Ada yang nungguin ini cerbung ya?? Maaf kalau telat nge-post, rencananya emang mau nge-post tanggal 13, tapi apa daya gue kalah start ambil laptop dari kakak gue yang 'super sibuk'. Super sibuknya mesti pake tanda kutip. Dia mau ngasih ini laptop, jam dua pagi. Gue mah setuju aja. Lagian berhubung gue harus 'temanan' sama buku TAP MPR, karena mau uji materi LCC gue ngapalin tuh buku dan kesiangan. Parah nggak tahu. Sekali lagi minta maaf ya karena telat.
Warning ::
1. Ceritanya nggak bagus, maaf. Udah nunggu, tapi kecewa sama jalan cerita, mohon maaf ya. Di sini Rio Ify pacaran. Berhubung gue nggak pernah pacaran ya jadii....gue nggak tahu deh, gimana pacaran itu. Jadi ceritanya kaku. *ketauanngenesnyakagakpernahpacaran* Gue-nya juga nggak mau pacaran sih. Ribet.
2. Jalan ceritanya berdasarkan curhatan-curhatan yang gue terima dari teman-teman gue yang sering galau itu lho. Gue kan 'tong sampah' tempat orang curhat.
3. Maaf sekali lagi kalau ceritanya jelek.
And the last, Happy Reading!!!
Cinta Gue itu, Elo!! Part 7
Sudah yang ke-2050 kalinya mungkin, Ify menatap bangku kosong di
sebelahnya itu. Tetap sama, sejak dia pergi dari 5 hari yang lalu dengan izin
dan tertulis menghadiri undangan untuk manggung di Surabaya. Bangku itu masih
rapi dan tetap begitu saja. Biasanya, bila Ify menoleh ke kanan, maka ia akan
mendapati dia yang tersenyum kepadanya. Ify mengingat itu dengan jelas. Namun,
sejak seminggu yang lalu pula, jika ia menoleh ke kanan bukan senyum itu yang ia
dapatkan, ia akan melihat Irva yang fokus menatap papan tulis di depan.
Soalnya, Irva duduk persis satu meter dari bangku kosong itu bersama Rizky.
Ify menghela
nafas sejenak. Gadis manis berdagu tirus itu menatap hampa bangku di sebelahnya.
Serasa ada yang kurang, bila tidak melihat dia.
R-I-O. Tanpa
disadarinya, Ify membiarkan tangannya menuliskan nama itu. Pemuda hitam manis
yang pernah meminta dirinya untuk menjadi orang terdekat bagi pemuda itu. Hanya
saja dengan bodohnya, Ify menolaknya dengan alasan yang tidak logis pula, ‘ia
dan pemuda itu tidak pantas’. Padahal, Ify sadar kalau Rio tidak memintanya
menjadi kekasih pemuda itu. Rio baru memintanya untuk menjadi orang terdekat.
Tetapi, bukankah itu menunjukan kalau Rio menganggap Ify sebagai orang
terpenting dalam hidupnya??
Dengan segera Ify
kembali fokus menatap papan tulis. Ia tidak mau kepergok tengah menatap bangku
Rio yang kosong. Yang artinya nanti, ia akan dianggap menyukai Rio dan sedang
rindu terhadap pemuda itu. Walaupun itu semua benar, namun cukup dirinya yang
tahu. Tak perlu mengundang orang lain untuk mengetahuinya. Paling tidak untuk
saat ini.
*************
“Fy, lo ngapain liatin bangku Rio mulu?” tanya Agni
dengan wajah meledeknya. Jenaka.
“Nggak!” bantah Ify cepat dan ia menggelengkan kepala
kuat-kuat untuk menambah kesan yang lebh menyakinkan. Namun, sepertinya
usahanya itu sia-sia.
“Nggak salah lagi ya, Fy?” ganti Via yang meledeknya.
Aish…..kenapa belakangan ini ia dipenuhi dengan orang-orang yang suka meledek
dirinya.
“Itu bukan bangku Rio kali,” ujar Ify dan dengan
dagunya menunjuk bangku yang ditempati Cakka, Alvin dan Gabriel. Sebuah meja
panjang dengan dua buah bangku yang panjang pula di kedua sisinya. Ini berarti,
Ify, Agni dan Via lagi di kantin.
“Tuh kan bener…..lo lagi mikirin Rio. Jangan dibantah
dulu,” goda dan peringat Via cepat ketika ia melihat gelagat Ify yang mau
protes. “mata lo dari tadi meratiin bangku itu, Fy. Pasti lo juga nyadarkan,
kalau ada Alvin, Gabriel sama Cakka pasti ada Rio maka dari itu lo ngeliatin
bangku itu. Lo coba membayangkan sosok Rio ada di sana,” lanjut Via. Air
mukanya serius, berarti dia lagi tidak bercanda. Via sendiri menyadari kalau
Ify menyukai Rio. Dia sudah lama memperhatikan sohibnya itu. Sejak SMP, ada
yang lain dari mata Ify saat ia melihat Rio. Berulang kali Via mendapati Ify
bersikap seperti itu. Namun dia memilih diam, karena dia tahu Ify butuh waktu
dan privacy. Ia hanya akan mendukung Ify.
“Via bener, Fy. Gue setuju sama argument Via. Lo suka
sama Rio,” ucap Agni blak-blakan. Ify terkesiap dan ia langsung menundukan
kepalanya kemudian menggeleng lemah.
“Nggak perlu bohong lagi, Fy. Gue udah ngerasain ini
dari lama. Jauh sebelum Shilla menyatakan dirinya menyukai Rio,” ucap Via.
“Tapi, Vi. Gue nggak mungkin bisa sama Rio. Dia itu
artis terkenal dan gue bukan siapa-siapa. Nggak matching banget,” balas Ify
lemah.
“Apa karena itu lo dukung Shilla selama ini?? Menurut
lo, Shilla lebih pantes sama Rio karena dia model?” tanya Agni dan menatap
sohibnya itu. Ia menunggu jawaban Ify. Agni tak rela bila Ify berpikiran sempit
seperti itu. Cinta didasarkan pada penampilan. Tidak adil!! Yang cantik sama
yang ganteng. Yang kurang beruntung karena tidak cantik sama yang sejenisnya.
Sungguh tidak adil. Cinta tidak seperti itu. Cinta bebas untuk siapa saja
dengan siapa pun. Karena cinta itu rasa. Ikatan hati. Kecocokan dua hati dan
kenyaman yang dirasakan pemiliknya.
Ify tidak perlu berkelit lagi. Sudah cukup dia
menyimpan rasa ini sendirian. Sudah waktunya ia berbagi. “Iya, Ag. Gue ngerasa
harusnya gue nggak jatuh cinta sama Rio. Karena gue sama dia beda. Ibarat pucuk
sama akar,” ucap Ify lirih.
Agni dan Via menggelengkan kepalanya. “Fy….harusnya
lo nggak kayak gitu. Lo bebas mencintai siapa saja, termasuk Rio. Nggak salah
kalo lo suka sama Rio. Seharusnya lo berjuang untuk rasa lo. Kali-kali aja Rio
suka sama lo juga,” ujar Agni.
“Tapi, Shilla?” tanya Ify ragu. Ia tidak mau
bertengkar dengan Shilla hanya karena masalah cowok. Persahabatan hancur karena
cowok. Nggak adil. Terlalu bodoh. Lebih baik ada yang mengalah. Dan untuk
kasusnya sama Shilla, sepertinya
dirinyalah yang harus mengalah.
“Shilla itu cuma terobsesi sama Rio. Dia nggak
benar-benar suka sama Rio, Fy. Percaya sama gue. Kadar Shilla suka sama Rio
itu, sama kayak Shilla suka Justin Bieber-nya itu.” Agni menjawab pertanyaan
bodoh yang terlontar dari sahabatnya itu.
“Ify….nggak salah kalau lo suka sama Rio. Itu fitrah.
Yang salah itu kalo lo suka sama…..” ucap Via sambil menatap Agni dari ujung
kaki hingga kepala dan tak lupa sebelah alisnya terangkat ke atas. Agni sudah
memandang Via dengan ekspresi tak enak.
“Kenapa lo liat-liat gue gitu, Vi?” tanya Agni
was-was. Ia sudah mengira apa yang bakalan terjadi.
“Yang salah itu kalo lo suka sama AGNI, Ify,” jawab
Via dengan wajah polosnya. Bak anak kucing yang mencuri ikan, namun ia
berpura-pura tak tahu.
“VIIIIIAAAA…….,” teriak Agni kesal. Ify tertawa.
“Kalau itu mah nggak mungkin. Langsung gue sodorin
aja Agni sama lo, Vi,” ganti Ify yang meledek Agni.
“Gue juga ogah, Fy. Terus kasih sama siapa ya?” ucap
Via dengan gaya sok mikirnya. Mikirin pelajaran aja jarang J.
“Aha…..gue tahu, Via,” ujar Ify dan memberik kode
sama Via. Via mengerti apa yang dimaksud Ify.
Sedangkan Agni, dia sudah mengirimkan paket wajah
garang dan kesalnya lewat post kilat. “Apa?? Jangan sampai lo berdua neriakin
nama itu. Awas ya…..” ancam Agni.
Ify dan Via kompak nyengir lebar. “Kita kasihin aja
Agni sama Cakka. CAKKA…….AGNI BUAT LO AJA!!!!!!” teriak Ify dan Via kencang dan
kemudian mempraktekan jurus andalan si Kancil yang cerdik. Lari seribu langkah
alias kabuuurrrr………
“Awas ya lo berdua!!!” seru Agni dan mengejar kedua
sohibnya. Sementara Cakka yang mendengar namanya disebut-sebut menoleh ke
sumber suara dan tak lupa orang-orang di sekitar mereka juga. Cakka mendapati
bahwa gadis pujaannya berwajah kesal dan sedikit memerah. Kemudian ia menatap
Agni yang berlari mengejar Via dan Ify yang terburu-buru lari keluar dari area
kantin.
*************
Alvin mendapati dirinya menangkap sosok seorang gadis
yang tengah duduk di bangku taman dan
menatap ke depan dengan pandang menerawang. Alis Alvin terangkat sebelah. Ia heran
dan merasa tidak percaya. Soalnya di tidak pernah melihat gadis itu seperti
ini. Hal ini sesuatu yang baru dan bisa dibilang langkah.
Lagi Alvin tertegun dibuat gadis itu. Sudut mata
gadis itu mengeluarkan setitik air bening dari matanya. Apa benar gadis itu
habis menangis?? Ia melangkah dan mendekati gadis itu. Dan kemudian duduk di
sebelahnya.
“Lo kenapa, Shill?” tanya Alvin to the point saat ia
sudah benar-benar duduk di sebelah Shilla.
Shilla menolehkan kepalanya ke kanan dan mendapati
Alvin yang kini tengah menatapnya penuh kebingungan. “Gue nggak apa-apa kok,
Vin,” jawab Shilla berdusta.
Alvin tersenyum lembut. Ia tahu Shilla bohong. Saat
ini ia ingin Shilla benar-benar bercerita masalah yang sedang mendera gadis
itu. Karena Alvin ingin menjaga gadis itu. Sebab, ia menyukai gadis bernama
Ashilla Zahrantiara. Walapun jelas-jelas ia mengetahui gadis di sebelahnya ini
menyukai sahabat dekatnya sendiri.
Shilla tiba-tiba membeku. Tidak tahu kenapa ia
merasakan jantungnya berdesir hebat saat
melihat Alvin tersenyum kepadanya. Senyum Alvin itu seakan berhasil
menghipnotis dirinya untuk tetap menatap senyum menawan itu.
“Cerita dong, Shill. Gue bersedia kok dengerin
curhatan lo,” ucap Alvin dan menatap Shilla dikedua manic matanya.
Mata Shilla tak tahan membalas tatapan mata Alvin.
Jantungnya berdegup dengan keras. Rasa ini baru pertama kali ia rasakan. Sangat
berbeda dengan apa yang ia rasakan saat melihat Rio. Seakan terhipnotis Shilla
mengangguk.
Senyum manis Alvin kembali tercetak diwajah tampan pemuda
keturunan Chinese itu. kemudian ia mengelus puncak kepala Shilla penuh rasa
sayang. Ia sungguh senang karena Shilla mulai membuka diri untuk dirinya.
“Jadi, mulailah bercerita,” ujar Alvin.
“Gue merasa bersalah banget sama Ify, Vin. Gue
benar-benar udah keterlaluan sama dia. Gue nggak mikirin perasaan Ify. Gue
egois, Vin,” ucap Shilla memulai ceritanya.
“Acha luka karena gue dorong. Hanya karena Acha
sukanya Rio jadi pacar Ify. Gue terlalu emosi kemaren, Vin. Gue juga udah
ngata-ngatain Ify dengan keterlaluan. Gue ngerasa bersalah banget. Padahal gue
udah lama dekat sama Ify. Ini pertama kalinya gue sama Ify berantem. Dulu-dulu
Ify selalu ngalah sama gue. Via dan Agni juga gitu. Gue egois ya, Vin?”
Alvin mengangguk. Ia harus jujur, agar gadis di sampingnya
ini menyadari kesalahan yang ada pada dirinya. Bukannya membela, menyatakan
Shilla tak bersalah. Karena itu hanya akan membuat Shilla semakin celaka.
“Gue nyesal udah ngata-ngatain Ify yang nggak-nggak.
Bahkan, Ify nggak balas ngata-ngatain gue juga. Gue jahat, Vin. Gue benar-benar
egois. Gue bodoh. Gara-gara salah paham gue hancurin persahabat gue. Gue bodoh,
Vin. Bodoh…..” ucap Shilla dengan suara bergetarnya. Tubuh Shilla terguncang
dan ia menangis.
“Gue kangen sama mereka, Vin,” ucap Shilla lirih dan
air matanya semakin mengalir. Alvin tak kuasa melihat Shilla seperti itu.
Kemudian ia merengkuh Shilla dan menyederkan kepala Shilla ke dadanya,
membiarkan Shilla menangis.
“Lo memang salah, Shill sama mereka. Dan nggak ada
salahnya kalau lo minta maaf sama ketiga sohib lo, pasti mereka mau memaafkan
lo, Shill,” ucap Alvin.
Merasakan kepala Shilla yang menggeleng, Alvin
menghela nafas. “Ng….nggak….Vin. Mereka udah nggak butuh gue. Lihat aja mereka
tetap senang-senang tanpa gue,” ucap Shilla dan teringat peristiwa di kantin
tadi. Ia merasakan kalau Ify, Via dan Agni sudah tak membutuhkan dirinya.
Shilla merasakan kesepian. Coba ia tidak lagi bertengkar dengan mereka, pasti
Shilla juga akan ikutan dalam aksi heboh ketiga sohibnya. Apalagi Ify juga
sudah tidak begitu pendiam. Ia rindu dengan kebersamaan mereka.
“Mereka bertiga nggak bersinar begitu terang lagi,
Shill. Karena lo nggak di sana. Sesenang-senangnya mereka, rasa senang itu
tidak sama saat lo ada. Kalian berempat sudah ditakdirkan untuk bersama. SISA.
Sivia, Ify, Shilla dan Agni. Bukankah kalian sudah bersama sejak lama??”
Shilla menarik kepalanya dari dada Alvin. Tangisnya
sudah mereda dan ia menatap Alvin dan mengangguk. “Tapi, Vin. Gue nggak yakin
kalau mereka bakal mau sahabatan sama gue lagi,” ujar Shilla.
Alvin menarik tangan Shilla dan menggenggamnya. Ia seakan tak perduli
dengan jantung gadis itu yang tiba-tiba menjadi seperti digoncang-goncang gempa
bumi dengan kekuatan 8,9 skala ricther. “Persahabatan, Shill. Keluarga yang dipilih. Lo kenal mereka dari yang lo sadari.
Harusnya lo yakin kalau mereka bakalan nerima lo lagi dan memaafkan lo. Asalkan
lo benar-benar minta maaf dan berubah. Semua ini mereka lakukan karena mereka
sayang lo, Shill. Ingin lo berubah menjadi lebih baik. Sahabat mengungkapkan
yang sebenarnya. Bukan hanya manis diluar saja. Ia akan mengatakan yang
sebenarnya untuk kebaikan kita walaupun itu menyakitkan bagi kita,” ucap Alvin
lembut.
Shilla tertegun. Alvin benar. “Gue harus minta maaf,”
gumam Shilla dan kemudian ia tersenyum ke arah Alvin.
Alvin terpesona. Ini yang dia suka. Saat gadis ini
tersenyum. “Nah gitu dong, kan lo cantik dilihat,” puji Alvin.
“Gombal lo,” balas Shilla dan memalingkan wajahnya.
Ia tak mau kalau Alvin melihat wajahnya yang memerah. Shilla jadi teringat
ucapan Agni. Agni memang benar, ia hanya terobsesi dengan Rio. Bukan suka. Ia
hanya fans Rio yang terlalu fanatic hingga jadinya ia ingin memiliki Rio. “Agni
benar,” gumam Shilla tanpa sadar.
“Agni benar apa, Shill?” tanya Alvin yang memecahkan
lamunan Shilla.
“Eh….” ceplos Shilla.
“Cerita dong, Shill,” pinta Alvin dengan nada manja.
Shilla tertawa renyah.
“Agni benar kalau gue cuma terobsesi sama Rio. Gue
bukan suka sama Rio. Hanya obsesi dan kini gue rela Rio mau sama siapa saja,
termasuk Ify. Karena gue sadar gue sedang suka sama….eh….” ucap Shilla dan
menutup mulutnya secara tiba-tiba. Kalau tadi ia tidak sadar, maka ia akan
berkata kalau dia suka sama pemuda sipit di sebelahnya ini. Ternyata jatuh
cinta itu seperti ini, batin Shilla. Ntah kenapa ia begitu cepat merasakan
jatuh cinta.
“Hayo suka sama siapa?” tanya Alvin.
Shilla menggeleng kuat-kuat. “Nggak kok, benar-benar
nggak,” kilah Shilla panic.
Alvin terkekeh pelan, ia mendekati wajah gadis itu
dan menatap dalam wajah panic di depannya. Jantung Shilla berdegup kencang dan
wajahnya memerah. Alvin tertawa geli dalam hati. Ia tak perlu repot-repot lagi
mencari tahu siapa laki-laki beruntung yang disukai Shilla. Jelas-jelas
jawabannya ada di depan matanya.
Kemudian Alvin menarik wajahnya untuk menjauh.
Diam-diam Shilla bernafas lega. Ia selamat. Kalau Alvin tidak akan menjauh, dia
tidak tahu bagaimana reaksi yang bakalan ia lakukan.
“Thanks ya, Vin untuk semuanya,” ucap Shilla
malu-malu.
Alvin mengangguk sebagai tanda jawaban ya. “Jangan
lupa lo minta maaf,” pesan Alvin. Ganti Shilla yang mengangguk. Alvin berdiri
dari posisi duduknya. Kemudian ia menglurkan tangannya ke Shilla. “Ayo kita ke
kelas sama-sama,” ajak Alvin.
Shilla mengangguk malu-malu dan kemudian menyambut
uluran tangan Alvin. Keduanya pun melangkah menuju kelas mereka.
*************
Langit semakin
berwarna jingga. Matahari pun hampir menghilang dari penampakan. Seorang pemuda
baru saja turun dari motornya, kamudian ia membawa langkahnya dengan
tergesa-gesa memasuki area taman yang sudah sangat ia hapal itu. Sore ini taman
itu tampak sepi. Jelas sepi, karena orang-orang pasti memilih untuk tidak
mampir bila sudah sore karena taman ini jauh dari pusat keramaian.
Rio benar-benar
tak bisa menahan dirinya lebih lama lagi. Bayangkan gadis itu selalu memenuhi benaknya. Kemarin baru saja
satu hari ia tidak melihat gadis itu, Rio menjadi awut-awutan. Ia merasakan ada
yang kurang. Apalagi seminggu, dia benar-benar sudah sangat rindu dengan gadis
itu. Padahal gadis itu bukan keluarganya, bukan pula kekasihnya. Tetapi, gadis
itu pemilik relung hati Rio.
Saat ia baru saja
turun dari bandara dan memastikan jadwalnya kosong untuk sore ini hingga dua
hari ke depan, Rio segera meminta sopir yang menjemputnya untuk mengantar
dirinya pulang. Namun, Rio tak langsung istirahat, tapi ia mengambil kunci motornya
dan kemudian pergi. Dan di sinilah dirinya saat ini. Taman favorite-nya juga
gadis itu. Rio yakin tidak ada tempat yang mampu membuat Rio bisa menyampingkan
rindunya selain taman ini. Ya, hanya taman ini yang mampu membuat Rio sedikit
mengurangi rasa rindu itu. Karena di taman ini, bayangkan gadis itu tampak
jelas seakan nyata.
Rio menepaki
jalan kecil menuju bangku favorite-nya juga gadis itu dengan terburu-buru. Ia
tak mau menghabiskan waktu lebih lama lagi. Ia benar-benar merindukan gadis
itu. Rindu dengan suaranya, lekuk wajahnya yang diam-diam Rio lihat melalui
sudut ekor matanya. Terlebih-lebih tawa renyah gadis itu. Rio sangat
merindukannya.
Ketika ia sudah
dua meter dari bangku kesukaannya, Rio tertegun dan tidak menyangka. Gadis yang
dia rindukan ada di sini. Duduk di tepi kolam dengan kaki yang dibiarkan
tenggelam dalam air kolam yang tampak berwarna hijau.
Jantung Rio
berdesir. Rasa rindu itu semakin menjadi-jadi takkala melihat sosok gadis itu.
Rio benar-benar merasakan senang. Ia menjadi yakin kalau Ify adalah takdirnya.
Ify is his destiny. Rio semakin berjalan mendekati Ify. Saat ia berjarak 50
meter dari Ify dalam posisi berdiri ia menyuarakan nama gadis itu. “Ify,” desis
Rio.
**********
Ify benar-benar
bingung dengan dirinya. Dari pagi tadi hingga sekarang ia terus
terbayang-bayang dengan Rio. Ia selalu ingat Rio. Wajah pemuda itu dan
senyumnya. Ify benar-benar merindukan Rio. Tanpa Rio, ia merasakan sesuatu yang
kurang.
Saat bel pulang berbunyi dengan nyaringnya, Ify
segera ingin pulang. Ketika Agni dan Via mengajaknya untuk pergi ke mall, Ify
langsung menolak dengan alasan menjemput Acha. Padahal, Acha sudah dijemput Pak
Oni dan Ify sudah meminta supirnya itu untuk tidak menjemputnya karena ia ingin
pergi ke suatu tempat. Tempat yang dapat membuatnya menjadi lebih tenang dan
lebih baik.
Ya benar saja, Ify pergi ke taman favorite-nya.
Sekitar pukul tiga sore begini taman itu tampak ramai banyak orang-orang
memadati taman ini sekedar untuk refresing. Taman ini benar-benar menyejukan.
Saat Ify menginjakan kaki di taman ini, ia segera berjalan menuju tempat
favorite-nya. Bangku yang ia duduki secara bergantian bersama Rio. Lagi-lagi
Rio. Ify benar-benar tidak bisa melepaskan bayangan Rio dalam benaknya.
Saat dirinya sudah duduk di bangku itu, Ify menatap
pemandangan yang terhampar di depannya. Ada yang kurang, benar-benar ada yang
kurang. Pemandangan itu tak seperti yang ia lihat saat ia bersama Rio. Juga tak
sama saat ia pergi ke sini sendirian ketika ia belum mengetahui kalau Rio juga
sering ke taman ini. Rasa itu sungguh berbeda. Dia tidak menemukan rasa itu
lagi. Kemanakah rasa itu??
Bayangan Rio yang duduk di sebelahnya memenuhi kepala
Ify. Rio yang sedang tersenyum dan wajah dingin Rio. Dia ingat wajah Rio saat
kejadina bakso itu, Ify inagt Rio memandangnya seperti gadis aneh, namun Ify
tidak mempermasalahkan itu. Dadanya semakin sesak, dirinya benar-benar
diselimuti kerinduan.
Ify pindah posisi. Ia melepaskan sepatu dan kaos
kakinya kemudian mencelupkan kakinya ke dalam kolam yang berada di depannya. Ia
membiarkan koi-koi yang cantik itu mendekati kakinya. “Gue benar-benar rindu
sama lo,” gumam Ify.
Mata Ify menatap koi-koi yang berwarna-warni itu.
“Gue ingin banget lo ada di sini. Gue tahu gue bukan siapa-siapa lo. Tapi nggak
salahkan kalo gue rindu sama lo?” gumam Ify lagi. Ia berkata sendiri. Tapi
bukan untuk dirinya. Akhirnya gadis manis itu memilih untuk mengamati kolam
dengan koi-koi yang berebutan mendekati kakinya.
*************
“Ify,” desis suara seseorang. Ify benar-benar kaget
saat ia mendengar desisan suara seseorang menyebut namanya. Sejak setengah jam
yang lalu ia duduk termenung sendirian sambil menatap kolam, ia tahu kalau dia hanya sendirian di wilayah
ini. Tapi tiba-tiba seseorang menyebut dirinya, Ify jadi bingung. Saat ia
mengangkat wajahnya, ia mendapati pantulan wajah seseorang yang sendari tadi
memenuhi benaknya. Wajah itu benar-benar tergambar pada permukaan kolam. Bentuk
wajahnya, rambutnya, tulang pipinya dan semuanya benar-benar sama.
Kemudian Ify menoleh ke belakang dan mendapati kaki
seseorang. Lalu ia mengakat wajahnya ke atas dan ia mendapati Rio yang berdiri
di belakangnya. “Rio,” ucap Ify pelan dan lemah.
Rio yang berdiri di depan Ify tersenyum lega. Ia
mengira Ify hanya bayangannya. Hanya bayangan yang terproyeksi nyata dari
matanya. Untunglah semua itu salah, Ify benar-benar nyata. Gadis yang telah
memenuhi pikirannya selama lima hari terakhir ini, benar-benar nyata berada di
dekat dirinya. Dengan segera Rio melepaskan sepatunya dan menggulung celana
jeansnya hingga lutut dan ia mengambil posisi duduk tepat di sebelah kiri Ify.
“Jadi apa kabar lo, Fy?” tanya Rio. Ini bukan
pertanyaan basa-basi. Ia benar-benar ingin tahu bagaimana keadaan Ify. Ia tak
mau ada sesuatu yang terjadi terhadap Ify.
“Baik kok, Yo. Lo gimana?” tanya Ify balik. Rio
mengangguk pertanda ia baik-baik saja. Canggung, itu yang dirasakan keduanya.
Baik Ify maupun Rio tidak tahu mau memulai berbicara apa. Padahal mereka berdua
tidak ada masalah, bahkan merekakan tidak ada hubungan pacaran. Kenapa bisa
merasa canggung??
Sepertinya keduanya bingung karena rasa rindu itu
semakin utuh. Mereka tidak tahu bagaimana cara menghilangkan rasa rindu itu,
padahal orang yang dirindukan telah ada di dekat masing-masing. Rio rindu Ify
dan Ify rindu Rio.
Rio hanya duduk diam di samping Ify. Pemuda itu
menatap gadis di sebelahnya dengan begitu teliti. Bagaimana bentuk rambutnya,
wajahnya dan garis mukanya. Ia seakan-akan ingin mengabadikan itu semua dalam
benaknya. Karena dengan cara itulah, ia dapat melenyapkan sedikit rasa rindu
itu. Rio sadar, setelah lebih dari seminggu ia tidak bertemu Ify, ada sesuatu
yang salah dengan dirinya dan ia sangat ingat betapa ia ingin sekali melihat
Ify dari dekat. Ia tahu, kalau dirinya
sangat merindukan Ify.
"Fy, boleh gue nanya sesuatu nggak?" tanya
Rio. Akhirnya salah satu dari keduanya memcahkan keheningan yang hampir
membunuh itu.
Ify menoleh ke arah Rio dan kemudian mengangguk.
"Mau nanya apa, Yo?"
Alih-alih menjawab Rio malah menatap Ify. "Waktu
gue berada di tempat yang jauh, Fy. Pada saat itu juga, gue ingin sekali
melihat dia. Ingin lihat tawanya, senyumnya, bentuk wajahnya. Ingin mendengar
suaranya. Gue benar-benar hampir nggak mampu membendung semua keinginan
itu," cerita Rio. Lalu ia menghela nafas sejenak. "Hingga saat ini
gue masih merasakan seperti itu. Padahal jarak gue dan dia udah dekat. Seperti
inikah yang namanya rindu ya, Fy?" tanya Rio.
Ify terpaku mendengar penuturan Rio. Tidak mungkin
Rio tak mengerti makna rindu. Sungguh mengherankan bila Rio benar-benar tak
tahu. Daripada memperpanjang persoalan, Ify mengangguk. "Bener, Yo. Itu
yang namanya rindu. Berarti lo lagi rindu sama seseorang."
"Rindu ya....rindu..." gumam Rio.
"Kalo menurut lo, Fy. Kalau rindu itu lebih baik diucapkan sama orangnya
atau kita pendem aja?" tanya Rio lagi.
Tiba-tiba Ify merasakan sesuatu yang janggal dalam
hatinya. Ia merasakan sesuatu yang tak nyaman manakala tahu Rio rindu dengan
seseorang. "Kalau gue pribadi ya, Yo. Gue milih ungkapin rasa rindu gue,
biar nggak terlalu lama nyesek. Biar hati gue plong. Biar gue nggak penasaran,
mungkin-mungkin aja dia juga rindu," jawab Ify. Naïf. Kata yang sesuai
untuk Ify saat ini. Bahkan gadis itu
tahu kalau dirinya menjadi naïf. Bagaimana bisa ia berkata seperti itu?? Sedangkan
dirinya bertindak kebalikannya.
Tanpa Ify sadari Rio tersenyum sekilas.
"Diungkapin ya, Fy?" gumam Rio. Ify yang mendengarnya hanya
mengangguk. Ia tahu akan ada saatnya dia
merasa sakit karena mencintai pemuda ini. Apalagi Rio tak tahu kalau dia
mempunyai rasa yang spesial untuk pemuda itu.
Rio menatap pemandangan yang terhampar di depannya.
Masih tetap sama, namun kini terasa lebih indah bagi dirinya. Rio mengalihkan
pandangnya dan kini melihat Ify. Gadis itu diam. Bukan cuma sekali atau dua
kali Rio bertemu dengan Ify di taman ini. Belasan kali pertemuan tanpa
disengaja.
"Gue kangen sama lo, Alyssa Saufika Umari,"
ucap Rio merdu, tajam dan penuh partikel-partikel kerinduan dalam setiap huruf
yang terucap dari bibirnya.
Ify terkesiap. Ia kaget. Tentu saja! Bagaimana bisa
ia membuat seorang Rio rindu padanya. Ify baru saja mau menyuarakan
ketidakpercayaannya. Namun Rio memotong duluan.
"Bener, Fy. Gue bener-bener kangen sama lo.
Rindu. Gue nggak nyangka bisa bertemu elo di sini. Gue merasakan ada yang salah
saat nggak ngelihat lo," ujar Rio. Lalu ia menatap Ify. "Apa lo
merasakan yang sama?"
Ify terdiam. Ia harusnya tak menggeleng. Ia juga tahu
kalau dirinya merindukan pemuda ini. Selama ini dia merasa gelisah manakala tak
melihat Rio.
Melihat Ify yang belum menjawab juga, Rio menatap
bola mata Ify dan dia menemukan kerinduan yang terpancar jelas. Rio tak
mengerti jalan pikirannya. Tiba-tiba ia mendapati dirinya merengkuh Ify dalam
kedua lingkaran tangannya. Ia tenggelamkan wajah Ify pada dada bidangnya. Dia
sendiri menumpuhkan dagunya pada bahu Ify. "Maafin gue. Tapi gue
benar-benar kangen sama lo. Ikhlaskan sedikit waktu buat gue untuk menetralkan
rasa rindu ini. Tidak ada yang lain yang mampu mengobati rindu ini, hanya elo,
Ify. Hanya Alyssa yang mampu membuat Mario merindu," bisik Rio.
**************
"Maafin
gue. Tapi gue benar-benar kangen sama lo. Ikhlaskan sedikit waktu buat gue
untuk menetralkan rasa rindu ini. Tidak ada yang lain yang mampu mengobati
rindu ini, hanya elo, Ify. Hanya Alyssa yang mampu membuat Mario merindu,"
bisik Rio.
Ucapan Rio itu teriang-iang di telinga Ify. Bahkan
saat ini Rio masih memeluknya. Ify membiarkan Rio memeluk dirinya, ia dapat
merasakan kalau Rio benar-benar rindu kepadanya. Pelukan Rio tidak menyakitkan,
bahkan menenangkan untuk dirinya.
Ify masih terdiam dalam pelukan Rio. Ia tidak menolak
ataupun membalas pelukan Rio. Sekali lagi, ia hanya membiarkan Rio merengkuh
dirinya dalam lingkaran kedua tangan Rio yang kokoh.
Semilir angin sore menerpa wajah Rio dan ia merasakan
rambut Ify berterbangan tak tentu arah. Rio mendapatkan rasa nyaman dan lengkap
saat ia memeluk Ify. Kerinduannya memudar dan digantikan dengan rasa hangat.
Rio yakin benar, ia menyukai Ify. Tapi masalahnya
sekarang, apakah Ify memiliki rasa terhadap dirinya?? Dirinya baru saja meminta
jadi orang terdekatnya, Ify menolak. Bagaimana dengan pacaran?? Bisa-bisa Ify
cuek saja saat ia meminta Ify menjadi kekasihnya. Parahnya, nanti Ify melengos
dan kemudian pergi. Bukankah ini menyakitkan??
Tapi, berdasarkan cerita yang ia simpulkan dari
cerita Acha. Ia merasa, ia memiliki peluang. Namun, ia harus melakukan sesuatu
terlebih dahulu.
Ify bergerak dalam pelukan Rio. Ia merasa sudah cukup
Rio memeluk dirinya. Bukannya tak mau lebih lama lagi dipeluk Rio. Tapi, ia
takut kalau dirinya tiba-tiba merindukan kehangatan dalam lingkaran kokoh kedua
tangan Rio. Dan pada saat rasa rindu itu menyergap dirinya, ia takut. Ia takut
tak bisa merasakan itu lagi.
Menyadari Ify merasa risih, Rio pelan-pelan
menguraikan pelukannya walaupun sedikit tidak rela. Namun ia harus, karena ia
bukan siapa-siapanya Ify. Kenyataan bahwa Mario Stevano sang Artis Muda
hanyalah teman satu sekolah, satu kelas dan satu bangku bagi Alyssa Saufika.
"Maaf," ucap Rio lirih saat pelukan itu
benar-benar terurai.
Ify mendongakan kepalanya agar bisa menatap Rio.
Jantungnya berdegup kencang dan alirannya sungguh cepat seperti jet koster saat
matanya bertemu pandang dengan mata Rio yang penuh keteduhan itu. Membuat Ify
seakan-akan ingin menyelami dan berenang-berenang di sana.
Ify menggeleng cepat sebagai jawaban. "Nggak
apa-apa kok, Yo," balas Ify. Ia sejenak bernafas. Dengan wajah sedikit
memerah dan jantung tak kompromi terhadap dirinya. "Terima kasih,
Yo," lanjut Ify.
Alis Rio terangkat sebelah. Ia bingung. Wajar. Karena
ucapan Ify membingungkan untuk dirinya. "Terima kasih dalam rangka
apa?"
Wajah yang memerah tadi semakin menunjukan warna
merah keasliannya. Bulshing Ify ditanyai seperti itu. Ia takut, malu dan
ragu-ragu untuk memberikan Rio penjelasan untuk ucapannya. "Haruskah
dijawab?"
Rio mengangguk. "Harus kudu wajib dijawab, Fy.
Soalnya gue penasaran dan bingung," jelas Rio sambil cengiran.
Ify terpaku, lebih tepatnya terpesona saat melihat
cengiran Rio.
"Jawab dong, Fy," rengek Rio.
Ify tertawa geli dalam hati. Ternyata, Rio bisa manja
juga.
"Terima kasih karena udah kangen sama gue,"
ucap Ify cepat dan langsung memalingkan wajahnya dari Rio. Takut Rio melihat
dirinya yang malu-malu dan wajah merah noraknya.
Rio tersenyum geli. Gadis ini benar-benar.
Benar-benar membuatnya terpesona. Lantas Rio menarik kepala Ify dengan kedua tangannya.
Ia ingin melihat wajah gadis itu.
“Kenapa memalingkan wajah?” tanya Rio dan mengulum senyum saat wajah Ify
sudah berada di depannya.
“Nggak kok,
Yo. Cuma pemandangan itu bagus banget. Ya ya…bagus banget. Coba lo liat
deh,” jawab Ify terlalu riang dan membuat Rio menyemburkan tawanya. Ia tahu
kalau Ify salah tingkah. Mengetahui kalau Rio tidak meresponnya, Ify dengan
cepat menarik tangan Rio dan menunjukan pemandangan yang ia lihat. Tahu nggak
apa yang dilihat Ify? Cuma danau dengan terpaan matahari sore sehingga airnya
yang tenang berwarna jingga. Ini semakin membuat Rio tertawa dan yakin kalau
Ify memang salting. Salah tingkah.
“Baguskan, Yo?”
Rio mengangguk. “Bagus kok, Fy. Apalagi gue lihatnya
sama lo. Dua keindahan ciptaan Tuhan ada
di depan mata gue. Tapi, bagaimanapun. Lo yang paling indah,” ucap Rio dan
tersenyum lebar. Ify cuma diam mendengar ucapan Rio. Ia bingung. Ia tak tahu
harus menjawab apa.
Ify maupun Rio tidak ada yang membuka suara. Canggung
dan senyap. Suasana yang paling tidak enak. Ify bingung mau berbicara apa. Ia
takut salah bicara. Tapi, suasana tidak mengenakan ini harus segera
dimusnahkan.
“Yo, kapan lo pulang dari Surabaya?” tanya Ify pada
akhirnya.
“Hmmm….dua jam yang lalu gue baru tiba di Jakarta,” jawab Rio dan kemudian ia
melirik jam hitam yang melingkar di pergelangan tangannya. “satu jam yang lalu,
gue tiba di taman ini,” lanjut Rio.
Ify terdiam lagi. Ia menyadari kalau Rio segera
datang ke taman ini setiba Rio di bandara. Apakah Rio tidak lelah?? Tidakkah
pemuda manis itu membutuhkan istirahat??
“Kenapa….kenapa langsung ke sini kalo baru pulang?”
tanya Ify takut-takut.
Rio mengulas senyum manisnya. Apakah gadis manis di
sebelahnya ini belum menyadari juga apa alasan dirinya di sini? Ataukah
pura-pura tidak tahu. “Karena gue rindu seseorang. Orang itu sering ke sini dan
gue bisa merasakan bayangnya di sini. Hingga gue, bisa menghilangkan sedikit
rasa rindu itu. Walaupun nantinya, gue bakalan semakin rindu padanya,” jawab
Rio.
Ify menunduk. Ia bodoh. Sungguh bodoh. Salah bicara.
Tapi rasa penasarannya menuntut Ify untuk mengetahui alasan Rio merindukan
dirinya. Tapi, ia tidak mungkin menyanyakan hal tersebut. Ia tidak akan.
Tapi….tapi….ia penasaran.
“Oh iya, Fy. Sama-sama untuk ucapan terima kasih
elo,” ucap Rio.
Ify mengangguk. Ia berharap wajahnya tidak memerah.
“Iyo…….,” panggil Ify.
Alis kiri Rio terangkat. Panggilan ini, panggilan
yang ia rindukan. Terlintas kenangan saat Ify memanggilnya dengan sebutan ‘Iyo’
untuk pertama kalinya. Rio rindu saat Ify memanggilnya ‘Iyo’. Bagi Rio –yang
baru belakangan ini ia sadari, ternyata panggilan itu membuat dirinya merasa
bahwa ia menjadi yang special bagi Ify. Rio jadi terkekeh, ia jelas tidak tahu
kenapa tiba-tiba ia menyukai Ify. Ralat, ia jatuh cinta pada gadis pendiam
seperti Ify. “Kenapa, Fy?”
“Kenapa…..kenapa lo bisa rindu sama gue?” tanya Ify
takut-takut. Ify menyadari kalau Rio menatap Ify dengan begitu tajam. “Maksud
gue, kan banyak orang lain yang bisa lo rindukan. Kayak Cakka, Alvin sama
Gabriel. Mereka kan sahabat lo,” tambah Ify cepat-cepat dan buru-buru.
“Jawabannya simple, Fy. Karena lo orang yang
terpenting dalam hidup dan hati gue,” jawab Rio lugas, tegas dan jelas. Jawaban
ini benar-benar membuat Ify dag-dig-dug.
BERSAMBUNG.....
0 comments:
Posting Komentar