Gadis kecil berkuncir dua dengan wajah polos mencoba
menahan air mata yang telah berada di pelupuk matanya dan nyaris membuat anak
sungai di pipi tembemnya yang kemerah-merahan. Menatap kepergian dia yang
selalu menemaninya sejak mereka baru berkenalan.
Pesawat telah
lepas landas menuju angkasa bebas. ”Dia telah pergi.” gumam gadis kecil itu
yang kira-kira baru berusia tujuh tahun. Kata-kata terakhir dari sosok yang
telah pergi itu masih teriang-iang di
telinganya.
”Tetaplah
percaya kepada ku. Ku pasti akan kembali untukmu.” kata seorang anak laki-laki
berusia delapan tahun dengan yakin, sambil memegang pundak cewek di depannya
lalu pergi menuju pesawat. Gadis kecil berkuncir dua itu hanya mengangguk
pasrah. Tak ada pelukan perpisahan, benda kenangan, dan hanya ada senyum
perpisahan dari sang Cowok. Gadis kecil itu merasa senyum itu adalah tanda
perpisahan untuk selama-lamanya.
Setelah insiden
perpisahan, gadis mungil dengan pipi kemerah-merahan itu tetap menunggu ke pulangan
si Dia. Menunggu di teras depan rumahnya dengan melamun. Hari ini dia belum
pulang, besok juga, dan seterusnya. Akhirnya, gadis kecil itu lelah menunggu.
Sekarang dia telah yakin kalau orang yang ditunggu-tunggunya tak kan pernah
kembali.
SEMBILAN
TAHUN KEMUDIAN
Seberkas cahaya memasuki ruangan kamar gadis
yang tengah tertidur pulas di atas ranjang empuk. Cahaya hinggap di muka gadis
itu, bukannya bangun tetapi gadis itu malah menarik selimutnya hingga menutupi
wajahnya.
Sekarang pukul enam lewat lima pagi, tetapi
cewek itu belum juga bangun. Mbok Nah, pembantu yang telah berkerja di rumahnya
sejak dia masih kecil berjalan dengan tergesa-gesa menaiki tangga untuk
membangunkan sang Majikan.
Krek... Pintu kamar terbuka, Mbok Nah masuk
dan menuju tempat majikannya tidur dengan pulasnya.
”Non Ratna bangun.” kata Mbok Nah sambil
mengoyang-goyangkan tubuh Ratna. Dua tiga kali gadis itu bergeming juga.
Akhirnya, Mbok Nah berteriak.
”NON BANGUN.”
Ok gadis itu bernama Ratna, dengan malasnya
Ratna bangun.
”Jam berapa, Bi?” tanya Ratna dengan mata
setengah terbuka.
”Enam lewat,
Non.” jawab Bi Inah sambil membuka jendela.
”Jam enam, Bi!!!!” pekik Ratna.
”Ya, Non.” kata Bi Inah yang nyaris tertawa
melihat tingkah majikannya itu.
Tanpa ba-bi-bu lagi Ratna langsung bangun
dan menyambar handuk yang bertengker dengan santai di gantungan samping
lemarinya. Dan berlari secepat kilat menuju kamar mandi yang terletak di sudut
kanan kamarnya.
Begitu selesai mandi, Ratna langsung berganti
pakaian. Hari ini adalah hari pertamanya menginjakkan kaki di bangku SMA.
Memakai kemeja putih, rok abu-abu panjang, dan sepatu putih layaknya anak SMA
pada umumnya. Setelah melewati masa orientasi siswa atau yang dikenal dengan
MOS, siswa-siswa baru seperti Ratna dikerjai oleh senior dengan hal-hal aneh,
disuruh jalan berjingkat-jingkat, rambut di kuncir sesuai dengan umur, buat
ikat pinggang dari permenlah, tanda pengenal dari karton yang dibentuk model
binatang, dan masih banyak lagi ide-ide dari senior-senior yang sangat ”kreatif
”. Perlu dicantumkan sangat kreatif.
Setelah merasa siap dengan penampilannya,
Ratna turun ke bawah dan menuju ruang makan. Di meja telah tersedia roti dan
segelas susu. Tiada orang tua yang menemaninya untuk sekedar sarapan. Hanya ada
Mbok Inah yang lebih sering dipanggil Bi Nah. Karena Mama Ratna sudah pergi dan
hanya dapat mengawasi Ratna dari atas sana. Sedangkan Papanya, sibuk dengan
urusan kantor dan bisnisnya. Bisnis, bisnis, dan bisnis.
”Pagi, Bi Nah.”, sapa Ratna ceria. Mengambil
setangkup roti dan meminum seteguk susunya. Lalu ngeloyor pergi keluar menuju
mobilnya yang telah terpakir dengan gagah di halaman rumah.
”Ayo, Non berangkat! Udah jam tujuh.” ujar
Pak Pri, supir Ratna lalu masuk ke mobil. Dan Ratna mengucapkan salam kepada Bi
Nah yang telah Ratna anggap sebagai ibunya. Kemudian masuk ke mobil. Mereka pun
menembus suasana hiruk pikuk kota Jakarta yang selalu ramai plus macet.
*****
Tepat pukul
setengah delapan pagi, Ratna sampai di sekolahnya. Memang kalau sekolah Ratna
masuknya pukul delapan, tetapi pulangnya juga lama, yaitu pukul tiga sore. Jarak
rumahnya ke sekolah hanya di tempuh dalam tiga puluh menit dengan mobil. Kalau
berjalan kaki sih bisa, malahan lebih cepat hanya dua puluh menit, lebih cepat
sepuluh menit. Tetapi Ratna lebih suka diantar. Kan kalau jalan malas. Bikin
capek pula. Begitu kira-kira jawaban Ratna kalau ditanya. Tapi, kalau Pak Pri
lagi kurang enak badan Ratna biasanya jalan kaki atau naik taxi.
Ratna pun sampai di sekolahnya, lalu dia
turun dari mobil dan memberi salam kepada Pak Pri yang selalu setia mengatarnya
ke mana-mana. Kemudian dia pun memasuki lingkungan sekolahnya yang baru.
Ratna berjalan ke lantai atas mencari kelas
sepuluh A, matanya sibuk celingak-celinguk mencari kelasnya. Tanpa dia sadari,
dirinya menabrak seseorang.
”Sorry.” ujar Ratna pendek. Tangannya
memunguti buku-buku yang terjatuh. Ratna mendongakan kepalanya ke atas, dia
melihat sosok itu. Tersenyum kepadanya sekilas dan membantu memunguti buku.
Ratna masih mendongak sementara cowok itu memunguti buku.
”Helo.” seru cowok itu. Perasaan heran
terlintas dibenaknya.
”Helo.” ulangnya lagi. Belum ada jawaban.
Akhirnya cowok itu menggoyangkan tubuh Ratna.
”Hmm, ya kenapa?” tanya Ratna yang baru
sadar dari lamunannya. Sang Cowok tersenyum. Senyum itu. Caranya tersenyum.
Ratna merasa mengenal cara tersenyum itu. Siapa dia??? Pertanyaan yang merasuki
pikiran Ratna.
”Thanks.” ucap cowok itu pendek, setelah selesai memunguti buku-buku. Lalu berdiri
dan Ratna ikut berdiri.
“Loh, Kok kamu yang bilang thanks?” tanya
Ratna heran.
”Eh... Nggak pa-pa kok. Emangnya kenapa?”
tanya cowok itu. Dirinya merasa aneh, kenapa kalau bicara dengan cewek ini dia
menggunakan bahasa yang agak-agak resmi gitu. Dan selalu ingin tersenyum.
”Kan tadi yang nabrak kamu aku. Seharusnya
aku dong yang minta maaf. Ya kan??”
”Owh... gitu.” respon cowok itu pendek. Dan
lagi-lagi tersenyum. Ratna yang melihat senyum itu, lalu tersenyum juga. Senyum
itu sangat manis menurut si Cowok. Ketika tersenyum pipi cewek itu seperti
kemerah-merahan dan terlihat tembem. Padahal kalau dilihat postur tubuhnya,
cewek itu langsing dan tinggi. Sangat ideal. Kenapa kalau dia tersenyum cewek
itu seperti gemuk. ”Aneh... opsz... pipi dan senyum itu seperti sangat dia
kenal. Siapa cewek itu??” pikir si Cowok dalam hati.
Keduanya diam terpaku. Saling memandang satu
sama lain. Pertanyaan yang membayangi mereka berdua kembali teringah-ingah
ditelinga keduanya.
”Rangga” teriak seorang cowok di seberang
sana sambil melambaikan tangan.
”Ratna sini.” teriak seorang cewek berambut
sebahu dari ujung sana.
Kedua suara itu seperti menampar keduanya.
Mereka sama-sama tersadar dari lamunan. ”Dia Ratna.” batin Rangga. ”Dia
Rangga.” ucap Ratna lirih dan sangat pelan.
”Aku duluan.” pamit Rangga dan berjalan
menghampiri temannya. Ratna hanya
mengangguk. Dan berbalik arah menghampiri Vina cewek berambut sebahu itu.
”Vin, lo tau nggak siapa cowok yang gue
tabrak tadi?” tanya Ratna penasaran.
Vina hampir keselek dengan minumannya.
”Ampun dech, Rat. Masa lo nggak tau siapa
tuh cowok?” Vina malah balik bertanya.
Ratna hanya menggeleng.
”Helow, Neng. Dia tuh Rangga kapten basket
sekolah kita nih, idola cewek-cewek lagi.” jelas Vina dan kembali meminum
minumannya.
”Owh...” jawab Ratna sekedarnya. Vina yang
mendengar merasa aneh. Mau nanya tapi, takutnya Ratna nggak tau lagi. Baru kali
ini dia ketemu cewek aneh. Vina pun hanya geleng-geleng kepala dan mereka
berdua berjalan menuju kelas mereka.
*****
0 comments:
Posting Komentar