Haruskah Aku Harus menuggu ??? *Part 1*


Gadis kecil berkuncir dua dengan wajah polos mencoba menahan air mata yang telah berada di pelupuk matanya dan nyaris membuat anak sungai di pipi tembemnya yang kemerah-merahan. Menatap kepergian dia yang selalu menemaninya sejak mereka baru berkenalan.
   Pesawat telah lepas landas menuju angkasa bebas. ”Dia telah pergi.” gumam gadis kecil itu yang kira-kira baru berusia tujuh tahun. Kata-kata terakhir dari sosok yang telah pergi itu masih teriang-iang  di telinganya.
   ”Tetaplah percaya kepada ku. Ku pasti akan kembali untukmu.” kata seorang anak laki-laki berusia delapan tahun dengan yakin, sambil memegang pundak cewek di depannya lalu pergi menuju pesawat. Gadis kecil berkuncir dua itu hanya mengangguk pasrah. Tak ada pelukan perpisahan, benda kenangan, dan hanya ada senyum perpisahan dari sang Cowok. Gadis kecil itu merasa senyum itu adalah tanda perpisahan untuk selama-lamanya.
  Setelah insiden perpisahan, gadis mungil dengan pipi kemerah-merahan itu tetap menunggu ke pulangan si Dia. Menunggu di teras depan rumahnya dengan melamun. Hari ini dia belum pulang, besok juga, dan seterusnya. Akhirnya, gadis kecil itu lelah menunggu. Sekarang dia telah yakin kalau orang yang ditunggu-tunggunya tak kan pernah kembali.

   SEMBILAN TAHUN KEMUDIAN

   Seberkas cahaya memasuki ruangan kamar gadis yang tengah tertidur pulas di atas ranjang empuk. Cahaya hinggap di muka gadis itu, bukannya bangun tetapi gadis itu malah menarik selimutnya hingga menutupi wajahnya.
   Sekarang pukul enam lewat lima pagi, tetapi cewek itu belum juga bangun. Mbok Nah, pembantu yang telah berkerja di rumahnya sejak dia masih kecil berjalan dengan tergesa-gesa menaiki tangga untuk membangunkan sang Majikan.
   Krek... Pintu kamar terbuka, Mbok Nah masuk dan menuju tempat majikannya tidur dengan pulasnya.
   ”Non Ratna bangun.” kata Mbok Nah sambil mengoyang-goyangkan tubuh Ratna. Dua tiga kali gadis itu bergeming juga. Akhirnya, Mbok Nah berteriak.
   ”NON BANGUN.”
   Ok gadis itu bernama Ratna, dengan malasnya Ratna bangun.
   ”Jam berapa, Bi?” tanya Ratna dengan mata setengah terbuka.
   ”Enam lewat, Non.” jawab Bi Inah sambil membuka jendela.                                                        
   ”Jam enam, Bi!!!!” pekik Ratna.
   ”Ya, Non.” kata Bi Inah yang nyaris tertawa melihat tingkah majikannya itu.
   Tanpa ba-bi-bu lagi Ratna langsung bangun dan menyambar handuk yang bertengker dengan santai di gantungan samping lemarinya. Dan berlari secepat kilat menuju kamar mandi yang terletak di sudut kanan kamarnya.
   Begitu selesai mandi, Ratna langsung berganti pakaian. Hari ini adalah hari pertamanya menginjakkan kaki di bangku SMA. Memakai kemeja putih, rok abu-abu panjang, dan sepatu putih layaknya anak SMA pada umumnya. Setelah melewati masa orientasi siswa atau yang dikenal dengan MOS, siswa-siswa baru seperti Ratna dikerjai oleh senior dengan hal-hal aneh, disuruh jalan berjingkat-jingkat, rambut di kuncir sesuai dengan umur, buat ikat pinggang dari permenlah, tanda pengenal dari karton yang dibentuk model binatang, dan masih banyak lagi ide-ide dari senior-senior yang sangat ”kreatif ”. Perlu dicantumkan sangat kreatif.
   Setelah merasa siap dengan penampilannya, Ratna turun ke bawah dan menuju ruang makan. Di meja telah tersedia roti dan segelas susu. Tiada orang tua yang menemaninya untuk sekedar sarapan. Hanya ada Mbok Inah yang lebih sering dipanggil Bi Nah. Karena Mama Ratna sudah pergi dan hanya dapat mengawasi Ratna dari atas sana. Sedangkan Papanya, sibuk dengan urusan kantor dan bisnisnya. Bisnis, bisnis, dan bisnis.
   ”Pagi, Bi Nah.”, sapa Ratna ceria. Mengambil setangkup roti dan meminum seteguk susunya. Lalu ngeloyor pergi keluar menuju mobilnya yang telah terpakir dengan gagah di halaman rumah.
   ”Ayo, Non berangkat! Udah jam tujuh.” ujar Pak Pri, supir Ratna lalu masuk ke mobil. Dan Ratna mengucapkan salam kepada Bi Nah yang telah Ratna anggap sebagai ibunya. Kemudian masuk ke mobil. Mereka pun menembus suasana hiruk pikuk kota  Jakarta yang selalu ramai plus macet.
*****
Tepat pukul setengah delapan pagi, Ratna sampai di sekolahnya. Memang kalau sekolah Ratna masuknya pukul delapan, tetapi pulangnya juga lama, yaitu pukul tiga sore. Jarak rumahnya ke sekolah hanya di tempuh dalam tiga puluh menit dengan mobil. Kalau berjalan kaki sih bisa, malahan lebih cepat hanya dua puluh menit, lebih cepat sepuluh menit. Tetapi Ratna lebih suka diantar. Kan kalau jalan malas. Bikin capek pula. Begitu kira-kira jawaban Ratna kalau ditanya. Tapi, kalau Pak Pri lagi kurang enak badan Ratna biasanya jalan kaki atau naik taxi.
   Ratna pun sampai di sekolahnya, lalu dia turun dari mobil dan memberi salam kepada Pak Pri yang selalu setia mengatarnya ke mana-mana. Kemudian dia pun memasuki lingkungan sekolahnya yang baru.
   Ratna berjalan ke lantai atas mencari kelas sepuluh A, matanya sibuk celingak-celinguk mencari kelasnya. Tanpa dia sadari, dirinya menabrak seseorang.
   ”Sorry.” ujar Ratna pendek. Tangannya memunguti buku-buku yang terjatuh. Ratna mendongakan kepalanya ke atas, dia melihat sosok itu. Tersenyum kepadanya sekilas dan membantu memunguti buku. Ratna masih mendongak sementara cowok itu memunguti buku.
   ”Helo.” seru cowok itu. Perasaan heran terlintas dibenaknya.
   ”Helo.” ulangnya lagi. Belum ada jawaban. Akhirnya cowok itu menggoyangkan tubuh Ratna.
   ”Hmm, ya kenapa?” tanya Ratna yang baru sadar dari lamunannya. Sang Cowok tersenyum. Senyum itu. Caranya tersenyum. Ratna merasa mengenal cara tersenyum itu. Siapa dia??? Pertanyaan yang merasuki pikiran Ratna.
   ”Thanks.” ucap cowok itu pendek, setelah selesai memunguti buku-buku. Lalu berdiri dan Ratna ikut berdiri.
   “Loh, Kok kamu yang bilang thanks?” tanya Ratna heran.
   ”Eh... Nggak pa-pa kok. Emangnya kenapa?” tanya cowok itu. Dirinya merasa aneh, kenapa kalau bicara dengan cewek ini dia menggunakan bahasa yang agak-agak resmi gitu. Dan selalu ingin tersenyum.
   ”Kan tadi yang nabrak kamu aku. Seharusnya aku dong yang minta maaf. Ya kan??”
   ”Owh... gitu.” respon cowok itu pendek. Dan lagi-lagi tersenyum. Ratna yang melihat senyum itu, lalu tersenyum juga. Senyum itu sangat manis menurut si Cowok. Ketika tersenyum pipi cewek itu seperti kemerah-merahan dan terlihat tembem. Padahal kalau dilihat postur tubuhnya, cewek itu langsing dan tinggi. Sangat ideal. Kenapa kalau dia tersenyum cewek itu seperti gemuk. ”Aneh... opsz... pipi dan senyum itu seperti sangat dia kenal. Siapa cewek itu??” pikir si Cowok dalam hati.
   Keduanya diam terpaku. Saling memandang satu sama lain. Pertanyaan yang membayangi mereka berdua kembali teringah-ingah ditelinga keduanya.
   ”Rangga” teriak seorang cowok di seberang sana sambil melambaikan tangan.
   ”Ratna sini.” teriak seorang cewek berambut sebahu dari ujung  sana.
   Kedua suara itu seperti menampar keduanya. Mereka sama-sama tersadar dari lamunan. ”Dia Ratna.” batin Rangga. ”Dia Rangga.” ucap Ratna lirih dan sangat pelan.
   ”Aku duluan.” pamit Rangga dan berjalan menghampiri  temannya. Ratna hanya mengangguk. Dan berbalik arah menghampiri Vina cewek berambut sebahu itu.
   ”Vin, lo tau nggak siapa cowok yang gue tabrak tadi?”  tanya Ratna penasaran. Vina hampir keselek dengan minumannya.
   ”Ampun dech, Rat. Masa lo nggak tau siapa tuh cowok?”  Vina malah balik bertanya. Ratna hanya menggeleng.
   ”Helow, Neng. Dia tuh Rangga kapten basket sekolah kita nih, idola cewek-cewek lagi.” jelas Vina dan kembali meminum minumannya.
   ”Owh...” jawab Ratna sekedarnya. Vina yang mendengar merasa aneh. Mau nanya tapi, takutnya Ratna nggak tau lagi. Baru kali ini dia ketemu cewek aneh. Vina pun hanya geleng-geleng kepala dan mereka berdua berjalan menuju kelas mereka.

*****

0 comments:

Posting Komentar