Menangisi perasaan
berlarut-larut adalah hal yang sia-sia.
Mengharapkan
kebersamaan kembali adalah hal yang konyol dilakukan.
Sekarang aku menemukan
caraku.
Rasa ini masih ada, aku
yakin waktu akan mengikisnya.
Kenangan itu masih
sering terbayang-bayang, aku yakin dengan membiarkannya akan menguburnya.
Keinginan untuk
kembali ke masa itu masih muncul, aku yakin keikhlaskan akan meleyapkannya.
Kekecawaan masih
terasa, aku yakin penerimaan akan meleburkannya.
Bagaimana pendapatmu?
Luar biasa bukan?
Hei... Bintang Orion.
Selalu bahagia ya.
Jangan pernah kembali
karena kita tidak akan bersama.
Kamu penyuka fajar dan
aku penyuka senja.
Fajar dan senja tidak
pernah dipertemukan.
Dan untuk kamu, terima
kasih telah mendengarkan. Terima kasih untuk sebuah pengalaman.
Pagi ini pelajaran olahraga untuk kelas XI IPA 3. Ify dan
Via bersama teman-teman sekelasnya tengah melakukan jogging pagi mengelilingi lapangan basket. Pelajaran olahraga ini
bersamaan dengan kelas XI IPA 5, kelasnya dia, Bintang Orion. Jika kelas XI IPA
3 menguasai lapangan basket, maka kelas XI IPA 5 berpusat pada lapangan voli.
Kelas tersebut sedang melakukan pemanasan yang diinstruksikan oleh Pak Faisal.
Beliau adalah guru olahraga senior di SMA Tunas Bangsa.
Lagi-lagi
mata Ify menangkap sosok Rio yang lagi asyik bermain voli bersama
teman-temannya dan sesekali melambaikan tangan kepada Rasel. Ify tahu bahwa
Rasel adalah gadis yang sangat dekat dengan Rio ketika perpisahan mereka. Jika
dulu Ify merasa sakit maka sekarang dia bisa tersenyum lebar. Pelajaran
olahraga pagi ini benar-benar asyik bagi Ify, meskipun Pak Darma meminta lari
tiga keliling lapangan basket dan mengambil nilai shooting, tetap saja Ify menyukainya. Ia tidak perlu merasa sesak,
sedih, dan kecewa. Dia benar-benar sudah baik-baik saja.
“Senyum-senyum
terus sih, Fy,” tegur Agni, teman sekelas Ify, ketika mereka beristirahat di
pinggir lapangan.
“Dia
berhasil move on tuh, Ag,” sambar Via
dan diberi hadiah jitakan yang dilayangkan oleh Ify.
“Via ngayal
mulu. Gue lagi bahagia aja, Ag. Hari ini benar-benar indah,” koreksi Ify dan
tetap tersenyum lebar.
Gadis itu
sungguh menyukai perasaan baru yang dirasakannya. Bahagia. Lapang. Ikhlas.
Alyssa Raifyna sungguh sudah baik-baik saja.
“Selesai dengan nggak jelasnya”
Terima kasih sudah membaca :)
-S Sagita D-