Antara Aku dan Dia *Part 1*


“Kalo kita benci banget sama seseorang, itu tandanya kita sayang sama dia.” Kata-kata itu terus teriang-iang di kepalaku. Sudah beberapa hari ini,  sahabatku sekaligus teman sebangkuku menasehatiku hingga bosan aku mendengarnya. Nggak ada kata-kata lain apa yang lebih bagus gitu. Mama di rumah juga ikut-ikutan, apalagi Mas Gilang. Mas Gilang bahkan mengejekku. Ughh…sebel !! Di rumah, di sekolah, kenapa sih aku harus di judge sayang sama dia ? Hiiiyy…tak terbayangkan olehku. Jangan kan sayang, temenan sama dia aja aku ogah. Mending temenan sama si Onyet, monyet peliharaan papanya Lara. Walaupun si Onyet suka ngerampas makananku, tapi si Onyet gak ngesalin lebih parah dari dia. Tetap dia yang paling ngesalin dan nyebelin !! Oh, my God. Untung papa gak ikut-ikutan mama dan Mas Gilang. Kalo iya, duh bisa-bisa aku mau pindah aja ke planet lain yang gak ada orang-orang yang ngesalin bin nyebelin !!!
Hem, kenapa sih aku harus berhadapan sama dia? Gak ketemu di sekolah, ya di rumah. Kemana-mana selalu ketemu dia. Kayaknya dia itu bergentayangan dimana-mana deh. Dan lebih sialnya lagi, aku jadi ketiban sial tiap kali dia ada di dekatku. Ceritanya gini. Waktu itu, setelah pulang sekolah aku dan Lara mampir dulu ke warung makan dekat sekolah. Aku udah kelaparan banget karena tadi pagi aku gak sempat sarapan. Gak sanggup rasanya kalo mau pergi kemana-mana, perut gak diisi dulu. Aku dan Lara memilih kursi yang di dekat jendela. Lebih nyaman dan udara di luar keluar masuk terasa sejuknya. Ketika pesanan kami datang dan aku udah memulai suapan pertama makananku. Tiba-tiba terjadi adegan yang tak diinginkan. Mukaku kepencrot saos cabeeeeeeeeeeeee !! Oh, no ! Sontak aku berhenti menyuap makananku. Lara yang tersadar dari kekagetannya, langsung mengambil tissue dan mengelap pipiku yang terkena saos cabe itu. Aku yang belum sadar sepenuhnya, mengambil tissue dari tangan Lara dan mengelap sendiri ke wajahku.
“Siapa sih yang iseng banget, nyemprotin saos cabe sembarangan ??” tanya ku.
“Rah, Farah !! Coba lo liat ke depan deh !”
“Lara, gue udah liat ke depan. Dari tadi juga gue ngeliat elo.”
“Bukan gue, tapi cowok yang ada di belakang gue !!!”
“Oh, my God. Dia lagi. Dia lagi. Kenapa mesti dia sih ? ”
“Dia,dia,dia, dan dia.”
Yup, D-I-A. Dia. Orang yang paling ngesalin bin nyebelin yang pernah aku temui. Namanya Ramma Putra Sanjaya. Dia adalah tetangga sekaligus teman sekelasku di SMAN 2 Cempaka Biru. Rumahnya tepat disebelah rumahku. Rama dan keluarganya baru pindah ke rumah sebelah, sejak tiga bulan yang lalu. Semenjak itu lah, hubunganku dengannya sebagai teman sekelas maupun tetangga tidak pernah akur. Bak kucing dan anjing yang tidak pernah bisa disatukan sampai kapan pun. Sebenarnya aku tidak mau hubunganku dengan dia tidak akur begini. Tapi karena Rama nyebelin dan aku sering jadi sasaran keisengan dia, membuat aku tidak pernah mau ngobrol apalagi temenan sama dia. Bikin emosi.
Aku gak tau apa mau Rama sebenarnya. Terkadang dia bisa bersikap baik padaku. Sangat baik malah dan terkadang juga dia bisa bersikap menyebalkan. Sangat-sangat me-nye-bal-kan. Saking menyebalkannya, liat muka Rama aja aku males. Apalagi ketemu sama dia, ogah banget. Kalo dia muncul di depan mukaku, mendingan cepat-cepat kabur deh daripada ketiban sial !!!
*****
Hari ini  mungkin nggak akan pernah aku lupakan. Hari di mana aku ketiban sial lagi. Sangat sial. Pastinya kalian udah tau semua siapa penyebabnya. Kalau bukan dia, si Kutu Kampret itu (Rama) siapa lagi.
            Begini ceritanya, hari ini sehabis  jam sekolah aku dan Lara berjalan dengan riangnya menuju gerbang. Kami sambil cerita-cerita gitu. Sambil tertawa-tawa dan timpuk-timpukan dengan buku yang kami pegang. Nggak tau kenapa, tiba-tiba muka ku basah. Sedangkan Lara nggak. Aku menatap Lara. Mungkin aja dia yang nyemprotin aku secara dia nggak basah. Eh, nggak taunya bukan. Soalnya Lara sama sekali nggak memegang sesuatu yang berisi air. Lalu aku menatap ke sekelilingku. Jreng…jreng…jreng… tau nggak siapa berdiri di sebelah kananku. Itu si Rama dengan aqua gelas di tangan dan senyum lebar tercetak dari ke dua bibirnya. Ia tertawa terbahak-bahak. Huh, bikin sebeel !!
            “Woi, lo kira gue tanaman apa. Pake disiram-siram segala. Enak aja lo,” bentak ku. Lara hanya diam menatap kami berdua.
            Rama berdecak, “Lo memang bukan tanaman, tapi elo itu kering kerontang. Perlu disiram, biar tumbuh dengan subur dan berisi. Nggak kayak ranting kering. Terus gue juga nggak ngeras rugi kok ngasih nih air untuk lo. Kan sisa gue minum, sayang dong kalau di buang. Enak untuk lo aj.”
            Lara tercengang mendengar ucapan Rama. Apalagi aku, sangat ternganga. Emang gila tuh anak. Aku jadi kesal banget, nggak terima! Dengan luapan penuh emosi, amarah, dan rasa dendam yang amat sangat mendalam aku membalas ucapannya.
            “Dengar ya, orang sok keren. Sok sempurna. Gue nggak butuh air dari elo. Kalau pun gue haus gue bisa beli sendiri, bisa minum sendiri. Nggak perlu lo siram gue. Terus siapa juga mau air sisa lo, bisa tertular penyakit gila elo. Penyakit sarap elo dan penyakit-penyakit elo yang berhubungan dengan jiwa elo yang udah nggak waras itu.” Balasku dengan senyum menghina.
            “Nona cerewet, manja bin edan. Gue kasih tau ya, gue emang keren, emang sempurna. Elo nggak bisa liat apa mana yang keren mana yang nggak. Atau selera lo emang rendahan. Tau lah, selera elo kan Mang Parji tukang siomay itu.” Balas sekaligus ejek Rama.
            Ini sudah termasuk penghinaan kelas kakap. Aku nggak bisa terima lagi. Dengan berang aku masih bisa membalas rentetan kata dari Rama yang super menyakitkan hati itu.
“Elo emang gila. Nggak waras. Lo jangan suka ngejekin orang lain. Ntar elo kena karmanya sendiri.”
            “Tuh kan dibelain. Memang naksir dia.” Balas Rama dengan tawanya.
Aku semakin marah. Kemudian dengan kesalnya, aku melempari buku-buku yang aku pegang ke arahnya. Buukk… buku itu sukses mendarat di depan mukanya dengan tepat dan selamat. Lumayanlah buku setebal dua ratus-an halaman itu.
            Rama nggak bisa ngeluarin kata-kata lagi, tapi dia malah menarik tanganku dengan cepat. Pada saat itu juga, aku dan dia berada dalam jarak yang dekat, dalam radius kurang 50 cm. Tau kan seberapa dekatnya. Apalagi tanganku digenggamnya. Ya ampun, gue jadi malu banget. Rama malah memplototiku. Aku menggubrisnya. Aku melihat kiri dan kanan, pastinya bukan pohon cemara yang aku lihat karena  aku bukan lagi piknik. Tapi segerombol makhluk hasil evolusi dari monyet bulu yaitu manusia yang punya mata, pikiran, dan hati. Sumpah gue malu banget jadi bahan tontonan mereka.
Aku segera melepaskan diriku dari cengkraman si Kutu Kampret. Gila, susah banget. Malah sekarang ia memelukku dengan kedua lengannya. Lara sahabatku masih tidak sadar dan hanya diam saja. Aku terus mencoba melepaskan cengkraman tangannya. Nggak ada cara lain, gue gigit aja tangannya. Tentu berhasil dong, dia menjerit kesakitan dan aku langsung melepaskan tubuhku darinya dan mengambil buku-bukuku yang berserakan. Kemudian menarik Lara yang masih diam terpaku. Lari terbirit-birit menuju parkiran. Menstrater motorku. Lara ternyata sudah sadar dan mengambil tempat di belakang. Lalu kami meninggalkan sekolah terkutuk ini.
*****
Sejak insiden hari itu. Aku malu banget ke sekolah. Apalagi ke kantin. Tau nggak apa yang dibilang orang-orang tentangku. “Wah, ada yang udah peluk-pelukan di lapangan. Ckckck.” Mana aku nggak sebel mendengarnya. Untuk ke kantin, selalu Lara yang membelikan makanan untukku. Sejak hari itu juga aku menghindari Rama. Nggak menggubris semua ejekannya tentangku. Aku cuek aja. Karena dengan begitu hidupku jadi aman, tentram, dan damai. Oh, indahnya! The Beautiful Day is coming. Hehehe…
Seminggu dari insiden itu juga, berita tentangku telah hilang. Ahamdulillah. Aku semakin semangat ke sekolah. Sudah seminggu juga Rama berhenti mengusiliku. Bahkan dia hilang dari pandangan. Hanya saja kami bertemu di kelas. Karena kami memang sekelas.
            Mama dan Mas Gilang juga heran. Tumben sudah seminggu ini aksi teriak-teriakkan dan suara berantemku dengan Rama vakum dulu. Padahal setiap hari pasti ada aja. Apalagi sore hari, sampai tetangga yang lain juga marah-marah. Tak luput juga kami sering jadi tontonan anak kecil. Tapi semua itu hilang. Mama dan Mas Gilang yang penasaran banget jadi bertanya padaku.
            “Rah, lo putus ya sama Rama?” tanya Mas Gilang kalem. Aku langsung memplototinya.
            “Idiiiihhhh, siapa juga yang pacaran sama dia. Mas aja gih, kayaknya suka banget sama dia,” balasku santai.
            “Alah, ntar lagi lu jadian sama Rama. Jangan nangis loh, kalau misalnya dia jadian sama yang lain,” ujar Masku santai lalu pergi meninggalkanku. Ah, aku nggak peduli ! Mau sama yang lain, si Onyet, atau siapa. Yang penting hidup menjadi aman. Akupun tersenyum penuh kemenangan.
*****

0 comments:

Posting Komentar