Dua [Untitle]



DUA

Keempat gadis itu duduk memenuhi dua buah sofa yang berada di tengah-tengah kamar nomor 24 Asrama Callisto. Keempat gadis itu adalah Alyssa, Zahra, Sivia, dan Agni. Alyssa, gadis berdagu tirus yang duduk di single sofa sambil memeluk kotak box berwarna birunya. Zahra adalah siswi dari kelas sastra yang di tangannya terdapat sebuah spidol berwarna merah. Agni, gadis berambut sebahu dari kelas olahraga dalam konsentrasi kelas atletik cabang lari dan Sivia, gadis bermata sipit dengan pipi chubby dari kelas seni.
            Empat orang gadis itu adalah penghuni kamar nomor 24 ini. Selama setahun bersekolah di Pearl School, mereka sepertinya belum mengenal satu sama lain atau bahkan bertemu satu sama lainnya. Ini mungkin pertemuan pertama mereka.
            “Jadi... gimana pembagian tempat tidur, lemari, dan meja belajarnya?” tanya Agni memecah keheningan di antara mereka.
            “Gue ambil tempat tidur bawah aja. Soalnya gue harus bikin gantungan untuk desain-desain yang gue buat. Semacam penilaian sebelum tidur. Rutinitas anak seni sih,” ujar Sivia dengan cengiran lebarnya. Gadis chubby itu tidak terlihat seperti orang pendiam padahal selama setahun ini dia lebih sering berperan sebagai orang sampingan, bukan pemeran utama yang lebih sering mendapat perhatian.
            “Kalo gitu gue ambil tempat tidur atas ya? Perenungan kalo ada tugas buat puisi dan semacamnya. Maklum anak sastra, hehe...,” timpal Zahra.
            Sivia dan Agni kompak mengangguk. “Dan lo Alyssa?” tanya Agni. Ia tahu nama gadis berdagu tirus itu Alyssa karena Alyssa sendiri masih menggunakan seragam sekolahnya.
            “Kalo bisa panggil aku Ify aja,” ucap Alyssa pelan.
            “Ah iya. Kita belum kenalan. Duh gimana sih kita,” sungut Sivia pura-pura kesal dan kemudian mengubah raut wajahnya menjadi ceria kembali. Ify tersenyum tipis melihatnya. Begitupula dengan Zahra dan Agni.
            “Gue duluan ya. Hai... nama gue Siviana Amanda. Kalian bisa panggil gue Via aja biar lebih akrab,” ujar Via.
            “Kalo gue Azzahara, biasa sih dipanggil Zahra. Kepanjangan ya kalo Zahra?” sambung Zahra.
            Ify mengangguk. “Zahra cukup panjang. Gimana kalo Rara?” Merasa tidak mendapat tanggapan kemudian Ify cepat-cepat menambahkan, “Itu kalo kamu nyaman sih dipanggil Rara.”
            “Hmm... Rara bagus kok, Ra,” sahut Agni. “Eh by the way gue Agnia, panggil aja Agni. Kalo ada suara berisik langkah kaki malem-malem, jangan pada takut lo, itu aku lagi lari-lari kecil aja di kamar.”
            “Kamu olahraga malem-malem?” tanya Ify yang terperangah mendengar pengakuan Agni.
            “Kadang-kadang kok, Fy,” jawab Agni.
            “Kita kan udah kenalan nih. Pembagian tempat tidurnya gue di atas dan Via di bawah. Kita satu tempat tidur nggak, Vi?” tanya Zahra.
            “Gue yang deket kamar mandi aja, Ra, soalnya sering kebelet,” jawab Sivia dengan sedikit rasa malu. Dia juga heran mengapa dirinya termasuk orang-orang yang susah jauh dari toilet.
            “Oke aja sih, aku pilihnya yang deket pintu,” timpal Zahra lalu tatapannya berpusat pada Ify dan Agni. “Jadi, kalian berdua gimana?”
            “Lo mau yang mana, Fy?” tanya Agni langsung. “Soalnya gue oke di mana aja.”
            “Aku tempat tidur atas aja. Nggak apa-apa?”
            “Sip. Gue di tempat tidur bawah dekat pintu.”
            “Lemarinya gimana?” kali ini Sivia yang bertanya.
            “Sesuaiin sama tempat tidur aja. Meja belajar juga gitu. Kita nggak mungkin kan berantem karena rebutan lemari sama meja belajar?” usul Zahra dan langsung disetujui oleh ketiga teman kamarnya.
            “Gue suka yang kayak gini. Nggak ada ribet dan ributnya. Kalian nggak ngalamin sih temen kamar gue dulu. Semua mesti diributin dan diribetin,” curhat Sivia dengan wajah cemberut.
            “Tenang aja, Vi, mulai sekarang nggak akan kejadian kayak gitu lagi. Gue ngerasa kita bakal jadi sahabat yang kompak,” ujar Agni dengan senyum lebarnya disambut dengan anggukan antusias dari Sivia dan Zahra.
            “Fy, lo nggak setuju ya?” tanya Sivia heran karena dari tadi Ify hanya diam saja.
            Ify cepat-cepat menggeleng. “Aku setuju kok. Aku hanya terharu,” jawab Ify cepat dengan senyum lebarnya. Ify juga sudah merasa bahwa kesehariannya di Pearl School akan segera membaik. Dia yakin itu. Gadis berdagu tirus dari kelas musik itu yakin bahwa ketiga roommate-nya adalah sahabat yang dikirim oleh Tuhan.
            “Nah gitu dong, Fy. Sekarang ayo kita beresin barang-barang kita,” usul Sivia dan mulai mengambil kopernya.

*******

Ify menghela napas sejenak untuk menormalkan perasaannya yang bergemuruh. Belum lama sejak kata “sahabat” tercetus di kamar nomor 24 Asrama Callisto dia sudah ditinggalkan oleh ketiga roommate-nya. “Come on, Fy. Wajar aja mereka udah duluan, inikan sudah memasuki jam makan malam. Dan harus ingat, Fy, sahabat nggak selalu harus bersama-sama,” ujar Ify pelan dan kedua bibirnya membentuk senyuman kecil.      
            Dengan menggunakan celana katun panjang dan baju kaos berlengan pendek berwarna biru yang dilapisi dengan jaket abu-abunya serta rambut panjang sepinggangnya yang dibiarkan terurai, Ify keluar kamarnya dan berjalan menuju Gedung F yang terletak di depan gedung Asrama Callisto yang berjarak sekitar seratus meter.
            Ify baru saja tiba di ruang makan. Suasana malam ini lebih ramai dari dua malam yang lalu. Hari pertama di mana murid Pearl School boleh mengunjungi sekolah terlebih dahulu, meskipun masih waktu libur. Peraturan ini sudah lama diterapkan di Pearl School. Peraturan bahwa murid Pearl School boleh kembali ke sekolah dimulai pada hari ke sepeluh sebelum kegiatan belajar pembelajaran di mulai dengan catatan saat berada di lingkungan sekolah—kecuali di Gedung F saat jam makan malam—diwajibkan untuk mengenakan seragam sekolah tanpa terkecuali.
            Tidak perlu membuang-buang waktu, Ify segera mengantri di meja prasmanan. Lauk malam ini lumayan menggugah selera makannya, dengan cepat Ify segera mengambil piringnya. Setelah sekitar lima menit mengantri mengambil nasi dan lauk serta minum, langkah Ify terhenti ketika kedua bola matanya menangkap meja-meja yang telah dipenuhi oleh murid Pearl School yang ingin mengisi perutnya atau sekedar mengobrol. Diam-diam, Ify mengetahui bahwa siswi Pearl School cukup banyak yang melewatkan makan malamnya hanya untuk menjaga berat badan. Ify tertawa sendiri mendengar berita ini. Hal tersebut tentu saja menyiksa jika di sekolah asrama seperti ini, waktu pagi dan siang hari telah padat dipenuhi dengan belajar, mengerjakan tugas, dan kegiatan klub lainnya.
            Semua meja di dekat meja utama telah penuh bahkan Ify sendiri melihat Via yang sedang makan bersama dua orang—mungkin—temannya  dan juga Zahra yang duduk sendiri ditemani piring nasi dan buku catatannya di meja pojok dinding. Ify berminat menghampiri Zahra namun melihat keseriusan Zahra menatap buku catatannya membuat Ify lebih memilih meja di sudut belakang. Makan malam sendiri juga tidak terlalu buruk.

******

Rio segera keluar dari kamar 31 Asrama Phobos—asrama laki-laki khusus angkatan 2014 Pearl School—menuju Gedung F untuk makan malam. Ia tidak perduli meskipun Iel sudah mengingatkannya untuk ke Gedung F bersama-sama. Setelah mandi dan berpakain serta membersihkan luka dan darah di wajah serta kakinya membuat Rio lapar dan daripada mengomel sambil menunggu Iel selesai mandi dan bersiap, lebih baik ia pergi duluan. Palingan dia hanya akan mendapatkan omelan pendek dari Iel, roommate sekaligus sepupunya. By the way, Rio tidak akan tahu bila ada perubahan sistem kamar asrama apabila sepupunya itu tidak mengirimkan pesan kepadanya. Tentu saja bila tidak, Rio tidak akan tahu sama sekali karena insiden tadi siang. Insiden yang membuat Rio benar-benar kesal. Kedatangan Reza dan rombongannya lah yang membuat Rio kesal. Pemuda tampan itu tidak pernah mengira bahwa Reza berani menghampirinya di Pearl School. Nyali preman dan tawuran Reza memang seharusnya patut Rio perhitungkan.
            Setelah melewati tiga tangga dan berjalan sekitar 150 meter akhirnya Rio tiba di Gedung F. Cepat-cepat Rio segera memasuki antrian mendahului rombongan yang berjalan perlahan di depannya. Bodoh amat mau dikatain nggak sabaran yang penting dia makan. Rio beneran lapar karena insiden tadi siang yang benar-benar menguras emosi dan kesabarannya.
            Rio adalah tipe laki-laki cuek yang tidak peduli orang mau mengatakan apa tentang dirinya. Atau bahkan pemuda itu tidak peduli jika ada sekumpulan siswi Pearl School yang melihat-lihat ke arahnya. Rio sadar bahwa dia ganteng, tampan, enak dilihat, dan sebagainya. Dia tidak peduli. Rio bahkan terlampau sangat cuek saat sekelompok gadis menyapanya dengan senyuman manis mereka. Rio tidak peduli.
            Seperti saat ini. Rio sadar ada beberapa pasang mata yang melihat-lihat ke arahnya. Masih dengan menggunakan rumus cueknya, Rio tetap mengambil nasi dan mengisi piringnya dengan tiga tempe bacem, dua tahu bacem, dua sendok penuh sambal, dan satu potong sambal ayam serta dua sendok tumis bayam. Wadah-wadah di piring makannya tampak penuh. Belum lagi di bagian nasi. Bentuk nasi itu seperti bukit. Kesimpulannya satu, Rio lapar berat.
            Usai mengisi piring makannya mata Rio mulai menyapu pemandangan di hadapannya. “Berharap makan sama gue? Cih,” batin Rio saat mendapati Tresa melambai ke arahnya. Tidak perlu berlama-lama mencari meja makan di bagian depan, Rio segera berjalan menuju meja di bagian belakang. Memang tidak seramai bagian depan namun di sana Rio melihat gadis itu. Gadis yang berteriak dan menangis di halaman belakang Gedung F. Gadis yang berusaha menolongnya. Gadis cengeng yang Rio tidak ketahui namanya.
            Datangin atau nggak? Memang sejak kapan Rio peduli dengan hal seperti ini? Hampirin atau nggak? Jika Rio menghampiri apa yang akan dia katakan? Hamp.... Tidak perlu lagi berdebat dalam pikirannya sendiri Rio segera berjalan menuju meja gadis itu. Meja di pojok kanan dan menempel di jendela. Gadis itu sendiri hanya diam sambil sesekali memasukan nasi ke dalam mulutnya.

******

Lagi-lagi Agni harus menelan rasa sakit hati. Betapa bodoh dirinya? Apa yang ia pikirkan sehingga ia mengikuti langkah Cakka yang meninggalkan ruang makan? Astaga... gadis itu benar-benar di luar kendali. Mengapa cinta begitu menyesatkan? Membuat rasa penasaran begitu hingga dan pada akhirnya memberikan luka. Mengapa Agni harus melihat Cakka bersama Ashilla yang menikmati makan malam di bawah sinar rembulan??
            “Bodoh,” umpat Agni untuk dirinya sendiri. Ia bersembunyi di balik pilar yang berjarak lima meter dari ayunan yang tengah dinaiki oleh Cakka dan Ashilla. Lagi-lagi ia terluka. Mengapa ia harus jatuh cinta? Mengapa ia harus jatuh pada Cakka? Apakah ia harus menyalahkan Cakka atas rasa sakit hatinya? Alasannya apa? Apakah karena Cakka keren, tampan, jago basket, memiliki postur tinggi, dan berhidung mancung? Apakah karena itu? Sungguh semua ini bukan salah Cakka. Dalam kasus ini hanya Agni yang jatuh cinta, tidak dengan Cakka. Agni mengalami cinta diam-diam dan konsekuensinya ia harus dalam diam merasakan sakit hatinya. Bukankah seperti itu cinta diam-diam?
            Hangat.... perasaan itu yang Agni rasakan saat air matanya menetes. Bukankah ini sungguh konyol?!! Astaga... Agni menangis karena melihat kebersamaan Cakka dan Ashilla. Ini bukan pertama kalinya Agni melihat hal seperti ini. Seharusnya hatinya sudah kebal bukan?
            “Bodoh, Ag, bodoh. Tutup hatimu. Sedetikpun Cakka tidak akan melihatmu,” ujar Agni pelan dan kemudian meninggalkan tempat persembunyiannya. Untuk apa ia berlama-lama di sini? Lebih baik di pergi bukan?

******

Ify tidak berani untuk mengangkat wajahnya. Ia tahu sejak seseorang memilih duduk di hadapannya, sejak saat itu ia merasakan banyak pasang mata yang melihat ke arahnya. Gadis itu bertanya-tanya sejak tadi. Siapa yang sedang duduk dihadapannya.
            Bunyi sendok yang beradu dengan piring tidak membuat Rio merasa risau. Gadis di hadapannya ini tidak kunjung mengangkat wajah dari pertama Rio duduk di sini. Hei... apakah dia memiliki sakit mata sehingga membuat gadis ini tidak mengangkat wajahnya? Rio geram. Ini sudah sendok ketujuh gadis itu makan dan dari isi piring nasi gadis itu hanya berkurang sedikit sekali.
            “Cengeng,” ucap Rio untuk menarik perhatian Ify. Satu... dua... tiga... tidak ada balasan sama sekali. Ada apa dengan gadis ini?
            “Dua tahu bacem, sepotong ayam goreng, hmm... gue rasa satu sendok tumis kangkung dan satu sendok sambel.” Rio mengabsen apa yang ada di piring Ify.
            Bola mata Ify bergerak mengamati isi piringnya dan kemudian melihat isi piring di hadapannya. Lalu tanpa ia sadari Ify mengakat wajahnya dan mendapati wajah Rio dihadapannya. Seketika bola mata Ify melotot seakan ingin keluar. Ia kenal wajah ini. Apalagi ditambah dengan luka-luka kecil serta lebam di sana-sini.
            “Akhirnya diangkat juga wajahnya,” ucap Rio dan tersenyum lebar.
            Ify tertegun. Wajah tersenyum Rio tiba-tiba membuatnya merasa hangat. Namun, Ify tidak menunjukkan raut wajah apapun selain datar. Ia tahu laki-laki ini. Laki-laki yang dihajar tadi siang.
            “Aku nggak bilang siapa-siapa kok. Beneran,” ujar Ify cepat-cepat. Bagaimana bisa ia lupa mengatakan hal ini? Alasan pertama laki-laki ini memilih duduk di hadapannya adalah untuk menagih janji agar dirinya tidak membocorkan perihal kejadian di halaman belakang Gedung F mengingat peraturan Pearl School yang sungguh ketat.
            “Jaket. Hmm.... bukan rok apalagi dress tetapi celana panjang dan gue tebak pasti lo pakai baju kaos biasa. Tipikal cewek tomboy. Yang gue heran sih kenapa lo tadi siang nangis?”
            Raut wajah Ify berubah menjadi terperangah. Sendok makannya sudah  terletak begitu saja di bagian nasi. Dia tidak percaya apa yang diucapkan laki-laki di hadapannya ini????!!! Dia tomboy??!! Dia cengeng???!!! Dan laki-laki berkacamata di depannya ini tidak membalas apa yang ia ucapkan.
            “Hmm.... kalau cewek tomboy biasanya bantu ngehajar,” ucap Rio sembari memperbaiki letak kacamatanya. Mata minus bukan pilihan Rio dan ini karena dulu ia sering melihat laptop tanpa kacamata pelindung. Apalagi dia sering menggunakan laptop dalam waktu yang lama.
            “Maaf. Aku beneran nggak bilang siapa-siapa soal kamu dikeroyok. Aku juga langsung pergi saat mereka udah keluar dari gerbang.” Ify mencoba menjelaskan apa yang ia lakukan tadi siang dan laki-laki ini tidak menjawab sama sekali. Please... Ify mau kabur dari situasi seperti ini. Dia tidak menyukainya apalagi beberapa pasang mata masih menatap sesekali ke arah mereka dan dia juga mendengar bisik-bisik meskipun tidak begitu jelas.
            “Sungguh. Aku nggak melapor ke satpam, nggak cerita ke teman, dan nggak bilang sama guru. Beneran,” tambah Ify cepat ketika mendapati laki-laki itu menatap intens ke arahnya. “Stop... jangan natap aku seperti itu,” ucap Ify pelan. Sangat pelan. Nyaris saja Rio tidak mendengarnya.
            Hahaha... tawa Rio meledak. Gadis ini sungguh lucu. Dia tahu bahwa gadis dengan gaya tomboy tetapi cengeng ini tidak melapor perihal kejadian tadi. Jika iya pasti dia sudah dipanggil ke ruang konseling. Walaupun masih dalam waktu libur, jika sudah berada di lingkungan sekolah maka peraturan tetap berlaku.
            Dahi Ify berkerut. Dia heran mengapa cowok itu tertawa? Rasa tidak suka merayap ke dalam hatinya. Dia tidak suka ditertawakan saat dirinya tidak tahu apa alasannya.
            Melihat raut wajah sebal dari gadis di hadapannya ini membuat Rio berusaha menghentikan tawanya. “Maaf...,” ujar Rio dan sedikit lega karena raut wajah gadis di hadapannya sudah kembali datar, meskipun dia lebih suka melihat raut wajah kesal gadis itu. Mata menyipit dan ujung bibir yang tertarik sedikit ke atas yang menimbulkan kesan sinis.
            “Gue nggak benar-benar niat ngetawain lo kok, Ceng...” sebisa mungkin Rio menormalkan wajahnya. Tidak mungkinkan dia tertawa lagi saat gadis di hadapannya ini terang-terangan mendengus kesal. “Ehem... gue Rio. Lo siapa?”
            “Alyssa Raifyna,” ucap Ify.
            “Ehem... Raif?”
            Ify melotot. Kenapa Rio selalu membuatnya ingin melotot saat mendengar ucapan cowok itu?? “Ify aja.”
            “Ok, Ify aja.”
            Ck... Ify menggelutukan kedua giginya. Dia semakin kesal dengan yang namanya Rio-Rio ini. “Ify. Nggak pake aja.”
            “Iya ya. Masih laper, Fy?”
            “Iya,” sambar Ify. “Kalo kamu nggak ada urusan lagi sama aku kecuali meledek padahal kita baru kenal lebih baik kamu pergi. Aku risih diliatin orang-orang. Memang kamu siapa sih?”
            Rio senyum-senyum mendengar ucapan Ify. Gadis ini lucu juga. “Fy... buka mulutnya. Katanya laperkan?” Rio mengarahkan sendok makannya yang sudah berisi potongan tempe dan sambal serta nasi.
            Terperangah. Itu yang Ify lakukan. Apakah Rio sakit jiwa? Cepat-cepat ia menggeleng.
            “Kenapa?”
            “Aku nggak suka tempe.”
            “Oh...” Rio bergumam seraya mengangguk-nganggu. “Nah kalo ini?” Sendok Rio kini telah berganti isinya dengan potongan ayam dan sambal serta nasi.
            Ify masih menggeleng.
            “Kenapa lagi?”
            “Itu sendok kamu. Lauk dari piring kamu dan kamu sendiri harus memakannya. Aku bisa makan dari piringku sendiri.”
            “Oh...” Rio melahap makanan yang ada di sendoknya dan kemudian ia mengambil sendok makan Ify dan mengisinya dengan potongan ayam dan tahu serta sambal dan juga nasi. “Sekarang nggak ada alasan lain lagi untuk kamu menolak aku suapin,” ucap Rio final dan tegas sehingga membuat Ify sontak melototkan matanya dan terperangah.
            “Makan, Fy, jarang-jarang aku nyuapin orang,” ucap Rio lembut namun bola mata dibalik kacamata itu menatap tajam ke arah Ify. Mau tak mau membuat Ify membuka mulutnya dan menerima suapan dari Rio.
            “Bagus,” ujar Rio dengan senyuman lebarnya. “Masalah tadi siang jadi rahasia kita, Oke, Ify Cengeng?”
            Ify mengangguk seraya masih mengunyah makannya. Makan malam ini adalah anugerah atau bencana. Ify tidak mengetahuinya karena sejak makan malam itu perlahan-lahan kehidupan sekolahnya mulai berubah. Namun sayangnya perubahan itu justru membuat Ify merasa was-was. Ia takut sesuatu yang ditakutinya akhirnya kembali terulang. Dia takut.


BERSAMBUNG KE TIGA...
Terima kasih karena sudah membaca :)
S Sagita D

0 comments:

Posting Komentar