Hari ini aku dan teman sekelasku dibuat terkejut
oleh si Kutu Kampret. Terlebih lagi diriku sendiri. Kali ini bukan karena
kejahilannya. Tapi karena Rama membawa seorang cewek, kalau nggak salah anak
kelas sebelah. Wajahnya nggak asing. Ya dia si Puput, nama lengkapnya Putri
Indah Sari. Memang terkejut. Soalnya Rama memperkenalkan Puput sebagai ceweknya
atau pacarnya.
“Teman-temannku
sekalian yang saya sayangi, kecuali satu orang yang kalian udah tau siapa
orangnya,” sapanya tersenyum lebar dan menatapku dengan tampang mengejek. Aku
cuma mencibir. Lara yang duduk di sebelahku, ikutan mencibir juga. Memang
sahabat sejati.
“Oh
iya, sampai lupa. Kenalkan wanita cantik bin manis yang berdiri di sebelah
gue?” tanya Rama lebay banget kepada kami semua. Langsung ada jawaban
“IIIYYYYYYAAAAAAAAA.”
“Good,” ucapnya sambil tersenyum lebar.
“Puput sekarang udah resmi jadi cewek gue,” lanjutnya. Lagi-lagi tersenyum
penuh kemenangan ke arah ku. Seolah-olah apa yang dikatannya belum tegas, Rama
meminta pernyataan pada Puput. “ Ya kan, sayang?” Puput hanya mengangguk
tersenyum malu-malu. Langsung teriakan
cuiitt…cuuiiiiittttt..ciiieeeeee…cciiiiieeeeeeee membahana di ruang kelas kami
yang nggak besar dan juga nggak kecil ini.
“Hanya
sekedar pengumuman aja kok. Sekaligus buat ngasih tau pada seseorang yang dulu
pernah bilang ke gue, kalo gue itu nggak laku. Jelek. Nah, sekarang udah gue
buktiin. Malah dia yang ngejomblo terus,” ujar Rama panjang lebar. Aku langsung
teringat dengan kejadian itu. “Bye-bye, teman. Yuk, sayang.” Pamitnya begitu
norak pada kami dan menggandeng Puput keluar dari kelas. Aku memperhatikan
mereka, hingga kedua orang itu menghilang dari pandangan.
“Pantesan dia vakum
ngejekin elo. Nggak taunya pedekate toh.”
“Bersyukur
banget gue kalo begitu. Nggak ada orang sarap yang ngegangguin gue terus.”
“Hmm,
iya juga.” Respon Lara.
“Tapi, Far. Feeling gue
dulu, elo yang jadian sama Rama. Kok bisa salah ya? Padahal gue yakin banget,”
tambah Lara. Aku melongo’ mendengarnya. Gila!! Nggak Mama, Mas Gilang, Lara pun
ikut-ikutan ngatain aku sama Rama. Ya ampun. Untung Papa nggak. Kalau iya,
bisa-bisa kejadian nih. Kan kalau di mitos-mitos yunani itu, jika ada empat
orang yang punya feeling sama tentang
suatu kejadian, pasti bakal terjadi. Ogah deh. Aku bergidik.
“Lo
kenapa sih, Far?” tanya Lara bingung. Menatapku.
“Nggak
ada apa-apa kok. Ke kantin yuk. Lapar nih,” ucapku.
“Udah
berani ke kantin, Nih? Biasanya juga gue yang beliin,” goda Lara. Aku hanya
tersenyum dan menarik tangannya.
“Iya-iya,
sabar dong. Jangan tarik-tarik, sakit tau !” protes Lara. Aku cuekin aja. Emang
enak. Aku tersenyum geli dalam hati.
“Hmmm, kita makan apa
ya??” tanyaku pada Lara yang juga lagi sibuk melirik makanan yang berjejer di
kantin. Lezat-lezat, yummy, and pastinya delicious. Mataku terfokus pada bakso solo Pak De Jarwi yang
hangat-hangat, nampak menggiurkan.
“Ra,
kita makan bakso aja. Mau nggak?” tawarku pada Lara yang masih sibuk bergelirya.
“Bakso
ya, Far. Hmm. Gimana ya?” balas Lara, kulihat dia menatap bakso-bakso yang
berjejer di gerobak.
“Gimana
nih, lapar tau,” ujarku lagi.
“Oke
deh.” Akhirnya Lara memutuskan. Kami berdua berjalan menuju counter bakso Pak De Jarwo yang berada
di sudut kiri kantin. Kantin sekolah kami memang berbentuk persegi panjang.
Terus di depannya tersedia meja dan bangku untuk menyantap makanan. Siswa bebas
untuk memilih duduk di mana karena yang menyediakan meja-meja tersebut adalah sekolah.
“Pak,
kami pesan dua mangkuk ya !” ujar Lara. Aku pindah ke counter sebelah. Tempat jual minuman dingin. Aku mendengar Pak De
Jarwi menjawab, “Ya, Neng. Ditunggu sebentar ya!”
“Bu
Nah, seperti biasa es teh dua,” kataku setiba di counter Bu Nah. Bu Nah tersenyum lalu mengangguk. Beliau memang
sudah hapal dengan aku dan Lara. Karena setiap hari kami memang memesan segelas
teh dingin untuk masing-masing. Beda dengan Pak De Jarwo, karena kami hanya
makan bakso kalau lagi lapar banget. Seperti sekarang ini.
“Udah,
Far mesennya?” tanya Lara yang udah berdiri di sebelahku. Aku mengangguk. Lalu
kami berdua mengambil tempat duduk di dekat dinding. Biar enak nyender. Hehehee
Tidak
lama kemudian Pak De Jarwo dan Bu Nah tiba di meja kami. Mereka meletakkan dua
mangkuk bakso dan dua gelas es teh dingin. Hmm… harumnya. Bakso yang masih
panas mengempul pula, terus es teh dingin yang pas banget menemani bakso yang
diberi cabai banyak. Pedas..pedas. itu sih menurut aku dan Lara. Kalau menurut
dokter gigi, jangan sering-sering. Ntar tuh gigi bisa keropos. Belum jadi
nenek-nenek udah ompong.
Aku
dan Lara asyik menikmati bakso kami yang memang super mantap itu. Sambil
cerita-cerita dan tertawa-tawa. Untung kantin lagi lumayan sepi. Jadi nggak di
cap freak. Bakso yang aku makan udah hampir habis,
tiba-tiba ada suara cekikikan yang aku kenal. Lalu aku menoleh ke sebelah.
Ternyata dia lagi. Lara mengkodeiku untuk meninggalkan tempat ini. Tapi aku
memberikan jawaban menolak dengan kedua sorot mataku. Lara terus memintaku
untuk meninggalkan meja ini. Aku tau apa yang ia khawatirkan. Ia takut kami
berantem lagi. Dengan sorot mataku lagi, aku menjawab nggak akan. Kalau aku nggak
akan meninggalkan tempat ini, bisa-bisa aku di judge sama si Rama. Jealous.
Ku lihat Lara udah menyerah dan mulai menikmati sisa baksonya pada detik-detik
terakhir. Kami menjadi pendengar dan saksi kemesraan Rama dan Puput. Nggak aku
sangka Rama nggak merasakan kehadiranku. Biasanyakan dia langsung ngeh kalau
ada aku.
Oh
iya, tadi aku menyinggung kata jeolus.
Nggak..nggak..nggak mungkin dan nggak akan. Terdengar suara mereka asyik
mengobrol.
“Puput
sayang, mau mesen apa? Biar ayank Rama deh yang mesenin,” tanya Rama lembut
pada Puput yang duduk di sebelahku, hanya berjarak sekitar 60-an cm. Aku hampir
keselek mendengarnya. Norak banget.
“Bakso
sama pop ice aja,” jawab Puput. Rama segera meninggalkannya. Tinggallah Puput
seorang diri lagi.
“Far,
udah makannya?” tanya Lara tiba-tiba.
“Oh,
udah dong. Kenapa?” aku malah balik bertanya.
“Pergi,
yuk. Ke tempat biasa. Cari angin, biar adem,” jawab Lara. Kemudian menghirup
lagi es tehnya. Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba seseorang menyebut namaku.
“Eh,
ada Farah toh. Elo tetangganya Rama kan?” ternyata Puput bertanya padaku.
“Iya,
kenapa?” aku balik bertanya.
“Nggak
kenapa-kenapa sih, cuma ngingetin lo aja agar nggak ngegoda Rama gue di rumah.
Elo kan sering banget tuh cari perhatiannya Rama. Semua orang juga tau.
Akal-akalan elo aja sok galak sama Rama, nggak taunya elo cari kesempatan agar
deket sama Rama. Perlu gue tegasin lagi ya, kalo Rama itu udah punya gue. Jadi
elo, silakan pergi jauh-jauh dari dia !” jawab Puput dengan sorotan mata
tajamnya dan senyum menghina. Aku bener terperangah mendengar jawabannya itu.
Kali ini aku nggak bisa membalas kata-katanya.
“Elo
mikir dong, siapa juga yang mulai duluan ngegangguin sobat gue. Rama sendiri.
Bukan Farah. Dan elo pasti iri sama Farah makanya elo ngatain dia gitu. Terus
elo nggak perlu nyebut-nyebut Rama milik elo. Gue aja ragu kalo Rama emang
bener cinta sama elo,” balas Lara dan menatap Puput dengan tampang kasihan.
“Elo
ya, berani banget.” Puput meledak. Tangannya hampir memukul Lara. Aku segera
menghentikan tangan Puput yang melayang dengan tangan kananku.
“Elo
jangan sekali-kali nyentuh sobat gue dengan tangan kotor elo. Nggak layak.
Tangan elo layaknya buat nampar mulut elo sendiri, sama-sama kotor,” seruku.
Puput tercengang.
“Elo
jangan pernah ngatain mulut gue kotor. Nggak sadar ya? Dasar ganjen. Genit.
Centil,” balas Puput. Aku nggak terima dihina kayak begitu. Sumpah, suer aku
kesal banget. Tanpa sadar aku layangkan tanganku menuju pipinya Puput. Tetapi
terhenti dengan ucapan seseorang dan dicegatnya tanganku.
“Elo
apa-apaan sih, Far. Salah Puput apa, hah? Elo jangan ganggu cewek gue. Sekali
lagi elo ganggu cewek gue, awas aja lo !” bentak Rama. Aku terkejut Rama
mendukung Puput. Keterkejutan aku sirna begitu menyadari bahwa status Rama
memang pacar Puput. Wajar kalo dia ngebelain ceweknya sendiri.
“Awas
apaan?” tantangku. Lara mulai mengusap punggungku. “Sabar, Far.” ucap Lara
lirih.
“Ya
awas, aja. Kalo elo buat cewek gue nangis. Gue bales elo, dua kali lipat.” balas
Rama.
“Belain
aja pacar elo yang uler itu. Gue nggak peduli. Gue nggak takut ama elo.
Guee..gu..e..” kalimatku terhenti. Air mata turun. Aku nggak nyangka ternyata
air mata itu akan turun juga. Aku segera berlari dari kantin diikuti Lara. Ku
lihat sekilas, Puput tersenyum penuh kemenangan.
*****
“Udah deh, Far. Nggak
ada gunanya nangisin kejadian tadi,” bujuk Lara lembut. Aku masih tersedu-sedu.
Sekarang kami berdua lagi duduk di tempat biasa yaitu di bawah pohon akasia
yang berada di pojok kanan taman sekolah. Duduk di atas akar-akarnya yang
mecuat keluar dan super besar itu. Ada AC-nya (angin cepoi-cepoi) hehehe.
“Gue
juga nggak tau kenapa tiba-tiba nangis. Diri gue kayak nggak terima kalo Rama
ngebelain si Puput. Jelas-jelas dia yang salah. Moment-nya aja nggak tepat waktu Rama ngeliat,” ujarku lemah. Air
mata mulai berhenti.
“Hmm,”
Lara bergumam. “Elo benci banget ya sama Rama?” tanya lara hati-hati. Lara kok
bego banget kayaknya. Jelas-jelas dia udah tau kalo gue emang benci banget sama
Rama. Sekedar jawaban, aku hanya mengangguk.
“Gini
lo, Far. Benci itu ada dua. Pertama benci yang menciptakan amarah, menyakiti
diri sendiri lebih dari orang yang kita benci. Terus, benci yang kedua. Benci
yang tercipta karena orang itu melakukan hal-hal yang kita nggak suka. Kita
nggak terima. Terus kita selalu ingin orang itu melakukan hal yang sama pada
kita, walaupun kita nggak terima apa yang ia lakukan. Kita juga nggak rela kalau
hal tersebut ia lakukan kepada orang lain,” jelas Lara panjang lebar. Ohh, aku
tau apa maksudnya Lara.
“Bilang
aja, kalo benci yang kedua itu, maksudnya benci itu tanda sayang atau cinta
gitu kan?” ujarku. Lara Cuma tersenyum tipis. “Terus benci elo sama Rama
termasuk yang mana nih?” tanya Lara sedikit menggodaku. Aku kira dia udah tau
jawabannya. Tanpa perlu aku jawab. Tapi agar dia nggak curiga aku hanya jawab,
“Entahlah.”
Lara
tersenyum dan tertawa. “Far, Far, gue tau kok jawaban elo. Pasti yang kedua.
Udah dari dulu feeling gue tuh bilang
elo emang suka sama Rama,” ujar Lara. Aku menimpuk wajahnya dengan beberapa
tanaman rumput yang berhasil aku ambil dari tanah samping kananku.
“Kotor
tau nggak sih, Far. Kalo gini gue perlu
pedicure, manicure ke salon.”
Seru Lara pura-pura kesal. Aku tau dari sorot matanya yang tertawa jenaka.
“Dasar
norak, ah ! Lebay,” balasku. Dia hanya tertawa.
“Cie..cie..
ada yang baru nyadarin perasaannya sendiri nih.” Lara menggodaku. Aku keki abis.
Lalu beranjak dari tempat dudukku. Berdiri menatap ke arah langit biru nan
cantik. Lara menatapku dalam diam. Berdoa dalam hati. “Semoga apa yang aku
rasakan juga ia rasakan. Amin.”
“Ngpain
sih, Far?” tanya Lara bingung.
“Make a wish for sky,” jawabku pendek.
“Adanya
make a wish pada bintang jatuh,” sanggah
Lara.
“Biarin.
Yang penting buat make a wish.
Weeeekkk,” balasku sambil melet-melet. Lara menimpukku dengan sebuah ranting.
Kemudian ia berdiri juga, lalu berteriak yang bikin aku malu abis. “MOGA FARAH DAN
RAMA JADIAAN. KABULIN YA LANGIT.”
“LARAAAAAAAAAAAA….”
Jeritku. Dia berlari sambil meleletkan lidahnya padaku. Aku mengejarnya untuk
membungkam mulutnya yang ember itu.
*****
Lima hari dari paska di kantin, aku semakin menjaga
jarak dengan Rama. Kalau ketemu, aku juga nggak bilang apa-apa. Kalau dia nanya
sesuatu tentang pelajaran di kelas, juga aku abaikan. Kadang aku hanya
menjawab. ‘Nggak tau.’ ‘Nggak nyimak tadi.’ Dia pun jera. Nggak pernah
mengajakku ngbrol lagi. Di rumah kalau ia nanya peer atau tugas , aku selalu
bilang pada Mama, Papa, dan Mas Gilang kalo Rama mencari, bilang aja aku nggak
ada. Jadi otomatis aku nggak bertemu dia dan lihat tampang dia.
Lama-lama
aku mengerti perasaanku. Ya, benar. Aku suka sama dia. Sayang sama dia. Tapi untuk
apa, udah terlambat. Dulu-dulu berantem terus sama dia. Aku berkata untuk
diriku sendiri. ‘Lupain aja, dia udah punya orang lain. Biarkan rasa ini hanyut
bersama aliran air, terbang bersama angin, dan tenggelam di perut bumi.’
Hehehehe.. sok dramatis.
Di
sekolah aku ngobrol bareng Lara dan teman sekelas ku. Aku juga cuek, yang benar
pura-pura cuek kalo ada Puput sama Rama lagi berduaan juga di kelas. Aku nggak
peduli, tapi hatiku peduli. Entahlah, aku juga berusaha bertahan. Agar hati ini
nggak semakin terluka.
Sekarang
udah hampir sebulan total aku nggak ada lagi sangkut pautnya sama Rama. Nggak
peduli berita tentang dia dan Puput. Nggak peduli dengan aksi kemesraan mereka
berdua. Aku juga lebih banyak menghabiskan waktu bareng dengan Lara, sobatku.
Hari ini kami pergi ke pantai berdua cuma sekedar hang out.
“Ra,
elo nggak cari pacar nih?” tanyaku tiba-tiba. Lara sontak menoleh ke arah ku.
“Nggak
perlu dicari ah, kalo ada cinta pasti juga datang sendiri. Malah kalo
dicari-cari ntar pusing sendiri. Gue sama kayak elo, nunggu. Tapi nunggunya
beda, gue nunggu sampai ada cowok yang bisa buat Lara Delani Putri jatuh cinta.
Kalo elo, nunggu sampai Rama Putra Sanjaya kembali untuk Farah Anggun Pertiwi,” jawabnya santai. Aku
mencibir. Emang Lara siapa sih, kayaknya sedikit banget cowok-cowok yang bisa
bikin dia falling in love. “Oh ya,
Far. Feeling gue kan jarang tuh
gagal, gue yakin kalo Rama juga suka sama elo. Kira-kira udah berapa kali ya gue
bilang gini sama elo?” tanya Lara berlagak mikir. Jari telunjuknya, ia
tempelkan di pelipisnya.
“Udah
berjuta-juta kali mungkin. Soalnya elo udah bilang seperti itu dari sebulan
yang lalu.” jawabku.
“Hehehe..
masih tahan nih nunggu? Udah sebulan loh,” goda Lara. Aku cuma mencibir lagi.
“Hari
ini, gue mau nikmatin ombak pantai dan angin samudera. Jadi jangan dirusak
dengan membicarakan tentang Rama. Oke?”
“Okee,
deh. Yuk, ke pinggir pantai,” ajak Lara. Aku segera mengangguk. Kami berdua
berlomba lari siapa yang duluan tiba di sana. Aku berlari sekuat tenaga. Namaku
aja Farah, memang parah kalo di suruh lari. Lelet banget.
“YEEEEE,
GUE MENANG,” teriak Lara girang. Aku tiba di dekatnya, napasku ngos-ngosan.
Kami segera mengambil tempat di pantai, menunggu gelombangnya menerjang kami. Seolah-olah
membawa kami ke tengahnya. Aku dan Lara merentangkan kedua tangan kami
selebar-lebarnya dan berteriak sekencang-kencangnya. Angin samudera menerpa
rambut kami berdua yang tergerai begitu saja. Sampai berapa kali kami melakukan
hal yang sama. Memang sungguh mengasyikan. Aku juga menatap ke hamparan langit
biru di atas pantai, berdoa agar bisa seperti ini dengan orang yang aku
tunggu-tunggu.
Matahari
sudah hampir tenggelam. Aku dan Lara duduk di pinggir pantai, tapi agak jauh
dari air untuk melihat sunset. Hal
yang nggak akan kami lupakan kalo udah di pantai, pasti bela-belain nunggu moment ini. Langit semakin oranye.
Matahari semakin tenggelam dan tenggelam kemudian digantikan dengan warna
langit hitam pekat, tetapi dihiasi dengan berjuta-juta bintang yang bergemerlap
indah. Hari ini sungguh menyenangkan.
*****
0 comments:
Posting Komentar