Lovely Maid Part 13
“Meja
nomor tujuh,” teriak Shilla dalam balutan seragam kerjanya. Celana jeans dengan
atasan kaos berwarna kuning serta sebuah topi berwarna merah berpadu kuning
lengkap dengan celemek kecil di pinggangnya. Ya, Shilla adalah pelayan disalah
satu restoran fast foof di Jakarta.
Seorang pelayan yang usianya kira-kira
empat tahun di atas Shilla datang menghampiri Shilla dengan dua buah nampan
yang penuh dengan makanan. “Ini lo anterin, Shil.”
Shilla mengangguk dan berjalan cepat
menuju meja nomor tujuh. “Ini pesananya,” ucap Shilla sambil meletakkan
makanan yang dipesan di meja nomor
tujuh. “Silakan dinikmati. Bila ada yang kurang, bisa panggil saya saja,” ucap
Shilla sebelum pamit ke belakang.
Hari ini pekerjaan Shilla lumayan banyak
dan dia hampir belum istirahat sama sekali sejak jam kerjanya dimulai. Ketika
tiba, dia harus segera mengantarkan pesanan ke meja nomor sebelas, lalu lanjut
ke nomor enam, dan seterusnya dia lupa ke berapa dan yang ke tujuh tadi adalah
meja terakhir yang pesanannya harus diantarkan Shilla mungkin.
Baru saja ia mengelap keringatnya
menggunakan tissue, tiba-tiba seseorang memanggil dirinya.
“Shilla, meja nomor sembilan. Datengin
gih!!!” teriak Mbak Vega kepadanya.
Shilla mengangguk dan segera berjalan
menuju meja nomor sembilan. “Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” tanya Shilla
setelah berdiri di pinggir meja nomor sembilan. Dari dulu –saat pertama kali
kerja di sini– Shilla berangan-angan kalau nanti dia pergi ke sini bersama
orang yang sangat special dihatinya, dia ingin duduk di meja ini. Karena di
antara meja-meja lainnya, meja ini yang paling menarik. Berada di dekat air
terjun dalam ruangan dan dekat dengan jendela sehingga bisa menikmati
pemandangan dari luar. Meja ini sungguh membuatnya tertarik.
“Gue mau pesan cappuccino mocca dan
original chiken. Lo mau pesan apa, Yas?” tanya konsumen Shilla.
“Aku mau apa ya? Grapefruite sama original
chicken juga, Yel, hehehe,” jawab gadis yang Shilla kira umurnya tidak jauh
dengan dirinya.
Dengan cepat Shilla langsung mencatat
pesanan kedua pelanggannya ini. “Jadi, Tuan memesan cappuccino mocca satu,
grapefruit satu, dan dua original chicken?” tanya Shilla untuk memastikan.
Laki-laki yang duduk di kursi pengunjung
itu mengangkat wajahnya dan terkejutlah Shilla. Pelanggan itu adalah kakak
kelasnya yang super sok dan antipati sekali dengan dirinya. Dan lihat, sekarang
kakak kelasnya itu melihat Shilla dalam balutan seragam pekerja. Dan bagaimana
reaksi kakak kelas itu????
Mata Gabriel sukses membola sejenak saat
ia mendapati adik kelasnya itu berdiri di sebelah mejanya dengan seragam
pekerja restoran ini membalut tubuhnya. Dia tidak menyangka akan bertemu di
sini dan itu membuatnya tersenyum penuh kemenangan.
“Iya benar. Itu semua pesanan saya
bersama gadis ini, PELAYAN!” jawab Gabriel dengan air muka sinis sambil menatap
Shilla.
Ingin sekali Shilla mencekik kakak
kelasnya ini sekarang juga. Tidak perlu mengatakan pelayan dengan penuh
penekanan, dia juga tahu, cukup dengan kata pelayan biasa saja. Lagian, Shilla
juga tahu maksud kakak kelasnya itu. Hanya sekedar untuk merendahkannya saja.
Dan itu sudah terlalu sering dilakukan.
“Baiklah, akan segera saya antarkan.
Mohon ditunggu,” ucap Shilla setenang mungkin. Dia harus bisa mengendalikan
emosinya walaupun dia ingin sekali membuat perhitungan kepada kakak kelasnya
itu. Ingin sekali Shilla menonjok muka Gabriel dengan sepenuh jiwa. Ingin
sekali dia menguncir bibir Gabriel yang selalu mengejek dan menghinanya itu.
Ingin sekali dia lakukan, namun sekarang lebih baik dia segera menyampaikan
pesanan dari meja sembilan kepada bagian dapur.
****************
Alvin
berjalan-jalan dengan santai di sekitar rumahnya. Sore ini kegiatannya kosong
sama sekali. Dia tidak mempunyai satupun jadwal untuk menyibukkan dirinya.
Bagaimana dengan kencan dengan salah satu gadis? Apakah Aren??
Sebenarnya Alvin tidak terlalu rishi
terhadap Aren, hanya saja dia kurang suka terlibat dengan kegiatan Aren,
seperti kesalon, belanja, dan sebagainya. Alvin lebih suka berjalan-jalan di
alam bebas, menikmati pemandangan yang sangat indah seperti sore ini.
Biarpun hanya berkeliling taman belakang
rumahnya, dia tidak terlalu bosan. Udara alami membuatnya merasa segar. Lalu,
Alvin duduk di salah satu bangku taman yang tidak jauh dari kolam ikan koi di
taman itu.
Drrrrtttt… drrrtttt… drrtttt… drrttt….
“Siapa nelpon saat jam-jam segini,” dumel
Alvin.
“Hallo, Vin,” sapa suara dari seberang
sana.
“Ada apa, Ren?” tanya Alvin to the point.
Dia tidak mau bermanis-manis ria bersama Aren untuk saat ini.
“Jalan yuk, Vin. Sore-sore gini enaknya
jalan tau,” jawab Aren manja. Dan Alvin bisa membayangkan kalau Aren sedang
tersenyum-senyum tidak jelas untuk saat ini dan dia akan mual seketika bila
melihat secara langsung.
“Nggak deh, Ren. Gue ada kerjaan lain,”
tolak Alvin.
“Iiihhyyy, Alvin, mau boong sama gue ya?
Mama lo udah bilang kalau lo di rumah dan nggak ada acara sama sekali.”
Alvin mendengus kesal. Mamanya memang
benar-benar deh. Sebenarnya Alvin tidak bisa memarahi mamanya karena keluarga
Aren memang dekat dengan keluarga mamanya. “Oke. Lo mau ke mana?” tanya Alvin
pasrah.
Dan Aren mulai mengabsen menyebuti
seluruh tempat-tempat favorite-nya.
****************
“Silakan, Tuan,” ucap Shilla dan
meletakan original chicken bersama cappuccino mocca dan grapefruit di meja
nomor sembilan. Ia berusaha menampilkan senyum terbaiknya.
“Terima kasih ya, Mbak,” ucap Saras.
Shilla yakin gadis yang sedang bersama seniornya ini adalah pacar seniornya
itu. Terlalu cantik untuk si Orang Sok ini, batin Shilla.
“Sama-sama. Baiklah, kalau ada yang
kurang, boleh memanggilku saja. Aku berdiri di sana,” ucap Shilla dan menunjuk
tempat yang berada di dekat pintu menuju dapur. Saras mengangguk.
“Sialakan pergi dan gue ingin menikmati
makan siang yang romantic bersama Saras,” usir Gabriel harus kepada Shilla dan
tersenyum mengejek.
Kalau bukan di tempat kerjanya, dia sudah
menimpuk Gabriel dengan topi kerjanya ini. Benar-benar menjengkelkan. Si Sara
situ bego pula mau sama Gabriel gila!!!! Dumel Shilla dalam hati dan berjalan
menuju tempatnya harus berdiri.
Kalau tadi dia ingin mencengkik Gabriel,
sekarang dia benar-benar ingin membunuh kakak kelasnya itu. Ingin sekali dia
menyiksa ketua eskul yang dia ikuti di sekolah. Betapa kurang ajarnya Gabriel
itu dan menambah-nambah pekerjaannya saja. Bagaimana tidak kalau dia harus
seperti ini…
“PELAYAN!!!!” panggil Gabriel dengan
berteriak.
Shilla pura-pura tidak mendengar dengan
menyibukkan diri mengelap meja terdekat saat panggilan Gabriel sudah memasuki
hitungan ketiga dan dehaman sang Bos mulai terdengar Shilla langsung berlari
tergopoh-gopoh menuju meja Gabriel.
“Ada apa, Tuan?”
“Gue pesan lagi Grapefruit. Cepat.”
Baru saja pesanannya Shilla antar,
Gabriel mulai berulah lagi. Kali ini minuman yang tumpah dan Shilla harus
memebersihkan meja itu. Setelah meja
selesai, Shilla harus segera menghampiri meja Gabriel membawa makanan baru yang
dia pesan. Sebuah burger ukuran large. Lalu Shilla harus berlari lagi menuju
dapur untuk mengambil pesanan baru Gabriel, potatesweet. Dan terakhir Shilla
benar-benar lelah, dia terpeleset saat mengantarkan pesanan Gabriel berupa
sepiring mie ekstra saos dan dengan elitnya mie itu mendarat dengan sukses di
baju Gabriel.
“PELAYAN KURANG AJAR LO!!!” semprot
Gabriel saat mendapati mie itu berada di bajunya.
Shilla berdiri dan menatap Gabriel dengan
pandangan datar. Saras segera mengambil tissue dan membersihkan baju Gabriel,
namun langsung ditarik Gabriel dan dia memberikan tissue itu pada Shilla. “Lo
bersihin!!!” perintah Gabriel.
Saras melihat itu tidak tega. Bukan kasih
kepada Shilla, tetapi dia cemburu habis. Kenapa harus pelayan ini. “Cepet
bersihin!!! Atau gue minta sama bos lo untuk mecat lo,” ancam Gabriel.
Dengan cepat Shilla menyambar tissue yang
berada di tangan Gabriel, lalu perlahan-lahan dia mulai membersihkan saos
berikut mie yang menempel di kaos Gabriel. Karena bahan kaos yang licin dan
sering bergerak, Shilla jadi kesulitan untuk membersihkan baju Gabriel.
Tiba-tiba, Gabriel menarik tangan Shilla
menuju baju Gabriel, dia membiarkan Shilla menahan bajunya di dekat dada agar
tidak bergerak.
Saras tercengang. Gabriel tidak pernah
seperti ini, itu sepanjang pengetahuan Saras. “Yel… Yel…,” panggil Saras.
Gabriel menoleh ke arah Saras. “Kenapa?”
“Itu…” Saras menunjuk tangan Shilla yang
menahan baju Gabriel di dada, “Kenapa lo ngebiarin dia menyenderkan tangannya
di dada lo?”
“Ngebersihin baju gue,” jawab Gabriel
pendek.
“Tapi… lo nggak pernah kayak gini
sebelumnya. Lo kenapa sih, Yel?”
Shilla diam saja dan tetap mengelap saos
di baju kakak kelasnya itu dan yang membuat Shilla menggerutu dalam hati,
kenapa saosnya itu susah sekali hilangnya dan tetap nempel. Shilla kesal.
“Wajar kali, Yas, kalau dia gini. Biar
cepat bersih. Lo itu yang kenapa?”
Mata Saras melebar. Tidak seperti ini.
“Gue cemburu, Yel. Lo nggak gini ke gue, megang tangan lo aja gue nggak boleh,
apalagi nyender di dada lo. Gue cemburu,” jawab Saras dan meraih tasnya lalu
keluar restoran. Dan parahnya Gabriel sama sekali tidak berniat untuk mengejar
Saras. Tidak.
“Udah belum sih, Miskin?” tanya Gabriel.
“Gue usahain cepet. Tapi saosnya nempel
banget, susah hilangnya. Perlu dicuci,” jawab Shilla dan tetap berusaha
membersihkan noda di baju Gabriel.
“Lo ganti baju gue dengan yang baru,”
ucap Gabriel.
Seketika kegiatan Shilla berhenti. Dia
mendengar kakak kelasnya itu minta ganti? Mata Shilla melotot. Dia yakin dan
sangat yakin kalau baju Gabriel itu tidak murah, paling tidak harganya 250
ribuan dan sangat berbanding terbalik dengan baju yang dia punya. Lagian uang
segitu dia dapat dari mana? Itu sudah termasuk banyak untuknya.
“Ganti?” ulang Shilla.
Gabriel mengangguk mantap. “Lo ganti
kalau nggak bisa ngebersihin baju ini sekarang juga.”
“Lo udah gila???!!! Lo mau meras gue???”
desis Shilla.
“Wajar kalau gue minta ganti, baju gue
bisa rusak.”
“Tapi kan bisa dicuci, biar gue cucikan
aja.”
Gabriel mengangkat alisnya sebelah.
Dicucikan? Dia berdecak. “Baju gue lo yang cucikan? Bisa-bisa baju gue sindrom
miskin elo. Bakterian lagi. Yang benar aja dong. Ganti yang baru!!!!”
Shilla benar-benar kesal. “Lo memang gila
ya, Kak Gabriel,” desis Shilla. “Gue tau elo kaya. Tapi nggak gini juga
caranya. Kalau gue punya uang 200 ribu setiap harinya, gue pasti nggak akan di
sini. Nggak akan jadi pelayan di sini dan nggak bertemu elo.”
“Lo miskin karena itu elo di sini.”
Shilla mengangkat tangan kanannya dan
jari telunjuknya menunjuk Gabriel tepat di depan hidungnya. “Gue emang miskin
dan lo nggak perlu nginjak-nginjak gue. Cukup di sekolah lo ngehina gue sama
sohib-sohib gue. Cukup di sekolah, tidak di sini. Dan gue bakalan ganti baju
elo.”
Gabriel tersenyum sinis. “Gue tunggu
minggu depan paling lama, hari Senin,” ucap Gabriel lalu mengambil dompetnya
dan mengeluarkan uang sesuai bill-nya. Kemudian meninggalkan restoran bersama
Shilla dan makanan-makanan yang dia pesan hanya untuk merepotkan Shilla.
Shilla melihat Gabriel yang semakin
menjauh lalu dia mendesah kesal. “Gue benar-benar gila. Dari mana gue dapat
uang untuk ngeganti bajunya Kak Gabriel?” gumam Shilla sambil membereskan
meja-meja dari makanan yang tersentuh. Dia juga menatap pesanan Gabriel yang
lainnya. sia-sia begitu saja, tidak tersentuh sama sekali. “Dasar orang kaya,”
ucap Shilla sinis.
**************
“KAK
IFY!!!!” panggil Ray dari teras. Sore ini Ray ingin sekali bermain di lapangan
kompleks, bertemu dengan teman-temannya.
“KAK IFY!!! KAK IFY!!!” panggil Ray lagi.
Namun belum juga ada sahutan.
“Kenapa teriak-teriak sih, Ray?” tanya
Rio yang baru saja bangun dari tidur siangnya di sofa depan.
Ray mengembungkan pipinya. Dia cemberut
ternyata. “Kak Ify mana sih Kak Lio? Lay kan mau main di lapangan. Mau
ditemenin Kak Ify,” tanya Ray dan kakinya menghentak-hentak di teras.
“Ray nggak usah main di lapangan. Nanti
Ray kotor lho. Bau lagi. Nanti Ray kayak gelandangan,” ucap Rio sadis.
Ray mencibir. “Nggak. Main di taman itu
asyik. Lay suka. Semuanya baik-baik. Lay jadi nggak sendili. Kak Lio sih cuma
main sama Kak Alvin, Kak Cakka, sama Kak Gabliel.
Rio mengumpat pelan. Dasar Pinky sialan,
batin Rio.
“Kak Lio panggilin Kak Ify dong. Ya ya?
Nanti teman-teman Lay pada pulang semua, kan Lay nggak ada temannya nanti,”
pinta Ray.
“Jalan-jalan sama Kak Rio aja mau? Kita
ke mall. Main di timezone,” rayu Rio. Dia masih tidak rela Ray bermain dengan
anak-anak miskin.
Ray menggeleng kuat-kuat sebagai tanda
penolakkannya. “Nggak mau!!! Mau sama Kak Ify ke lapangan kompleks. Lay mau
sama Kak Ify!!!!” jerit Ray.
Rio akhirnya mengalah dan melangkah masuk
ke dalam rumah.
Saat ia mencari Ify di dapur dia tidak menemukan
siapa pun. “Pinky lo di mana?” teriak Rio memanggil-manggil Ify. Namun, tidak
ada sahutan sama sekali. “Pinky!!!” panggil Rio sekali lagi.
Lagi-lagi nihil. Ify di mana sih? Lalu
Rio menuju halaman belakang dan tidak ada tanda-tanda ada Ify. Begitu juga
dengan kolam renang. Di mana sih sebenarnya?
“Cih merepotkan,” umpat Rio kesal dan
kembali masuk ke dalam rumah. Ia segera menuju dapur lagi dan kosong sama
sekali.
“Kamarnya,” ucap Rio pelan dan segera
menuju kamar Ify di belakang. Berjalan sekitar dua menit, Rio langsung
menemukan kamar Ify. Pintu itu terbuka sedikit dan Rio hanya perlu mendorongnya
dan sekarang terbukalah kamar Ify.
Rio melangkah masuk dan menemukan Ify
sedang tertidur. Adik kelasnya itu ternyata tidur siang. Wajahny tenang dan
napasnya naik turun. Rio mendekati ranjang Ify dan tanpa sengaja melihat
secarik kertas di meja kecil di sebelah ranjang Ify.
Daftar keinginan bulan ini ::
1. Kelima novel Percy Jackson Rp 275000 (kalau ada uang lebih aja)
2. Tas baru buat Via dan Shilla Rp 200000 (sangat diutamakan)
3. Sepatu baru untuk SIVA Rp 400000 (kalau kurang uang,
untuk Shilla dan Agni dulu)
4. Belanja bulanan Rp 500000 (sangat
penting)
5. Hadiah ulang tahun Rp 50000 (nggak tau,
bingung, ngasih atau nggak)
Total Rp
1425000 (moga uangnya segini, aaaamiiin J)
Rio terkekeh pelan membaca daftar
keinginan adik kelasnya itu. Ditambah lagi dengan keterangan yang berada di
sebelahnya. Saat membaca urutan yang pertama Rio jadi teringat tentang
pertengkarnya dengan Ify di Gramedia berbulan-bulan yang lalu, saat ia
mendapati adik kelasnya itu berbicara dengan sebuah novel. Rio jadi ingin
tertawa sekencang-kencangnya bila mengingat hal itu.
Kembali Rio melihat Ify yang tertidur.
Ify benar-benar tenang, tidak seperti biasanya selalu meledak-ledak bila di
dekatnya. “Oh iya Ray,” gumam Rio.
“WOI PINKY!!!!” teriak Rio. Tetapi belum
juga mampu membangunkan Ify.
“IFY!!!!!”
Tidak berhasil.
“PINKY!!!!”
Belum berhasil.
“JELEK!!!!”
Makin tidak berhasil.
“Lo ngeselin banget sih. WOIII MAID!!!!”
teriak Rio sambil menggoyangkan lengan Ify dan akhirnya Rio melihat Ify
mengerjap-ngerjapkan matanya.
“Cepet bangun Ify si Pinky!!!!” ucap Rio
lagi.
Dan dampaknya Ify langsung terduduk saat
melihat sosok Rio. Ify mengucek-ngucek matanya dan kemudian sepersekian detik
langsung melotot. “LO MESUM BANGET SIH!!!!!” jerit Ify.
Rio berdecak kesal. “Kalau bukan Ray
ngambek gue nggak akan di sini, cepetan lo bangun. Ray ngajakin elo ke lapangan
kompleks,” ucap Rio kesal.
“Tapi kenapa lo di sini sih? Di kamar gue
lagi,” ucap Ify. “Kalau gitu memang pantes lo gue panggil mesum.”
“Cepet lo cuci muka, gue tunggu di teras.
Ray udah hampir nangis manggil-manggil nama lo.”
Ify tertegun. Ray? Ray hampir nangis????
Ify segera berlari menuju kamar mandi yang berada di kamarnya dan cuci muka.
Sepuluh menit kemudian Ify sudah berdiri
di teras tepat di depan Ray. “Maafin Kak Ify ya, Ray? Kamu jadi nunggu gini,”
ucap Ray dan langsung mensejajarkan tubuhnya dengan Ray.
“Tidurnya aja yang kebo,” celetuk Rio dan
Ify mengirimkannya tatapan mematikan ala Alyssa Saufika Umari.
“Nggak apa-apa kok. Kan sekalang Kak Ify
udah ada. Kita ke lapangan yuk, Kak. Main kejal-kejalan sama teman-teman Lay,”
ajak Ray.
Ify mengangguk semangat. “Ayo. Kakak
temenin. Sumpek di rumah, ada setan sih,” ucap Ify dan menegakan tubuhnya lalu
menarik Ray ke dalam gendongannya.
Ray menghentak-hentakkan kakinya
sepertinya sedang tidak mau digendong. “Kenapa Ray?” tanya Ify.
“Kita mesti pamit sama Kak Lio, Kak Ify.
Kasihankan Kak Lio ditinggalin dan kita nggak pamitan sama Kak Lio,” jawab Ray
dengan wajah polosnya. Bagi Ify, Ray terlalu malaikat. “Lagian Lay lagi nggak
mau digendong.”
Ify mengangguk. “Ya udah, Ray pamitan
sama Kak Rio gih,” ucap Ify.
“Kak Lio, Lay main ke lapangan ya? nggak
apa-apakan Kakak di lumah sendili?” tanya Lay.
Rio menggeleng. “Kakak ikut Ray. Nanti
ada yang nggak ngejagain Ray malah sibuk sendiri,” sindir Rio.
Ify berdeham kesal. “Dasar orang lebay
alay upay eh,” batin Ify dan kemudian terkekeh sendiri.
“Kok Kak Ify ketawa sendili sih?” tanya
Ray bingung.
“Dia orang gila, Ray,” celetuk Rio.
Ify mencibir. “Ya udah kita pergi,” ajak
Ify.
“Ayo Kak Lio. Kak Lio pegang tangan kanan
Lay, telus Kak Ify pegang tangan kili Lay. Kita kayak kelualga. Papanya Kak
Lio, mamanya Kak Ify, dan Lay anaknya,” ucap Ray girang dan meraih tangan Rio
dan Ify.
Ify mengumpat dalam hati. Benar-benar deh
si Ray ini. Lama-lama juga mati kutu dia sama Ray. Lain lagi dengan Rio. “Lo
adik apaan sih Ray? Masa kakak lo yang kaya gini lo bilangin sama si Cewek
Miskin ini,” dumel Rio dalam hati.
Lalu entah kenapa, tiba-tiba keduanya
saling tatap. Ketika pandangan mata bertemu keduanya langsung buang muka. What
the hell banget.
“Gue nggak akan bakalan sama si Pinky
ini. Lagian gue kaya dia miskin. Gue ogah sama orang miskin,” ucap Rio dalam
hati.
***************
“Ayo semangat Ray!!! Lari yang
kenceng!!!!!” teriak Ify dari pinggir lapangan. Hari Ray tidak bermain kejar-kejaran,
tetapi bermain kasti. Semacang permainan softball, tetapi hanya dengan tiga
tiang utama. Dan sekarang Ray sedang berlari menuju ke tiang kedua karena ia
habis memukul bola.
“Yeah!!! Ray hebat,” sorak Ify girang dan
bertepuk tangan heboh sendiri.
Rio menoleh ke arah Ify dan bergumam,
“Dasar norak. Berisik lagi.”
“Lari terus, Ray!!!” sorak Ify. Saat
Ikhsan teman setim Ray memukul bola dan melambung cukup jauh.
“Hei…,” sapa seseorang.
Ify menoleh cepat dan mendapati Debo yang
telah duduk di sebelahnya. “Debo?” ucap Ify girang tertahan.
“Gue nih, Fy. Tumben lo sore-sore ada di
sini lagi?” tanya Debo santai.
“Ray mau main ke sini. Lagian udah lama
juga nggak main ke lapangan,” jawab Ify.
Debo mengangguk-ngangguk. “Lo sekolah di
GNISHS ya, Fy?”
“Iya. Kalo lo di mana?”
“Gue SMA Persada, arahnya bertolak
belakang dengan sekolah lo,” ujar Debo. “Gue kelas XI,” tambah Debo.
Mata Ify membola. “Jadi lo kakak kelas
gue. Gue mesti panggil lo Kak Debo. Gimana? Lo setuju nggak?” tanya Ify penuh
semangat.
“Boleh juga. Kak Debo? Terkesan imut
banget kalo lo yang ngucapin,” gombal Debo dan sukses membuat Ify merona.
Sore-sore ditemenin cowok cakep, ditambah lagi dapat gombalan gratisan.
Lumayanlah buat pengobat hati, huahahha….
“Lo bisa aja sih, Kak Bo,” timpal Ify.
Lalu terkekeh sendiri. Tadi baru saja dia bilang Kak Debo dan sekarang sudah
ganti jadi Kak Bo? Memang Bobo apa si Debo? Dasar Ify.
*************
Lama-lama Rio merasa kesal juga dicuekin
begini. Si Ray asyik bermain di lapangan dan sekarang dia lihat, adik kelas
Pinky-nya sedang mengobrol dengan Debo. Dan dirinya??? Merenung sendirian di
bawah pohon. Mau gabung sama Ray itu tidak mungkin banget karena dia nanti tua
sendiri. Nimbrung obrolan sama Ify lebih nggak mungkin lagi. Dia anti sama adik kelasnya itu. Tapi,
diam sendiri di bawah pohon gini juga
nggak enak apalagi menjadi pendengar obrolan Debo dan Ify yang
menurutnya garing abis.
“Gue
nih, Fy. Tumben lo sore-sore ada di sini lagi?”
“Ray
mau main ke sini. Lagian udah lama juga nggak main ke lapangan.”
“Lo sekolah di GNISHS ya, Fy?”
“Iya.
Kalo lo di mana?”
“Gue
SMA Persada, arahnya bertolak belakang dengan sekolah lo. Gue kelas XI.”
“Jadi lo kakak kelas gue. Gue mesti panggil lo
Kak Debo. Gimana? Lo setuju nggak?”
Apaan tuh Kak Debo? Lo manggil gue aja
Ketos Mesum. Jarang banget lo manggil gue Kak Rio. Padahal Kak Rio itu namanya
keren banget dan lo padahal maid-nya gue, malah kurang ajar sama gue, batin Rio
kesal.
“Boleh
juga. Kak Debo? Terkesan imut banget kalo lo yang ngucapin.”
Ciiih… rayuan pasaran, decih Rio dalam
hati.
“Lo
bisa aja sih, Kak Bo.”
Apalagi ini, Kak Bo? Kak Kebo??? Rio
terkikik sendiri lalu segera menghentikan tawanya saat menyadari dia berada di
mana. Tidak mungkin dia menjadi bahan tertawaan orang-orang di sini.
“Kak
Debo??? Jangan gitu dong. Geli tau!!!!” rengek Ify.
Kali ini Rio benar-benar tidak tahan.
Memang dia hanya jadi pendengar aja di sini. Harusnya Ify itu menemaninya bukan
mencuekinya dan lihat sekarang. Ify benar-benar sialan!!!!!!
Dengan cepat Rio berjalan menuju tempat
Ify duduk dan meraih pergelangan tangan kiri Ify. “Ayo, Pinky. Temani gue beli
ice cream,” perintah Rio.
Ify mendelik kesal. “Gue lagi ngobrol
Tuan Muda Rio. Anda bisa beli sendiri tau,” tolak Ify. Dia benar-benar kesal.
Apa-apaan sih tuan mudanya itu? Dia lagi senang-senang juga mengobrol,
tiba-tiba dia datang dan merusak segala.
“Lo itu maid-nya gue, Pinky. Cepetan
temani gue,” perintah Rio lagi dan menarik Ify kuat. Dan Ify tersentak hingga
tubuhnya terdorong ke arah Rio. Berhubung hentakannya sangat kuat, Ify
benar-benar menempel di dada Rio.
“Sakit dodol!!!” rutuk Ify kesal. Dia
mengangkat wajahnya dan seketika kaget melihat wajah Rio yang tidak jauh
jaraknya dari wajahnya sendiri. Bagaimana ini?
Rio sendiri hanya bisa diam. Ini pertama
kali untuknya dan dia tidak tahu harus bagaimana. Wajah Ify terlalu dekat.
Sumpah. Dia baru ingat, ini bukan yang pertama kalinya. Bayangan saat ia
menangkap Ify di lapangan basket terlintas di benaknya, saat itu ia juga
sedekat ini. Dan kenapa ini bisa terjadi lagi??
Ify jadi salah tingkah. Ia segera menarik
badannya dan melepaskan diri dari Rio. Lalu, meraih pergelangan tangan Rio.
“Ify duluan ya Kak Debo? Mau temenin Tuan Muda Ify dulu. Bye,” pamit Ify dan
segera buru-buru menarik Rio.
*****************