Antara Aku dan Dia *Last Part*


Senin pagi ini, aku dikejutkan dengan berita heboh yang langsung menyambutku ketika aku tiba di pintu kelasku. Teman-teman sekelasku sibuk kasak-kusuk dan heboh membicarakan suatu topik yang kayaknya sedang hot-hotnya. Aku meletakkan tas di mejaku yang berada di deretan nomor dua. Lalu bergabung dengan rombongan Dian yang tengah asyik bergosip.
            “Apa sih yang asyik banget diomongin?” tanyaku.
            “Lo belom tau, Far?” tanya Dian. Aku menggeleng. “Masa?” Dian nggak percaya.
            “Bener loh, emang apaan sih?” tanyaku lagi.
            “Masa dia nggak cerita sama elo, padahal tetangggaan?” kali ini Mara yang menyahut.
            Oh, tentang Rama ya. Ucapku dalam hati. “Kami udah lama nggak ngomong di rumah, abis sibuk buat tugas. Emang kenapa?” tanyaku lagi untuk yang ketiga kalinya.
            “Rama sama Puput udah putus. Di fb juga ada loh,” jawab Dian. Aku tercengang. Rama dan Puput putus. “Kok bisa?” tanyaku lagi.
            “Nggak tau juga penyebabnya. Di fb, statusnya si Puput. Rama mutusin dia begitu aja. Padahal nggak ada masalah apa-apa. Makanya Puput nggak terima. Kalo mau tau lebih banyak, tanya Rama langsung aja. Tunggu dia datang,” jelas Dian panjang lebar.
            “Oh gitu,” balasku. “Aku keluar dulu ya.” Kemudian aku pamit. Aku keluar kelas dengan perasaan bingung. Begitu aku tiba di luar, Lara yang baru sampai langsung meneriakkan namaku.
            “FARAH”
            “Kenapa?” aku bertanya bingung.
            “Ikut gue, ada yang harus elo tau. Gue yakin elo belum tau cause ini baru up date tadi pagi,” jawab Lara cepat. Lalu ia masuk ke kelas sebentar. Aku yakin ia melemparkan tasnya ke meja karena ada suara berdebuk yang lumayan kencang. Lara muncul lagi dan segera menarikku ke tempat biasa. Pohon akasia yang menjadi saksi kesedihan dan kebahagiaan aku dan Lara.
            “Ada apa sih, Ra?” tanya ku lagi.
            “Gini, Rama sama Puput kan putus. Elo udah tau?”  Aku mengagguk. Lalu Lara melanjutkan.
            “Puput nggak terima diputusin tanpa alasan gitu. Puput ternyata nyalahin elo, Far. Elo yang buat dia sama Rama putus. Liat aja di facebook. Dia ngatain elo terus.”
            Aku ternganga. Nggak nyangka masih dijadikan kambing hitam sama Puput. Padahal aku sudah sebulan nggak ngomong sama Rama lagi.
            “Tapi kan, gue udah lama nggak ngomong sama Rama. Ketemu juga nggak. Masa gue lagi yang dijadiin kambing hitam,” keluhku. Lara menatapku prihatin.
            “Sabar aja deh, Far. Hari ini elo nggak boleh pisah atau jauh-jauh dari gue. Gue yakin pasti tuh nenek sihir ngincar  elo. Oke?” Lara memang sahabat sejati. Aku berjanji pada diriku sendiri, nggak akan buat Lara kecewa karena aku. Aku selalu siap bantuin Lara.
            “Oke,” jawabku.
            “Yuk, ke kelas. Bentar lagi bunyi bel.”
*****
Selama jam pelajaran di kelas, aku jadi nggak konsentrasi menyimak. Aku tau berita yang disampaikan Lara tadi udah nyebar ke satu sekolah, apalagi kelasku. Aku tahu, kalo aku yang sedang mereka bicarakan. Beberapa kali tiap guru yang masuk berdeham, untuk memperingatkan bahwa sekarang waktunya belajar bukan bergosip. Awalnya siswa menurut, tapi lama-lama mengulang kembali. Lara menatap ke arah teman sekelas yang asyik mengobrol. Dia juga sekilas menatap Rama yang juga tengah menatap lurus ke depan. Entah ke arahku atau papan tulis. Jam istirahat, aku dan Lara juga nggak keluar kelas. Kami tetap di kelas. Aku mendengar percakapan Dian yang sibuk bertanya pada Rama asal-muasal Rama putus dengan Puput, sambil Dian menyinggungku.
            “Gue putus sama Puput, itu urusan gue. Nggak ada hubungannya sama elo. Tapi, emang ada hubungannya sama Farah. Puas lo?” bentak Rama pada Dian yang menatap Rama dengan takjub. Apalagi aku, aku langsung ternganga hebat. Rama gila banget. Kalau seperti ini, aku semakin terpojokkan. Dian cs mulai menggosipiku. Rina nggak percaya kalo aku yang merebut Rama dari Puput, karena ia juga tau kalo di rumah kami udah jarang ngomong. Rina rumahnya satu blok dengan aku dan Rama, jadi dia juga lumayan tau. Ditambah lagi, Rama menanyakan tugas padanya. Biasanya Rama nggak pernah, soalnya dia selalu bertanya padaku.
            Bel berdering tanda istirahat telah selesai, kali ini pelajaran semakin hampa ku rasakan. Padahal ini pelajaran kesukaanku. Kimia. Biasanya aku juga menyimak pelajaran ini dengan semangat. Kali ini lesu, aku membiarkan pelajaran itu berlalu begitu saja tanpa meninggalkan bekas di otakku. Judulnya aja aku nggak tau.
            Jam demi jam, menit demi menit, dan detik demi detik telah lenyap. Bel pulang yang menandakan semua siswa berhak pulang ke rumah Mami dan Papi masing-masing telah bernyanyi dengan nyaringnya. Aku tiba-tiba jadi berdebar. Aku dan Lara membereskan laci meja kami, aku melihat sosok Rama yang duluan keluar dengan cepat dan kemudian keluar kelas. Setiba di depan pintu aku langsung disambut oleh Puput cs. Dia berjumlah empat orang. Aku tau mereka, Via, Dira, sama Siska. Teman sekelasnya. Tatapan membunuh langsung tertera dengan jelas di pelupuk mata Puput.
            “Elo, berani-beraninya ngerebut cowok gue.” Itu kalimat yang langsung menyambutku. Di sekeliling kami yang semula sepi, kemudian menjadi ramai. Aku nggak memperdulikan ucapan Puput.
            “Diam aja berarti bener,” ujar Via. Dia menatapku dari ujung jari hingga kepalaku. Lalu ia berdecak, “Ckckck…, gaya boleh polos. Nggak taunya uler.” Via mendorongku. Hingga aku mudur empat langkah, hampir jatuh. Untung Lara menyanggahku. Lara sudah semakin marah, ia nggak terima.
            “Beneran. Kecentilan banget. Jangan-jangan ke semua cowok kayak gitu. Idiiiihhhhh…cewek nggak bener,” ledek Dira. Aku sudah nggak tahan lagi.
            “Elo berempat, jangan asal fitnah orang ya. Gue nggak pernah ngomong sama cowok elo itu sebulan, terhitung dari elo ngancem gue dulu. So, jangan main asal fitnah,” cecarku.
            “Itu kan kata elo, siapa yang percaya? Di sekolah boleh-boleh aja berlagak sok jauh, di rumah nempel kayak perangko.” Balas Puput. “Dasar kecentilan.” Ditariknya rambutku. Lara nggak tahan lagi, dibalasnya juga. Ditariknya rambut Puput yang lurus bak iklan shampoo itu. Ku lihat beberapa helai rambut nyangkut di sela-sela jarinya.
            “Elo berani?” tantang Siska.
            “Siapa takut sama elo berempat. Nggak banget. Hanya orang begok yang takut sama kalian,” balas Lara.
            “Elo..elo..elo..” seru Puput tangannya hampir melayang ke arah pipi lembut Lara, aku segera menghalanginya dan pipiku yang jadi korban. PLLLLLAAAAAAAAAKK. Aku meringis kesakitan. Teman-teman yang menonton, sontak memegang pipi masing-masing. Betapa apa yang aku rasakan sungguh menyakitkan. Ya Allah kuatkan kami berdua.
            “Elo berani nampar, Farah. Ini untuk elo !” seru Lara berang. Dilayangkannya tangan kanannya ke wajah mulus Puput dan meninggalkan bekas merah. Aku nggak menyangka Lara yang lembut bisa segalak itu. Ketiga teman lainnya ternganga hebat. Lalu mepelototi aku dan Lara. Penonton semakin bergidik. Ini udah penganiayaan di kalangan pelajar.
Tiba-tiba Siska memegang tangan Lara dan Via memegang tanganku. “Jangan ada yang berani nolong kalo nggak mau bernasib sama,” ancam Puput pada penonton. Aku melihat Rina mau melangkah ke arah aku dan Lara. Kemudian ia berhenti mendengar ancaman itu. Ia  berlari keluar dari gerombolan entah ke mana. Hilang sudah malaikat penyelamat. Sedangkan yang lain hanya mau menonton.
            Kata-kata hinaan dan cacian semakin diluncurkan Puput cs. Aku dan Lara hanya bisa diam. Mau membalas nggak bisa. Hari menjadi mendung. Kayaknya langit bisa merasakan apa yang aku dan Lara rasakan. Puput menarik rambut aku dan Lara bergantian. Kami hanya bisa menahan sakitnya. Aku mendengar tawa Puput cs.
            “ELO, LEPASIN MEREKA BERDUA !!” teriak suatu suara. Aku mengenal suara itu. Rama. Pasti Rama. Untuk menyakinkan aku membuka mataku. Benar, ternyata Rama. Dia sedang berdiri di sebelah Rina. Ternyata Rina pergi untuk memanggil Rama. Puput cs kontak pucat. Siska dan Via segera melepaskan cengkramannya. Aku bisa bernapas dengan lega.
            “Elo kenapa sih, Ram? Dia itu udah ngerusak hubungan kita. Jadi wajar gue ngelakuin ini ke dia,” seru Puput. Ia nggak terima Rama mendukung Lara dan aku.
            “Bukan dia yang ngerusak hubungan, tapi elo. Elo yang ngerusak hubungan gue sama Farah. Kalo bukan karena ortu lo, gue nggak mau pacaran sama elo. Apalagi kejadian di kantin itu dulu. Gue udah salah ngira. Ternyata elo biang keroknya,” balas Rama. Tatapan matanya penuh amarah tertuju pada Puput. Puput menegang.
            “Jadi bener elo putus sama gue gara-gara dia. Elo begok banget. Farah nggak selevel sama gue,” kicau Puput.
            “Dia emang nggak selevel sama elo, elo rendahan sedangkan dia berkelas. Gara-gara elo gue nggak ngomong sama Farah sebulan. Elo buat dia jauh dari gue. Elo nggak tau gimana rasanya nahan perasaan, susah banget. Gue rindu plus kangen sama dia. Gue kira kalo kita pacaran, gue masih bisa ngomong sama Farah. Gue udah lima bulan nahan perasaan gue sama Farah. Elo memang perusak,” seru Rama. Aku tercengang. Rama ternyata udah suka aku selama 5 bulan. Berarti dari dia pindah rumah pertama kali. Ya ampun, Puput semakin malu sendiri.
            “Awas aja lo. Gue balas,” ancam Puput padaku. Matanya jelas terarah padaku. Aku hanya menunduk.
            “Elo jangan berani ngancem-ngancem. Dasar nenek sihir,” balas Lara.
            “Apa lo. Dasar.” Lagi-lagi tangannya hampir mengenai wajah Lara, tetapi tertahan. Aku yang nggak sanggup melihat tamparan, memejamkan mata. Aku yakin Lara juga melakukan hal yang serupa denganku. Tapi nggak ada bunyi plak. Aku membuka mataku. Ternyata Andre anak kelas II IPA 4 menahan tangan Puput.
            “Elo jangan pernah nyentuh wajah dia dengan tangan kotor elo !” desis Andre tajam. Puput berlari pergi diikuti ketiga sohibnya.
            “Kalian semua bubar. Ini bukan tontonan !” Teriak Andre. Penonton sontak kabur. Ntah takut atau karena hari yang semakin sore. Jadi harus kudu pulang. Aku dan Lara berlari pergi meninggalkan Rama dan Andre. Kami berlari menuju pohon akasia yang biasanya menerima tangis dan tawa kami. Hujan mulai turun. Kami nggak peduli.
            “Elo nggak apa-apa, Far?” tanya Lara prihatin. Air mata masih tergenang di pelupuk matanya. Aku menggeleng lemah. “Elo gimana?” aku bertanya balik. Sambil tanganku memegang tangannya yang ada bercak darah. Ternyata tangan Lara tergores kuku panjangnya Siska.
            “Elo yang sakit, Far. Wajah elo kena tampar,” ujar Lara sambil mengusap pipiku lembut. Kemudian kami berdua menangis bersama sambil berpelukkan. Air hujan menemani. Langit ikut hanyut dalam kesedihan kami.
            Tiba-tiba ada suara yang memanggil namaku dan Lara.
            “Elo nggak apa-apa, Ra?” tanya Andre lembut. Dia duduk di sebelah Lara. Dilihatnya tangan Lara yang terluka. Dilapnya dengan telapak tangannya sendiri dan air hujan hingga darah itu hilang. Lara merintih sedikit. Soalnya kalau luka yang baru kalo dikasih air rasanya perih.
            Aku akan mengelap air mataku, tetapi sebuah tangan yang hangat telah melakukannya. Itu tangan Rama. Rama mengusap lembut air mataku. “Aku nggak akan buat kamu menangis lagi,” ujar Rama lembut di telingaku. Aku sontak menarik diriku menjauh.
            “Kamu kenapa, Far?” tanya Rama heran padaku. Aku nggak menjawab. “Aku udah bilang, kalo aku suka kamu dari dulu. Kamu jangan ngebohongin perasaanmu lagi, Far. Nggak usah kamu hiraukan si Puput itu.” tambahnya lagi.
            “Maksud elo? Ngebohongin perasaan apaan sih?” tanyaku. Sumpah aku bingung banget.
            “Jangan pura-pura nggak nyadar, aku udah tau semua dari Mas Gilang. Aku tau, kamu juga suka sama aku. Makanya menjauhiku waktu aku pacaran sama Puput,” jawab Rama. Aku malu banget. Dalam hati aku langsung mencaci Mas Gilang.
            “Bener tuh kata Rama. Ngaku aja deh, Far. Ntar dia balik lagi ke Puput. Kan kasihan nih pohon nampung air mata elo terus.” Kali ini Lara yang berbicara sambil tersenyum.
            “Apaan sih,” balasku pendek. Lalu Rama memelukku dengan kedua lengannya. Aku terkejut.
“Aku tau kok  apa jawabanmu,” ujarnya lembut. Aku hanya tersenyum. Aku menatap Lara yang tersenyum manis padaku.
            “Makasih udah nunggu aku ya Far,” ucap Rama lagi. Aku hanya mengangguk.
            “Ciiiiieeeeeeeee… yang baru jadian,” ledek Lara.
            “Jadi, pohon akasia tinggal nampung tangis Lara lagi dong. Soalnya Farah udah ada yang nampung yaitu gue,” ujar Rama. Aku langsung dapat ide untuk meledek Lara.
            “Ini pohon, udah selesai tugasnya karena Lara Dilena Putri udah ada yang jaga yaitu Andre. Gue tau kok. Sebagai sahabat, gue tau. Sebaiknya kita berdua ngucapin makasih sama nih pohon,” ujarku. Lara mencibir padaku. Andre tersenyum bahagia.
            “MAAAAAKKKKKKKKAASSSSSSSSIIIIIIIIIIIH, SAAAAHHHHHHHHABBBAAAAAAAAAAT PPPOHOON.” Teriak aku dan Lara gembira. Hujan udah berhenti, langit cerah. Sepertinya langit memang mendukung aku dan Lara.
            “Kami juga ngucapin makasih  karena udah ngijinin kami mejaga Lara dan Farah,” ujar Andre dan Rama serempak. Aku dan Lara tercengang.
            “Dasar norak,” seruku dan Lara.
*****

Hari ini aku , Lara, Andre, dan Rama tengah bermain bersama gelombang pantai. Melakukan permainan yang biasa aku dan Lara lakukan. Berdiri agak menengah di pantai, menunggu gelombang laut menarik kami. Merentangkan tangan seluas-luasnya. Tapi kali ini kami bergandengan tangan. Rama menggandeng tangan kananku, Lara menggandeng tangan kiriku, dan Andre menggandeng tangan kiri Lara. Kami tertawa bersama, menatap sejauh-jauhnya menuju samudera luas dan membiarkan rambut kami diterpa angin samudera. Kemudian kami berteriak bersama-sama.
“MAKASIH SAMUDERA, UDAH MAU MENAMPUNG LUAPAN KEGEMBIRAAN INI.” Norak banget ya. Namanya juga anak usia 17 tahun yang masih tergila-gila dengan cinta. Hehehe…
            “Terima kasih Tuhan, udah ngabulin doaku,” ucapku dalam hati. Masih ingatkan.  Aku sekarang percaya dengan filosofi yang menyatakan, ‘kalau benci itu pertanda cinta’. Lara juga percaya dengan kata-kata, ‘cinta itu nggak perlu dicari karena ia akan datang sendiri’.
           
“The End”

0 comments:

Posting Komentar