Truffleland
Prolog
Suasana di ruangan tersebut sangat gelap, hitam, dan mengitimidasi.
Sosok yang tidak dikenal dan tidak diketahui itu duduk di singgasana besarnya
yang terbuat dari berbagai tulang tengkorak dan dikelilingi dengan duri-duri
tajam yang diyakini berasal dari gigi taring binatang buas yang sangat
mematikan.
Demi coklat rasa mint, itu benar-benar mengerikan.
“Bagaimana dengan tikus-tikus itu?” tanya suara yang menggema di ruang
gelap tersebut.
“Sepertinya mereka mulai bergegas, Nyonya. Tidak lama lagi mereka akan
memulai permainan konyol mereka,” jawab suara seseorang –mungkin–.
Sinar cahaya yang berasal dari satu-satunya sumber mengenai wajah
manusia yang berbicara tadi. Jika kau melihatnya, jangan tanya padaku di mana
toilet, karena kau tak akan sempat ke sana untuk sekedar melepas rasa takut
melalui buang air kecil sebab makhluk yang dibilang manusia tadi, tidak bisa
dikatakan sebagai manusia. Karena apa??? Tidak mungkin manusia memiliki kepala
berjumlah enam dengan jumlah kaki sebanyak dua belas. Ditambah lagi dengan
ukuran badannya yang terbilang besar hampir menyerupai raksasa dan kuku-kuku
jarinya yang amat panjang dan hitam-hitam. Demi coklat kodok di tengah jalan, itu
tidak mungkin. Wajah yang menunjukkan aura penuh balas dendam dan penuh dengan
jerawat di sekeliling hidungnya, benar-benar menjijikan itu tidak mungkin
seorang manusia.
Makhluk itu menunduk seraya mengatakan, “Nyonya cukup memantau dari
singgasana saja. Semua sudah bersiap pada posisi masing-masing. Dan nyonya akan
mendapatkan apa yang harusnya memang sudah ditakdirkan untuk Nyonya.”
Suara tawa dengan gema seakan ingin mencekik dan gaungan tak jelas
yang memberi dampak seakan-akan racun mulai menggerogoti pembuluh darah terdengar
memenuhi ruangan gelap tersebut. Benar-benar tawa yang sungguh sangat
mengintimidasi. Mengerikan.
“Bagaimana dengan bantuan dari keluarga-keluarga di luar?”
“Nyonya tenang saja. Semua aman terkendali. Para Ogre sudah berjaga di
perbatasan.”
“Bagus… bagus… lembaran yang ada simpan baik-baik dan jangan sampai
hilang. Inti dari buku itu tepat ada di lembaran yang telah susah-susah aku
curi dari si Bodoh Delphina.”
Delphina cantik, bukan bodoh, pikir makhluk berkepala enam itu.
“Serahkan semua padaku, Nyonya. Nyawaku sebagai taruhannya.”
Seringai licik pasti terukir pada wajah sosok tak terlihat itu.
Sungguh hitam, hingga mata tidak bisa menembus sama sekali untuk sekedar
melihat saja. “Baiklah. Aku…,” desis makhluk itu. “Percaya. Padamu. Pyxis.”
HAHAHAHAHA……..
Suara tawa tepat menggema memenuhi ruangan yang penuh dengan
kegelapan. Sungguh gelap, hitam, mengerikan, dan penuh aura pembantaian.
0 comments:
Posting Komentar