Kisahku, Tak Tahu Bagaimana
Akhirnya……
Aku
tidak tahu mengapa aku selalu mencintai dia hingga saat ini. Sosok yang sangat
bertolak belakang dengan sikapku. Dia pemberani, tegas, ceria, pandai dan
menawan. Sedangkan aku, hanya gadis pendiam dan jago di bidang photography.
Satu-satunya keahlian yang aku miliki.
Entah kenapa Allah memberikan anugrah
cintanya kepadaku dengan mencintai dia. Orang yang selama ini tidak berani aku
mimpikan untuk menjadi kekassihku. Dia dan diriku?? Itu sungguh tak mungkin.
Tak kan mungkin dia bisa mencintaiku, disekililingnya selalu ada cewek-cewek
cantik nan modis bahkan juga ada si Manis nan Pintar yang bernama Acha. Dan
setelah aku perhatikan, mereka memang begitu dekat, sangat dekat.
Seperti sore ini, dia sedang bermain
basket bersama sahabat-sahabatnya. Dugaanku selalu benar, di sana ada Acha yang
setia menunggunya dan memberikannya minum dan handuk setelah ia selesai bermain
basket. Acha yang manis nan cantik, duduk di koridor kelas XI IPA 5 yang menghadap
ke lapangan basket. Acha yang selalu menerima senyum manisnya dia. Sungguh
beruntungnya menjadi Acha.
Sementara aku, hanya bisa diam dan
memperhatikan dari kejauhan. Memperhatikan dia yang selalu memberikan senyumnya
kepada Acha bukan kepadaku. Wajar sih kalau dia senyum kepada Acha, bukan
kepadaku. Toh dia nggak kenal aku. Bahkan kayaknya tidak tahu kalau ada seorang
gadis yang bernama Alyssa menunggu dia. Mencintai dia selalu.
Bagaimana dengan perasaanku ketika aku
mencintai dia secara diam-diam? Menegangkan, nyesek dan hanya bisa pasrah
mengikuti alur cinta yang membawa akhir dari rasaku. Menegangkan karena aku
takut orang lain akan tahu. Aku belum siap kalau orang lain mengetahui
perasaanku ini, bahkan sahabat-sahabatku. Nyesek?? Tentu saja, karena aku harus
selalu siap saat melihat dia bersama orang lain. Dekat dengan orang lain.
Pasrah?? Pasti, karena aku tak berani berbuat apa-apa.
Huft….beginilah nasibku. Memperhatikan
dari kejauhan dan selalu berharap kalau ia melihatku. Menyadari adanya diriku.
Aku membidik kamera yang selalu aku bawa
kemana-mana. Mengarahkannya ke satu titik. Titik di mana ia berdiri dengan
begitu gagah menurutku. Beginilah caraku, selalu mempotret dirinya tanpa dia
ketahui. Dengan begini, rasa nyesek yang aku rasakan sedikit berkurang.
Setelah cukup mengabadikannya untuk hari
ini, aku menyimpan kembali kameraku ke dalam tasku. Dan terakhir aku kembali
memperhatikan dia hingga ia selesai bermain basket.
*******
Jika
kamu bertanya tentang perkembangan rasaku sama dia? Tentu aku akan menjawab,
ternyata Tuhan selalu menjaga cintaku untuk dia seorang. Tetapi, bila yang kamu
tanyakan adalah perkembangan cerita ku terhadapnya? Maka, dengan lesu aku akan
menjawab. Tiada perkembangan apapun. Yang ada hanya aku, aku yang masih tetap
menunggu dirinya hingga dia melihatku.
Sekarang ini, aku dan ketiga sohibku
sedang berada di kantin. Kebetulan sekarang adalah jam istirahat. Aku, Via,
Agni dan Zahra duduk di meja pojok kantin bagian kanan. Kami tentu saja
mengobrol ria sambil menikmati santapan yang telah kami pesan.
Di tengah asyik mengobrol, bola mataku
tak sengaja menangkap sosok dia yang berjalan beriringan dengan ketiga sohibnya
dan pastinya Acha. Aku memejamkan mata sejenak sambil menghela nafas lelah.
Ntahlah, begitu berat yang dirasakan saat melihat dia bersama orang lain.
Apakah ini yang namanya cinta bertepuk sebelah tangan? Ya Allah, apakah ini
yang namanya cinta??
Kuperhatikan dia lewat ekor mataku. Masih
seperti dulu, tetap tampan, gagah, dan memiliki senyum manis dan menawan.
Astaga, aku menempelkan telapak tanganku di depan mukaku. Aku baru saja melihat
dia tertawa, sungguh luar biasa. Dia semakin sempurna. Ya ampun, apakah orang
sepertiku berhak menjadi pemiliknya??
“Fy, Woi Ify. Lo kenapa?” tanya Via dan
mengguncang-guncang tubuhku. Aku tersentak kaget dan menoleh ke arah Via.
Ternyata satu yang aku lupakan, di sini aku tak sendirian.
Aku memandang ketiga sohibku dan kemudian
menggidikan bahuku seraya menggeleng pelan.
“Jangan bohong deh, Fy. Ayo cerita dong,”
paksa Via sahabatku. Di antara mereka bertiga, memang Via-lah yang paling memahamiku.
Ku lihat Agni dan Zahra menatapku dengan tampang penuh tanya.
“Nggak ada apa-apa kok, Via. Nggak
percayaan amat sih,” ucapku.
“Kali aja memang nggak ada apa-apa dengan
Ify,” ujar Agni. Aku bangga, ternyata Agni memang dewasa.
“Nah tuh, Vi. Kayak Agni noh,” ujarku. Ku
lihat Via cemberut.
“Agni mah, belain terus Ify,” ucap Via
kesal. Agni nyengir. Selanjutnya, kami berempat pun saling cerita apa saja yang
membuat kami tertawa-tawa. Satu hal yang aku sukai, walaupun aku tergolong
pendiam, aku memiliki sahabat yang care
terhadap sesama dan menghargai namanya privacy.
Bukannya aku tak mau berbagi dengan mereka, tetapi alasannya seperti yang aku bilang
dari awal. Aku belum siap untuk mereka mengetahuinya. Walaupun bersahabat,
pasti masih ada ruang untuk privacy.
Nggak semuanya sahabat perlu tahu. Dan
aku sangat menghargai itu.
**************
Hari-hari masih tetap berlanjut dan
kisahku masih berjalan. Seperti dugaan kalian, aku dan dia masih sama-sama
jauh. Bahkan aku sangat yakin kalau ia tak akan pernah melihatku. Sebersit rasa
untuk tidak mencintainya lagi sering kali muncul. Ya yang namanya sebersit itu
sama saja dengan artinya bohong kalau rasa cinta dan ingin menjadi orang yang
ada di sampingnya lebih besar. Tentu saja rasa sebersit itu akan hilang dan
memudar dengan sendirinya.
Lagi-lagi aku melaksanakan aktivitas
rutinku yang gunanya sekedar untuk membalas rasa kangenku. Aku lagi-lagi mengamatinya
dari kejauhan. Hanya itu yang berani aku lakukan. Dan saat ini aku tengah duduk
di koridor depan kelasku yang berseberangan dengan koridor kelasnya dan tepat
saat itu juga, aku melihat dia tengah berkutat dengan buku-buku tebal berjudul
PHISYC yang berarti fisika. Ia tidak sendirian tentu saja. Seperti yang sudah
kalian bisa tebak, dia bersama Acha.
Sama seperti orang-orang yang lagi
cemburu itu. Aku hanya bisa diam menahan rasa nyeri di hatiku. Seperti inilah
yang aku rasakan tiap kali aku melihat dia bersama Acha. Bayangkan berapa
sering mereka bersama, sesering itu juga aku merasa sakit. Oke ini terlalu
berlebihan, tapi beginilah kenyataannya. Kenyataan yang harus aku hadapi dan
terima.
Aku mengehela nafas berulang-ulang untuk
mengurangi rasa sesak di dadaku. Aku terlalu nyesek, dan tentunya aku terlalu
bodoh untuk tetap mencintai dia. Orang
yang sulit untuk aku gapai. Ibarat bintang di angkasa, maka bintang ku
itu bintang yang paling tinggi dan terang di atas sana. Bintang yang entah
kapan bisa berada di dekatku.
***********
Hmmm….nggak kerasa ya aku udah hampir dua
tahun mencintainya secara diam-diam. Itu perbuatan sia-sia ya?? Tapi mau
gimana, aku mengenalnya tapi ia tak mengenalku. Aku mencintainya, tapi dia tak
mencintaiku. Dan aku melihatnya, sementara ia tak melihatku. Sungguh tragiskan
diriku??
Jujur, jika ada pilihan untukku, membenci
dirinya atau tak pernah mengenal dirinya. Maka aku akan lebih memilih untuk
takkan pernah mengenal dia. Tidak pernah mempunyai rasa ketertarikan terhadap
dirinya. Andai saja dulu……..andai saja……aku tak meminta untuk merasakan yang
namanya jatuh cinta. Maksudku belum pada saat itu. Dulu aku benar-benar tidak
tahu kalau ada cinta yang begitu menyakitkan. Aku kira dulu, semua cinta itu
akan penuh dengan akhir bahagia. Happy
ending. Seperti kisahnya Beauty and
The Beast, Cinderella Sepatu Kaca, Snow
White dan masih banyak lainnya.
Huft…..aku menghela nafas lemah. Lelah
rasanya. Aku memejamkan mataku dan mengambil oksigen yang berada bebas di
sekitarku. Di dalam pikiranku hanya ada bayangan wajah dia bersama Acha yang
berputar-putar tak menentu dan membuatku kesal.
“Hei….”
“Hei….”
Mataku masih terpejam dan aku mendengar
suara seseorang berkata ‘hei’. Aku ragu, apakah itu suatu panggilan untukku??
Aku mencoba tuk tak perduli. Namun masih saja suara itu memanggil, sepertinya
memang diriku. Aku pun membuka kelopak mataku dan tentu saja aku terkejut.
Ternyata dia, dia yang memanggil diriku. Aku merasakan jantungku tak kompromi,
belum lagi pikiranku yang telah terganti dengan ribuan pertanyaan penuh
kebingungan.
“Hei…” panggilnya lagi dan tak lupa
tersenyum, yang seperti biasanya senyum yang begitu mempesona.
“Oh ya, kenapa?” tanyaku senormal
mungkin. Aku takut jika gerogi mengalahkan control diriku dan memperlihatkan
diriku yang tengah salah tingkah.
“Kamu yang bernama Alyssa Saufika Umari?”
tanyanya. Aku refleks mengangguk plus bingung. Dari mana ia tahu namaku?? Apa
jangan-jangan ia diam-diam juga memikirkanku, batinku.
Aku diam menunggu apa yang akan dikatakannya
selajutnya. Deg-deg-an dan penuh harap kalau yang ia memang seperti dugaan.
“Kamu dipanggil sama Bu Ira. Di suruh ke
ruangannya,” ujarnya. Aku sedikit tersentak, ternyata dugaanku salah. Dan hal
baruku dapat, ternyata orang yang lagi kasmaran mudah sekalagi ge-er. Huft…..
Dari pada memikirkan kebodohanku tadi,
aku pun mau bertanya kepadanya. Namun, baru saja aku mau bertanya alasan apa
yang membuatku dipanggil oleh Wakil Kepala Sekolahku, dia sudah mau pergi.
“Oke. Gue udah sampein. Gue duluan ya,
Alyssa,” pamitnya. So, jadinya aku beranjak dari tempat duduku. Hei, aku belum
cerita kalau sendari tadi aku duduk di kursi koridor di depan kelasku. Dan
selanjutnya aku membawa langkahku menuju ruang Wakil kepala sekolah.
*******************
Ternyata Bu Ira memanggilku ke kantornya
hanya untuk memberitahukan bahwa aku harus mengikuti lomba photography tingkat
kota. Hanya itu yang beliau sampaian sekaligus wejengannya yang lumayan begitu
panjang. Kalau tidak salah hitung, waktunya sama seperti aku berlari
mengelilingi lapangan sebanyak dua keliling. Kenapa sih beliau repot-repot
gitu?? Apalagi lomba itu baru akan dilaksanakan dua bulan mendatang. Kayaknya
terlalu semangat deh Bu Ira.
Hei…..aku hampir melupakan sesuatu. Ibu
Ira itu bukan guru yang merepotkan, beliau adalah malaikat yang membuat
pangeranku, si Dia itu lho akhirnya mengetahui kalau di Global Nusantara
Internasional High School ini ada gadis yang bernama Alyssa Saufika Umari.
Ditambah lagi tadi ia memanggilku dengan sebutan Alyssa. Dia bilang, ‘Gue
duluan ya, Alyssa’. Fourpel banget tuh. Akhirnya dia memanggilku. Dia tahu aku.
Duh seneng banget rasanya. Tau nggak, ketika ia menyebut kata ‘Alyssa’ itu,
rasanya gue denger suara yang merdu banget. Menenangkan lagi. Wow…apakah ini
yang dimaksud orang-orang itu ‘cinta membuat semuanya menjadi indah’?? Kalau
iya, aku akuin itu. Aku setuju. Apalagi sekarang aku sadar, kalau tidak salah
aku jatuh cinta padanya. Aku juga tak menyesal karena telah memohon untuk
berkenalan dengan yang namanya cinta.
Aku juga setuju dengan Via sama Zahra.
Jatuh cinta itu banyak banget rasanya. Ibarat permen nano-nano-lah. Ah iya,
cinta nano-nano. Boleh juga tuh. Memang sih ada pahit dan asemnya,
tetapi……hei….tunggu dulu. Bukankah permen nano-nano itu terdiri dari rasa
manis, asem, asin dan pahit?? Kalau begitu, cinta juga seperti itu.
Mungkin-mungkin aja pahit dan asemnya itu seni dari cinta. Dan aku benar-benar
bersyukur akan anugerah cinta yang diberikan Allah.
*******
Huahaaaa……aku seneng banget. Double ‘WOW’
deh untuk minggu-minggu ini. Oh iya, kali ini jika kalian bertanya bagaimana
perkembangan aku dan dia, maka aku akan dengan sangat bangga menjawab ‘ada dong
perkembangannya’. Kalian pasti pada kagak menyangkakan? Ah iya dong, sekarang
ia sudah tahu namaku.
Tetapi yang paling aku sukai itu, ketika
aku dan dia tengah berpapasan di koridor, dia memanggilku. Tepatnya menyapaku.
‘Hai, Alyssa. Selamat siang’, dia menyapaku seperti itu. Walaupun terlalu
formal, ku akui itu, tetapi rasanya itu lho beda banget. Jantung gue berdesir
cepat, jantung gue nggak kompromi banget dan aku ngerasa kalau darahku mengalir
di pembuluh darahku dengan kecepatan super jet. Bukankah ini perasaan yang
konyol?? Namun begitulah kenyataannya.
Pokoknya minggu-minggu ini aku seneng banget.
Tetapi aku harus beritahu kalian, kalau saat ia menyapa di sampingnya selalu ada
Acha yang juga tersenyum manis ke arahku. Hmm….nggak masalah lagi deh. Bodoh
amat! Acha mah anggap aja makhluk dari planet antahbaranta yang bernaung di
galaksi Magelan, bukan Bima Sakti. Aku sih nggak tahu di mana itu galaksi.
Nggak mikirin deh. Eh…. kayaknya aku kejam banget ya??
Tetapi bukankah dalam cinta dan perang
semua itu dianggap sah?? Lagian aku juga nggak sampai menimbulkan pertumpahan
darah. So, aku koreksi lagi deh, kalau aku nggak kejam terhadap Acha, hanya
sedikit kesal dan banyak nggak sukanya. Hehehe…..
*******
Setelah minggu-minggu penuh luapan
kegembiraan yang sangat tak terkira itu, lama-lama aku merasakan bahwa ini
tidak akan bertahan lama. Feeling-ku mulai menajalankan tugasnya lagi deh.
Seperti sekarang ini, aku lagi bersama sahabat-sahabatku di pinggir lapangan.
Tepatnya di bawah pohon akasia yang begitu rindang. Kami berempat berkumpul
hanya untuk menikmati angin yang begitu sejuk dan permainan basket yang
tersuguh di depan kami.
Sebenarnya sih nggak gitu. Gini lho
sebenarnya, aku, Zahra dan Agni menemani Via yang diam-diam juga menonton
pangeran pujaannya basketan. Siapa lagi kalau bukan Alvin. Tepat saat itu juga,
di sana ada dia.
Aku memperhatikan dia yang tengah asyik
menaklukan si Bulat Orange. Permainannya begitu luar biasa. Dia memang jago
sih. Udah bakat alam kali. Mataku terus mengikuti pergerakannya. Dia memang
begitu hebat dan lincah. Kau tahu, ia sudah mencetak skor baru. Three point
lagi. Memang fantastic.
Hari ini juga aku kena bencana. Aku
kecolongan. Ternyata sohibku, Zahra mengikuti arah pendangku. Gawat nih aku
harus jawab apa bila ia bertanya.
“Eh, Fy. Lo liatin siapa sih?” tanya
Zahra kepadaku.
Benerkan dugaanku. Aku mulai cemas, apa
yang harus aku jawab. “Nggak ngelatin siapa-siapa kok, Ra,” akhirnya aku
menjawab. Percuma sih aku menjawab seperti itu. Karena Zahra pasti tahu kalau
aku berbohong.
“Cerita dong, Fy. Penasaran tahu,” paksa
Zahra.
“Iya dong, Fy. Gue udah lama perhatiin
elo. Lo memang sering ngeliatin orang basketan begitu saksama gitu. Selama ini
gue diamin aja, tapi gue udah keburu penasaran sekarang,” ucap Agni. Kali ini
Agni juga ikut-ikutan. Aku mengalihkan padanganku pada Via, aku berharap Via
akan menolongku.
Tetapi suatu harapan yang semu, karena
Via sendiri sudah fokus kepadaku. Ia sepertinya juga ingin mengetahui ada apa
denganku.
“Ayo dong cerita, Fy,” ujar Zahra lagi.
Via dan Agni ikut-ikutan mengangguk. Aku melihat wajah mereka penuh melas.
Sebenarnya aku mau tertawa tapi nggak tegaan. Akhirnya aku mengajak mereka
mendekat dan membisikan sesuatu.
“Jadi selama ini lo suka sama
Gambbbavrimaeeryyioiiiiooo…” suara Via terbawa oleh angin sehingga tak terlalu
jelas.
“Stev…….” Zahra ingin melanjutkan
ucapannya, namun keburu terpotong karena bunyi bel.
Teeeetttt……………
“Ayo kita ke kelas, nggak usah ember
deh,” ujarku dan segera menarik tangan ketiga sohibku. Aku tidak mau mengambil
resiko kalau nanti Via, Zahra dan Agni berteriak sambil menyebut nama orang
yang aku sukai itu dengan lantang dan jelas. Tentunya, seluruh GNIHS dapat
mendengarnya.
Sebelum aku benar-benar meninggalkan
lapangan. Bola mataku sekilas menangkap sosok dia dan Acha yang tengah berdua.
Aku perhatikan dengan saksama, mereka sanget dekat. Lebih dari biasanya. Akibat
dari aku melihat kejadian itu, lagi-lagi rasa miris dan nyesek itu datang lagi
kepadaku. Apakah ini awal dari kebenaran feeling-ku?? Ntahlah……
******
Untuk membuktikan kebenaran feeling-ku
ternyata tak perlu membutuhkan waktu lama. Kalau minggu-minggu kemarin aku
senang bukan kepalang, rasanya sampai ke langit ketujuh. Terus serasa
memenangkan lomba berenang di lautan luas mengalahkan hiu-hiu penghuni lautan,
pada hari ini kebalikannya.
Hari ini aku sangat merasakan apa yang
namanya itu ‘sakit’. Tubuhku terasa lemas dan mataku ingin mengeluarkan air
mata. Kalau berdasarkan pribahasa yang ada di buku 1001 kumpulan pribahas
Indonesia, maka aku seperti sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sakit banget…..
Pada hari ini aku menyaksikan bahwa dia
dan Acha sudah menjadi sepasang kekasih. Sebenarnya, secara tak sengaja aku
menjadi saksi pernyataan cinta yang baru saja terikrar di antara kedua. Aku tak
tahu siapa yang mengucapkannya duluan, namun aku melihat mereka berdua
berpelukan dan tragisnya, dia memandang Acha begitu dalam dan penuh cinta.
Saat itu juga serasa aku mau tumbang.
Sakit. Sakit banget. Di hati itu seperti begitu banyak kaktus yang menempel
bersama duri-durinya. Dada itu begitu nyesek. Sulit bernapas pula. Parahnya
lagi, air mataku jatuh tak terbendung.
Akhirnya aku merasakan cinta yang
benar-benar bertepuk sebelah tangan. Pada saat itu juga, aku menyadari bahwa
kebahagiaan yang aku dapat kemarin hanya hadiah atau bisa dibilang hiburan
untuk hatiku yang dulu selalu sering sakit. Namun sekarang, hadiah itu sudah
kadaluarsa dan aku memang harus kembali ke tempat semana mestinya. Tempat yang
aku harusnya tak berharap banyak dan tidak harusnya terlalu bermimpi tinggi.
Tak sanggup melihat kedekatan mereka
berdua, aku segera membawa langkahku menjuhi area itu. Aku berlari, tak mau
kesedihan dan keresahan menggapai diriku dan membuatku semakin terpuruk. Aku
tak mau itu. Putus cinta itu sudah cukup. Tak mau yang lain lagi.
******
Semakin hari aku semakin pendiam. Ketiga
sohibku memaklumi apa yang terjadi terhadap diriku, karena berita jadiannya dia
dan Acha sudah menyebar ke seluruh pojokan GNIHS. Aku merasakan hari-hari
semakin kelam. Kalian tahu, aku sudah mati-matian menghilangkan rasa yang
semestinya tidak aku miliki itu. Aku selalu mencoba untuk menghempaskannya.
Namun sia-sia, rasa itu terlalu melekat dalam dasar hatiku. Ditambah lagi,
kayaknya nama dia sudah memiliki ruang tersendiri di relung hampa hatiku. Ini
sungguh menyebalkan.
Ya
Allah, kenapa rasa ini masih bersarang dihatiku. Aku sudah tak sanggup lagi
karena rasa ini. Aku terlalu lemah dan tak mau memiliki rasa ini.
Sepertinya takdir dan waktu juga
mempermainkanku. Ini sungguh tidak adil. Di manakah keadilan?? Aku tak mau
merasakan sakit ini lagi. Tak mau.
Kenapa sih setiap aku pergi ke suatu
tempat di sekolahku, aku harus melihat mereka berdua?? Harus melihat keceriaan
yang mengintari mereka?? Kenapa?? Apa sih yang ingin ditunjukan ‘cinta’
kepadaku?? Kesedihan?? Impian yang telah tenggelam?? Suatu kebodohanku selama
ini?? Yang mana sih?? Jangan buat aku semakin menderita. Aku tak mau.
Aku tahu kalau semua ini salahku. Ini
kebodohan yang aku perbuat sendiri. Bodoh untuk mencintainya secara diam-diam.
Mana ada sih cinta diam-diam yang membuahkan hasil seperti yang diinginkan??
Nggak ada.
Tetapi kini aku sudah menyesal dan tak
ingin lagi merasakan yang namanya sakit. Tak mau kenal dengan yang namanya
cinta bertepuk sebelah tangan. Cinta nano-nano itu, bagiku terlalu banyak asem,
pahit dan asinnya dan membuatku menderita.
Sepertinya keyakinanku dulu memang benar,
dia dan diriku?? Sungguh tak mungkin dan kini telah terbukti. Dan harusnya aku
tak perlu meratapi kisahku yang tak berakhir happy ending ini. Yang perlu aku
lakukan hanya satu, melupakan dia. Melenyepkan rasa yang masih tertanam di
hatiku. Hanya itu. Just it… Alyssa, you must do it!!
*********
Kalian tahu usahaku untuk melupakan dia
sia-sia. Sekarang sudah dua bulan ia sama Acha dan dua bulan juga aku merasakan
pahitnya mencintai seseorang, namun ia tak memperdulikan kita. Tidak perlu aku
jabarkan bagaimana rasanya, karena setiap orang berbeda. Tapi itu benar-benar
tak enak dan bila ada kesempatan untuk balik ke awal, aku memilih untuk tidak
jatuh cinta. Minimal untuk saat ini.
Oh iya, kini keadaan ku juga lebih baik
dari dulu. Aku lebih sedikit ceria. Ini berkat bantuan ketiga sohibku dan
kesibukan yang aku jalani. Aku ikut ambil andil dalam kegiatan tahunan
sekolahku. Namanya, Kegiatan Pohon Si Pak Post. Aneh kan?? Tetapi, kegiatan ini
sangat disukai oleh seluruh warga sekolahku. Bahkan menjadi yang terfavorit.
Kegiatan ini adalah kegiatan yang
sederhana. Hanya memerlukan sebatang pohon buatan untuk setiap kelas. Nanti, di
pohon itu akan digantung pesan, puisi atau kata-kata mutiara yang ingin kita
bagi dengan satu sekolah. Dan pohon itu akan diperiksa oleh panitia, yaitu
pihak OSIS. Dan pemenangnya yaitu kelas yang tulisan-tulisannya menjadi
terfavorit atau yang paling disukai. Satu lagi, kegiatan ini diselenggarakan
untuk menumbuhkan keceriaan di sekolahku. Ibaratnya membunuh kejenuhan lantaran
sibuk belajar terus menerus.
Saat ini, kelasku XI IPA 3 tengah asyik
membuat pohon. Debo dan kawan-kawan tengah mengecat ranting pohon yang telah
kelasku buat. Sementara yang ceweknya membereskan dan membersihkan kelas.
Setelah tiga puluh menit kemudian, pohon kelasku selesai. Lengkap dengan pot
dan daun-daunnya serta tali-tali tempat kami menggantung tulisan-tulisan kami.
Aku pun tak mau ketinggalan. Aku juga ikutan
menuliskan sesuatu untuk Pohon si Pak
Post.
**********
Besoknya, aku, Via, Agni dan Zahra
berkeliling untuk melihat Pohon si Pak Post di setiap kelas di sekolahku.
Tulisannya lucu-lucu, bahkan ada yang gaje alias nggak jelas. Bahkan juga ada
yang menjadikan Pohon si Pak Post sebagai ajang menyatakan cinta. Ada-ada aja.
Lagi di mabuk cinta kali. Hehehhe….
Setelah asyik berkeliling, aku dan ketiga
sohibku kembali ke kelas kami. Aku dapat melihat tulisanku yang kertasnya hanya
satu-satunya. Maksudnya hanya satu-satunya yang berwarna biru, sehingga dengan
mudah untuk dikenali.
Saat mau masuk ke kelas dan menuju
bangkuku, aku menangkap sosok di Dia menghampiri Pohon si Pak Post XI IPA 3,
punya kelasku. Bola mataku juga menangkap kalau ia pertama kali menyentuh
kertasku. Aku yakin itu. Aku juga melihat kalau ia sedikit kaget. Kedua pupil
matanya melebar. Mungkin ia kaget karena aku dengan jelas menuliskan namanya di
lembaran kertasku.
***********
Mencintaimu ibarat bintang di langit malam,
Kadang tak terlihat, namun nyata adanya.
Kerlap-kerlipnya lemah, namun tetap bersinar.
Setitik rupanya nan malu-malu untuk terlihat.
Kau tahu, seperti inilah diriku saat ini,
Hanya berani diam-diam mencintaimu.
Tak berani menyapa dan hanya memperhatikanmu dari kejauhan.
Bukankah ini tindakan yang sungguh bodoh??
Entah kapan diriku berani tuk menjadi bintang yang bersinar dan terlihat
sempurna di langit malam nan cerah.
Berani menatapmu dengan sesungguhnya.
Berani memperjuangkan cintaku.
Berani untuk mencoba agar kau, melihatku, menyadari adanya diriku dan
menyadari cinta yang aku miliki untukmu.
Entahlah, aku tak tahu.
Sekarang, aku tahu kau sudah menjadi miliknya.
Maka dari itu, maafkan aku.
Maafkan aku, karena telah mencintaimu secara diam-diam.
Maafkan aku karena dari dua tahun yang lalu hingga saat ini, aku tak bisa
untuk tidak ataupun berhenti mencintaimu, Mario Stevano Aditya Haling.
-A.S.U-
********
Epilog
Rio mengelilingi hampir seluruh kelas di
GNIHS bersama anggota OSIS lainnya. Termasuk sahabatnya yang juga menjabat di
OSIS dalam masa kepemimpinannya, yaitu Gabriel, Alvin dan Cakka. Selaku ketua
OSIS, Rio sendiri harus ikut turun tangan dalam menilai kegiatan tahunan atau
tradisi sekolahnya.
Kelas X sudah dia lihat. Sekarang ia
bersama anggota OSIS lainnya akan memeriksa kelas XI. Saat melewati kelas XI
IPA 5, ia bertemu Acha, kekasihnya dan Rio hanya memberikan senyumnya.
Sebenarnya, perasaan Rio terhadap Acha biasa saja. Ia tak mau menolak Acha
karena Acha sudah banyak membantunya. Rio menganggap ini hanya sebagai balas
budinya terhadap Acha mungkin. Rio sendiri selalu dibayang-bayangi terhadap
sesuatu membuatnya gelisah terkadang.
Saat berhenti di kelas XI IPA 3, Rio
langsung meraih selembar kertas berwarna biru. Ia tertarik akan kertas itu.
Mungkin kerena faktor ia memang menyukai warna biru dan hanya kertas itulah
yang berwarna biru. Sedangkan anggota OSIS lainnya sibuk membaca kertas-kertas
yang lain. Rio tidak terlalu memperdulikannya.
Tulisan di kertas itu sungguh rapi.
Isinya pun seperti menceritakan perasaan seseorang. Rio yang membacanya
tertegun, apalagi diakhir tulisan itu terdapat namanya “Mario Stevano Aditya
Haling”. Pemuda hitam manis itu terkejut. Pupil matanya melebar, ternyata di
sekolah ini tepatnya seorang gadis yang seangkatan dengannya telah mencintainya
selama dua tahun.
Rio membaca tulisan itu sekali lagi, ia
tidak salah. Tulisan itu benar-benar untuk dirinya. Perasaan yang membuat Rio
sering gelisah itu muncul kembali. Tapi kali ini, Rio sedikit memahami makna dari
kegelisahannya. Jangan-jangan gelisahnya itu adalah perasaan hatinya yang telah
memilih seseorang, tentunya orang itu bukan Acha dan sepertinya orang itu gadis
pemilik singkatan A.S.U. Melihat singkatan A.S.U, hati Rio sedikit tenang dan
gelisah itu mulai hilang. Dan sepertinya, hati Rio telah lama memilih gadis
berinisial A.S.U sebagai penghuni ruang hatinya.
Rio merasakan tangannya disikut seseorang
dan ternyata benar.Cakka menyikut lengannya sebagai tanda bahwa mereka harus
melanjutkan ke kelas XI IPA 2. Dengan segera Rio menarik tali kertas itu dan
menyelipkan kertas itu di saku celana panjangannya.
Selama perjalanan menuju kelas XI IPA 2,
Rio selalu terbayang-bayang akan inisial A.S.U dan saat mengingat-ngingat
apakah ada orang yang berinisial A.S.U, terlintas dibenak Rio nama Alyssa. Ya,
Alyssa. Rio sedikit tersentak. “Alyssa,” gumamnya.
Kalau mau jujur sebenarnya Rio merasakan
sesuatu terhadap gadis yang bernama Alyssa yang ia temui di koridor beberapa
bulan lalu. Gadis yang menarik perhatiannya secara diam-diam dengan caranya
sendiri.
Bukankah nama Alyssa itu, Alyssa Saufika
Umari. A.S.U, batin Rio. Seulas senyum sumringah tercetak jelas di wajahnya.
Mungkin saja Alyssa memang gadis itu. Nanti, setelah acara ini mungkin ia bisa
menemui Alyssa dan menanyakan kebenarannya.
Apakah A.S.U yang merupakan gadis yang
telah mencintainya secara diam-diam adalah gadis bernama Alyssa yang diam-diam
menarik perhatiannya dirinya. Ntahlah…..tidak ada yang tahu….. dan Rio sendiri
sangat menunggu saat ia akan bertemu dengan Alyssa……
“End”
0 comments:
Posting Komentar