Lovely Maid Part 12




Lovely Maid Part 12




Agni berjalan dengan santai menuju bengkel tempat ia bekerja. Ia sangat merasakan kalau kehidupan mereka jauh melampaui dulu. Kini mereka sudah bisa membuka tabungan di Bank, karena uang mereka sudah mencukupi. Apalagi ditambah dengan penghasilan Ify nanti, uang mereka benar-benar cukup untuk kehidupan beberapa bulan kemudian. Via juga sudah bekerja di toko bunga dan Shilla menjadi pelayan di restoran fast food. Ini benar-benar keajaiban yang diberikan Tuhan.
       Hari ini tepat sudah hampir seminggu Ify bekerja di rumah Rio, kakak kelas mereka yang sangat sok itu. Mereka bertiga sudah tidak sabar menunggu Ify bercerita secara lengkap, apalagi di sekolah Ify hanya bercerita sedikit karena mereka diburu oleh waktu. Kangen juga tidak bertemu dengan Ify.
       “Gue harus rajin bekerja. Ify udah ngorbanin banyak untuk gue sama Via dan Shilla. Gue juga harus bisa,” tekad Agni. Saat akan berbelok menuju gang bengkel tempat ia bekerja, Agni melihat ada mobil yang berhenti dengan cepat Agni mendekati mobil itu. Siapa tahu macet dan dia bisa menolong.
       “Mobilnya kenapa?” tanya Agni.
       Seorang laki-laki yang usianya tidak jauh dari Agni keluar dari dalam mobil. “Macet. Lo bisa bantuin gue nunjukin di mana bengkel?” tanya laki-laki itu.
       “Memang apanya yang macet?” Agni balik bertanya.
       “Gue nggak tahu, tiba-tiba aja macet,” jawab laki-laki itu. “Eh, gue Obiet. Lo siapa? Emang lo bisa ngebenerin mobil?” tanya Obiet.
       “Gue Agni. Boleh dicoba kok,” jawab Agni. Lalu ia menguncir ekor kuda rambutnya dan mulai membuka kotak peralatannya. Kemudian gadis manis itu membuka kap mobil dan sibuk mengutak-atiknya.
       Tak lebih dari lima belas menit, Agni tersenyum lebar dan menutup kotak peralatannya lagi. “Coba lo tes, Biet,” ujar Agni.
       Pemuda tampan itu masuk ke mobil dan mulai menghidupkan mesinnya. Dan seketika wajahnya menampilkan senyuman. “Wah lo hebat banget, Ag. Gue aja nggak ngerti. Kalo gini gue mesti belajar sama lo. Malu kali gue-nya. Lo cewek aja bisa,” cerocos Obiet dan ucapannya terdengar bersahabat.
       “Lo bisa aja. Gue mah udah dari kecil belajar gini,” balas Agni. “Gue duluan ya, mesti kerja nih.”
       “Eh… tunggu dulu,” cegah Obiet dan mengeluarkan uang selembar seratus ribu. “Ini buat lo. Itung-itung terima kasih gue,” ujar Obiet.
       Agni menggeleng. “Nggak usah, Biet. Itu cuma hal ringan kok. Lo berlebihan banget,” tolak Agni halus.
       “Nggak apa-apa. Ini tanda gue terima kasih,” ujar Obiet masih bersihkeras.
       “Nggak usah. Gue ikhlas. Beneran lho. Kalo lo masih maksa mau ngasih, gue marah sama lo!” ucap Agni tegas.
       Obiet mematung. “Ya udah, sebagai gantinya gue minta nomor handphone lo, biar lebih dekat,” ujar Obiet.
       “Gue nggak punya handphone, beneran. Lo aja ngasih nomor handphone lo. Kalo gue udah punya, bakalan gue hubungi nanti.”
       Obiet tampak berpikir. Heran juga zaman sekarang masih ada yang nggak punya handphone. “Ini nomor gue. Di simpan ya, kali-kali aja kita ketemu lagi,” ujar Obiet.
       Agni menerima secarik kertas dari Obiet. “Gue duluan ya, takut telat. Bye…” pamit Agni dan berjalan menjauh.
       Obiet hanya memandangi Agni hingga sosok gadis itu menghilang. “Lo manis banget,” gumam Obiet.

****************
   
Ify mengenakan sepatunya dengan cepat saat ia keluar dari ruang music. Ya, hari ini gadis berdagu tirus itu mengikuti kegiatan ektrakulikuler sekolahnya.  Hal ini wajib ia ikuti karena merupakan salah satu kewajiban yang harus ia penuhi agar beasiswanya terus mengalir.
       “Fy, buru-buru amat. Lo mau ke mana?” tanya Via yang baru saja keluar.
       “Gue mesti jemput Tuan Muda gue, Vi. Lo tau kan?” jawab Ify dan telah siap dengan sepatunya.
       Via mengangguk-ngangguk. “Hati-hati ya!!! Gue juga mesti kerja,” ucap Via.                   
       Ganti Ify yang mengangguk. “Oke. Gue duluan ya. Minggu depan gue pulang,” pamit Ify dan tersenyum lebar lalu berlari menuju gerbang sekolah.
       “Pulang sendiri deh,” gumam Via dan memakai sepatunya. Saat ia berdiri di depan pintu, tiba-tiba badannya sempoyongan seperti ditumbur seseorang. Dan benar, ia hampir jatuh. “Ya ampun!!!” seru Sivia tertahan. Untung saja dia menahan tangan kanannya di tembok.
       “Minggir, Miskin!!!” ucap Alvin kasar.
       Sivia terkejut dan menolehkan kepalanya ke arah kanan dan ia mendapati wajah seniornya yang menatapnya dengan tampang menghina. Sivia mengangguk dan segera menggeser posisi berdirinya.
       “Udah miskin, nggak tahu diri lagi,” ujar Alvin lagi.
       Sivia benar-benar malas untuk mendengar semua ejekan seniornya itu. Dengan cepat ia mengenakan sepatunya lalu berjalan cepat meninggalkan ruang music.
       “Lo kenapa sih, Vin?” tanya Rio yang baru keluar dari ruang music.
       “Biasa orang miskin, Yo,” jawab Alvin santai.
       Rio mengangguk. “Gue duluan, Vin. Ada urusan lain,” ujar Rio dan meninggalkan Alvin.

**************


 Ify benar-benar bingung. Hari ini sudah sore dan lihat… cahaya matahari sudah menjingga dan sekarang dia belum sampai juga di Penitipan Anak Kasih Bunda. Ify bertanya-tanya, apakah Ray sudah ada yang menjemput?? Lalu ia sadar dan segera menggelengkan kepalanya. Itu benar tidak mungkin karena dia sedang berada di sekolah dan Rio juga berada di sekolah. Yang pasti Ray belum pulang. Tetapi, apa Ray tenang berada di sana selama kurang lebih sembilan jam??? Ify cemas. Ia takut Ray kenapa-kenapa, bukan tidak percaya dengan lembaga itu, hanya saja Ray adalah anak yang sedikit pendiam bila bersama orang baru.
       Ify mempercepat langkahnya mencari angkot yang lewat. Dia harus cepat karena waktu terus mengejarnya. Apalagi setengah jam lagi, penitipan anak itu akan tutup. Lantas bila tutup Ray bersama siapa???
       “Maafin Kak Ify, Ray,” gumam Ify sambil berlari. Dia  harus cepat. Tetapi, secepat ia berlari, ia tidak akan mampu mencapai tempat penitipan anak itu hanya dalam waktu dua puluh menit.
       Napas Ify ngos-ngosan. Dia benar-benar lelah. Jarak penitipan masih jauh dan dia belum menemukan satupun angkutan umum. Bagaimana ini???
       Tiiiinnnnnn…… ttiiiiiinnnnn………
       Bunyi klakson motor terdengar begitu kencang dan dengan refleksnya Ify segera melompat ke kanan dan mendapati sosok yang sangat ia kenal.
       “Woii, Pinky!!!!” teriak orang itu. Tuh kan Ify kenal, jelas Ify kenal toh orang itu adalah Tuan Mudanya juga.
       “Kenapa sih, Ketos Mesum??? Gue buru-buru nih,” ujar Ify kesal.
       Rio mendengus. “Panggil gue Tuan Muda Rio,” koreksi Rio. Ify mengangguk malas.
       “Gue duluan, mau jemput Tuan Muda Ray,” pamit Ify.
       Namun Rio langsung mencegah Ify dengan menahan pergelangan tangan kanan Ify. “Lo mau jemput Ray naik apa?? Udah sore gini, bentar lagi tutup itu penitipan,” ujar Rio.
       “Gue tau, makanya gue mau pergi sekarang dan lo ngehabisin waktu gue aja,” ucap Ify kesal. Dia benar-benar malas berdebat dengan Tuan Mudanya satu ini.
       “Naik. Kita jemput Ray bareng-bareng,” ucap Rio tegas.
       “Gue naik bocengan sama lo?” tanya Ify.
       Rio mengangguk. “Demi Ray!!!”
       “Gue ogah!!!! Lo aja yang jemput Ray kalau gitu, gue pulang sendiri naik angkot.”
       Rio berdecak, “Lo itu ngeyel banget sih. Gimana kalo Ray nanyain elo??? Gimana kalo Ray nggak mau pulang kalau bukan sama elo??? Gimana gue ngehubungi elo?? Lo aja nggak punya handphone. Nggak usah sok deh!!!”
       Ify mencibir. “Bukannya lo sendiri yang bilang ogah dekat sama orang miskin kayak gue,” ucap Ify pelan.
       “Ini demi Ray, Pinky. Cepat naik. Keburu tutup dan Ray ditinggal sendiri,” ujar Rio.
       Ify mengangkat wajahnya dan sadar kalau ucapannya terdengar oleh Rio.
       “Ayo cepat!!! Nggak apa-apa. Anggep aja dulu itu gue khilaf. Kita juga udah tinggal satu rumah kok. Itu berarti kita sangat dekat,” ajak Rio dan menarik Ify.
       Dengan sedikit canggung Ify menaiki motor Rio dan berpegangan pada besi belakang. Ia tahu kalau Rio akan mengebut. Paling tidak 140 km/jam. Itu dapat dipastikan Ify benar-benar seperti dibawa terbang oleh angin.

***************

Sivia menatap keluar toko. Pengunjung sudah sepi dan ia sadar kalau sekarang sudah sangat sore. Sudah hampir seminggu ia bekerja ini dan dia sangat menikmatinya. Mbak Lara dan Mbak Diana juga sangat baik kepadanya. Dia bersyukur bisa bekerja di sini. Tetapi yang membuatnya heran, siapa pemilik toko bunga ini?
       Dulu Mbak Lara pernah bilang kalau dia akan bertemu dengan pemilik toko ini, tetapi saat dia diterima, Via hanya mendapat kesepakatan untuk bekerja di sini dari Mbak Lara sendiri. Alasannya sih simple, katanya owner toko ini sedang sangat sibuk. Dari pada dianggap kepo, Via memilih untuk diam saja.
       “Vi, kamu nggak pulang?” tanya Mbak Diana tiba-tiba.
       Via terkaget. “Udah jam pulang ya, Mbak?” tanya Via bingung.
       Lara terkekeh pelan dan mengangguk. “Kamu sih melamun terus. Udah lima belas menit yang lalu kali, Vi. Mbak Diana aja udah pulang duluan,” jawab Lara dan menutup jendela. “Jadi kamu nggak mendengar Mbak Diana pamitan ya?”
       Sivia mengangguk malu. Ia jadi tidak enak dengan Mbak Lara, apalagi Mbak Diana. “Hehhe… Iya, Mbak. Habis keterusan melamun,” balas Via dan membantu menutup jendela dan gorden toko.
       “Hush…. Jangan sering melamun lho, Vi. Nanti nggak laku.” Lara cekikikan sendiri.
       Via melongo. Apa hubungannya melamun sama nggak laku????!!!!!
       “Hati-hati juga lho, Vi. Kata Nenek Mbak dulu, kalau kita sering melamun itu, ngebuat jin bisa jatuh cinta sama kita,” ucap Lara pelan sambil merapikan meja kasir.
       Ucapan pelan Lara sukses membuat Via cengo. Matanya melebar. “Mbak ngarang kali?? Mana ada,” protes Via.
       Via melihat Mbak Lara mengangkat bahunya. “Nggak tau juga sih, Vi. Habis nenek Mbak yang cerita. Tapi, Mbak waspada aja, takut beneran. Pamali katanya nggak dengerin nasihat orang tua.”
       Via mengangguk. Mbak Lara benar juga, batin Via. Dia tidak bisa membayangkan ketika sosok Oom Pocong atau Paman Genderuwo atau bisa jadi Adik Tuyul bahkan Drakula naksir dirinya. Iiihyyy…. Jangan sampai deh. Banyak yang lain kali.
       “Vii….”
       “Jangan naksir gue Oom Pocong!!!!” jerit Via.
       Seketika tawa Mbak Lara pecah. Hahahaha…. “Via… Via… jadi dari tadi kamu ngebayangin.”
       Via menoleh ke arah Mbak Lara dan cemberut. “Mbak sih nakut-nakutin sampai bilang pamali segala. Kan Via jadi kebayang-bayang,” gerutu Via.
       “Maaf ya, Vi. Mbak cuma nyampein apa yang Nenek Mbak bilang. Ya udah, siap-siap gih pulang. Ambil tas kamu, mbak udah siap ngunci pintu nih,” ucap Mbak Lara dan tersenyum kepada Via.
       Via mengangguk dan berjalan menuju meja di belakang kasir. Ketika ia ingin mengambil tasnya, Via tertegun saat mendapati setangkai bunga mawar di kantung terluar tasnya. “Ini bunga siapa?”
       “Vi…,” panggil Mbak Lara.
       “Iya, Mbak. Via keluar nih,” sahut Via dan berjalan menuju keluar pintu dengan membiarkan bunga itu tetap berada di dalam tasnya.
       “Kamu ngapain aja di dalam? Lama banget,” tanya Mbak Lara.
       Cklek…. Bunyi pintu telah terkunci seutuhnya.
       “Nggak ada sih, Mbak. Cuma bingung aja ada bunga ini di tas Via,” jawab Via dan menunjukkan setangkai bunga mawar di tasnya.
       Mbak Lara tersenyum menggoda. “Ciieee yang dapat bunga. Ehemm… pasti hatinya berbunga-bunga nih,” goda Mbak Lara.
       Mau tak mau, paksa tidak di paksa, pipi Via memerah. Dia benar-benar merona. Ini bunga pertama untuknya. Walaupun dulu di kampungnya, Via pernah diberi bunga kamboja oleh Sutardi si Tukang Siomay. Itu tak bisa masuk ke dalam hitungan bukan? Apalagi bunga kamboja????!!! Memang Via mayat dikuburan!!!!!!!
       “Apaan sih, Mbak. Via pulang ah,” pamit Via dan berlari menuju pinggir jalan. Lalu menyetop angkot pertama yang lewat.
       “Dasar. Kalau tahu siapa yang ngirim?? Bagaimana reaksi Via??” gumam Mbak Lara lalu mengetik sebuah pesan singkat sebagai laporan.

***************
“LO UDAH GILA!!!!!!!!! PELAN DIKIT KETOS MESUUUUMM!!!!!! LO MAU GUE MATI!!!!”   teriak Ify nggak santai. Bagaimana bisa disantai, kalau sekarang dia sedang berada di belakang boncengan motor Cagiva biru Rio dengan tangan menempel erat di besi belakang ditambah lagi dengan kecepatan Rio yang gila-gilaan.
       “KALAU MAU MATI JANGAN NGAJAK GUE. GUE BELUM SIAP!!!!” jerit Ify yang ntah ke berapa kalinya. Tiap kali Ify menjerit, Rio pasti menambah kecepatan motornya. Dan itu membuat Ify makin gila. Rambut panjangnya yang diurai berterbangan begitu saja dan sudah semakin kusut.
       Ciiiiitttttttt…..
       Rio mengerem mendadak. “Lo gila, ketos mesum jelek. Sok pula. Itam pesek lagi,” umpat Ify saat motor itu berhenti.
       “Turun lo,” ucap Rio untuk pertama kalinya sejak Ify protes di atas motor tadi.
       “Nggak perlu lo suruh gue udah turun,” balas Ify ketus. Dia masih tidak terima. Dan memang Ify sudah turun sejak motor Rio berhenti. Dia melompat turun karena rasa mual yang menyerang dirinya. Sepertinya masuk angin kali. Tetapi, kenapa dia seperti orang kampungan saja. Baru naik motor udah mual-mual.
       “Bagus deh. Lo kampungan banget. Baru kecepatan segitu aja lo udah protes dan teriak-teriak. Untung orang-orang nggak ada yang denger. Kalo ada? Gue bisa dikira udah nyulik elo. Dasar miskin,” celoteh Rio.
       Mata Ify melebar. Rio bilang baru kecepatan segitu aja?? Memang dia mau kecepatan berapa??? Mau sampai buat mereka terbang????!!!! “Lo bilang baru kecepatan segitu? Lo udah gila????!!! Gue udah ngerasa mau mati dan lo bilang baru kecepatan segitu???” ujar Ify tidak percaya. Matanya menyipit menatap Rio. “GILA!!!” desis Ify.
       “Lo-nya aja terlalu kampungan,” balas Rio tajam.
       Baru saja Ify hendak membalas, sebuah suara sudah memanggilnya….
       “KAK IFY!!!!!!” panggil Ray ceria dan berlari menuju tempat Ify berdiri.
       Ify menatap Rio tajam sekilas dan berlari mendekati Ray. Mereka berdua seperti anak dan ibu yang sudah lama berpisah dan sekarang baru bertemu. “Ah… Ray kangen sama Kak Ify,” ucap Ray saat dia sudah berada dipelukan Ify.
       Ify mengangguk dan tersenyum lalu mencium pipi Ray penuh sayang. “Kak Ify juga kangen sama Ray tahu. Gimana? Asyik nggak di sini?” tanya Ify setelah melepas ciumannya.
       Ray mengangguk penuh semangat. “Olang-olangnya baik-baik. Lay awalnya takut, tapi telnyata semuanya baik. Lay suka, Kak,” jawab Ray dan tanpa sengaja dia melihat lurus ke belakang Ify dan mendapati kakaknya, Rio, berdiri di pinggir motornya. “KAK LIIIIOOOOO!!!!” teriak Ray semangat. Dia benar-benar bahagia. Ternyata orang-orang yang disayanginya ada di sini. “Kak Ify, ke tempat Kak Lio. Lay kangen sama Kak Lio.”
       Dengan langkah berat, Ify membawa Ray yang berada di gendongannya mendekati Rio. Sampai sekarang Ify masih kesal dengan kakak kelasnya sekaligus Tuan Mudanya itu.
       “Kak Lio!!!!” seru Ray dan melompat ke pelukan Rio. Untung saja Ify sigap dan membiarkan Rio meraih Ray kepelukkannya.
       “Gimana di sini Ray? Asyik nggak?” tanya Rio dan tersenyum lebar kepada adiknya ini.
       “Kok peltanyaan kakak sama dengan peltanyaan Kak Ify?” tanya Ray balik dengan wajah polosnya.
       Rio menghadap ke kiri dan mendengus kesal. “Kebetulan Ray. Jadi di sini asyik?”
       Ray mengangguk dan  mulai bercerita panjang lebar hingga akhirnya dia bilang, “Besok Lay ke sini mau bawa bekal sama kayak teman-teman Lay. Kak Ify masakin Lay ya? Ya ya ya ya????”
       Ify tertawa pelan dan benar-benar lepas. Ray memang sangat lucu dan menggemaskan. Lihat saja cara dia meminta sesuatu. Ify meraih pipi Ray dan menekannya lembut. “Apa aja yang Ray mau pasti Kak Ify buatin. Tenang aja. Ray tinggal bilang besok mau bawa apa.”
       Ray bertepuk tangan girang dan memaksa memeluk Ify. Dan terpaksa pula Rio maju dua langkah agar adiknya itu tidak terjatuh. Dan hei lihat, mereka bertiga seperti sedang berpelukkan.
       “Hei, Ray!!!” sapa seorang gadis kecil dengan dituntun oleh seorang wanita berusia 30-an, sepertinya Ibunya si Gadis Kecil.
       Ray melepaskan pelukkannya dari Ify dan melihat teman yang menyapanya tadi. “Hei Lily. Kamu balu dijemput juga ya?” tanya Ray.
       Ify seperti sedang diperhatikan dan memang benar, dia mendapati Ibunya Lily menatap ke arahnya dan Ify tersenyum menunduk.
       “Iya, Ray. Ini mamaku. Itu mama sama papamu ya?” tanya Lily.
       Rio dan Ify kompak melotot. Yang benar aja dong!!!! Masa masih pakai seragam SMA gini dibilang udah mama dan papa. Jelas nggak dong.
       “Benar??? Masih SMA udah punya anak,” tambah Ibunya Lily.
       Ify benar-benar jengkel. Apa-apaan sih Ibu sama anak ini. Kalau anaknya Ify bisa maklum, tapi kalau Ibu-nya Ify benar-benar nggak bisa mentolerir, masa nggak bisa lihat antara ibu-ibu dan anak muda. Hari ini kenapa dia bertemu dengan orang-orang yang menyebalkan sih???!!! Kenapa hari-harinya jadi buruk.
       “Eh, nggak kok, Tan. Saya babysitter-nya Ray, kalau ini Kakaknya Ray, Rio. Hari ini kebetulan saja menjemput Ray bersama,” jelas Ify.
       Mata ibunya Lily menatap Ify seolah tidak percaya dan sekarang menatap Ify dengan penuh kehinaan. Ify kesal.
       “Maaf, Tante. Yang Ify bilang benar. Saya Mario Stevano Aditya Haling putranya Zeth dan Amanda Haling. Dan Ray memang adik saja, Raynald Aditya Haling. Dan dia Ify, Alyssa Saufika Umari, babysitter adik saya,” jelas Rio.
       Kini bola mata Ibunya Lily melebar. “Maafkan saya, maafkan saya. Saya hanya bercanda, hahahha…,” ucap Ibunya Lily.
       “Nggak apa-apa. Kami tahu kalau Tante hanya bercanda,” sahut Ify dan ikutan terkekeh pelan. Dia tidak mau ambil masalah kalau Rio tiba-tiba mengamuk di sini. Memang siapa juga sih yang mau menikah dan punya anak dari Rio!!!! Ogah!!! Itu tidak mungkin.
       “Ya sudah, kami duluan ya. Ayo Lily, papa udah menunggu,” pamit Ibunya Lily. Ray dan Lily saling melambaikan tangan.
       Untuk kesopanan, Ify menunggu sambil Lily dan Ibunya masuk ke mobil yang berhenti tidak jauh dari mereka. Dan Rio tidak punya pilihan lain selain menunggu karena Ray dan Ify sangat kompak untuk urusan seperti ini.
       “Kami duluan ya. Nak Rio sama Nak Ify cocok kok,” ucap Ibunya Lily sebelum menutup pintu mobil.
       “Dasar Jeng-Jeng tukang gossip,” dumel Ify.
       “Kak Ify kenapa?” tanya Ray bingung.
       “Nggak apa-apa kok, Ray. Ayo kita pulang aja,” jawab Ify.
       “Pinky, lo gendong Ray, gue mau naik ke motor,” perintah Rio.
       Kali ini kooperatif dan dia meraih Ray ke dalam gendongannya. “Sini sama Kak Ify,” ucap Ify dan menggendong Ray.
       “Cepet Naik,” instruksi Rio.
       Ify buru-buru naik. “Pelan-pelan taunya. Gue nggak mau mati muda,” desis Ify.
       Rio tidak memberi respon apapun dan mulai melajukan motornya. Selama perjalanan Rio dan Ify saling diam dan memang tidak ada yang perlu dibicarakan di antara mereka berdua. Tetapi yang membuat Ify dan Rio terbatuk kompak saat Ray dengan tanpa bersalahnya berbicara saat mereka berhenti di lampu merah.
       “Lay senang hari ini. Kak Lio sama Kak Ify jemput Lay, Lay kayak dijemput mama sama papa. Lay mau kalau Kak Lio dan Kak Ify jadi mama papa Lay. Kak Lio sama Kak Ify mau kan?”
       Untung saja lampu lalulintas segera berganti menjadi hijau. Soalnya Ify tidak tahu harus berkata apa. Lagian dia memang tidak naksir sama Rio. Dia ogah sama Rio. Rio itu orang kaya yang paling ngesok yang pernah ia temui. Rio dan papanya saja sangat kebalikan. Yang jelas Ify tidak sudi.
       Kalau Rio sendiri??? Ify nggak peduli. Yang jelas ia tahu kalau Rio juga tidak sudi dengan dirinya. Dan dengan begitu Ify juga tidak perlu pusing-pusing mikirin apa yang ada di otak Rio. Bodoh amat!!!!!

BERSAMBUNG


0 comments:

Posting Komentar