Cinta Gue itu, Elo! Part 7


 Ada yang nungguin ini cerbung ya?? Maaf kalau telat nge-post, rencananya emang mau nge-post tanggal 13, tapi apa daya gue kalah start ambil laptop dari kakak gue yang 'super sibuk'. Super sibuknya mesti pake tanda kutip. Dia mau ngasih ini laptop, jam dua pagi. Gue mah setuju aja. Lagian berhubung gue harus 'temanan' sama buku TAP MPR, karena mau uji materi LCC gue ngapalin tuh buku dan kesiangan. Parah nggak tahu. Sekali lagi minta maaf ya karena telat.
Warning ::
1. Ceritanya nggak bagus, maaf. Udah nunggu, tapi kecewa sama jalan cerita, mohon maaf ya. Di sini Rio Ify pacaran. Berhubung gue nggak pernah pacaran ya jadii....gue nggak tahu deh, gimana pacaran itu. Jadi ceritanya kaku. *ketauanngenesnyakagakpernahpacaran* Gue-nya juga nggak mau pacaran sih. Ribet.
2. Jalan ceritanya berdasarkan curhatan-curhatan yang gue terima dari teman-teman gue yang sering galau itu lho. Gue kan 'tong sampah' tempat orang curhat.
3. Maaf sekali lagi kalau ceritanya jelek.

And the last, Happy Reading!!!

Cinta Gue itu, Elo!! Part 7




Sudah yang ke-2050 kalinya mungkin, Ify menatap bangku kosong di sebelahnya itu. Tetap sama, sejak dia pergi dari 5 hari yang lalu dengan izin dan tertulis menghadiri undangan untuk manggung di Surabaya. Bangku itu masih rapi dan tetap begitu saja. Biasanya, bila Ify menoleh ke kanan, maka ia akan mendapati dia yang tersenyum kepadanya. Ify mengingat itu dengan jelas. Namun, sejak seminggu yang lalu pula, jika ia menoleh ke kanan bukan senyum itu yang ia dapatkan, ia akan melihat Irva yang fokus menatap papan tulis di depan. Soalnya, Irva duduk persis satu meter dari bangku kosong itu bersama Rizky.
                Ify menghela nafas sejenak. Gadis manis berdagu tirus itu menatap hampa bangku di sebelahnya. Serasa ada yang kurang, bila tidak melihat dia.
 R-I-O. Tanpa disadarinya, Ify membiarkan tangannya menuliskan nama itu. Pemuda hitam manis yang pernah meminta dirinya untuk menjadi orang terdekat bagi pemuda itu. Hanya saja dengan bodohnya, Ify menolaknya dengan alasan yang tidak logis pula, ‘ia dan pemuda itu tidak pantas’. Padahal, Ify sadar kalau Rio tidak memintanya menjadi kekasih pemuda itu. Rio baru memintanya untuk menjadi orang terdekat. Tetapi, bukankah itu menunjukan kalau Rio menganggap Ify sebagai orang terpenting dalam hidupnya??
                Dengan segera Ify kembali fokus menatap papan tulis. Ia tidak mau kepergok tengah menatap bangku Rio yang kosong. Yang artinya nanti, ia akan dianggap menyukai Rio dan sedang rindu terhadap pemuda itu. Walaupun itu semua benar, namun cukup dirinya yang tahu. Tak perlu mengundang orang lain untuk mengetahuinya. Paling tidak untuk saat ini.

*************
               
“Fy, lo ngapain liatin bangku Rio mulu?” tanya Agni dengan wajah meledeknya. Jenaka.
“Nggak!” bantah Ify cepat dan ia menggelengkan kepala kuat-kuat untuk menambah kesan yang lebh menyakinkan. Namun, sepertinya usahanya itu sia-sia.
“Nggak salah lagi ya, Fy?” ganti Via yang meledeknya. Aish…..kenapa belakangan ini ia dipenuhi dengan orang-orang yang suka meledek dirinya.
“Itu bukan bangku Rio kali,” ujar Ify dan dengan dagunya menunjuk bangku yang ditempati Cakka, Alvin dan Gabriel. Sebuah meja panjang dengan dua buah bangku yang panjang pula di kedua sisinya. Ini berarti, Ify, Agni dan Via lagi di kantin.
“Tuh kan bener…..lo lagi mikirin Rio. Jangan dibantah dulu,” goda dan peringat Via cepat ketika ia melihat gelagat Ify yang mau protes. “mata lo dari tadi meratiin bangku itu, Fy. Pasti lo juga nyadarkan, kalau ada Alvin, Gabriel sama Cakka pasti ada Rio maka dari itu lo ngeliatin bangku itu. Lo coba membayangkan sosok Rio ada di sana,” lanjut Via. Air mukanya serius, berarti dia lagi tidak bercanda. Via sendiri menyadari kalau Ify menyukai Rio. Dia sudah lama memperhatikan sohibnya itu. Sejak SMP, ada yang lain dari mata Ify saat ia melihat Rio. Berulang kali Via mendapati Ify bersikap seperti itu. Namun dia memilih diam, karena dia tahu Ify butuh waktu dan privacy. Ia hanya akan mendukung Ify.
“Via bener, Fy. Gue setuju sama argument Via. Lo suka sama Rio,” ucap Agni blak-blakan. Ify terkesiap dan ia langsung menundukan kepalanya kemudian menggeleng lemah.
“Nggak perlu bohong lagi, Fy. Gue udah ngerasain ini dari lama. Jauh sebelum Shilla menyatakan dirinya menyukai Rio,” ucap Via.
“Tapi, Vi. Gue nggak mungkin bisa sama Rio. Dia itu artis terkenal dan gue bukan siapa-siapa. Nggak matching banget,” balas Ify lemah.
“Apa karena itu lo dukung Shilla selama ini?? Menurut lo, Shilla lebih pantes sama Rio karena dia model?” tanya Agni dan menatap sohibnya itu. Ia menunggu jawaban Ify. Agni tak rela bila Ify berpikiran sempit seperti itu. Cinta didasarkan pada penampilan. Tidak adil!! Yang cantik sama yang ganteng. Yang kurang beruntung karena tidak cantik sama yang sejenisnya. Sungguh tidak adil. Cinta tidak seperti itu. Cinta bebas untuk siapa saja dengan siapa pun. Karena cinta itu rasa. Ikatan hati. Kecocokan dua hati dan kenyaman yang dirasakan pemiliknya.
Ify tidak perlu berkelit lagi. Sudah cukup dia menyimpan rasa ini sendirian. Sudah waktunya ia berbagi. “Iya, Ag. Gue ngerasa harusnya gue nggak jatuh cinta sama Rio. Karena gue sama dia beda. Ibarat pucuk sama akar,” ucap Ify lirih.
Agni dan Via menggelengkan kepalanya. “Fy….harusnya lo nggak kayak gitu. Lo bebas mencintai siapa saja, termasuk Rio. Nggak salah kalo lo suka sama Rio. Seharusnya lo berjuang untuk rasa lo. Kali-kali aja Rio suka sama lo juga,” ujar Agni.
“Tapi, Shilla?” tanya Ify ragu. Ia tidak mau bertengkar dengan Shilla hanya karena masalah cowok. Persahabatan hancur karena cowok. Nggak adil. Terlalu bodoh. Lebih baik ada yang mengalah. Dan untuk kasusnya sama Shilla, sepertinya  dirinyalah yang harus mengalah.
“Shilla itu cuma terobsesi sama Rio. Dia nggak benar-benar suka sama Rio, Fy. Percaya sama gue. Kadar Shilla suka sama Rio itu, sama kayak Shilla suka Justin Bieber-nya itu.” Agni menjawab pertanyaan bodoh yang terlontar dari sahabatnya itu.
“Ify….nggak salah kalau lo suka sama Rio. Itu fitrah. Yang salah itu kalo lo suka sama…..” ucap Via sambil menatap Agni dari ujung kaki hingga kepala dan tak lupa sebelah alisnya terangkat ke atas. Agni sudah memandang Via dengan ekspresi tak enak.
“Kenapa lo liat-liat gue gitu, Vi?” tanya Agni was-was. Ia sudah mengira apa yang bakalan terjadi.
“Yang salah itu kalo lo suka sama AGNI, Ify,” jawab Via dengan wajah polosnya. Bak anak kucing yang mencuri ikan, namun ia berpura-pura tak tahu.
“VIIIIIAAAA…….,” teriak Agni kesal. Ify tertawa.
“Kalau itu mah nggak mungkin. Langsung gue sodorin aja Agni sama lo, Vi,” ganti Ify yang meledek Agni.
“Gue juga ogah, Fy. Terus kasih sama siapa ya?” ucap Via dengan gaya sok mikirnya. Mikirin pelajaran aja jarang J.
“Aha…..gue tahu, Via,” ujar Ify dan memberik kode sama Via. Via mengerti apa yang dimaksud Ify.
Sedangkan Agni, dia sudah mengirimkan paket wajah garang dan kesalnya lewat post kilat. “Apa?? Jangan sampai lo berdua neriakin nama itu. Awas ya…..” ancam Agni.
Ify dan Via kompak nyengir lebar. “Kita kasihin aja Agni sama Cakka. CAKKA…….AGNI BUAT LO AJA!!!!!!” teriak Ify dan Via kencang dan kemudian mempraktekan jurus andalan si Kancil yang cerdik. Lari seribu langkah alias kabuuurrrr………
“Awas ya lo berdua!!!” seru Agni dan mengejar kedua sohibnya. Sementara Cakka yang mendengar namanya disebut-sebut menoleh ke sumber suara dan tak lupa orang-orang di sekitar mereka juga. Cakka mendapati bahwa gadis pujaannya berwajah kesal dan sedikit memerah. Kemudian ia menatap Agni yang berlari mengejar Via dan Ify yang terburu-buru lari keluar dari area kantin.

*************

Alvin mendapati dirinya menangkap sosok seorang gadis yang tengah duduk di bangku taman  dan menatap ke depan dengan pandang menerawang. Alis Alvin terangkat sebelah. Ia heran dan merasa tidak percaya. Soalnya di tidak pernah melihat gadis itu seperti ini. Hal ini sesuatu yang baru dan bisa dibilang langkah.
Lagi Alvin tertegun dibuat gadis itu. Sudut mata gadis itu mengeluarkan setitik air bening dari matanya. Apa benar gadis itu habis menangis?? Ia melangkah dan mendekati gadis itu. Dan kemudian duduk di sebelahnya.
“Lo kenapa, Shill?” tanya Alvin to the point saat ia sudah benar-benar duduk di sebelah Shilla.
Shilla menolehkan kepalanya ke kanan dan mendapati Alvin yang kini tengah menatapnya penuh kebingungan. “Gue nggak apa-apa kok, Vin,” jawab Shilla berdusta.
Alvin tersenyum lembut. Ia tahu Shilla bohong. Saat ini ia ingin Shilla benar-benar bercerita masalah yang sedang mendera gadis itu. Karena Alvin ingin menjaga gadis itu. Sebab, ia menyukai gadis bernama Ashilla Zahrantiara. Walapun jelas-jelas ia mengetahui gadis di sebelahnya ini menyukai sahabat dekatnya sendiri.
Shilla tiba-tiba membeku. Tidak tahu kenapa ia merasakan jantungnya  berdesir hebat saat melihat Alvin tersenyum kepadanya. Senyum Alvin itu seakan berhasil menghipnotis dirinya untuk tetap menatap senyum menawan itu.
“Cerita dong, Shill. Gue bersedia kok dengerin curhatan lo,” ucap Alvin dan menatap Shilla dikedua manic matanya.
Mata Shilla tak tahan membalas tatapan mata Alvin. Jantungnya berdegup dengan keras. Rasa ini baru pertama kali ia rasakan. Sangat berbeda dengan apa yang ia rasakan saat melihat Rio. Seakan terhipnotis Shilla mengangguk.
Senyum manis Alvin kembali tercetak diwajah tampan pemuda keturunan Chinese itu. kemudian ia mengelus puncak kepala Shilla penuh rasa sayang. Ia sungguh senang karena Shilla mulai membuka diri untuk dirinya. “Jadi, mulailah bercerita,” ujar Alvin.
“Gue merasa bersalah banget sama Ify, Vin. Gue benar-benar udah keterlaluan sama dia. Gue nggak mikirin perasaan Ify. Gue egois, Vin,” ucap Shilla memulai ceritanya.
“Acha luka karena gue dorong. Hanya karena Acha sukanya Rio jadi pacar Ify. Gue terlalu emosi kemaren, Vin. Gue juga udah ngata-ngatain Ify dengan keterlaluan. Gue ngerasa bersalah banget. Padahal gue udah lama dekat sama Ify. Ini pertama kalinya gue sama Ify berantem. Dulu-dulu Ify selalu ngalah sama gue. Via dan Agni juga gitu. Gue egois ya, Vin?”
Alvin mengangguk. Ia harus jujur, agar gadis di sampingnya ini menyadari kesalahan yang ada pada dirinya. Bukannya membela, menyatakan Shilla tak bersalah. Karena itu hanya akan membuat Shilla semakin celaka.
“Gue nyesal udah ngata-ngatain Ify yang nggak-nggak. Bahkan, Ify nggak balas ngata-ngatain gue juga. Gue jahat, Vin. Gue benar-benar egois. Gue bodoh. Gara-gara salah paham gue hancurin persahabat gue. Gue bodoh, Vin. Bodoh…..” ucap Shilla dengan suara bergetarnya. Tubuh Shilla terguncang dan ia menangis.
“Gue kangen sama mereka, Vin,” ucap Shilla lirih dan air matanya semakin mengalir. Alvin tak kuasa melihat Shilla seperti itu. Kemudian ia merengkuh Shilla dan menyederkan kepala Shilla ke dadanya, membiarkan Shilla menangis.
“Lo memang salah, Shill sama mereka. Dan nggak ada salahnya kalau lo minta maaf sama ketiga sohib lo, pasti mereka mau memaafkan lo, Shill,” ucap Alvin.
Merasakan kepala Shilla yang menggeleng, Alvin menghela nafas. “Ng….nggak….Vin. Mereka udah nggak butuh gue. Lihat aja mereka tetap senang-senang tanpa gue,” ucap Shilla dan teringat peristiwa di kantin tadi. Ia merasakan kalau Ify, Via dan Agni sudah tak membutuhkan dirinya. Shilla merasakan kesepian. Coba ia tidak lagi bertengkar dengan mereka, pasti Shilla juga akan ikutan dalam aksi heboh ketiga sohibnya. Apalagi Ify juga sudah tidak begitu pendiam. Ia rindu dengan kebersamaan mereka.
“Mereka bertiga nggak bersinar begitu terang lagi, Shill. Karena lo nggak di sana. Sesenang-senangnya mereka, rasa senang itu tidak sama saat lo ada. Kalian berempat sudah ditakdirkan untuk bersama. SISA. Sivia, Ify, Shilla dan Agni. Bukankah kalian sudah bersama sejak lama??”
Shilla menarik kepalanya dari dada Alvin. Tangisnya sudah mereda dan ia menatap Alvin dan mengangguk. “Tapi, Vin. Gue nggak yakin kalau mereka bakal mau sahabatan sama gue lagi,” ujar Shilla.
Alvin menarik tangan Shilla dan menggenggamnya. Ia seakan tak perduli dengan jantung gadis itu yang tiba-tiba menjadi seperti digoncang-goncang gempa bumi dengan kekuatan 8,9 skala ricther. “Persahabatan, Shill. Keluarga yang  dipilih. Lo kenal mereka dari yang lo sadari. Harusnya lo yakin kalau mereka bakalan nerima lo lagi dan memaafkan lo. Asalkan lo benar-benar minta maaf dan berubah. Semua ini mereka lakukan karena mereka sayang lo, Shill. Ingin lo berubah menjadi lebih baik. Sahabat mengungkapkan yang sebenarnya. Bukan hanya manis diluar saja. Ia akan mengatakan yang sebenarnya untuk kebaikan kita walaupun itu menyakitkan bagi kita,” ucap Alvin lembut.
Shilla tertegun. Alvin benar. “Gue harus minta maaf,” gumam Shilla dan kemudian ia tersenyum ke arah Alvin.
Alvin terpesona. Ini yang dia suka. Saat gadis ini tersenyum. “Nah gitu dong, kan lo cantik dilihat,” puji Alvin.
“Gombal lo,” balas Shilla dan memalingkan wajahnya. Ia tak mau kalau Alvin melihat wajahnya yang memerah. Shilla jadi teringat ucapan Agni. Agni memang benar, ia hanya terobsesi dengan Rio. Bukan suka. Ia hanya fans Rio yang terlalu fanatic hingga jadinya ia ingin memiliki Rio. “Agni benar,” gumam Shilla tanpa sadar.
“Agni benar apa, Shill?” tanya Alvin yang memecahkan lamunan Shilla.
“Eh….” ceplos Shilla.
“Cerita dong, Shill,” pinta Alvin dengan nada manja. Shilla tertawa renyah.
“Agni benar kalau gue cuma terobsesi sama Rio. Gue bukan suka sama Rio. Hanya obsesi dan kini gue rela Rio mau sama siapa saja, termasuk Ify. Karena gue sadar gue sedang suka sama….eh….” ucap Shilla dan menutup mulutnya secara tiba-tiba. Kalau tadi ia tidak sadar, maka ia akan berkata kalau dia suka sama pemuda sipit di sebelahnya ini. Ternyata jatuh cinta itu seperti ini, batin Shilla. Ntah kenapa ia begitu cepat merasakan jatuh cinta.
“Hayo suka sama siapa?” tanya Alvin.
Shilla menggeleng kuat-kuat. “Nggak kok, benar-benar nggak,” kilah Shilla panic.
Alvin terkekeh pelan, ia mendekati wajah gadis itu dan menatap dalam wajah panic di depannya. Jantung Shilla berdegup kencang dan wajahnya memerah. Alvin tertawa geli dalam hati. Ia tak perlu repot-repot lagi mencari tahu siapa laki-laki beruntung yang disukai Shilla. Jelas-jelas jawabannya ada di depan matanya.
Kemudian Alvin menarik wajahnya untuk menjauh. Diam-diam Shilla bernafas lega. Ia selamat. Kalau Alvin tidak akan menjauh, dia tidak tahu bagaimana reaksi yang bakalan ia lakukan.
“Thanks ya, Vin untuk semuanya,” ucap Shilla malu-malu.
Alvin mengangguk sebagai tanda jawaban ya. “Jangan lupa lo minta maaf,” pesan Alvin. Ganti Shilla yang mengangguk. Alvin berdiri dari posisi duduknya. Kemudian ia menglurkan tangannya ke Shilla. “Ayo kita ke kelas sama-sama,” ajak Alvin.
Shilla mengangguk malu-malu dan kemudian menyambut uluran tangan Alvin. Keduanya pun melangkah menuju kelas mereka.

*************

                Langit semakin berwarna jingga. Matahari pun hampir menghilang dari penampakan. Seorang pemuda baru saja turun dari motornya, kamudian ia membawa langkahnya dengan tergesa-gesa memasuki area taman yang sudah sangat ia hapal itu. Sore ini taman itu tampak sepi. Jelas sepi, karena orang-orang pasti memilih untuk tidak mampir bila sudah sore karena taman ini jauh dari pusat keramaian.
                Rio benar-benar tak bisa menahan dirinya lebih lama lagi. Bayangkan gadis itu  selalu memenuhi benaknya. Kemarin baru saja satu hari ia tidak melihat gadis itu, Rio menjadi awut-awutan. Ia merasakan ada yang kurang. Apalagi seminggu, dia benar-benar sudah sangat rindu dengan gadis itu. Padahal gadis itu bukan keluarganya, bukan pula kekasihnya. Tetapi, gadis itu pemilik relung hati Rio.
                Saat ia baru saja turun dari bandara dan memastikan jadwalnya kosong untuk sore ini hingga dua hari ke depan, Rio segera meminta sopir yang menjemputnya untuk mengantar dirinya pulang. Namun, Rio tak langsung istirahat, tapi ia mengambil kunci motornya dan kemudian pergi. Dan di sinilah dirinya saat ini. Taman favorite-nya juga gadis itu. Rio yakin tidak ada tempat yang mampu membuat Rio bisa menyampingkan rindunya selain taman ini. Ya, hanya taman ini yang mampu membuat Rio sedikit mengurangi rasa rindu itu. Karena di taman ini, bayangkan gadis itu tampak jelas seakan nyata.
                Rio menepaki jalan kecil menuju bangku favorite-nya juga gadis itu dengan terburu-buru. Ia tak mau menghabiskan waktu lebih lama lagi. Ia benar-benar merindukan gadis itu. Rindu dengan suaranya, lekuk wajahnya yang diam-diam Rio lihat melalui sudut ekor matanya. Terlebih-lebih tawa renyah gadis itu. Rio sangat merindukannya.
                Ketika ia sudah dua meter dari bangku kesukaannya, Rio tertegun dan tidak menyangka. Gadis yang dia rindukan ada di sini. Duduk di tepi kolam dengan kaki yang dibiarkan tenggelam dalam air kolam yang tampak berwarna hijau.
                Jantung Rio berdesir. Rasa rindu itu semakin menjadi-jadi takkala melihat sosok gadis itu. Rio benar-benar merasakan senang. Ia menjadi yakin kalau Ify adalah takdirnya. Ify is his destiny. Rio semakin berjalan mendekati Ify. Saat ia berjarak 50 meter dari Ify dalam posisi berdiri ia menyuarakan nama gadis itu. “Ify,” desis Rio.

**********

                Ify benar-benar bingung dengan dirinya. Dari pagi tadi hingga sekarang ia terus terbayang-bayang dengan Rio. Ia selalu ingat Rio. Wajah pemuda itu dan senyumnya. Ify benar-benar merindukan Rio. Tanpa Rio, ia merasakan sesuatu yang kurang.
Saat bel pulang berbunyi dengan nyaringnya, Ify segera ingin pulang. Ketika Agni dan Via mengajaknya untuk pergi ke mall, Ify langsung menolak dengan alasan menjemput Acha. Padahal, Acha sudah dijemput Pak Oni dan Ify sudah meminta supirnya itu untuk tidak menjemputnya karena ia ingin pergi ke suatu tempat. Tempat yang dapat membuatnya menjadi lebih tenang dan lebih baik.
Ya benar saja, Ify pergi ke taman favorite-nya. Sekitar pukul tiga sore begini taman itu tampak ramai banyak orang-orang memadati taman ini sekedar untuk refresing. Taman ini benar-benar menyejukan. Saat Ify menginjakan kaki di taman ini, ia segera berjalan menuju tempat favorite-nya. Bangku yang ia duduki secara bergantian bersama Rio. Lagi-lagi Rio. Ify benar-benar tidak bisa melepaskan bayangan Rio dalam benaknya.
Saat dirinya sudah duduk di bangku itu, Ify menatap pemandangan yang terhampar di depannya. Ada yang kurang, benar-benar ada yang kurang. Pemandangan itu tak seperti yang ia lihat saat ia bersama Rio. Juga tak sama saat ia pergi ke sini sendirian ketika ia belum mengetahui kalau Rio juga sering ke taman ini. Rasa itu sungguh berbeda. Dia tidak menemukan rasa itu lagi. Kemanakah rasa itu??
Bayangan Rio yang duduk di sebelahnya memenuhi kepala Ify. Rio yang sedang tersenyum dan wajah dingin Rio. Dia ingat wajah Rio saat kejadina bakso itu, Ify inagt Rio memandangnya seperti gadis aneh, namun Ify tidak mempermasalahkan itu. Dadanya semakin sesak, dirinya benar-benar diselimuti kerinduan.
Ify pindah posisi. Ia melepaskan sepatu dan kaos kakinya kemudian mencelupkan kakinya ke dalam kolam yang berada di depannya. Ia membiarkan koi-koi yang cantik itu mendekati kakinya. “Gue benar-benar rindu sama lo,” gumam Ify.
Mata Ify menatap koi-koi yang berwarna-warni itu. “Gue ingin banget lo ada di sini. Gue tahu gue bukan siapa-siapa lo. Tapi nggak salahkan kalo gue rindu sama lo?” gumam Ify lagi. Ia berkata sendiri. Tapi bukan untuk dirinya. Akhirnya gadis manis itu memilih untuk mengamati kolam dengan koi-koi yang berebutan mendekati kakinya.

*************

“Ify,” desis suara seseorang. Ify benar-benar kaget saat ia mendengar desisan suara seseorang menyebut namanya. Sejak setengah jam yang lalu ia duduk termenung sendirian sambil menatap kolam,  ia tahu kalau dia hanya sendirian di wilayah ini. Tapi tiba-tiba seseorang menyebut dirinya, Ify jadi bingung. Saat ia mengangkat wajahnya, ia mendapati pantulan wajah seseorang yang sendari tadi memenuhi benaknya. Wajah itu benar-benar tergambar pada permukaan kolam. Bentuk wajahnya, rambutnya, tulang pipinya dan semuanya benar-benar sama.
Kemudian Ify menoleh ke belakang dan mendapati kaki seseorang. Lalu ia mengakat wajahnya ke atas dan ia mendapati Rio yang berdiri di belakangnya. “Rio,” ucap Ify pelan dan lemah.
Rio yang berdiri di depan Ify tersenyum lega. Ia mengira Ify hanya bayangannya. Hanya bayangan yang terproyeksi nyata dari matanya. Untunglah semua itu salah, Ify benar-benar nyata. Gadis yang telah memenuhi pikirannya selama lima hari terakhir ini, benar-benar nyata berada di dekat dirinya. Dengan segera Rio melepaskan sepatunya dan menggulung celana jeansnya hingga lutut dan ia mengambil posisi duduk tepat di sebelah kiri Ify.
“Jadi apa kabar lo, Fy?” tanya Rio. Ini bukan pertanyaan basa-basi. Ia benar-benar ingin tahu bagaimana keadaan Ify. Ia tak mau ada sesuatu yang terjadi terhadap Ify.
“Baik kok, Yo. Lo gimana?” tanya Ify balik. Rio mengangguk pertanda ia baik-baik saja. Canggung, itu yang dirasakan keduanya. Baik Ify maupun Rio tidak tahu mau memulai berbicara apa. Padahal mereka berdua tidak ada masalah, bahkan merekakan tidak ada hubungan pacaran. Kenapa bisa merasa canggung??
Sepertinya keduanya bingung karena rasa rindu itu semakin utuh. Mereka tidak tahu bagaimana cara menghilangkan rasa rindu itu, padahal orang yang dirindukan telah ada di dekat masing-masing. Rio rindu Ify dan Ify rindu Rio.
Rio hanya duduk diam di samping Ify. Pemuda itu menatap gadis di sebelahnya dengan begitu teliti. Bagaimana bentuk rambutnya, wajahnya dan garis mukanya. Ia seakan-akan ingin mengabadikan itu semua dalam benaknya. Karena dengan cara itulah, ia dapat melenyapkan sedikit rasa rindu itu. Rio sadar, setelah lebih dari seminggu ia tidak bertemu Ify, ada sesuatu yang salah dengan dirinya dan ia sangat ingat betapa ia ingin sekali melihat Ify  dari dekat. Ia tahu, kalau dirinya sangat merindukan Ify.
"Fy, boleh gue nanya sesuatu nggak?" tanya Rio. Akhirnya salah satu dari keduanya memcahkan keheningan yang hampir membunuh itu.
Ify menoleh ke arah Rio dan kemudian mengangguk. "Mau nanya apa, Yo?"
Alih-alih menjawab Rio malah menatap Ify. "Waktu gue berada di tempat yang jauh, Fy. Pada saat itu juga, gue ingin sekali melihat dia. Ingin lihat tawanya, senyumnya, bentuk wajahnya. Ingin mendengar suaranya. Gue benar-benar hampir nggak mampu membendung semua keinginan itu," cerita Rio. Lalu ia menghela nafas sejenak. "Hingga saat ini gue masih merasakan seperti itu. Padahal jarak gue dan dia udah dekat. Seperti inikah yang namanya rindu ya, Fy?" tanya Rio.
Ify terpaku mendengar penuturan Rio. Tidak mungkin Rio tak mengerti makna rindu. Sungguh mengherankan bila Rio benar-benar tak tahu. Daripada memperpanjang persoalan, Ify mengangguk. "Bener, Yo. Itu yang namanya rindu. Berarti lo lagi rindu sama seseorang."
"Rindu ya....rindu..." gumam Rio. "Kalo menurut lo, Fy. Kalau rindu itu lebih baik diucapkan sama orangnya atau kita pendem aja?" tanya Rio lagi.
Tiba-tiba Ify merasakan sesuatu yang janggal dalam hatinya. Ia merasakan sesuatu yang tak nyaman manakala tahu Rio rindu dengan seseorang. "Kalau gue pribadi ya, Yo. Gue milih ungkapin rasa rindu gue, biar nggak terlalu lama nyesek. Biar hati gue plong. Biar gue nggak penasaran, mungkin-mungkin aja dia juga rindu," jawab Ify. Naïf. Kata yang sesuai untuk Ify saat ini.  Bahkan gadis itu tahu kalau dirinya menjadi naïf. Bagaimana bisa ia berkata seperti itu?? Sedangkan dirinya bertindak kebalikannya.
Tanpa Ify sadari Rio tersenyum sekilas. "Diungkapin ya, Fy?" gumam Rio. Ify yang mendengarnya hanya mengangguk. Ia tahu akan ada saatnya dia  merasa sakit karena mencintai pemuda ini. Apalagi Rio tak tahu kalau dia mempunyai rasa yang spesial untuk pemuda itu.
Rio menatap pemandangan yang terhampar di depannya. Masih tetap sama, namun kini terasa lebih indah bagi dirinya. Rio mengalihkan pandangnya dan kini melihat Ify. Gadis itu diam. Bukan cuma sekali atau dua kali Rio bertemu dengan Ify di taman ini. Belasan kali pertemuan tanpa disengaja.
"Gue kangen sama lo, Alyssa Saufika Umari," ucap Rio merdu, tajam dan penuh partikel-partikel kerinduan dalam setiap huruf yang terucap dari bibirnya.
Ify terkesiap. Ia kaget. Tentu saja! Bagaimana bisa ia membuat seorang Rio rindu padanya. Ify baru saja mau menyuarakan ketidakpercayaannya. Namun Rio memotong duluan.
"Bener, Fy. Gue bener-bener kangen sama lo. Rindu. Gue nggak nyangka bisa bertemu elo di sini. Gue merasakan ada yang salah saat nggak ngelihat lo," ujar Rio. Lalu ia menatap Ify. "Apa lo merasakan yang sama?"
Ify terdiam. Ia harusnya tak menggeleng. Ia juga tahu kalau dirinya merindukan pemuda ini. Selama ini dia merasa gelisah manakala tak melihat Rio.
Melihat Ify yang belum menjawab juga, Rio menatap bola mata Ify dan dia menemukan kerinduan yang terpancar jelas. Rio tak mengerti jalan pikirannya. Tiba-tiba ia mendapati dirinya merengkuh Ify dalam kedua lingkaran tangannya. Ia tenggelamkan wajah Ify pada dada bidangnya. Dia sendiri menumpuhkan dagunya pada bahu Ify. "Maafin gue. Tapi gue benar-benar kangen sama lo. Ikhlaskan sedikit waktu buat gue untuk menetralkan rasa rindu ini. Tidak ada yang lain yang mampu mengobati rindu ini, hanya elo, Ify. Hanya Alyssa yang mampu membuat Mario merindu," bisik Rio.
**************

"Maafin gue. Tapi gue benar-benar kangen sama lo. Ikhlaskan sedikit waktu buat gue untuk menetralkan rasa rindu ini. Tidak ada yang lain yang mampu mengobati rindu ini, hanya elo, Ify. Hanya Alyssa yang mampu membuat Mario merindu," bisik Rio.
Ucapan Rio itu teriang-iang di telinga Ify. Bahkan saat ini Rio masih memeluknya. Ify membiarkan Rio memeluk dirinya, ia dapat merasakan kalau Rio benar-benar rindu kepadanya. Pelukan Rio tidak menyakitkan, bahkan menenangkan untuk dirinya.
Ify masih terdiam dalam pelukan Rio. Ia tidak menolak ataupun membalas pelukan Rio. Sekali lagi, ia hanya membiarkan Rio merengkuh dirinya dalam lingkaran kedua tangan Rio yang kokoh.
Semilir angin sore menerpa wajah Rio dan ia merasakan rambut Ify berterbangan tak tentu arah. Rio mendapatkan rasa nyaman dan lengkap saat ia memeluk Ify. Kerinduannya memudar dan digantikan dengan rasa hangat.
Rio yakin benar, ia menyukai Ify. Tapi masalahnya sekarang, apakah Ify memiliki rasa terhadap dirinya?? Dirinya baru saja meminta jadi orang terdekatnya, Ify menolak. Bagaimana dengan pacaran?? Bisa-bisa Ify cuek saja saat ia meminta Ify menjadi kekasihnya. Parahnya, nanti Ify melengos dan kemudian pergi. Bukankah ini menyakitkan??
Tapi, berdasarkan cerita yang ia simpulkan dari cerita Acha. Ia merasa, ia memiliki peluang. Namun, ia harus melakukan sesuatu terlebih dahulu.
Ify bergerak dalam pelukan Rio. Ia merasa sudah cukup Rio memeluk dirinya. Bukannya tak mau lebih lama lagi dipeluk Rio. Tapi, ia takut kalau dirinya tiba-tiba merindukan kehangatan dalam lingkaran kokoh kedua tangan Rio. Dan pada saat rasa rindu itu menyergap dirinya, ia takut. Ia takut tak bisa merasakan itu lagi.
Menyadari Ify merasa risih, Rio pelan-pelan menguraikan pelukannya walaupun sedikit tidak rela. Namun ia harus, karena ia bukan siapa-siapanya Ify. Kenyataan bahwa Mario Stevano sang Artis Muda hanyalah teman satu sekolah, satu kelas dan satu bangku bagi Alyssa Saufika.
"Maaf," ucap Rio lirih saat pelukan itu benar-benar terurai.
Ify mendongakan kepalanya agar bisa menatap Rio. Jantungnya berdegup kencang dan alirannya sungguh cepat seperti jet koster saat matanya bertemu pandang dengan mata Rio yang penuh keteduhan itu. Membuat Ify seakan-akan ingin menyelami dan berenang-berenang di sana.
Ify menggeleng cepat sebagai jawaban. "Nggak apa-apa kok, Yo," balas Ify. Ia sejenak bernafas. Dengan wajah sedikit memerah dan jantung tak kompromi terhadap dirinya. "Terima kasih, Yo," lanjut Ify.
Alis Rio terangkat sebelah. Ia bingung. Wajar. Karena ucapan Ify membingungkan untuk dirinya. "Terima kasih dalam rangka apa?"
Wajah yang memerah tadi semakin menunjukan warna merah keasliannya. Bulshing Ify ditanyai seperti itu. Ia takut, malu dan ragu-ragu untuk memberikan Rio penjelasan untuk ucapannya. "Haruskah dijawab?"
Rio mengangguk. "Harus kudu wajib dijawab, Fy. Soalnya gue penasaran dan bingung," jelas Rio sambil cengiran.
Ify terpaku, lebih tepatnya terpesona saat melihat cengiran Rio.
"Jawab dong, Fy," rengek Rio.
Ify tertawa geli dalam hati. Ternyata, Rio bisa manja juga.
"Terima kasih karena udah kangen sama gue," ucap Ify cepat dan langsung memalingkan wajahnya dari Rio. Takut Rio melihat dirinya yang malu-malu dan wajah merah noraknya.
Rio tersenyum geli. Gadis ini benar-benar. Benar-benar membuatnya terpesona. Lantas Rio menarik kepala Ify dengan kedua tangannya. Ia ingin melihat wajah gadis itu.  “Kenapa memalingkan wajah?” tanya Rio dan mengulum senyum saat wajah Ify sudah berada di depannya.
“Nggak kok,  Yo. Cuma pemandangan itu bagus banget. Ya ya…bagus banget. Coba lo liat deh,” jawab Ify terlalu riang dan membuat Rio menyemburkan tawanya. Ia tahu kalau Ify salah tingkah. Mengetahui kalau Rio tidak meresponnya, Ify dengan cepat menarik tangan Rio dan menunjukan pemandangan yang ia lihat. Tahu nggak apa yang dilihat Ify? Cuma danau dengan terpaan matahari sore sehingga airnya yang tenang berwarna jingga. Ini semakin membuat Rio tertawa dan yakin kalau Ify memang salting. Salah tingkah.
“Baguskan, Yo?”
Rio mengangguk. “Bagus kok, Fy. Apalagi gue lihatnya sama  lo. Dua keindahan ciptaan Tuhan ada di depan mata gue. Tapi, bagaimanapun. Lo yang paling indah,” ucap Rio dan tersenyum lebar. Ify cuma diam mendengar ucapan Rio. Ia bingung. Ia tak tahu harus menjawab apa.
Ify maupun Rio tidak ada yang membuka suara. Canggung dan senyap. Suasana yang paling tidak enak. Ify bingung mau berbicara apa. Ia takut salah bicara. Tapi, suasana tidak mengenakan ini harus segera dimusnahkan.
“Yo, kapan lo pulang dari Surabaya?” tanya Ify pada akhirnya.
“Hmmm….dua jam yang lalu gue baru tiba  di Jakarta,” jawab Rio dan kemudian ia melirik jam hitam yang melingkar di pergelangan tangannya. “satu jam yang lalu, gue tiba di taman ini,” lanjut Rio.
Ify terdiam lagi. Ia menyadari kalau Rio segera datang ke taman ini setiba Rio di bandara. Apakah Rio tidak lelah?? Tidakkah pemuda manis itu membutuhkan istirahat??
“Kenapa….kenapa langsung ke sini kalo baru pulang?” tanya Ify takut-takut.
Rio mengulas senyum manisnya. Apakah gadis manis di sebelahnya ini belum menyadari juga apa alasan dirinya di sini? Ataukah pura-pura tidak tahu. “Karena gue rindu seseorang. Orang itu sering ke sini dan gue bisa merasakan bayangnya di sini. Hingga gue, bisa menghilangkan sedikit rasa rindu itu. Walaupun nantinya, gue bakalan semakin rindu padanya,” jawab Rio.
Ify menunduk. Ia bodoh. Sungguh bodoh. Salah bicara. Tapi rasa penasarannya menuntut Ify untuk mengetahui alasan Rio merindukan dirinya. Tapi, ia tidak mungkin menyanyakan hal tersebut. Ia tidak akan. Tapi….tapi….ia penasaran.
“Oh iya, Fy. Sama-sama untuk ucapan terima kasih elo,” ucap Rio.
Ify mengangguk. Ia berharap wajahnya tidak memerah. “Iyo…….,” panggil Ify.
Alis kiri Rio terangkat. Panggilan ini, panggilan yang ia rindukan. Terlintas kenangan saat Ify memanggilnya dengan sebutan ‘Iyo’ untuk pertama kalinya. Rio rindu saat Ify memanggilnya ‘Iyo’. Bagi Rio –yang baru belakangan ini ia sadari, ternyata panggilan itu membuat dirinya merasa bahwa ia menjadi yang special bagi Ify. Rio jadi terkekeh, ia jelas tidak tahu kenapa tiba-tiba ia menyukai Ify. Ralat, ia jatuh cinta pada gadis pendiam seperti Ify. “Kenapa, Fy?”
“Kenapa…..kenapa lo bisa rindu sama gue?” tanya Ify takut-takut. Ify menyadari kalau Rio menatap Ify dengan begitu tajam. “Maksud gue, kan banyak orang lain yang bisa lo rindukan. Kayak Cakka, Alvin sama Gabriel. Mereka kan sahabat lo,” tambah Ify cepat-cepat dan buru-buru.
“Jawabannya simple, Fy. Karena lo orang yang terpenting dalam hidup dan hati gue,” jawab Rio lugas, tegas dan jelas. Jawaban ini benar-benar membuat Ify dag-dig-dug.



BERSAMBUNG.....

0 comments:

Posting Komentar