Lovely Maid Part 12
Agni berjalan dengan santai menuju
bengkel tempat ia bekerja. Ia sangat merasakan kalau kehidupan mereka jauh melampaui dulu. Kini mereka
sudah bisa membuka tabungan di Bank, karena uang mereka sudah mencukupi.
Apalagi ditambah dengan penghasilan Ify nanti, uang mereka benar-benar cukup
untuk kehidupan beberapa bulan kemudian. Via juga sudah bekerja di toko bunga dan
Shilla menjadi pelayan di restoran fast food. Ini benar-benar keajaiban yang
diberikan Tuhan.
Hari ini tepat sudah hampir seminggu Ify
bekerja di rumah Rio, kakak kelas mereka yang sangat sok itu. Mereka bertiga
sudah tidak sabar menunggu Ify bercerita secara lengkap, apalagi di sekolah Ify
hanya bercerita sedikit karena mereka diburu oleh waktu. Kangen juga tidak
bertemu dengan Ify.
“Gue harus rajin bekerja. Ify udah
ngorbanin banyak untuk gue sama Via dan Shilla. Gue juga harus bisa,” tekad
Agni. Saat akan berbelok menuju gang bengkel tempat ia bekerja, Agni melihat
ada mobil yang berhenti dengan cepat Agni mendekati mobil itu. Siapa tahu macet
dan dia bisa menolong.
“Mobilnya kenapa?” tanya Agni.
Seorang laki-laki yang usianya tidak jauh
dari Agni keluar dari dalam mobil. “Macet. Lo bisa bantuin gue nunjukin di mana
bengkel?” tanya laki-laki itu.
“Memang apanya yang macet?” Agni balik
bertanya.
“Gue nggak tahu, tiba-tiba aja macet,”
jawab laki-laki itu. “Eh, gue Obiet. Lo siapa? Emang lo bisa ngebenerin mobil?”
tanya Obiet.
“Gue Agni. Boleh dicoba kok,” jawab Agni.
Lalu ia menguncir ekor kuda rambutnya dan mulai membuka kotak peralatannya.
Kemudian gadis manis itu membuka kap mobil dan sibuk mengutak-atiknya.
Tak lebih dari lima belas menit, Agni
tersenyum lebar dan menutup kotak peralatannya lagi. “Coba lo tes, Biet,” ujar
Agni.
Pemuda tampan itu masuk ke mobil dan
mulai menghidupkan mesinnya. Dan seketika wajahnya menampilkan senyuman. “Wah
lo hebat banget, Ag. Gue aja nggak ngerti. Kalo gini gue mesti belajar sama lo.
Malu kali gue-nya. Lo cewek aja bisa,” cerocos Obiet dan ucapannya terdengar
bersahabat.
“Lo bisa aja. Gue mah udah dari kecil
belajar gini,” balas Agni. “Gue duluan ya, mesti kerja nih.”
“Eh… tunggu dulu,” cegah Obiet dan
mengeluarkan uang selembar seratus ribu. “Ini buat lo. Itung-itung terima kasih
gue,” ujar Obiet.
Agni menggeleng. “Nggak usah, Biet. Itu
cuma hal ringan kok. Lo berlebihan banget,” tolak Agni halus.
“Nggak apa-apa. Ini tanda gue terima
kasih,” ujar Obiet masih bersihkeras.
“Nggak usah. Gue ikhlas. Beneran lho.
Kalo lo masih maksa mau ngasih, gue marah sama lo!” ucap Agni tegas.
Obiet mematung. “Ya udah, sebagai
gantinya gue minta nomor handphone lo, biar lebih dekat,” ujar Obiet.
“Gue nggak punya handphone, beneran. Lo
aja ngasih nomor handphone lo. Kalo gue udah punya, bakalan gue hubungi nanti.”
Obiet tampak berpikir. Heran juga zaman
sekarang masih ada yang nggak punya handphone. “Ini nomor gue. Di simpan ya,
kali-kali aja kita ketemu lagi,” ujar Obiet.
Agni menerima secarik kertas dari Obiet.
“Gue duluan ya, takut telat. Bye…” pamit Agni dan berjalan menjauh.
Obiet hanya memandangi Agni hingga sosok
gadis itu menghilang. “Lo manis banget,” gumam Obiet.
****************
Ify
mengenakan sepatunya dengan cepat saat ia keluar dari ruang music. Ya, hari ini
gadis berdagu tirus itu mengikuti kegiatan ektrakulikuler sekolahnya. Hal ini wajib ia ikuti karena merupakan salah
satu kewajiban yang harus ia penuhi agar beasiswanya terus mengalir.
“Fy, buru-buru amat. Lo mau ke mana?”
tanya Via yang baru saja keluar.
“Gue mesti jemput Tuan Muda gue, Vi. Lo
tau kan?” jawab Ify dan telah siap dengan sepatunya.
Via mengangguk-ngangguk. “Hati-hati ya!!!
Gue juga mesti kerja,” ucap Via.
Ganti Ify yang mengangguk. “Oke. Gue
duluan ya. Minggu depan gue pulang,” pamit Ify dan tersenyum lebar lalu berlari
menuju gerbang sekolah.
“Pulang sendiri deh,” gumam Via dan
memakai sepatunya. Saat ia berdiri di depan pintu, tiba-tiba badannya
sempoyongan seperti ditumbur seseorang. Dan benar, ia hampir jatuh. “Ya
ampun!!!” seru Sivia tertahan. Untung saja dia menahan tangan kanannya di
tembok.
“Minggir, Miskin!!!” ucap Alvin kasar.
Sivia terkejut dan menolehkan kepalanya
ke arah kanan dan ia mendapati wajah seniornya yang menatapnya dengan tampang
menghina. Sivia mengangguk dan segera menggeser posisi berdirinya.
“Udah miskin, nggak tahu diri lagi,” ujar
Alvin lagi.
Sivia benar-benar malas untuk mendengar
semua ejekan seniornya itu. Dengan cepat ia mengenakan sepatunya lalu berjalan
cepat meninggalkan ruang music.
“Lo kenapa sih, Vin?” tanya Rio yang baru
keluar dari ruang music.
“Biasa orang miskin, Yo,” jawab Alvin
santai.
Rio mengangguk. “Gue duluan, Vin. Ada
urusan lain,” ujar Rio dan meninggalkan Alvin.
**************
Ify benar-benar bingung. Hari ini sudah sore
dan lihat… cahaya matahari sudah menjingga dan sekarang dia belum sampai juga
di Penitipan Anak Kasih Bunda. Ify bertanya-tanya, apakah Ray sudah ada yang menjemput??
Lalu ia sadar dan segera menggelengkan kepalanya. Itu benar tidak mungkin
karena dia sedang berada di sekolah dan Rio juga berada di sekolah. Yang pasti
Ray belum pulang. Tetapi, apa Ray tenang berada di sana selama kurang lebih
sembilan jam??? Ify cemas. Ia takut Ray kenapa-kenapa, bukan tidak percaya
dengan lembaga itu, hanya saja Ray adalah anak yang sedikit pendiam bila
bersama orang baru.
Ify mempercepat langkahnya mencari angkot
yang lewat. Dia harus cepat karena waktu terus mengejarnya. Apalagi setengah
jam lagi, penitipan anak itu akan tutup. Lantas bila tutup Ray bersama siapa???
“Maafin Kak Ify, Ray,” gumam Ify sambil
berlari. Dia harus cepat. Tetapi,
secepat ia berlari, ia tidak akan mampu mencapai tempat penitipan anak itu
hanya dalam waktu dua puluh menit.
Napas Ify ngos-ngosan. Dia benar-benar
lelah. Jarak penitipan masih jauh dan dia belum menemukan satupun angkutan
umum. Bagaimana ini???
Tiiiinnnnnn…… ttiiiiiinnnnn………
Bunyi klakson motor terdengar begitu
kencang dan dengan refleksnya Ify segera melompat ke kanan dan mendapati sosok
yang sangat ia kenal.
“Woii, Pinky!!!!” teriak orang itu. Tuh
kan Ify kenal, jelas Ify kenal toh orang itu adalah Tuan Mudanya juga.
“Kenapa sih, Ketos Mesum??? Gue buru-buru
nih,” ujar Ify kesal.
Rio mendengus. “Panggil gue Tuan Muda
Rio,” koreksi Rio. Ify mengangguk malas.
“Gue duluan, mau jemput Tuan Muda Ray,”
pamit Ify.
Namun Rio langsung mencegah Ify dengan
menahan pergelangan tangan kanan Ify. “Lo mau jemput Ray naik apa?? Udah sore
gini, bentar lagi tutup itu penitipan,” ujar Rio.
“Gue tau, makanya gue mau pergi sekarang
dan lo ngehabisin waktu gue aja,” ucap Ify kesal. Dia benar-benar malas
berdebat dengan Tuan Mudanya satu ini.
“Naik. Kita jemput Ray bareng-bareng,”
ucap Rio tegas.
“Gue naik bocengan sama lo?” tanya Ify.
Rio mengangguk. “Demi Ray!!!”
“Gue ogah!!!! Lo aja yang jemput Ray
kalau gitu, gue pulang sendiri naik angkot.”
Rio berdecak, “Lo itu ngeyel banget sih.
Gimana kalo Ray nanyain elo??? Gimana kalo Ray nggak mau pulang kalau bukan
sama elo??? Gimana gue ngehubungi elo?? Lo aja nggak punya handphone. Nggak
usah sok deh!!!”
Ify mencibir. “Bukannya lo sendiri yang
bilang ogah dekat sama orang miskin kayak gue,” ucap Ify pelan.
“Ini demi Ray, Pinky. Cepat naik. Keburu
tutup dan Ray ditinggal sendiri,” ujar Rio.
Ify mengangkat wajahnya dan sadar kalau
ucapannya terdengar oleh Rio.
“Ayo cepat!!! Nggak apa-apa. Anggep aja
dulu itu gue khilaf. Kita juga udah tinggal satu rumah kok. Itu berarti kita
sangat dekat,” ajak Rio dan menarik Ify.
Dengan sedikit canggung Ify menaiki motor
Rio dan berpegangan pada besi belakang. Ia tahu kalau Rio akan mengebut. Paling
tidak 140 km/jam. Itu dapat dipastikan Ify benar-benar seperti dibawa terbang oleh
angin.
***************
Sivia
menatap keluar toko. Pengunjung sudah sepi dan ia sadar kalau sekarang sudah
sangat sore. Sudah hampir seminggu ia bekerja ini dan dia sangat menikmatinya.
Mbak Lara dan Mbak Diana juga sangat baik kepadanya. Dia bersyukur bisa bekerja
di sini. Tetapi yang membuatnya heran, siapa pemilik toko bunga ini?
Dulu Mbak Lara pernah bilang kalau dia
akan bertemu dengan pemilik toko ini, tetapi saat dia diterima, Via hanya
mendapat kesepakatan untuk bekerja di sini dari Mbak Lara sendiri. Alasannya
sih simple, katanya owner toko ini
sedang sangat sibuk. Dari pada dianggap kepo,
Via memilih untuk diam saja.
“Vi, kamu nggak pulang?” tanya Mbak Diana
tiba-tiba.
Via terkaget. “Udah jam pulang ya, Mbak?”
tanya Via bingung.
Lara terkekeh pelan dan mengangguk. “Kamu
sih melamun terus. Udah lima belas menit yang lalu kali, Vi. Mbak Diana aja
udah pulang duluan,” jawab Lara dan menutup jendela. “Jadi kamu nggak mendengar
Mbak Diana pamitan ya?”
Sivia mengangguk malu. Ia jadi tidak enak
dengan Mbak Lara, apalagi Mbak Diana. “Hehhe… Iya, Mbak. Habis keterusan
melamun,” balas Via dan membantu menutup jendela dan gorden toko.
“Hush…. Jangan sering melamun lho, Vi.
Nanti nggak laku.” Lara cekikikan sendiri.
Via melongo. Apa hubungannya melamun sama
nggak laku????!!!!!
“Hati-hati juga lho, Vi. Kata Nenek Mbak
dulu, kalau kita sering melamun itu, ngebuat jin bisa jatuh cinta sama kita,”
ucap Lara pelan sambil merapikan meja kasir.
Ucapan pelan Lara sukses membuat Via
cengo. Matanya melebar. “Mbak ngarang kali?? Mana ada,” protes Via.
Via melihat Mbak Lara mengangkat bahunya.
“Nggak tau juga sih, Vi. Habis nenek Mbak yang cerita. Tapi, Mbak waspada aja,
takut beneran. Pamali katanya nggak dengerin nasihat orang tua.”
Via mengangguk. Mbak Lara benar juga,
batin Via. Dia tidak bisa membayangkan ketika sosok Oom Pocong atau Paman
Genderuwo atau bisa jadi Adik Tuyul bahkan Drakula naksir dirinya. Iiihyyy….
Jangan sampai deh. Banyak yang lain kali.
“Vii….”
“Jangan naksir gue Oom Pocong!!!!” jerit
Via.
Seketika tawa Mbak Lara pecah. Hahahaha….
“Via… Via… jadi dari tadi kamu ngebayangin.”
Via menoleh ke arah Mbak Lara dan
cemberut. “Mbak sih nakut-nakutin sampai bilang pamali segala. Kan Via jadi
kebayang-bayang,” gerutu Via.
“Maaf ya, Vi. Mbak cuma nyampein apa yang
Nenek Mbak bilang. Ya udah, siap-siap gih pulang. Ambil tas kamu, mbak udah
siap ngunci pintu nih,” ucap Mbak Lara dan tersenyum kepada Via.
Via mengangguk dan berjalan menuju meja
di belakang kasir. Ketika ia ingin mengambil tasnya, Via tertegun saat
mendapati setangkai bunga mawar di kantung terluar tasnya. “Ini bunga siapa?”
“Vi…,” panggil Mbak Lara.
“Iya, Mbak. Via keluar nih,” sahut Via
dan berjalan menuju keluar pintu dengan membiarkan bunga itu tetap berada di
dalam tasnya.
“Kamu ngapain aja di dalam? Lama banget,”
tanya Mbak Lara.
Cklek…. Bunyi pintu telah terkunci
seutuhnya.
“Nggak ada sih, Mbak. Cuma bingung aja
ada bunga ini di tas Via,” jawab Via dan menunjukkan setangkai bunga mawar di
tasnya.
Mbak Lara tersenyum menggoda. “Ciieee
yang dapat bunga. Ehemm… pasti hatinya berbunga-bunga nih,” goda Mbak Lara.
Mau tak mau, paksa tidak di paksa, pipi
Via memerah. Dia benar-benar merona. Ini bunga pertama untuknya. Walaupun dulu
di kampungnya, Via pernah diberi bunga kamboja oleh Sutardi si Tukang Siomay.
Itu tak bisa masuk ke dalam hitungan bukan? Apalagi bunga kamboja????!!! Memang
Via mayat dikuburan!!!!!!!
“Apaan sih, Mbak. Via pulang ah,” pamit
Via dan berlari menuju pinggir jalan. Lalu menyetop angkot pertama yang lewat.
“Dasar. Kalau tahu siapa yang ngirim??
Bagaimana reaksi Via??” gumam Mbak Lara lalu mengetik sebuah pesan singkat
sebagai laporan.
***************
“LO
UDAH GILA!!!!!!!!! PELAN DIKIT KETOS MESUUUUMM!!!!!! LO MAU GUE MATI!!!!” teriak Ify nggak santai. Bagaimana bisa
disantai, kalau sekarang dia sedang berada di belakang boncengan motor Cagiva
biru Rio dengan tangan menempel erat di besi belakang ditambah lagi dengan
kecepatan Rio yang gila-gilaan.
“KALAU MAU MATI JANGAN NGAJAK GUE. GUE
BELUM SIAP!!!!” jerit Ify yang ntah ke berapa kalinya. Tiap kali Ify menjerit,
Rio pasti menambah kecepatan motornya. Dan itu membuat Ify makin gila. Rambut
panjangnya yang diurai berterbangan begitu saja dan sudah semakin kusut.
Ciiiiitttttttt…..
Rio mengerem mendadak. “Lo gila, ketos
mesum jelek. Sok pula. Itam pesek lagi,” umpat Ify saat motor itu berhenti.
“Turun lo,” ucap Rio untuk pertama
kalinya sejak Ify protes di atas motor tadi.
“Nggak perlu lo suruh gue udah turun,”
balas Ify ketus. Dia masih tidak terima. Dan memang Ify sudah turun sejak motor
Rio berhenti. Dia melompat turun karena rasa mual yang menyerang dirinya.
Sepertinya masuk angin kali. Tetapi, kenapa dia seperti orang kampungan saja.
Baru naik motor udah mual-mual.
“Bagus deh. Lo kampungan banget. Baru
kecepatan segitu aja lo udah protes dan teriak-teriak. Untung orang-orang nggak
ada yang denger. Kalo ada? Gue bisa dikira udah nyulik elo. Dasar miskin,”
celoteh Rio.
Mata Ify melebar. Rio bilang baru
kecepatan segitu aja?? Memang dia mau kecepatan berapa??? Mau sampai buat
mereka terbang????!!!! “Lo bilang baru kecepatan segitu? Lo udah gila????!!!
Gue udah ngerasa mau mati dan lo bilang baru kecepatan segitu???” ujar Ify
tidak percaya. Matanya menyipit menatap Rio. “GILA!!!” desis Ify.
“Lo-nya aja terlalu kampungan,” balas Rio
tajam.
Baru saja Ify hendak membalas, sebuah
suara sudah memanggilnya….
“KAK IFY!!!!!!” panggil Ray ceria dan
berlari menuju tempat Ify berdiri.
Ify menatap Rio tajam sekilas dan berlari
mendekati Ray. Mereka berdua seperti anak dan ibu yang sudah lama berpisah dan
sekarang baru bertemu. “Ah… Ray kangen sama Kak Ify,” ucap Ray saat dia sudah
berada dipelukan Ify.
Ify mengangguk dan tersenyum lalu mencium
pipi Ray penuh sayang. “Kak Ify juga kangen sama Ray tahu. Gimana? Asyik nggak
di sini?” tanya Ify setelah melepas ciumannya.
Ray mengangguk penuh semangat.
“Olang-olangnya baik-baik. Lay awalnya takut, tapi telnyata semuanya baik. Lay
suka, Kak,” jawab Ray dan tanpa sengaja dia melihat lurus ke belakang Ify dan
mendapati kakaknya, Rio, berdiri di pinggir motornya. “KAK LIIIIOOOOO!!!!”
teriak Ray semangat. Dia benar-benar bahagia. Ternyata orang-orang yang
disayanginya ada di sini. “Kak Ify, ke tempat Kak Lio. Lay kangen sama Kak
Lio.”
Dengan langkah berat, Ify membawa Ray
yang berada di gendongannya mendekati Rio. Sampai sekarang Ify masih kesal
dengan kakak kelasnya sekaligus Tuan Mudanya itu.
“Kak Lio!!!!” seru Ray dan melompat ke
pelukan Rio. Untung saja Ify sigap dan membiarkan Rio meraih Ray kepelukkannya.
“Gimana di sini Ray? Asyik nggak?” tanya
Rio dan tersenyum lebar kepada adiknya ini.
“Kok peltanyaan kakak sama dengan
peltanyaan Kak Ify?” tanya Ray balik dengan wajah polosnya.
Rio menghadap ke kiri dan mendengus
kesal. “Kebetulan Ray. Jadi di sini asyik?”
Ray mengangguk dan mulai bercerita panjang lebar hingga akhirnya
dia bilang, “Besok Lay ke sini mau bawa bekal sama kayak teman-teman Lay. Kak
Ify masakin Lay ya? Ya ya ya ya????”
Ify tertawa pelan dan benar-benar lepas.
Ray memang sangat lucu dan menggemaskan. Lihat saja cara dia meminta sesuatu.
Ify meraih pipi Ray dan menekannya lembut. “Apa aja yang Ray mau pasti Kak Ify
buatin. Tenang aja. Ray tinggal bilang besok mau bawa apa.”
Ray bertepuk tangan girang dan memaksa
memeluk Ify. Dan terpaksa pula Rio maju dua langkah agar adiknya itu tidak
terjatuh. Dan hei lihat, mereka bertiga seperti sedang berpelukkan.
“Hei, Ray!!!” sapa seorang gadis kecil
dengan dituntun oleh seorang wanita berusia 30-an, sepertinya Ibunya si Gadis
Kecil.
Ray melepaskan pelukkannya dari Ify dan
melihat teman yang menyapanya tadi. “Hei Lily. Kamu balu dijemput juga ya?”
tanya Ray.
Ify seperti sedang diperhatikan dan
memang benar, dia mendapati Ibunya Lily menatap ke arahnya dan Ify tersenyum
menunduk.
“Iya, Ray. Ini mamaku. Itu mama sama
papamu ya?” tanya Lily.
Rio dan Ify kompak melotot. Yang benar
aja dong!!!! Masa masih pakai seragam SMA gini dibilang udah mama dan papa.
Jelas nggak dong.
“Benar??? Masih SMA udah punya anak,”
tambah Ibunya Lily.
Ify benar-benar jengkel. Apa-apaan sih
Ibu sama anak ini. Kalau anaknya Ify bisa maklum, tapi kalau Ibu-nya Ify
benar-benar nggak bisa mentolerir, masa nggak bisa lihat antara ibu-ibu dan
anak muda. Hari ini kenapa dia bertemu dengan orang-orang yang menyebalkan
sih???!!! Kenapa hari-harinya jadi buruk.
“Eh, nggak kok, Tan. Saya babysitter-nya
Ray, kalau ini Kakaknya Ray, Rio. Hari ini kebetulan saja menjemput Ray
bersama,” jelas Ify.
Mata ibunya Lily menatap Ify seolah tidak
percaya dan sekarang menatap Ify dengan penuh kehinaan. Ify kesal.
“Maaf, Tante. Yang Ify bilang benar. Saya
Mario Stevano Aditya Haling putranya Zeth dan Amanda Haling. Dan Ray memang
adik saja, Raynald Aditya Haling. Dan dia Ify, Alyssa Saufika Umari, babysitter
adik saya,” jelas Rio.
Kini bola mata Ibunya Lily melebar. “Maafkan
saya, maafkan saya. Saya hanya bercanda, hahahha…,” ucap Ibunya Lily.
“Nggak apa-apa. Kami tahu kalau Tante
hanya bercanda,” sahut Ify dan ikutan terkekeh pelan. Dia tidak mau ambil
masalah kalau Rio tiba-tiba mengamuk di sini. Memang siapa juga sih yang mau
menikah dan punya anak dari Rio!!!! Ogah!!! Itu tidak mungkin.
“Ya sudah, kami duluan ya. Ayo Lily, papa
udah menunggu,” pamit Ibunya Lily. Ray dan Lily saling melambaikan tangan.
Untuk kesopanan, Ify menunggu sambil Lily
dan Ibunya masuk ke mobil yang berhenti tidak jauh dari mereka. Dan Rio tidak
punya pilihan lain selain menunggu karena Ray dan Ify sangat kompak untuk
urusan seperti ini.
“Kami duluan ya. Nak Rio sama Nak Ify
cocok kok,” ucap Ibunya Lily sebelum menutup pintu mobil.
“Dasar Jeng-Jeng tukang gossip,” dumel
Ify.
“Kak Ify kenapa?” tanya Ray bingung.
“Nggak apa-apa kok, Ray. Ayo kita pulang
aja,” jawab Ify.
“Pinky, lo gendong Ray, gue mau naik ke
motor,” perintah Rio.
Kali ini kooperatif dan dia meraih Ray ke
dalam gendongannya. “Sini sama Kak Ify,” ucap Ify dan menggendong Ray.
“Cepet Naik,” instruksi Rio.
Ify buru-buru naik. “Pelan-pelan taunya.
Gue nggak mau mati muda,” desis Ify.
Rio tidak memberi respon apapun dan mulai
melajukan motornya. Selama perjalanan Rio dan Ify saling diam dan memang tidak
ada yang perlu dibicarakan di antara mereka berdua. Tetapi yang membuat Ify dan
Rio terbatuk kompak saat Ray dengan tanpa bersalahnya berbicara saat mereka
berhenti di lampu merah.
“Lay senang hari ini. Kak Lio sama Kak Ify
jemput Lay, Lay kayak dijemput mama sama papa. Lay mau kalau Kak Lio dan Kak
Ify jadi mama papa Lay. Kak Lio sama Kak Ify mau kan?”
Untung saja lampu lalulintas segera
berganti menjadi hijau. Soalnya Ify tidak tahu harus berkata apa. Lagian dia
memang tidak naksir sama Rio. Dia ogah sama Rio. Rio itu orang kaya yang paling
ngesok yang pernah ia temui. Rio dan papanya saja sangat kebalikan. Yang jelas
Ify tidak sudi.
Kalau Rio sendiri??? Ify nggak peduli.
Yang jelas ia tahu kalau Rio juga tidak sudi dengan dirinya. Dan dengan begitu
Ify juga tidak perlu pusing-pusing mikirin apa yang ada di otak Rio. Bodoh
amat!!!!!
BERSAMBUNG
0 comments:
Posting Komentar