“Kalo kita benci banget
sama seseorang, itu tandanya kita sayang sama dia.” Kata-kata itu terus
teriang-iang di kepalaku. Sudah beberapa hari ini, sahabatku sekaligus teman sebangkuku
menasehatiku hingga bosan aku mendengarnya. Nggak ada kata-kata lain apa yang
lebih bagus gitu. Mama di rumah juga ikut-ikutan, apalagi Mas Gilang. Mas
Gilang bahkan mengejekku. Ughh…sebel !! Di rumah, di sekolah, kenapa sih aku
harus di judge sayang sama dia ?
Hiiiyy…tak terbayangkan olehku. Jangan kan sayang, temenan sama dia aja aku
ogah. Mending temenan sama si Onyet, monyet peliharaan papanya Lara. Walaupun
si Onyet suka ngerampas makananku, tapi si Onyet gak ngesalin lebih parah dari
dia. Tetap dia yang paling ngesalin dan nyebelin !! Oh, my God. Untung papa gak ikut-ikutan mama dan Mas Gilang. Kalo iya,
duh bisa-bisa aku mau pindah aja ke planet lain yang gak ada orang-orang yang
ngesalin bin nyebelin !!!
Hem, kenapa sih aku
harus berhadapan sama dia? Gak ketemu di sekolah, ya di rumah. Kemana-mana
selalu ketemu dia. Kayaknya dia itu bergentayangan dimana-mana deh. Dan lebih
sialnya lagi, aku jadi ketiban sial tiap kali dia ada di dekatku. Ceritanya
gini. Waktu itu, setelah pulang sekolah aku dan Lara mampir dulu ke warung
makan dekat sekolah. Aku udah kelaparan banget karena tadi pagi aku gak sempat
sarapan. Gak sanggup rasanya kalo mau pergi kemana-mana, perut gak diisi dulu.
Aku dan Lara memilih kursi yang di dekat jendela. Lebih nyaman dan udara di
luar keluar masuk terasa sejuknya. Ketika pesanan kami datang dan aku udah memulai
suapan pertama makananku. Tiba-tiba terjadi adegan yang tak diinginkan. Mukaku
kepencrot saos cabeeeeeeeeeeeee !! Oh, no
! Sontak aku berhenti menyuap makananku. Lara yang tersadar dari kekagetannya,
langsung mengambil tissue dan
mengelap pipiku yang terkena saos cabe itu. Aku yang belum sadar sepenuhnya,
mengambil tissue dari tangan Lara dan
mengelap sendiri ke wajahku.
“Siapa sih yang iseng
banget, nyemprotin saos cabe sembarangan ??” tanya ku.
“Rah, Farah !! Coba lo
liat ke depan deh !”
“Lara, gue udah liat ke
depan. Dari tadi juga gue ngeliat elo.”
“Bukan gue, tapi cowok
yang ada di belakang gue !!!”
“Oh, my God. Dia lagi. Dia lagi. Kenapa mesti
dia sih ? ”
“Dia,dia,dia, dan dia.”
Yup, D-I-A. Dia. Orang
yang paling ngesalin bin nyebelin yang pernah aku temui. Namanya Ramma Putra
Sanjaya. Dia adalah tetangga sekaligus teman sekelasku di SMAN 2 Cempaka Biru.
Rumahnya tepat disebelah rumahku. Rama dan keluarganya baru pindah ke rumah
sebelah, sejak tiga bulan yang lalu. Semenjak itu lah, hubunganku dengannya
sebagai teman sekelas maupun tetangga tidak pernah akur. Bak kucing dan anjing
yang tidak pernah bisa disatukan sampai kapan pun. Sebenarnya aku tidak mau
hubunganku dengan dia tidak akur begini. Tapi karena Rama nyebelin dan aku
sering jadi sasaran keisengan dia, membuat aku tidak pernah mau ngobrol apalagi
temenan sama dia. Bikin emosi.
Aku gak tau apa mau
Rama sebenarnya. Terkadang dia bisa bersikap baik padaku. Sangat baik malah dan
terkadang juga dia bisa bersikap menyebalkan. Sangat-sangat me-nye-bal-kan.
Saking menyebalkannya, liat muka Rama aja aku males. Apalagi ketemu sama dia,
ogah banget. Kalo dia muncul di depan mukaku, mendingan cepat-cepat kabur deh
daripada ketiban sial !!!
*****
Hari ini mungkin nggak akan pernah aku lupakan. Hari di
mana aku ketiban sial lagi. Sangat sial. Pastinya kalian udah tau semua siapa
penyebabnya. Kalau bukan dia, si Kutu Kampret itu (Rama) siapa lagi.
Begini
ceritanya, hari ini sehabis jam sekolah
aku dan Lara berjalan dengan riangnya menuju gerbang. Kami sambil cerita-cerita
gitu. Sambil tertawa-tawa dan timpuk-timpukan dengan buku yang kami pegang.
Nggak tau kenapa, tiba-tiba muka ku basah. Sedangkan Lara nggak. Aku menatap
Lara. Mungkin aja dia yang nyemprotin aku secara dia nggak basah. Eh, nggak
taunya bukan. Soalnya Lara sama sekali nggak memegang sesuatu yang berisi air.
Lalu aku menatap ke sekelilingku. Jreng…jreng…jreng… tau nggak siapa berdiri di
sebelah kananku. Itu si Rama dengan aqua gelas di tangan dan senyum lebar
tercetak dari ke dua bibirnya. Ia tertawa terbahak-bahak. Huh, bikin sebeel !!
“Woi,
lo kira gue tanaman apa. Pake disiram-siram segala. Enak aja lo,” bentak ku.
Lara hanya diam menatap kami berdua.
Rama
berdecak, “Lo memang bukan tanaman, tapi elo itu kering kerontang. Perlu disiram,
biar tumbuh dengan subur dan berisi. Nggak kayak ranting kering. Terus gue juga
nggak ngeras rugi kok ngasih nih air untuk lo. Kan sisa gue minum, sayang dong
kalau di buang. Enak untuk lo aj.”
Lara
tercengang mendengar ucapan Rama. Apalagi aku, sangat ternganga. Emang gila tuh
anak. Aku jadi kesal banget, nggak terima! Dengan luapan penuh emosi, amarah,
dan rasa dendam yang amat sangat mendalam aku membalas ucapannya.
“Dengar
ya, orang sok keren. Sok sempurna. Gue nggak butuh air dari elo. Kalau pun gue
haus gue bisa beli sendiri, bisa minum sendiri. Nggak perlu lo siram gue. Terus
siapa juga mau air sisa lo, bisa tertular penyakit gila elo. Penyakit sarap elo
dan penyakit-penyakit elo yang berhubungan dengan jiwa elo yang udah nggak
waras itu.” Balasku dengan senyum menghina.
“Nona
cerewet, manja bin edan. Gue kasih tau ya, gue emang keren, emang sempurna. Elo
nggak bisa liat apa mana yang keren mana yang nggak. Atau selera lo emang
rendahan. Tau lah, selera elo kan Mang Parji tukang siomay itu.” Balas
sekaligus ejek Rama.
Ini
sudah termasuk penghinaan kelas kakap. Aku nggak bisa terima lagi. Dengan
berang aku masih bisa membalas rentetan kata dari Rama yang super menyakitkan
hati itu.
“Elo emang gila. Nggak
waras. Lo jangan suka ngejekin orang lain. Ntar elo kena karmanya sendiri.”
“Tuh
kan dibelain. Memang naksir dia.” Balas Rama dengan tawanya.
Aku semakin marah.
Kemudian dengan kesalnya, aku melempari buku-buku yang aku pegang ke arahnya.
Buukk… buku itu sukses mendarat di depan mukanya dengan tepat dan selamat.
Lumayanlah buku setebal dua ratus-an halaman itu.
Rama
nggak bisa ngeluarin kata-kata lagi, tapi dia malah menarik tanganku dengan
cepat. Pada saat itu juga, aku dan dia berada dalam jarak yang dekat, dalam
radius kurang 50 cm. Tau kan seberapa dekatnya. Apalagi tanganku digenggamnya.
Ya ampun, gue jadi malu banget. Rama malah memplototiku. Aku menggubrisnya. Aku
melihat kiri dan kanan, pastinya bukan pohon cemara yang aku lihat karena aku bukan lagi piknik. Tapi segerombol
makhluk hasil evolusi dari monyet bulu yaitu manusia yang punya mata, pikiran,
dan hati. Sumpah gue malu banget jadi bahan tontonan mereka.
Aku segera melepaskan
diriku dari cengkraman si Kutu Kampret. Gila, susah banget. Malah sekarang ia
memelukku dengan kedua lengannya. Lara sahabatku masih tidak sadar dan hanya
diam saja. Aku terus mencoba melepaskan cengkraman tangannya. Nggak ada cara
lain, gue gigit aja tangannya. Tentu berhasil dong, dia menjerit kesakitan dan
aku langsung melepaskan tubuhku darinya dan mengambil buku-bukuku yang
berserakan. Kemudian menarik Lara yang masih diam terpaku. Lari terbirit-birit
menuju parkiran. Menstrater motorku. Lara ternyata sudah sadar dan mengambil
tempat di belakang. Lalu kami meninggalkan sekolah terkutuk ini.
*****
Sejak insiden hari itu. Aku malu banget ke sekolah.
Apalagi ke kantin. Tau nggak apa yang dibilang orang-orang tentangku. “Wah, ada
yang udah peluk-pelukan di lapangan. Ckckck.” Mana aku nggak sebel
mendengarnya. Untuk ke kantin, selalu Lara yang membelikan makanan untukku.
Sejak hari itu juga aku menghindari Rama. Nggak menggubris semua ejekannya
tentangku. Aku cuek aja. Karena dengan begitu hidupku jadi aman, tentram, dan
damai. Oh, indahnya! The Beautiful Day is coming. Hehehe…
Seminggu dari insiden
itu juga, berita tentangku telah hilang. Ahamdulillah. Aku semakin semangat ke
sekolah. Sudah seminggu juga Rama berhenti mengusiliku. Bahkan dia hilang dari
pandangan. Hanya saja kami bertemu di kelas. Karena kami memang sekelas.
Mama
dan Mas Gilang juga heran. Tumben sudah seminggu ini aksi teriak-teriakkan dan
suara berantemku dengan Rama vakum dulu. Padahal setiap hari pasti ada aja.
Apalagi sore hari, sampai tetangga yang lain juga marah-marah. Tak luput juga
kami sering jadi tontonan anak kecil. Tapi semua itu hilang. Mama dan Mas
Gilang yang penasaran banget jadi bertanya padaku.
“Rah,
lo putus ya sama Rama?” tanya Mas Gilang kalem. Aku langsung memplototinya.
“Idiiiihhhh,
siapa juga yang pacaran sama dia. Mas aja gih, kayaknya suka banget sama dia,”
balasku santai.
“Alah,
ntar lagi lu jadian sama Rama. Jangan nangis loh, kalau misalnya dia jadian
sama yang lain,” ujar Masku santai lalu pergi meninggalkanku. Ah, aku nggak
peduli ! Mau sama yang lain, si Onyet, atau siapa. Yang penting hidup menjadi
aman. Akupun tersenyum penuh kemenangan.
*****
0 comments:
Posting Komentar