Sahabat itu, Aku dan Kamu Part 1
Sebuah mobil Avanza
hitam berhenti dengan tepat di gerbang TK Bina Karya. Ketika pintu belakang
bagian kanan mobil dibuka, seorang gadis kecil tampak begitu semangat dan
tergesa-gesa untuk menuruni mobil. Kaki mungilnya melompat dengan licah menuju permukaan
tanah di depannya. Tas ransel-nya yang berwarna biru muda dengan motif boneka
stitch menghiasinya tampak berguncang-guncang lantaran gadis itu terus bergerak
begitu lincah.
“Sayang, jangan
lari-lari. Nanti jatuh dan bajunya kotor,” nasihat sang Mama yang kini juga
telah turun dari mobil. Selepas sang Ibunda meninggalkan mobil, akhirnya mobil
itu bergerak menjauhi gerbang TK Bina Karya menuju sebuah pohon yang rindang
dan terletak sedikit ke depan.
Gadis kecil dengan
rambut di kepang dua itu, tersenyum lebar lantaran mendengar nasihat sang Mama.
Dua bola mata sang Gadis kecil bergerak ke bawah dan menatap seragam
sekolahnya. Tepatnya seragam barunya. Kemeja kotak-kotak berwarna biru muda
berpadu putih serta rok selututnya yang berwarna senada dengan kemejanya
tersebut. Seragam itu masih tampak kinclong. Noda-noda dan kerutan-kerutan
masih belum terlihat. Namanya juga
seragam baru.
“Mama sih lama banget.
Aku kan mau cepet-cepet cekolah,” balas gadis kecil itu dan ia cemberut.
Pipinya kembung.
Sang Ibunda tertawa
kecil melihat buah hatinya itu yang kini baru menginjak usia enam tahun dan
baru akan menikmati bangku pendidikan di Taman Kanak-Kanak.
“Iya, Mama udah cepet
nih. Kita ke ruang kepala sekolah dulu,” sahut sang Mama.
************
Kini, gadis kecil di
depan gerbang sekolah tadi sedang berdiri di depan kelasnya. Tadi, ia sudah
bertemu dengan kepala sekolah dan menemani Mamanya untuk sedikit
berbincang-bincang dengan kepala sekolah barunya itu. Dan tepat pada saat ini,
gadis itu berdiri di hadapan seluruh teman sekelasnya yang berjumlah dua puluh
empat orang itu.
Matanya berbinar-binar
menatap seluruh ruang kelasnya sampai detail terkecilnya. Ruangan kelas itu
tidak begitu besar. Namun ruangannya tertata rapi. Terdapat lima meja bundar
yang besar dan dihuni oleh lima orang siswa maupun siswi. Eits…. Kening gadis
itu berkerut samar, ada satu meja yang masih dihuni oleh empat orang. Setelah
dua puluh detik berpikir, seulas senyum cerahnya tercetak di wajah manis gadis
kecil itu. Iya sekarang sadar, kalau bangku yang masih kosong itu akan menjadi
miliknya.
Kini matanya
berkeliaran menatap langit-langit ruang kelasnya. Berpelafon putih dengan di
tengah-tengahnya terdapat hiasan. Hiasan itu berbentuk bola, namun dikelilingi
oleh pernak-pernik seperti tirai dengan hiasan bunga-bunga berselang-seling
bola-bola kecil dan diujungnya ada miniatur burung. Semua hiasan itu terbuat
dari kertas origami dengan warna yang cerah dan menarik.
Mata gadis itu
berpindah pada jendela kelasnya. Jedela itu tak sendirian. Ia ditemani dengan
lagi-lagi hiasan tirai. Namun ada yang berbeda, mainan diujungnya menggunakan
miatur ikan. Lagi-lagi gadis itu terkagum-kagum. Sekarang ia beralih pada
hiasan-hiasan dinding. Dinding-dinding itu dipenuhi dengan gambar-gambar buatan
siswa-siswi kelas ini sepertinya. Ada gambar pemandangan berupa sawah dan
gunung. Ada juga yang berupa lautan luas. Yang paling gadis itu sukai
sepertinya, gambar pemandangan yang merupakan langit luas. Soalnya pada gambar
itu, sangat terlihat dengan jelas apa saja komponen penyusun langit itu
sendiri. Apalagi langit yang digambar itu adalah langit siang dengan
awan-awannya yang menyerupai bentuk tertentu.
“Baiklah, Ify. Silakan
perkenalkan diri kamu,” ucap Ibu Guru yang bernama Lika. Ucapan Ibu Guru itu
membuyarkan Ify. Gadis kecil itu tersentak kaget dan mengangguk sedikit
malu-malu.
Kini Ify kembali
memusatkan perhatiannya pada teman barunya. “Halo, teman-teman,” sapa Ify, tak
lupa senyum khas-nya tersungging. “Aku Alycca Caufika Umali, panggil aku Ify,”
sambung Ify.
Teman sekelasnya
menatap Ify seolah-olah gadis yang aneh. Ify jadi risih sendiri. Suasana pun
jadi hening. “Umulku enam tahun. Aku pindahan dali TK Bunda di Sulabaya,”
tambah Ify lagi. Tetap saja, teman-temannya terdiam. Ify jadi bingung sendiri.
Tiba-tiba suara tawa
terdengar. “Hahahhahha…….udah enam tahun masih cadel juga,” seru seorang anak
laki-laki dari meja sebelah kanan belakang. Ify mendongak untuk melihat dengan
jelas siapa sosok yang baru saja menertawai dirinya.
Ternyata dia seorang
anak laki-laki, dengan bola mata berwarna kecoklatan. Hidungnya sedikit pesek
dan rambutnya tertata rapi. Mata Ify menyipit untuk melihat lebih jelas lagi.
“Iya ya. Padahal udah
masuk sekolah. Lucu….hahhahaha…,” sambung satu orang lagi dan mengundang tawa
teman-teman satu kelas Ify yang lainnya.
Ibu Lika pun mulai
menghentikan keribuatan yang baru saja terjadi. “Semuanya harap tenang,” ucap
Bu Lika tegas namun lembut. Semuanya tampak diam. “Silakan ada yang mau
bertanya kepada Ify,” lanjut beliau.
Seorang gadis berpipi
chubby dengan rambut sepanjang sepinggang namun kurang mengangkat tangannya.
“Saya, Bu,” ucap gadis itu.
“Silakan, Via,” balas
Bu Lika dengan ramahnya.
“Ify, suka warna apa?
Terus suka boneka apa?”
Ify mendengar
pertanyaan itu jadi sumringah sendiri. Ia begitu senang saat ditanya. “Aku cuka
walna bilu. Kalena aku cuka lihat langit. Kalau boneka aku cukanya stitch.
Stitch lucu cih,” jawab Ify dan mata berkilat-kilat senang.
“Terima kasih, Ify,”
ucap Via.
“Iya cama-cama,” balas
Ify dan masih tersenyum lebar.
“Masih ada yang mau
bertanya?” tanya Bu Lika lagi. Namun seluruh penghuni kelas ini tak ada yang
menjawab, mereka hanya menggelng.
“Baiklah. Dan Ify
silakan duduk bersama Via di sana,” ucap Bu Lika dan menunjuk meja yang dihuni
oleh Via, cowok yang mentertawainya tadi dan dua orang lain yang tidak Ify
ketahui siapa mereka.
Ify mengangguk yakin
dan kemudian membawa langkah-langkah kakinya menuju meja yang akan Ify dudukin.
Dan di sana Via sudah menunggunya dengan senyum lebarnya.
Setelah Ify menempati
bangku itu. Bu Lika memulai pembelajaran hari ini. Kelas Mawar akhirnya belajar
cara menggunakan platisin. Ify sendiri dengan semangat 2012 membuat sebuah
gerbang yang bentuknya lumayan rapi, walalupun miring sana sini. Via sendiri
membuat sebuah gelas tak lupa tangkainya.
Saat melihat anak
laki-laki yang menertawainya tadi lagi asyik dengan plastisinnya sendiri yang
kini telah berbentuk seperti kucing membuat Ify tertarik. Padahal ia sama
sekali tak suka dengan hewan peliharaan yang menurut orang-orang imut itu. Ify
bukannya benci tapi ia merasa geli untuk berdekatan dengan hewan itu.
Kepala Ify sekarang
miring ke kanan. Ia memperhatikan anak laki-laki yang belum ia ketahui namanya
itu dengan saksama. Sesekali matanya menyipit untuk melihat secara lebih jelas.
Tak lupa senyumnya terbit manakala saat anak laki-laki itu berhasil
menyelesaikan satu bentuk bagian tubuh si Kucing.
Melihat dari jauh tak
cukup bagi Ify yang memang memiliki rasa penasaran yang tinggi. Akhirnya ia
beranjak dari bangkunya dan meninggalkan Via yang masih berkutat dengan
gelasnya. Sepertinya kesempatan mendukung untuk Ify bisa berkenalan dengan anak
laki-laki itu. Lihat saja anak laki-laki lain yang duduk tak jauh dari si anak
laki-laki yang Ify maksud beranjak dari duduknya. Dengan cepat Ify segera duduk
di bangku itu dan mengamati si anak laki-laki dengan lebih saksama.
“Hoi……kamu ngapain
sih?” tanya anak laki-laki itu ketus. Ia tak suka diperhatikan dengan tatapan
yang Ify tunjukan kepadanya.
“Heii….hehe….aku
teltalik aja ngeliat kamu ngebuat kucing itu. Baguc banget ya,” jawab Ify
ceria.
Anak laki-laki itu tersenyum
bangga dan sekilas melihat prakarya Ify yang berdiri tegak di meja Ify sendiri.
Sebuah gapura yang miring. Anak laki-laki itu tertawa pelan.
“Ih….nggak ucah
ngetawain deh. Aku tahu kalau yang aku jelek,” ucap Ify sedikit merajuk. Tetapi
anak laki-laki itu tak memperdulikannya dan kembali asyik dengan kucingnya.
“Aku Ify. Kamu ciapa?”
tanya Ify dan mengulurkan tangannya.
Anak laki-laki itu
mengangkat wajahnya dan menatap Ify kemudian uluran tangan Ify. Ia sedikit
mengamati Ify dan kemudian mengangguk. Ntahlah apa maksudnya, hanya dia dan
Allah yang tahu.
“Aku Mario Stevano
Aditya Haling. Panggilnya Rio,” jawab anak laki-laki itu.
Ify tersenyum lebar
dan mengangguk antusias. “Calam kenal Lio,” seru Ify.
Rio mencibir. “Rio.
Bukan Lio. R-I-O,” koreksi Rio.
“Iya, aku kan
bilangnya Lio. Bukan Lio,” balas Ify. Gimana sih, Fy? Itu mah sama saja.
“Nggak. Kamu bilangnya
Lio,” ujar Rio tak mau kalah.
“Lio. Benel kan?”
Rio menggeleng.
“Nggak.”
“Lio. Lio. Lio. Lio.
Lio. Lio. Lio. Lii….”
“Stop deh. Ya udah,
kamu boleh panggil aku Lio,” potong Rio. Ia merasa risih mungkin, mendengar Ify
menyebut namanya seperti itu.
Ify cemberut. Ia
merasa kalau Rio masih nggak ngerti kalau ia sudah menyebut nama Rio sebisa ia,
namun Rio tak memperhitungkan itu dan akhirnya menerima Ify memanggilnya dengan
panggilan salah itu.
“Kenapa cemberut
gitu?” tanya Rio pada akhirnya.
“Lio cih,” jawab Ify
pendek dan masih saja cemberut. Bukannya membujuk Ify, tapi Rio malah
mentertawakannya. Lantaran karena ia melihat wajah cemberut Ify yang sungguh
lucu dan menggemaskan itu.
“Iiih….Lio. Kenapa
ketawa cih? Kenapa? Kacih tahu aku. Cepet-cepet,” paksa Ify.
Baru saja Rio mau
membuka mulut untuk berbicara Bu Lika segera menyuruh mereka untuk kembali ke
bangku masing-masing. Dengan bersungut-sungut Ify beranjak dari tempat duduknya
tadi dan kembali ke bangku asli miliknya.
Walaupun ia merasa
jengkel, paling tidak hari ini ia mendapatkan dua teman baru. Kalau Ify yang
mengucapkannya “Civia Azizah dan Malio Ctevano Aditya Haling”. Tidak terlalu
buruk.
*************
BERSAMBUNG......
0 comments:
Posting Komentar