TIGA
“Ya, Alyssa, tinggikan lagi suaranya!!” ujar Miss Winda,
salah satu guru kelas musik dibidang vokal.
Hari ini
sudah memasuki hari kelima sebelum kegiatan belajar resmi dibuka dan itu
berarti tiga hari lagi kegiatan Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS) dimulai. Di
mana pada hari kedua dalam draft kegiatan
PLS akan ada penampilan dari berbagai kelas yang ada di Pearl School. Itulah alasan mengapa kelas musik berlatih.
“Ya, Miss,” balas Ify patuh. Menjadi backing vocal bukanlah hal pertama yang
dilakukannya. Ini sudah yang keempat kalinya.
“Ekspresi
wajahmu harus sesuai dengan lagu, Alvin. Sudah berapa kali saya bilang sama
kamu. Walaupun suara kamu spektakuler tetap saja wajahmu tidak harus selalu
datar seperti sedang mengheningkan cipta,” omel Miss Winda. Beliau tidak tahu apa yang terjadi dengan Alvin
sehingga anak didiknya itu selalu menampilkan raut wajah datar ditambah dengan
aura dingin.
“Ya.” Satu
kata itu adalah balasan Alvin setiap Miss
Winda atau guru lain mulai memberitahunya atau mengomel padanya. Pemuda dingin
itu tidak membantah dan selalu menjawab iya untuk setiap nasihat dan koreksi
yang diberikan kepadanya akan tetapi kata ‘ya’ itu tidak memberi perubahan
drastis terhadap apa yang dimaksudkan oleh si penasihat dan pengkoreksi itu.
“Sekali
lagi kita coba dan setelah ini kalian boleh beristirahat,” ucap Miss Winda. Sudah hampir dua jam mereka
latihan dan pukul sebelas sudah waktunya untuk beristirahat.
Ify, Alvin,
dan lima murid kelas musik lainnya kembali pada posisi masing-masing dan siap
untuk berlatih lagi. Menyanyikan lagu untuk tampil tetap saja membutuhkan
latihan, meskipun untuk acara di dalam sekolah sendiri.
Setelah
sekitar tujuh menit menyanyikan lagu yang akan mereka bawakan di kegiatan PLS
dan ditambah dengan beberapa koreksi serta pujian dari Miss Winda akhirnya latihan untuk pagi ini selesai dan mereka mulai
meninggalkan ruang latihan tiga dan sebelumnya sudah diberitahu oleh Miss Winda bahwa latihan sore akan
dimulai pada jam empat.
******
Tidak banyak yang harus dipersiapkan oleh kelas Teknologi
Informasi dalam kegiatan PLS tahun ini. Hal ini sama saja seperti tahun-tahun
sebelumnya. Kelas TI hanya membuat desain spanduk khusus acara tersebut.
Terlebih lagi kelas TI sudah bekerja sebelum liburan berlangsung yaitu membuat
iklan elektronik untuk promosi sekolah, mendesain brosur pendaftaran, dan
mengisi website sekolah.
Oleh karena
alasan itulah membuat Rio bebas berkeliling lingkungan sekolah dengan seragam
khusus kelasnya, yaitu kemeja putih dengan garis pinggir kotak-kotak hitam dan
celana kain bermotif serupa. Alasan ini juga yang menjadi penyebab siswa dari
kelas TI lah yang paling sedikit menghuni asrama saat liburan masih
berlangsung. Biasanya siswa kelas TI akan kembali pada sehari sebelum acara PLS
berlangsung. Itu berarti dua hari lagi Rio akan menjumpai teman-teman kelasnya
dan juga kakak kelasnya.
Saat
melewati Gedung D Rio menghampiri sepupunya yang lagi asyik berkumpul dengan
beberapa teman kelasnya. Rio dan Iel adalah sepupu dari keluarga ayah. Mereka
hampir sering dibilang kembar karena memiliki perawakan tinggi yang sama dan
bentuk muka yang nyaris mirip serta warna kulit yang serupa. Jika Rio memakai
kacamata maka Iel tidak. Itulah yang menjadi ciri khas pertama untuk membedakan
mereka berdua. Ini menurut orang-orang di sekitar mereka akan tetapi sebenarnya
Rio dan Iel tidak sepenuhnya mirip sama sekali. Selain itu, jika Iel suka
berbicara maka Rio pendiam dan akan lebih banyak berbicara saat Rio merasa
nyaman dengan orang tersebut. Bila Iel orang yang peka terhadap sekitarnya maka
Rio adalah sosok yang cuek dan lebih sering masa bodoh. Rio dan Iel
berkebalikan tetapi keduanya sangat dekat, sudah seperti saudara kandung.
“Yel, gue
minta kunci asrama. Gue lupa bawa tadi,” ujar Rio cepat setelah mengangguk
ramah ke arah teman-teman Iel. Rio memang cowok cuek tetapi itu berlaku pada
hal-hal yang dia anggap tidak penting dan di depan cewek-cewek yang berusaha
cari perhatian kepadanya. Jika sesama kaumnya maka Rio akan bersikap bagaimana
cara cowok terhadap cowok.
“Ngapain lo
udah mau balik ke asrama aja? Sejam lagi makan siang, Yo,” heran Iel. Ada-ada
saja tingkah sepupunya ini.
“Gabung
sini aja, Yo. Kita-kita lagi nunggu makan siang juga. Lumayan nih sambil liatin
yang di sono noh,” ujar si Sableng Riko. Menunjuk arah aula terbuka di mana
klub cheers Pearl School latihan.
“Geblek
amat lo, Ko. Mana doyan Rio liatin yang begituan!!!” sahut Frans dan menoyor
kepala Riko.
“Yo’i,
Frans. Rio nggak sebrengsek sepupunya ini.” Tunjuk Gilang ke arah Iel yang
dihadiahi gelak tawa Rielando sendiri.
Rio ikutan
tertawa. Teman-teman Iel memang ramai dan terkadang Rio sering ikutan nongkrong
sama mereka. “Iel berlagak suci ternyata doyan liatin yang serba kebuka.
Lalatan, Yel,” ledek Rio dan tawa teman-teman Iel mulai meledak.
“Mereka
belum ada yang kembali ke asrama?” tanya Iel setelah tawanya mereda. Rio diam
saja dan Iel tahu artinya bahwa Rio tidak tahu.
“Lo berdua
kayak pasangan muda aja,” ledek Frans.
“Njir...
lo. Kenapa juga gue nggak bawa kunci dan gue tinggalin itu laptop di asrama!”
rutuk Rio yang diikuti dengan tawa meledak dari orang-orang di sekitarnya.
“Nggak jadi gue, Yel,” tambah Rio dan kabur dari gedung kelas perfilman.
******
Dia dia sana dan Rio melihatnya. Gadis itu duduk di bawah
pohon akasia rindang yang berada di area parkiran depan. Seulas senyum terbit
di wajah tampan Rio. Satu hari... hmm... dua hari ah iya sudah tiga hari Rio
tidak melihat Ify sejak pertemuan mereka di jam makan malam itu.
“Hei Ify,”
sapa Rio yang telah mengambil tempat duduk di sebelah Ify.
“Hah? Kamu
lagi?”
Rio
mengerutkan dahinya mendapati balasan dari sapaannya. Ia kaget. Apakah
kedatangannya menganggu Ify? Masa bodoh. Memang sejak kapan dia perlu tahu
apakah seseorang senang atau tidak ketika ada dirinya?
“Ngapain di
sini, Fy?”
“Sejak
kapan kamu perlu tahu mengapa aku di sini?” Bukannya menjawab Ify lebih memilih
untuk melemparkan pertanyaan. Kedatangan Rio adalah hal aneh bagi Ify. Gadis
berdagu tirus itu heran dengan kehadiran Rio di sekitarnya. Pertama, mereka
tidak saling mengenal terlalu lama. Kedua, Ify tidak pernah berbicara dengan
Rio sebelumnya. Ketiga, Ify sudah berjanji pada Rio bahwa ia tidak akan
menceritakan kejadian di halaman belakang Gedung F. Keempat, Ify merasa Rio
tidak mempunyai urusan lagi dengannya.
“Woles aja,
Fy,” balas Rio tenang. Dia tahu bahwa Ify risih terhadap kedatangannya. Rio
melirik jam tangannya. “Lima menit lagi jam makan siang, kamu mau makan bareng
aku?”
Terperangah.
Itulah ekspresi Ify saat ini. Makan bareng lagi sama Rio? Apakah ada adegan
suap-suapan? Apakah akan ada aura mengintimidasi lagi? “Kukira lebih baik aku
makan sendiri,” jawab Ify.
Rio
mengangguk-ngangguk. “Menurutku lebih baik kita makan siang bareng, Fy.”
Ify
melotot. “Mengapa kamu memaksa?”
“Karena
kamu nggak mau.”
Dapat Ify
rasakan jika Rio akan terus memaksa dirinya. Bagaimana bisa ia akan menolak?
Berpikir, Fy. Gadis itu mengajak otaknya untuk berkompromi. Dia harus jauh dari
Rio. Apakah dia mau mengulang kembali kejadian seperti dulu? Bukankah dia
takut? Lantas mengapa dia takut? Bukankah orang itu tidak ada? Bukankah orang
itu selalu pergi setelah semuanya hancur?
Rio tahu
bahwa Ify akan menolak. Gadis tirus itu lagi berpikir bagaimana cara untuk
menolak ajakanya. Namun ada yang mengganjal pikiran Rio. Mengapa aura Ify
menjadi lebih redup? Mengapa hawa di sekitarnya menjadi lebih sendu? Dan
mengapa kegetiran terlihat jelas di wajah Ify dalam pandangan kedua bola
matanya? Apa yang Ify sembunyikan? Apa yang gadis ini alami dalam hidupnya?
“Kamu
kenyang ya, Fy?”
Otomatis
Ify langsung mengangguk dan bersamaan dengan itu air mata menetes di pipinya.
Pertanyaan ini sederhana namun memukul keras hatinya. Bagai bedug yang dipukul
untuk menandakan adzan akan berkumandang. Satu kalimat itu menggema dalam
pikirannya.
“Mengapa
nangis?” tanya Rio dengan jantung yang tiba-tiba berdetak lebih cepat dari
biasanya.
******
Zahra mencengkram balpoinnya dengan erat. Sesak itu kembali.
Bagaimana bisa ia merasakan ini lagi? Bukankah dia sudah bisa menghendel
perasaan ini? Akan tetapi foto dan kalimat yang baca itu seakan menambak
dirinya. Merobohkan pertahanannya. Meruntuhkan dinding kokoh yang telah ia
bangun selama setahun ini. Tanpa bisa membendungnya Zahra menangis.
Menenggelamkan kedua wajahnya di antara kedua lututnya. Duduk sendiri di sudut
ujung gedung sastra.
Seharusnya
dia telah menghapusnya. Hapus semua sampai bersih dan mengapa dia masih
menyimpannya? Selalu seperti ini. Selalu menyakitkan. Selalu membuatnya sedih.
Apalagi yang dibutuhkan orang itu? Apakah ini yang disebut dengan saudara? Yang
perlahan-lahan menghancurkan???!!
Zahra
terluka. Gadis yang selalu tampak kuat dengan ketenangan yang diperlihatkannya
selama ini, sekarang merana. Duduk di sudut gedung sastra dalam keadaan tidak
baik. Dia punya hati. Punya perasaan. Punya keinginan. Dan mengapa orang itu
selalu ingin menghancurkannya? Bukan tanpa alasan Zahra memilih bersekolah di Pearl School. Bukan alasan sepele yang
membuat Zahra selalu kembali pada sepuluh hari pertama sebelum dimulainya
kegiatan belajar. Gadis sastra itu butuh ketenangan, kenyamanan, dan jauh dari
sumber rasa sakitnya.
Zahra sudah
jauh. Sudah pergi jauh. Namun dia belum menghilangkan kenangan itu sejauh
mungkin. Belum menghapus kontak itu hingga saat ini. Namun, bagaimana bisa ia
tidak memiliki kontak saudaranya sendiri?? Dengan demikian ini adalah salah
Zahra sendiri. Dia tahu dia akan terluka. Dia tahu dia selalu terluka.
Selama ini
Zahra bertanya-tanya, apakah tidak ada orang yang menyadari bahwa dia
menderita? Bahwa dia kehilangan dan bahwa dia terluka. Apakah dia harus selalu
memasang wajah ceria ketika orang itu diam-diam menghancurkannya?
“Apakah aku
harus menghilang selamanya?”
******
Rielando mengumpat kesal saat dia kebagian mendokumentasikan
kegiatan latihan di gedung sastra. Hari ini sudah sore dan menjelang pukul
lima. Namun pemuda itu masih menelusuri gedung sastra. Dia bisa saja mengambil
dua atau tiga gambar sebagai dokumentasinya akan tetapi Iel bukanlah orang yang
bekerja setengah-setengah. Dia adalah tipe pekerja keras dan karena itulah dia
berada di gedung sastra hingga sesore ini.
Iel mendengarnya.
Mendengar suara sendu itu. Mendengar pertanyaan apakah aku harus menghilang
selamanya. “Memang ke mana lo mau pergi?” balas Iel saat ia menemukan seorang
gadis dengan kondisi berantakan dan duduk menyudut di gedung sastra.
Gadis itu
diam saja dan Iel tidak tega. Perasaannya tersentuh. Diambilnya note book yang terbuka itu dan membaca nama
yang tertulis di halaman pertama. “Azza, memang ke mana lo mau pergi?” tanya
Iel ulang dan Azzahra masih saja menangis.
Iel ikut
duduk di sebelah Azzahra dan membiarkan gadis itu menangis dalam diamnya.
Seperti ini kah ketika seorang gadis terluka? Beginikah ketika seorang gadis
kecewa? Bagi Iel, Azzahra terlalu menyedihkan. Selama menunggu Azzahra berhenti
menangis, Iel diam-diam membuka buku berukuran kecil berwarna abu-abu itu.
Membaca halaman demi halaman dan sesekali berhenti untuk melihat sang pemilik
buku.
“Ini bukan
sinetronkan?” Iel bertanya-tanya dalam hati. Diletakannya kembali buku kecil
itu di bawah note book. Iel tertegun
setelah membaca cepat isi buku itu. Dipandangnya Azzahra dengan saksama.
Bagaimana
bisa hal seperti ini dirasakan oleh Azzahra? Bagaimana bisa seseorang yang Azzahra
tulis namanya sebagai Artemis menyakiti Azzahra sedemikian rupa? Dan bagaimana
dengan yang bernama Janus turut andil dalam membuat luka dalam hidup Azzaahra?
Bagian takjubnya, bagaimana Azzahra masih bertahan hingga saat ini? Iel terus
berpikir.
“Lo siapa?”
tanya Zahra ketika air mata mulai mengering di pipinya. Ketika mengangkat
wajahnya Zahra merasa sedikit pusing. Wajar saja karena matanya terlalu lama
berada di dalam kegelapan. Dan ketika matanya menerima cahaya terang maka Zahra
mendapat sedikit efek pusing.
“Lo nggak
apa-apa?” refelks Iel bertanya.
Zahra
menatap heran Iel dan kemudian dengan cepat membereskan semua barang-barangnya
yang berserakan di lantai. Menghapus dengan kasar sisa-sisa air mata di pipinya
dan kembali menampilkan sosok tegar seorang Azzahra Ramadiana.
Rielando menyadari
bahwa Azzahra adalah tipe gadis yang tidak mau dianggap lemah. Namun, kepura-puraan
Azzahra menjadi seorang gadis yang tegar tidak bisa menipu Iel karena pemuda
itu sudah melihatnya.
“Bila lo
sedih gue siap menemani lo saat lo menangis,” ucap Iel dan membuat Zahra
mengakat wajahnya dan menatap Iel dengan wajah tegasnya.
“Bila lo
terluka, gue akan coba mengurangi lukanya,” ujar Iel dan menatap lembut Zahra.
Hal ini membuat Zahra mengerjapkan matanya.
“Bila lo
udah nggak sanggup lagi memendamnya sendiri, lo bisa cerita sama gue, Azza,”
ujar Iel lirih. Dia tidak tahu mengapa bisa mengucapkan tiga kalimat tersebut
kepada Azzahra Ramadiana, seorang gadis yang baru ia lihat sore ini. Luka yang
Azzahra rasakan menggerakan naluri lelakinya sebagai pelindung.
“Dan lo
bakal menambah luka buat gue, Mr. Rielando?” sambar Zahra sinis dan memungut
barang-barangnya. “Satu lagi, jangan sembarangan membuat panggilan untuk gue.
Azza? Lo pikir kita dekat?” tambah Zahra dan segera meninggalkan Iel yang
terperangah dengan sikap Zahra.
BERSAMBUNG KE EMPAT...
Terima kasih karena sudah membaca :)
-S Sagita D-
0 comments:
Posting Komentar