BAB 1
Suara
“Saya sebagai kepala sekolah, sangat bangga kepada siswa saya yang
satu ini. Sudah kedua kalinya ia meraih juara umum pertama untuk angkatannya.
Dan yang paling membanggakan, pada kenyataannya, nilai yang diraihnya merupakan
nilai tertinggi di sekolah, mengalahkan kakak-kakak kelasnya. Selamat. Selamat
untuk Orion Bintang Raditya Diputra. Silakan maju ke depan,” ucap sang Kepala
Sekolah, laki-laki berusia sekitar 50-an tahun dengan kepala nyaris sula dan
kumis yang membuat semua orang yang melihatnya bisa tertawa terpinggal-pingkal.
Demi kuah bakso dalam toples, kumis itu sungguh tak layak untuk nangkring di
wajahnya.
Seorang gadis manis melirik kesal dan sinis ke arah podium dan
lapangan yang begitu ramai. Selalu seperti ini. Selau dia… dia… dan dia yang menjadi
daya tarik. Kenapa harus dia????!!!!! Kenapa mesti dia yang selalu dibanggakan.
Ini benar-benar menyebalkan!!!!
“Kenapa lagi lo, Fy?? Masih kesal??” tanya seorang gadis dengan pipi
chubby yang tetap asyik dengan handphone-nya meski bibirnya terus berbicara.
“Tiap akhir semester elo pasti begini, Fy. Nggak bosen lo?” tanya
gadis berambut panjang hampir sepinggang dengan kamera merk canon tergantung di
lehernya.
“Gimana gue nggak keki, kalau dia bukan tetangga gue, gue nggak
bakalan sinis sama dia. Coba lo bayangin, tiap akhir semester pasti gue kena
nyanyian rock mama gue gara-gara
orang sok itu. Mentang-mentang dia jadi juara umum, seenaknya aja dia
ngeracunin mama gue!!!!” jawab Ify kesal, terlihat dengan nafasnya yang mulai
ngos-ngosan dan tangannya yang terkepal kuat.
Sebenarnya siapa juga sih yang nggak kesal kalo setiap hari direcokin
dengan kata-kata “Fy, belajar sama Rio. Biar kamu pinter kayak Rio, Sayang.
Jangan cuma bisa keluyupan nggak jelas.” Itu yang pertama.
Yang kedua, “Sekali-kali kamu bawa piala pulang ke rumah, Fy, kayak
Rio.”
“Rio bilang sama mama dia mau belajar kelompok sama kamu. Cepat temui
Rio di ruang tamu.”
“Belajar yang benar, Sayang, biar bisa pinter kayak Rio.”
“Mama percayain kamu sama Rio, mama yakin Rio bisa jagain kamu,
Sayang.”
Yang terakhir itu what the hell
banget. Mamanya itu dikasih Rio apaan sih sampai bisa-bisanya termakan ucapan
si Pesek Rio???? Itu pertanyaan yang selalu menari-nari di batok kepala Ify.
Dia heran banget.
“Iya-iya, kita bertiga ngerti gimana penderitaan lo dan sikap evil Rio yang selalu ngeracunin nyokap
elo,” ucap Agni, gadis berambut sebahu dengan gaya tomboy di antara keempat
gadis itu.
Via, gadis yang sibuk dengan handphone
tadi menarik tangan Ify sebelah kanan dan mengajak gadis itu untuk duduk di
salah bagian pot bunga yang memang berbentuk persegi panjang. Pas banget untuk
duduk, kalau lagi berdiri di lapangan dan sangat lelah.
“Daripada elo dan kita bertiga ngeliatin entuh podium dengan segala macam penghargaan dan nama kita nggak
pernah bakalan disebut, lebih baik kita ngerencanain liburan semester kita nanti. Tiga minggu,
coy. Lama tau. Rugi kalau kita cuma liburan di Jakarta doang!!!!” ucap Via.
Ify menaikan alisnya sebelah.
“Maksud elo, kita liburan keluar Jakarta, Vi?” tanya Zahra, gadis
dengan rambut sepunggung.
Itu yang gue maksud, batin Ify.
Via mengangguk.
“Misalnya ke mana?” kali ini Agni yang bertanya.
Senyuman lebar tercetak jelas di wajah manis Via. “Kita liburan ke
villa keluarga gue di Pati. Kita perginya naik bus sama kereta api. Keren
kan??? Penuh petualangan dan lain daripada liburan yang biasanya,” jawab Via
antusias.
Liburan ke Pati??? Memang di Pati ada apaan??? Tetapi itulah yang
harus dicoba, tempat-tempat baru yang belum pernah didatangin. Apalagi kendaraan
yang digunakan berbeda, kali ini kendaraan umum. Siapa sih yang nggak
tertarik?????
“Gue setuju!!!” ucap Ify yakin.
Via segera memberikan pelukan hangatnya kepada Ify dan kemudian
melirik ke arah Agni dan Zahra penuh harap.
Agni dan Zahra pun mengangguk, dengan cekatan Via segera menarik kedua
sahabatnya untuk berpelukan bersama-sama, liburan kali ini pasti menyenangkan
dan penuh tantangan tak lupa dengan kemenakjubkan. Bagaimana petualangan
liburan empat gadis cantik menuju Pati? Kira-kira begitulah judul artikel yang
terpikirkan oleh Via kalau-kalau nanti mereka diminta untuk menulis kisah
mereka.
“Vi…. Vi…. Napas gue, Vi…,” rintih Zahra tertahan.
Via benar-benar menantikan liburan ini dan keempatnya tenggelam dalam euphoria rencana liburan yang luar
biasa.
“Pertama, saya berterima kasih kepada ibu saya yang selalu menyuport
saya. Tak lupa juga guru-guru di sekolah dan yang paling penting, seseorang
yang sangat berarti dalam hidup saya. Tanpa kalian semua, saya tidak akan
pernah memliki tekad untuk berjuang agar bisa meraih semua ini. Terima kasih,”
ucap seorang siswa yang berparas di atas rata-rata dengan ketampanan yang
memikat dan penyampaian pidato yang luar biasa menenangkan.
Rio, pemuda yang sedang berpidato itu melirik semua warga sekolah yang
hadir di lapangan ini. Lalu ekor matanya menangkap sosok yang selalu memenuhi
hari-harinya. “Terakhir, buat Alyssa Raifyna Amaryllis, terima kasih udah jadi
penyemangat aku selama ini,” ucap Rio dan menatap gadis bernama Alyssa yang
tengah berdiri di pojok kanan lapangan dengan wajah ceria, ntah karena apa,
yang pastinya Rio tidak tahu. “Terima kasih,” ulang Rio sekali lagi.
Tepuk tangan riuh menggema di lapangan yang langsung dibawa oleh angin
gaungannya.
Sementara dari pojok lapangan terdengar seruan kesal “NGGAK
PEDULI!!!!!!”
*************
Segeralah bergegas. Tanda
panggilan sudah mendekat.
BRAAAAKKKK……
Bunyi tas yang terdampar dengan kasar di atas meja berbahan dasar kayu
di sebuah kamar yang bernuansa biru dan putih. Si Pemilik Tas langsung
melemparkan dirinya ke atas spring bed
dengan wajah kesal. Hari ini, hari di awal liburannya benar-benar membuat kesal.
Bagaimana tidak?? Saat hendak pulang ke rumah tadi, dirinya selalu
diberi ucapan ‘ciee penyemangat Rio’. Apa-apaan coba????!!! Ify benci Rio.
Kebencian itu muncul sejak ia berusia enam tahun dan sekarang sudah 16 tahun.
Berarti sudah 10 tahun. Sebenarnya bukan kebencian, hanya saja gadis itu tidak
mau mengakuinya dan selalu menyakinkan dirinya bahwa ia membenci Rio.
“Hari ini benar-benar buruk,” gumam Ify kesal dan mengusap wajahnya
dengan kedua telapak tangannya.
Segeralah bergegas. Tanda
panggilan sudah mendekat.
Segeralah bergegas. Tanda
panggilan sudah mendekat.
Segeralah bergegas. Tanda
panggilan sudah mendekat.
Tubuh Ify mematung seketika. Suara itu… suara itu baru muncul tepat
pada hari ini, sejak ia mendiami kamar itu dari 14 tahun yang lalu. Siapa yang
berbicara???
Segeralah bergegas. Tanda
panggilan sudah mendekat.
“Siapa itu?” tanya Ify dengan tubuh yang masih tetap mematung dan
berbaring.
Segeralah bergegas. Tanda
panggilan sudah mendekat.
Lagi-lagi hanya dua kalimat itu yang menggema di kamarnya. Bulu kuduk
Ify merinding. Ini bisa jadi perbuatan dari makhluk gaib kan???
“Ma… Mama….,” panggil Ify dengan suara yang kencang.
Tak lama kemudian suara langkah kaki terdengar mendekati kamarnya dan
Ify mulai bisa bernapas dengan lega –sedikit--.
“Kenapa, Sayang?” tanya Nina, mamanya Ify.
Segeralah bergegas. Tanda
panggilan sudah mendekat.
Suara itu lagi-lagi terdengar.
“Mama, mendengar sesuatu?” tanya Ify hati-hati dan kali ini ia sudah
mengambil posisi duduk di atas ranjang.
Wanita berusia 34 tahun itu menatap putrinya heran. Tidak ada suara
yang didengarnya. “Nggak ada kok, Fy,” jawab Nina.
Segeralah bergegas. Tanda
panggilan sudah mendekat.
Segeralah bergegas. Tanda
panggilan sudah mendekat.
“Itu suaranya mulai terdengar lagi, Ma. Masa mama nggak dengar sih?
Dia bilang, ‘segeralah bergegas. Tanda panggilan sudah mendekat,’” ucap Ify
dengan menirukan suara yang terus menggema di kamarnya ini.
Lagi-lagi Nina menggeleng. Dia benar-benar tidak mendengar sesuatu.
“Mungkin Ify terlalu kecapekan. Istirahat dulu, nanti sore kita ke rumah Rio
untuk mengucapkan selamat sekaligus memberikan dia kue. Mama sedang membuat kue
kesukaan kalian berdua,” ucap Nina penuh sayang kepada putri cantiknya.
Ify tidak peduli lagi dengan perkataan mamanya tentang Rio lengkap
dengan kue kesukaan mereka berdua. Tidak lagi. Suara itu benar-benar
menganggunya.
Tidak mendapat respon pasti dari sang Buah Hati, Nina tersenyum lembut
sebelum menutup pintu kamar. “Mama masak dulu dan kamu istirahat dulu ya sayang,”
ucap Nina dan kemudian suara pintu tertutup membuat Ify terkejut.
“Oh My…,” ucap Ify kaget dan mengelus-ngelus dadanya.
Segeralah bergegas. Tanda
panggilan sudah mendekat.
“Siapa kamu?” tanya Ify.
Namun tidak ada jawaban sama sekali, hanya ada pengulangan kalimat
yang sama, ntah untuk yang ke berapa kalinya.
Lama-lama Ify kesal, takut, dan penasaran menjadi satu. Dengan cepat
ia mengambil tas sekolahnya, tujuannya sih untuk mengambil handphone-nya.
Saat membuka tasnya dibagian yang paling besar, tanpa sengaja, bola
mata hitam bening Ify menangkap lembaran kertas berwarna coklat, yang Ify yakin
warna itu muncul karena umur kertas yang sudah tua. Tangan mungil nan putih Ify
mengambil kertas tersebut hati-hati. Itu ada dua lembar dan Ify mulai membacanya.
Lembar Pertama
Columba mulai berbisik.
Tanda panggilan telah berdentang.
Yang terpilih segera bersiap.
Titik awal menanti di lidah air
yang menjerat hijau, hawa dingin menyelimuti dan bukit memagari.
Lembar Kedua
Ceberus adalah anjing berkepala
tiga. Memiliki badan yang kuat dan kecepatan yang sangat tinggi. Sekali
tergigit olehnya, maka kematian langsung menjemput. Hati-hati terhadap ceberus
karena ia pedang kematian.
Dahi Ify mengerenyit. Apa maksud lembaran ini?? Terus siapa orang iseng
yang sembarang saja memasukan kertas ini ke dalam tasnya.
Ify membaca dua lembar kertas itu untuk kedua kalinya. Columba
berbisik? Pikir Ify. Columbus kali lagi nyanyi, batin Ify dan dia terkikik
geli.
“Mana mungkin ada anjing kepala tiga. Itu khayalan,” ucap Ify. “Iseng
banget sih ngerjain gue, memang gue anak kecil yang percaya anjing kepala tiga
terus ada power ranges yang
nyelamatin,” tambah gadis itu dan meremuk dua lembar kertas tersebut.
Plukk…
Lemparan Ify tepat membuat kertas yang ia lembar tadi mendarat mulus
di kotak sampah di kamarnya. “Memang gue anak kecil,” batin Ify lagi dan ia
segera mengambil handphone-nya di
kantong depan tas lalu berbaring lagi di tempat tidurnya.
Segeralah bergegas. Tanda
panggilan sudah mendekat.
Segeralah bergegas. Tanda
panggilan sudah mendekat.
Segeralah bergegas. Tanda
panggilan sudah mendekat.
Segeralah bergegas. Tanda
panggilan sudah mendekat.
Segeralah bergegas. Waktu mulai
menggerogoti. Tanda panggilan sudah mendekat.
“AAAAAAAAAARRRRRRRRRRGGGGGGGGHHHHHHHHHH………
DDDDDDDDIIIIIIAAAAAAAMMMM…….,” teriak Ify kesal.
Suara itu masih saja menganggu dirinya. Cepat-cepat tangan gadis itu
mengetik sesuatu di keypad-nya.
**************
Laki-laki itu membolak-balik buku tebal dengan cover berwarna abu-abu
yang bergambar makhluk-makhluk aneh yang tidak mungkin ada di dunia ini, paling
tidak di abad ke-22 yang super canggih ini. Dengan wajah yang sangat serius,
laki-laki itu terus menekuni isi buku yang sebenarnya buku itu tampak aneh.
Beda dari buku-buku biasanya.
Selain bentuknya yang persegi panjang dan tebal juga bergambar
makhluk-makhluk aneh, yang membuat buku itu lain dari pada yang lain adalah bahwa
pada kenyataannya pada bagian cover buku itu seperti ada sepasang bola mata dan
di setiap pinggir buku itu ada rumbai-rumbai dari bahan karpet berwarna abu-abu
pula.
Sebuah pena dan buku catatan tergeletak di sebelah kanan laki-laki
itu. Sebentar-bentar ia melirik buku tebal aneh tadi, sebentar-bentar ia
menyalin sesuatu pada buku catatan di lantai. Lalu bola mata sedikit
kecoklatannya mengambil secarik kertas kusut berwarna kecoklatan dengan simbol
segi delapan di sudut kanan halaman atas kertas tersebut.
Bibir tipisnya mulai merapalkan apa yang tertulis di kertas tersebut.
Laki-laki tadi sedikit mengerang dan memukul kepalanya dengan tangan kanannya
pelan, dia bingung. Isi kertas tersebut sepertinya membingungkan untuk dirinya.
Apakah itu berisi berpuluh-puluh soal tingkat olimpiade atau teka teki silang
tingkat mematikan????
Pada kenyataannya bukan. Andai saja sejak tiga tahun yang lalu ia
tidak menerima kabar ini, kabar yang bisa dibilang kabar baik dan kabar buruk,
pasti dirinya tidak perlu merepotkan diri ke dalam hal-hal seperti ini.
Dengan kasar, diambilnya handphone
android samsungnya dan memilih satu contact
lalu menghubunginya.
“Lo udah dapat petunjuknya?” tanya laki-laki tadi ketika nada telepon
sudah tersambung.
“Belum sama sekali. Gue nggak paham,” jawab orang yang di telepon itu.
“Besok pagi lo ke rumah gue. Kita mesti segera membahasnya. Suara itu
sudah memanggil.”
“Oke. Jam delapan gue ke rumah elo.”
“Gue tunggu. Bawa semua perlengkapan yang dibutuhkan.”
“Oke. Oh iya, gue kira cuma gue yang udah dikasih tanda, ternyata elo
juga. Kita ketemu besok di rumah lo,” ucap orang itu dan mengakhiri pembicaraan
mereka.
Laki-laki tadi kembali meletakkan
handphone-nya di lantai dan segera menekuni lagi secarik kertas dan buku
aneh abu-abunya.
Semuanya masih terlalu rumit dan berbelit. Walaupun dia sudah
menyimpannya sejak tiga tahun yang lalu, tetapi tetap saja belum bisa
terpecahkan. Dan yang masih tidak bisa dibayangkannya, bahwa pada kenyataannya
di zaman canggih seperti ini masih ada hal-hal yang membuatnya pusing setengah
mati.
“Phoenix atlida…,” gumam laki-laki itu.
*************
“IFY BANGUN, SAYANG!!!!!!!” seru wanita berusia 34 tahun itu sambil
menggoyang-goyangkan kaki putri satu-satunya itu.
“Ehmm…. Eeehhmmm…,” gumam Ify menggeliyat kecil.
“IFY!!!!!” teriak sang Mama untuk kedua kalinya.
Akhirnya gadis manis itu mengerjap-ngerjapkan matanya lalu
mengucek-nguceknya dengan punggung tangannya.
“Mama?” tanya Ify heran.
“Cepat bangun, Fy. Mandi. Mama tunggu di bawah, kita harus ke rumah
Tante Ajeng,” perintah Mama Ify dan menarik tangan kanan putrinya itu.
“Ify nggak mau ikut, Ma. Males,” tolak Ify.
Nina menatap putrinya tajam. “Nggak bisa. Kamu harus ikut. Mama tunggu
sepuluh menit di bawah. Jangan sampai nggak turun,” ucap Nina tegas dan
meninggalkan putrinya yang masih mendumel kesal.
“Ishh dah, Mama… selalu aja ke rumah Rio. Untuk apa sih ucapin selamat
untuk orang nyebelin itu????!!! Kesal… kesal… kesal…,” dumel Ify dan mengambil handphone-nya.
Terlihatlah di layar LCD itu
empat pesan yang baru saja di terimanya. Tiga dari sahabatnya, tentu saja Via,
Agni, dan Zahra yang isinya dengan tema yang sama ‘gue bakalan ke rumah elo.
Jam 8.’ Dan membaca ini Ify tersenyum puas.
Sebelum tidur tadi, Ify sempat mengirimkan pesan singkat untuk ketiga
sohibnya agar ke rumahnya besok pagi untuk membicarakan sesuatu yang penting
dan tentu saja suara aneh yang berasal dari kamarnya ini.
Eh, ngomong-ngomong, suara aneh itu tidak terdengar lagi, batin Ify.
Gadis itu menatap sekeliling kamarnya, tidak lupa setiap sudut yang berada di
kamarnya itu sendiri. “Aneh,” ucap Ify pelan dan kembali menatap layar handphone-nya.
Bibir tipis dan berwarna merah mudah Ify mengerucut. Ia kesal. “Siapa
juga yang mau ketemu elo. Nggak usah kirim-kirim SMS,” ucap Ify keki.
Satu pesan tadi berasal dari Rio, tetangga sebelahnya sendiri. Bagi
Ify, Rio itu adalah musuh bebuyutannya sejak kejadian itu. Kejadian yang
membuatnya membenci Rio seketika. Rio sialan!!!!
“IFYYYYY!!!!” panggil mamanya dari lantai bawah.
Ify tersentak kaget dan mengelus-ngelus dadanya. Sebelum meletakkan handphone-nya di atas meja belajar dan
dia berlari ke kamar mandi, Ify masih sempat melet-melet ke handphone-nya sendiri. Mungkin maksudnya
melet-melet kepada pengirim pesan singkat yang menyebalkan itu.
**************
Ify melirik mamanya yang sedang cipika cipiki dengan Tante Ajeng alias
mamanya Rio Pesek menyebalkan. Kenapa sih tiap ketemu ibu-ibu harus cipika
cipiki melulu?? Itu udah hak paten kah?? Ntahlah… bukan itu yang menjadi
masalah sekarang tapi…
“Kenapa lo, Fy? Pengen cipika cipiki juga?? Sama gue aja nih. Nih pipi
gue,” ucap pemuda tampan yang berdiri tidak jauh dari tempat Ify berdiri.
Mata Ify memicing tajam saat mendengar suara yang sudah sangat familiar untuk dirinya itu. “Jangan
ngimpi elo!!!! Gue benci sama elo sejak kejadian itu!!!! Benci
sebenci-bencinya. Ingat!!!!” ucap Ify tajam dan menatap sinis ke arah Rio.
Sebenarnya Rio mau tertawa melihat tingkah teman kecilnya ini. Rio
tahu dengan jelas alasan Ify membenci dirinya. Tapi… Ya ampun… itu masalah
sepele dan ketika itu mereka masih anak-anak. Dan itu cuma salah paham karena
Ify tidak mendengarkan sampai selesai. Gadis manis itu malah berlari dan
menangis.
“Gue bakalan nunggu elo kok,” jawab Rio kalem lalu berjalan melewati
Ify.
“Sore Tante Nina,” sapa Rio saat melihat mama Ify yang lagi
berbincang-bincang dengan mamanya.
Melalu ekor matanya, Ify dapat melihat mamanya menatap Rio dengan mata
berkilat senang, kagum, dan bangga. Bahkan, sang Mama memeluk Rio seperti
anaknya sendiri saja. Jangan lupa
ingatkan Ify untuk tidak memeluk mamanya sebelum mamanya mandi, minimal
berganti pakaian. Karena Ify tidak mau kena yang berhubungan dengan Rio. Demi
buah naga yang kejepit!!!!
“Sore, Rio. Selamat untuk juara umumnya. Tante bangga sama kamu.
Sekali-kali ajakin Ify jadi juara umum juga,” ucap mama Ify setelah melepaskan
pelukannya dari pemuda tampan yang sudah dianggapnya sebagai anaknya sendiri.
“Fy… kenapa cuma berdiri di sana?? Masuk aja, Sayang. Nggak apa-apa.
Kan Tante udah bilang anggap aja seperti rumah sendiri,” ucap Tante Ajeng
dengan sangat ramah dan Ify terkadang bertanya-tanya, Tante Ajeng yang ramah
seperti ini bisa punya anak yang kejam seperti Rio. Benar-benar
membingungkan!!!!
Supaya tidak mengecawakan Tante Ajeng, Ify pun membawa langkahnya
menuju bagian dalam rumah Rio. Masih tetap seperti dulu. Bukannya duduk di
ruang tamu, Ify malah berjalan menuju ruang keluarga. Saat menoleh ke kanan,
dilihatnya sebuah pintu yang bertulisakan Rio’s
Room. Secret. Only for Rio and His Love.
Ify mencibir ketika membaca kata ‘his love’. Memang ada yang mau sama
Rio yang menyebalkan???!!! Kenyataanya ada. Penasaran dengan kamar yang sering
dikunjunginya pada 10 tahun yang lalu, Ify membuka pintu tersebut dan melihat
ke dalamnya.
Masih tetap sama sejak 10 tahun yang lalu. Susunan kamar dan kerapian
kamar Rio sendiri. Ify akui, Rio memang anak yang rapi dan rajin. Langkah Ify
satu persatu menuju meja belajar kamar Rio. Di sana banyak kenangan antara
dirinya dengan Rio. Ketika mereka masih sering belajar bersama. Berhubung badan
mereka kecil, jadi bisa duduk berdua. Tapi sekarang???
Asyik melihat-lihat isi kamar Rio. Seketika tubuh Ify menegang. Bulu
kuduknya meremang. Suara itu…
Segeralah bergegas. Tanda
panggilan sudah mendekat.
Segeralah bergegas. Tanda
panggilan sudah mendekat.
Segeralah bergegas. Tanda
panggilan sudah mendekat.
Segeralah bergegas. Tanda
panggilan sudah mendekat.
Segeralah bergegas. Tanda
panggilan sudah mendekat.
Suara itu… kok bisa ada di sini? Batin Ify. Dia benar-benar merinding
sekarang. Lagi-lagi suara itu menganggu ketentraman dirinya. Ify kira suara itu
hanya berada di kamarnya, tapi sekarang?? Ada di kamar Rio juga. Ini maksudnya
apa??
Segeralah bergegas. Tanda
panggilan sudah mendekat.
Segeralah bergegas. Tanda
panggilan sudah mendekat.
Segeralah bergegas. Tanda
panggilan sudah mendekat.
“AAAAARRRGGGGGHHHHHH……. DIIIIIIIAAAAAAAMMMMMMMM!!!!” jerit Ify keras
sambil menutup kedua daun telinganya dengan kedua telapak tangannya.
Seketika tubuh Ify ambruk ke lantai. Gadis cantik nan tirus itu
terduduk di lantai dengan lemas.
Segeralah bergegas. Tanda
panggilan sudah mendekat.
Segeralah bergegas. Tanda
panggilan sudah mendekat.
Segeralah bergegas. Tanda
panggilan sudah mendekat.
Suara itu masih saja menggema di kamar tidur Rio. Ify benar-benar
kesal dan ketakutan.
Dari mana suara itu berasal?
Mengapa suara itu selalu mengikutinya?
Mengapa hanya bisa dia yang mendengar suara itu?
Mengapa harus dia??
Dan sekarang, haruskah dia pingsan di kamar Rio???
“DDDDDDIIIIIIAAAAAMMMM!!!! NGGGAAAKKKKKK AAAAAAAAAADDDAAAAA YAAANGGGG
MMMMAAAUUU PEEEEEERGGGGIIIIII!!!!” teriak Ify sangat kencang.
Cklek….
Pintu kamar terbuka.
“Fy… Ify… lo kenapa?”
************
Rio menemani mamanya dan Tante Nina duduk di teras hanya untuk
mengobrol-ngobrol sambil menikmati kue kering kesukaan Rio yang senagja
dibuatkan dan dibawakan oleh Tante Nina. Katanya sih sebagai hadiah untuknya
karena masih bisa mempertahankan juara umumnya.
“Tante selau yakin, kalau kamu bisa jagain Ify, Yo. Jadi, Tante minta
kamu untuk jagain Ify,” ucap Tante Nina dan tersenyum penuh keyakinan ke arah Rio.
“Dengerin kata Tante Nina. Kamu harus jagain Ify, Yo,” timpal mamanya
sembari mengusap-ngusap puncak kepalanya.
Rio cemberut dan menyingkirkan tangan mamanya. Memangnya dia masih
anak kecil, pake diusap-usap kepala segala. “Iya, Tan. Rio janji bakalan jagain
Ify,” ucap Rio. “Ngomong-ngomong, Ify-nya mana, Ma?” Rio melihat sekeliling
rumahnya dan melirik ke ruang tamu, namun ia tidak menemukan sosok Ify.
“Eh, iya. Tadi mama nyuruh Ify masuk ke rumah. Mungkin di ruang tivi,”
ucap Ajeng dan juga melihat ke dalam rumah.
Tiba-tiba…
“AAAAARRRGGGGGHHHHHH……. DIIIIIIIAAAAAAAMMMMMMMM!!!!”
“Itu suara Ify,” ucap Nina dengan panic ketika mendengar suara
teriakan dari dalam rumah.
Rio yang awalnya melamun memikirkan Ify langsung tersadar ketika Tante
Nina menyebut nama Ify.
“Ify kenapa teriak tiba-tiba?” tanya Ajeng khawatir.
Ify teriak?? Kok dia tidak mendengarnya.
“DDDDDDIIIIIIAAAAAMMMM!!!! NGGGAAAKKKKKK AAAAAAAAAADDDAAAAA YAAANGGGG
MMMMAAAUUU PEEEEEERGGGGIIIIII!!!!”
Kali ini Rio mendengar suara Ify. “Biar Rio yang cari Ify. Mama sama
Tante tunggu di sini aja,” ucap Rio cepat dan segera masuk ke dalam rumah
dengan berlari.
“Ify…” panggil Rio.
Dan matanya melotot sejenak saat melihat pintu kamarnya terbuka
sedikit. Dengan cepat Rio memegang gagang pintu dan mendorong pintu kamarnya
agar dirinya bisa masuk.
Bola mata Rio melebar saat mendapati Ify yang sudah terduduk lemas di
lantai dan kedua telapak tangannya menutup daun telinga Ify sendiri.
“Fy… Ify… lo kenapa?” tanya Rio panic dan bingung mendapati Ify yang
sudah dalam kondisi mengenaskan seperti itu.
Cekatan Rio menghampiri Ify dan meraih gadis itu ke dalam pelukannya.
“Elo kenapa?” tanya Rio dengan wajah panic.
“Suara… suara… i… tu… a… da.. di ka… mar… elo… see… geeerrahh… laahh
ber… geee… gaass… taan… da… pang… giilllaaan… suu… daah… men…dee..kaatt…,” ucap
Ify terbata-bata.
Rasanya seperti diberi surprice
sekotak anak kodok berukuran kecebong raksasa. Rio benar-benar terkejut. Ify
kok…
“Itu suara siapa, Yo? Gue… taakuutttt,” ucap Ify lagi dengan memeluk
Rio dengan begitu kuat.
Segeralah bergegas. Tanda
panggilan sudah mendekat.
Segeralah bergegas. Tanda
panggilan sudah mendekat.
Segeralah bergegas. Tanda
panggilan sudah mendekat.
“Suara itu… lo dengar nggak, Yo?”
Rio tidak merespon sama sekali.
“Lo siapa??? Pergi!!! Pergi!!!!!” teriak Ify kalap. Suara itu sudah
menganggu Ify.
Cengkraman tangan Ify di punggungnya yang semakin cepat lama-lama
mengendur. Rio yakin Ify sudah memasuki tahap kehilangan kesadaran alias
pingsan.
Bukannya Rio tidak mau menjawab, hanya saja… Ya dia mendengar suara
itu. Rio hanya bingung dengan semua ini. Mengapa Ify bisa mendengar suara itu??
Jangan-jangan… Ify…….
0 comments:
Posting Komentar