[One Shoot] Untitle
Semilir angin sore
berhembus dengan tekanan yang sesuai. Tidak terlalu kencang, namun tidak pula
terlalu lemah. Hembusan angin yang sepoi-sepoi dan menciptakan ketenangan.
Cobalah untuk penjamkan mata dan mulailah menghirup udara secara
perlahan-lahan. Lalu, rentangkanlah tanganmu dan biarkan angin menerpa kulitmu.
Bagaimana?? Segar bukan?? Apalagi ketika anak-anak rambut dan ponimu
melayang-layang karena hembusan angin. Bukankah itu membuatmu semakin merasa
kesejukan??
Itulah yang dilakukan
gadis yang memiliki rambut hampir sepinggang itu. Bola mata hitam nan beningnya
membuka dan menutup berulang kali seraya senyuman lebar tercetak di wajah
manisnya. Hembusan angin yang dihasilkan oleh pergerakan ranting-ranting pohon
akasia—pohon tempat ia duduk saat ini—sangatlah menyejukkan.
“Wow… sejuknya,” gumam
gadis itu dan membuka lebar bola matanya.
Seketika, ia dapat
melahap semua pemandangan yang tersuguh di depannya. Mulai dari teman-temannya
yang tengah bermain bola kaki di lapangan timur. Bola mata itu terus
menjelajahi semua yang dapat ditangkap daya pengelihatannya.
Dan gadis itu melihat
ke arah lapangan barat. Tepatnya melihat sekelompok orang-orang yang tengah
asyik memperebutkan si bulat orange dengan garis-garis hitam di permukaannya.
Gadis itu terus memperhatikan permainan basket teman-temannya. Hingga pada
akhirnya, gadis itu seketika seperti membeku saat salah satu pemain basket itu
menatap dirinya. Bola mata pemain basket itu seperti menusuk bola matanya
sendiri. Bola mata kecoklatan bertemu dengan bola mata bening kehitaman. Gadis
itu sungguh ingin mengalihkan pandangannya. Tetapi… bola mata kecoklatan itu
seperti mengunci kedua matanya, membekukan gerak refleksnya, dan melumpuhkan
daya kerja otaknya. Gadis itu tidak bisa apa-apa… hanya terdiam membeku menatap
bola mata kecoklatan itu.
Satu anggukan
dilakukan pemain basket itu dengan bola sudah berada di dalam genggamannya.
Pemain basket itu menatap ke arah sang gadis sekali lagi, lalu tersenyum samar
dan akhirnya mengangguk sekali lagi. Lagi-lagi, gadis itu hanya terdiam.
Sedangkan, pemain basket tadi melakukan tembakan three point.
*************
Pemuda itu sedang
berdiri di tengah-tengah lapangan basket bersama teman-temannya. Tentu saja
mereka sedang bermain bola basket, tepatnya melakukan pertandingan latihan.
Dari dulu, ia sudah sangat menyukai olahraga ini. Terlebih-lebih lagi saat
seseorang mengatakan sesuatu kepadanya. Sejak saat itulah, pemuda itu makin
menyukai olahraga basket.
“Yo, dekati garis
three point!!!” seru teman satu timnya.
Rio—pemuda
tadi—terlihat menganggukkan kepala. Ia mengedarkan pandangannya untuk mencari
posisi yang cukup strategis namun tidak terlalu penuh penjagaan oleh tim lawan.
Ketika ia melihat ke arah timur, ia mendapat bola mata hitam nan bening yang
sangat dikenalnya. Bola mata terindah yang pernah ada. Bola mata yang selalu
membuatnya bertanya-tanya. Dan bola mata yang selalu mengikat dirinya.
Ketika bola mata itu
tertangkap olehnya, Rio seketika langsung balas menatap bola mata itu. Ia
sangat memfokuskan tatapannya dan sadar, bahwa bola mata hitam bening itu balas
menatap dirinya. Selalu saja seperti ini. Hanya saling menatap dan
menatap. Selalu seperti ini sejak
setahun terakhir.
Rio mendengar Alvin
menyebut namanya. Dengan instingnya, Rio tahu kalau Alvin akan mengoper bola
kepadanya. Tanpa melepas tatapannya Rio mengangguk dan segera menerima operan
dari Alvin.
Hap… bola itu sukses
Rio tangkap. Pemuda itu mengangguk sekali, lalu menatap bola mata hitam itu
lebih tajam. Kemudian tersenyum samar dan mengangguk sekali lagi. Sungguh, Rio
ingin melihat respon pemilik bola mata itu, tetapi… tidak ada sama sekali. Rio
mengangguk sekali lagi dan memutuskan kontak mata mereka lalu menatap ke arah
ring basket lawan. Rio mengakat kedua lengannya ke atas dengan sedikit loncatan
Rio menembakkan bolanya ke ring lawan. Dan…. MASUK dengan mulusnya tanpa
mengenai bibir ring sedikitpun.
PRRRRRRRRIIIIIIITTTTTTTTTTT…….
Ketika bola itu sukses
masuk ke ring, Rio kembali melihat ke arah tadi, melihat ke arah gadis yang
memiliki bola mata hitam nan bening itu. Rio ingin melihat gadis itu tersenyum
kepadanya atas keberhasilannya. Namun…
Saat Rio melihat ke
arah tersebut, dirinya seperti mendapatkan kejutan. Tetapi… bukan kejutan yang
menyenangkan. Lagi-lagi Rio harus melihat hal seperti ini. Gadis itu tengah
tertawa bersama pemuda lain. Bersama pemuda lain yang merupakan teman satu
eskulnya pula.
“Lagi-lagi kamu
membuatku ragu, Fy,” gumam Rio dan kembali bergabung bersama teman-temannya.
*******************
“Lo lagi nulis apaan
sih, Fy?” tanya Via yang baru saja datang dengan satu kantung plastic penuh
makanan di tangan kanannya. Gadis itu mengambil posisi duduk di depan sahabatnya.
Ify mengangkat
wajahnya dan menatap Via yang masih melihat ke lembaran kertas yang telah ia
tulisi.
“Lo nulis semacam
iklan lonely hearts ya?” tanya Via dengan senyum gelinya.
Ify melotot kepada
sahabatnya itu. “Nggak kali. Emangnya elo yang pernah nulis kayak gituan,”
bantah Ify kesal.
Via tertawa-tawa dan
merampas pena serta buku Ify. “Elo makan ini dulu, gue tau kok kalo elo lapar.
Gue mau nulis sesuatu buat elo. Biar elo nggak ngejomblo mulu,” ucap Via seenak
udelnya dan meletakkan plastic berisi makanan kepada sahabatnya itu.
“Eh… eh… elo mau nulis
apaan?? Nggak boleh!!!!” protes Ify dan
mencoba merebut kembali bukunya.
Via menggembungkan
pipinya dan melotot kesal. “Elo makan aja. Oke?? Gue mau nulis sesuatu,” ujar
Via otoriter dan membuat Ify terdiam. Dia benar-benar serasa ditindas oleh Via.
Karena Ify sudah tidak
melancarkan protesnya lagi, Via mulai menulis di lembar buku Ify. Bagaimana
dengan Ify? Gadis itu hanya pasrah melihat Via yang semangat sekali menulis di
lembaran bukunya. Ia bukan takut rugi karena bukunya ditulisi Via, tetapi… Ify mencium
bau-bau kejahilan dan kenekatan Via. Ia khawatir kalau-kalau Via menuliskan
tentang itu… tentang, bagaimana ia sudah sangat lama diam-diam menyukai Rio.
Orion Bintang Raditya Diputra.
Sepuluh menit telah
berlalu. Via tampaknya tersenyum puas saat melihat hasil kerjanya. Ia menarik
buku itu dan memberikannya kepada Ify.
“Coba baca, Fy. Pasti
lo bangga banget punya teman kayak gue yang jago nulis iklan lonely hearts.
Habis ini, gue ngerasa bakalan jadi penulis iklan lonely hearts paling laris di
sekolah. Cukuplah buat usaha kecil-kecilan,” celoteh Via panjang lebar dan
tersenyum lebar.
Ify melirik tulisan
Via dan mulai membacanya.
Aku cewek, 16 tahun. Menarik tapi lebih suka menjadi sosok
pendiam. Rambut panjang sepinggang yang tumbuh secara tak terkendali namun
menghasilkan rambut terbaik. Menyukai buku dan hobby tulis menulis. Dulu pernah
punya jerawat sebesar biji kacang, yang kata teman-temanku, jerawat ditaksir
Reno—kakak kelas sangar—. Mempunyai ibu yang sangat penyayang dan sahabatnya
yang sangat cantik seperti Dewi Aphrodite. Kecantikan sahabat yang tiada tara.
Menunggu selama setahun:: seorang cowok seperti Dewa Apollo
dengan rambut spike berwarna hitam, mata kecoklatan dan sangat menyejukakan,
dan senyuman yang bisa membuat diriku melayang dari Indonesia menuju kutub
utara singgah di samudra antartika, dan terakhir mendarat dengan tidak elitnya
di lapangan sekolah (cowok itu Rio tentunya). Nggak mau cowok yang suka gombal,
mengitimidasi, dan sok paling keren.
Dengan perlahan-lahan
Ify mengangkat wajahnya dan menatap Via dengan tatapan horror ala Alyssa
Raifyna Amarillys.
“Keren kan, Fy? Coba
kalau Rio baca ya?? Pasti dia langsung sadar kalau elo udah suka sama dia
selama setahun. Ya kan?” ucap Via dengan tampan polosnya yang membuat Ify
benar-benar ingin memberikan sebuah jitakan kecil.
“VIAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!”
seru Ify kesal. Tangannya terangkat ke atas hendak memberi toyoran kecil kepada
sahabatnya itu.
“HUUUUAAAAAAA…….
KKKKKKAAAAAAABBBBBUUUUUURRRRRRR!!!!!!” seru Via dan segera berlari menuju pintu
kelas.
“AWAS LO YA!!! GUE
KEJAR!!!!” teriak Ify kesal dan berlari mengejar Via.
Dua sahabat itu terus
kejar-kejaran sepanjang koridor sekolah. Via berlari dengan sangat
terburu-buru, mengingat Ify yang kini hampir mengejarnya. Secara fisik, Ify
lebih kuat daripada Via.
“Minggir… minggir…”
“Sorry… sorry…”
“Beri gue jalan…”
“Nanti gue ganti di
kantin…”
“Minggir…”
Duo Pi itu terus
mengucapkan kata-kata tersebut secara bergantian tatkala mereka hampir menabrak
seseorang, jalan tertutup, bahkan menjatuhkan makanan yang dibawa teman-teman
mereka.
“Maafin gue dah, Fy.
Bercanda beneran,” ucap Via memohon sambil tetap berlari.
Ify tidak menggubris
sama sekali dan terus mengejar sahabatnya itu.
“Gue beneran capek,
Fy. Maafin gue ya? Ya?” pinta Via dengan nada memohonnya. Kecepatan berlari
gadis itu mulai melemah.
“NGGAK MAU!!!!” jawab
Ify dari belakang.
Via menghela napas.
Dia benar-benar capek. Meraton dadakan dengan Ify membuatnya seperti ingin
pingsan.
Via tetap berlari
dengan semampunya lagi. Dia ingin minum. Ini benar-benar melelahkan. Saat akan
berbelok ke kanan koridor, Via melihat air tergenang, ia segera melompat untuk
menghindarinya. Namun sayangnya… sebelum Via sempat memperingatkan sahabatnya
itu, Ify keburu……. Menginjak genangan air itu dan …
“HUAAAAAAAAAAa……..
LLIIIICCCIIIIINNNNNN……………,” jerit Ify.
“HATI-HATI, FY!!!!”
Pergerakan Ify menjadi
tidak seimbang dan kedua tangannya terjulur-julur ke depan untuk mencari
pegangan agar dia tidak jatuh. Namun… tidak ada sama sekali. Tidak ada ranting
pohon yang dapat diraihnya. Tiang koridor juga jauh dari jangakuannya. Dan
parahnya, Ify tidak mampu lagi menjaga keseimbangan badannya dan akhirnya gadis
itu memilih untuk memejamkan matanya. Menyiapkan diri untuk terjatuh dan
merasakan apa yang namanya sakit dan terhempas di lantai.
Menunggu… dan terus
menunggu tubuhnya terjatuh di lantai, tetapi… Ify malah tidak merasakan
apa-apa. Ia tidak merasakan bagaimana kerasnya lantai dan tidak mendengar bunyi
jatuhnya badannya ke lantai. Ia tidak merasa apa-apa layaknya orang jatuh di
lantai. Tetapi, ia merasakan ada sesuatu yang melingkari punggungnya.
Dengan perlahan-lahan
Ify membuka matanya. Ia mendapati wajahnya menyadar pada dada seseorang. Dada
bidang yang menjelaskan bahwa dirinya menyadar pada seorang laki-laki. Ify
mengangkat wajahnya dan pupil matanya melebar. Ia… ia… ia sedang berada
dipelukan Rio. Pelukan Rio. Seseorang yang selama ini ditunggunya.
“Maaf…,” gumam Ify
pelan dan membuat Rio menatap bola mata hitam beningnya.
************
“Lo udah suka sama dia
sejak setahun yang lalu kan, Yo?” tanya Alvin kepada sahabatnya itu.
Saat ini mereka berdua
sedang berjalan di koridor sekolah yang lumayan sepi.
“Hnn…”
“Apalagi sih yang elo
tunggu?? Lo suka sama dia dan dia suka sama elo. Terus apa lagi, Yo?? Gue heran
sama elo.”
Rio hanya diam, tidak
menyahut sama sekali. Perkataan Alvin memang benar, apalagi yang harus dia
tunggu. Dirinya sendiri sadar kalau Ify menyukainya dan dia sendiri suka sama
Ify. Terus apa yang harus ia tunggu lagi?? Tinggal meminta Ify menjadi
pacarnya. Bereskan?? Tetapi… ntah mengapa Rio masih sedikit ragu. Ia tahu kalau
Ify selalu kaku dan canggung bila di dekatnya. Ia tahu kalau Ify salah tingkah
bila ada dirinya. Ia tahu itu. Ia tahu kalau Ify tidak bisa melepaskan tatapan
dirinya, ketika ia terang-terangan menatap gadis itu. Rio tahu dan sadar akan
hal itu. Tetapi… dibalik semua itu masih ada keraguan. Keraguan yang muncul
ketika Ify bersama cowok lain.
Keraguan yang muncul
ketika Ify tertawa bersama orang lain, seperti Ify yang selalu tertawa bila
bersama Debo atau mungkin Tristan bahkan Ray. Rio tahu dirinya ragu. Apakah Ify
benar-benar menyukainya?? Atau hanya dirinya yang menyukai Ify?? Dia
benar-benar masih sedikit ragu.
“Lo diam kan, Yo? Apa
sulitnya elo tinggal mengaku cinta ke Ify? Lo nggak takut kalau ia dengan orang
lain?” pancing Alvin. Dia kesal dengan sahabatnya ini. Setahun menyukai seorang
gadis, tetapi tidak melakukan apa-apa. Padahal gadis yang sahabatnya suka itu
juga menyukai sahabatnya itu sendiri. Betapa bodohnya Rio???
Rio berhenti melangkah
dan menatap Alvin tajam. Ia kesal dengan sahabatnya ini. Untuk apa bertanya
seperti itu lagi coba?? Memang ada yang mau kalau orang yang disukai menjadi
milik orang lain?? Nggak kan?? Dan itu juga berlaku untuk dirinya.
“Gue tahu elo nggak
mau. Tetapi… elo diam terus, Yo. Lo masih nggak percaya kalau Ify suka sama
elo?”
Pupil mata Rio
membesar dan itu menunjukkan kalau pertanyaan Alvin tepat merujuk ke inti
permasalahan.
Alvin berdecak kesal.
“Jelas-jelas Via udah nunjukin bukti konkrit ke elo. Masih elo nggak percaya?”
tantang Alvin.
Rio memejamkan matanya
sejenak. “Itu bisa akal-akalannya Via doang, Vin. Lo pernah liat sebahagia apa
Ify dekat dengan Ray? Dengan Tristan bahkan dengan Debo?”
“Terserah elo, Yo. Lo
suka sama Ify. Elo cinta sama Ify. Elo yang mendam rasa. Elo yang sok dingin
dengan Ify. Sifat dingin elo bisa membuat Ify berpikir kalau elo nggak suka
sama dia. Membuat dia mencoba move on dan itu rugi untuk elo sendiri.”
“Gue nggak diam aja,
Vin. Gue kasih signal ke dia,” bantah Rio.
“Lo bilang signal?
Tatapan mata lo? Itu buat dia bingung, Yo,” ucap Alvin lemah dan menggelengkan
kepalanya. Kalau Rio bukan sahabatnya, Alvin bakalan masa bodoh untuk hal yang
seperti ini.
Tatapan mata lo? Itu
buat dia bingung, Yo. Ucapan Alvin seperti memberikan tamparan pelak untuk Rio.
Dia melupakan hal tersebut. Dia lupa. Dia mengira Ify akan langsung mengerti…
tetapi… ia lupa dengan kata ‘bingung’. Jangan-jangan…..
“HUAAAAAAAAAAa……..
LLIIIICCCIIIIINNNNNN……………”
“HATI-HATI, FY!!!!!”
Dada Rio mulai
bergetar kembali. Bergetar bila ia mendengar suara Ify, mendengar nama Ify,
bahkan berada di dekat gadis itu.
Jeritan Ify membuatnya
waspada dan mencari sosok gadis yang ia cintai itu. Bola matanya terbelalak
kaget saat medapati Ify yang memejamkan matanya dan hampir terjatuh ke lantai.
Dengan cepat Rio berlari ke arah Ify dan hap…. Rio menangkap Ify ke dalam
dekapannya. Ke dalam pelukannya. Ke dalam lingkaran kedua lengan kokohnya.
Alvin terkekeh pelan
melihat tingkah sahabatnya itu. Sudah ketahuan cinta, tetapi memilih untuk diam
saja.
Rio merasakan
kehangatan dan kelegaan yang luar biasa. Tadi, saat melihat Ify yang hampir
terjatuh, dirinya sangat khawatir. Ia tidak mau gadis itu terluka. Ia tidak
mau.
Rio merasakan bahwa
Ify bergerak dalam dekapannya. Ia melonggarkan pelukannya dan membiarkan gadis
itu bergerak bebas. Saat ia melihat bola mata hitam nan bening menatap dirinya
dengan keterkejutan, dirinya hanya membalas tatapan tersebut seperti biasanya.
“Maaf,” gumam Ify
pelan.
Rio mendengar suara
Ify dan menatap gadis itu. “Never mind. Lain kali hati-hati,” balas Rio.
Ify merasa canggung
dan sedikit risih ketika Rio tidak melepaskan pelukannya. Ia menggerakan lengannya
untuk melepaskan dirinya dari Rio.
“Hmm…. Bisa… err
lepasin pelukan elo nggak,” pinta Ify pelan dan rona merah muncul di kedua pipi
putihnya.
Pelukan?? Pelukan…
sepertinya dia lupa akan satu hal. Ia lupa kalau dirinya masih memeluk Ify. Ia
lupa akan hal itu.
“Beneran kok, gue udah
nggak apa-apa. Makasih udah nolongin gue. Tapi, lepasin pelukan elo dong, Yo.
Malu tahu,” bisik Ify pelan.
Seperti tersengat
lebah, Rio segera melepaskan pelukannya. Ia benar-benar malu. Sumpah. Dia tidak
menyangka akan kelepasan control seperti ini. Rio membuang mukanya ke arah lain
agar Ify tidak melihat rona merah yang mungkin menghiasi wajahnya.
“Ehem… lo berdua so sweet banget sih,” ledek
Via dengan kerlingan jahil. Lalu melirik Alvin dan mulai beradegan seperti yang
dilakukan oleh Rio dan Ify.
“Lo pura-pura mau
jatuh, Vi. Gue bakalan nangkep elo, kayak super hero gitu,” ujar Alvin dengan
wajah innocent-nya. Yang menurut Rio minta ditonjok secara esklusiv di pipi
kanannya.
Rio mendengus kesal
melihat acting yang dilakukan Via dan Alvin. Sedangkan Ify menundukkan
wajahnya. Ia takut Rio melihat wajah blushingnya. Ini benar-benar akan
menunjukkan dirinya menyukai Rio.
Drama kacangan Alvin
dan Via benar-benar membuat Rio muak. Apalagi bagian yang menggambarkan bagian
Rio yang terus memeluk Ify tanpa melepas gadis itu. Mau meledek Alvin dan Via
nggak bisa, yak karena mereka memang sepasang kekasih.
“Aduh… Alvin my lovely
boy… you’re so sweet. Ah… aku beruntung banget karena kamu nggak berat ngucapin
rasa cinta kamu ke aku. Kalau kamu nggak ngaku-ngaku juga? Aku nggak bakalan
tahu, apa kamu punya rasa yang sama juga dengan aku atau nggak,” ujar Via
dramtis dan menatap Alvin dengan wajah berbinar-binar. Bila Via adalah tokoh di
dalam sebuah komik, maka ia akan digambarkan sebagai seorang gadis dengan bola
matanya diberi tanda love-love, ciri khas cinta. Benar-benar menjengkelkan bagi
Rio.
Mendengar apa yang
diucapkan Via membuat Ify menatap Rio melalui ekor matanya. Ify selalu
memperhatikan dan menerka-nerka apa yang akan Rio katakan melalu tatapan
matanya. Ify selalu menebak-nebak. Tetapi… ia tidak menemukan apapun, ia hanya
mendapati kebingungan menjalari setiap sel darahnya.
Satu lagi, dada Ify
selalu bergetar ketika ia berada di dekat Rio. Ify selalu menunggu-nunggu apa
yang akan Rio katakan pada dirinya. Ia pernah mencoba menebak-nebak apa yang
Rio katakan ketika acara ulang tahun sekolah mereka dari koridor atas sementara
ia berdiri di pinggir lapangan. Ia benar-benar penasaran. Tetapi….
“IFY!!!!!” panggil
seorang laki-laki dengan postur tubuh kurus sembari membawa stick drum.
“Ada apa, Ray?” tanya
Ify bingung dengan kedatangan temannya ini.
“RIO!!!!! Ternyata elo
di sini,” ucap seorang gadis bernama Dea dan berlari-lari kecil menghampiri
Rio.
Ify melihat Dea yang
bergelayut kecil di lengan Rio dengan tatapan sedih. Ini benar-benar
menyakitkan. Kenapa harus seperti ini lagi?? Lagi-lagi ia harus melihat
kedekatan Rio dengan Dea. Jadi… apakah rasa cinta yang ia punya hanya untuk
dipendam?? Dapatkah rasa itu membuat Rio menyukai dirinya.
“Kita ke ruang music
yuk, Fy. Gue bakal ajarin elo lagu terbaru permaian drum kita,” ajak Ray dan
menarik lengan Ify.
Ify menatap Via dan
Alvin bergantian, lalu ia menatap Rio dengan tatapan sendunya. Bola mata
beningnya tetap melirik Rio dan bibirnya mengucapkan kata “selamat tinggal”
tanpa suara.
Sementara Rio, pemuda
itu tidak jauh berbeda dengan Ify. Ia tidak rela melihat Ify yang pergi bersama
Ray. Tetapi… apa haknya untuk melarang?? Tidak ada bukan?? Ia hanya perlu
merelakan Ify untuk bersama Ray, kalau dia selalu seperti ini.
“Yuk, Yo, kita ke
kantin,” ajak Dea dan menarik lengan Rio agar segera mengikutinya untuk
berjalan.
Rio tidak protes
bahkan membantah. Ia mengikuti Dea yang sudah berjalan di depannya. Selalu
seperti ini, mencari perlarian ketika Ify tidak berada di dekatnya.
Via dan Alvin hanya
menghela napas pelan. Kedua orang yang ditinggal itu bukannya marah karena
merasa ditinggalkan, tetapi… keduanya kesal… mengapa kedua orang itu seperti
orang bodoh saja??? terlebih-lebih lagi Rio. Kenapa pemuda itu harus tetap
diam?? Sementara cinta yang ia tunggu sudah ada di depannya. Kenapa???
“Lo punya rencana
nggak, Vin? Gue gemes liat tingkah mereka,” tanya Via kepada kekasihnya itu.
Ide?? Rencana?? Alvin
menggeleng. “Untuk saat ini nggak ada, Vi.”
“Ya udah, kita balik
ke kelas aja,” ajak Via yang langsung disetujui oleh Alvin.
**************
Jatuh cinta kepadamu tidak sulit.
Mencintaimu seperti napas dalam hidupku.
Namun… menunggumu untuk mengatakan cinta kepadaku, rasanya
itu….. ntahlah… sulit untuk aku gambarkan…
Apakah berat bagimu untuk mengungkapkan cinta itu?
Apakah sulit untukmu mengaku cinta padaku?
Sungguh, aku menyadari kalau kita memiliki rasa yang sama.
Memiliki keinginan yang sama. Tetapi… kenapa senandung itu tak juga kau
nyanyikan? Kenapa?
Kau tahu… aku tidak mengerti sama sekali dengan yang terjadi
di antara kita…
Tidak mengerti ketika kau khawatir padaku…
Aku tidak mengerti…
Bahkan keraguan merayap ke dalam hati ketika melihatmu dengan
orang lain…
Sekali lagi aku ingin tahu, apakah sesulit itu untuk mengaku
cinta? Untuk mengaku akan rasa yang memang terasa di antara kita berdua?
Mereka berdiri di
samping bangunan kelas XI IPA 2. Seorang pemuda dengan seorang gadis yang
tampak sedang menggenggam kedua tangan pemuda itu.
“Yo… aku yakin kamu udah
tahu aku mau bilang apa...,” ujar Dea dengan berani menatap bola mata Rio yang
berdiri di hadapannya saat ini.
“Hnn…”
“Jadi… aku mau bilang…
kalau aku suka sama kamu, Yo. Aku udah lama suka sama kamu. Aku cinta sama
kamu, Yo,” ucap Dea percaya diri dengan senyuman lebar tergambar jelas di
wajahnya.
“Hnn…”
“Jadi…” Dea menatap
Rio dengan penuh harapan. Gadis itu ingin sekali Rio menjadi miliknya, menjadi
kekasihnya.
“Jadi kenapa?” tanya
Rio singkat.
“Aku suka sama kamu,
Yo. Cinta sama kamu, Yo. Jadi, mau nggak kamu jadi pacar aku?” tembak Dea
dengan wajah malu-malunya.
“IF…….. IFY…,” ujar
Via dengan menatap nanar sahabatnya itu. Via tidak merasa sedih melihat Ify
yang menangis melihat kejadian yang paling menyakitkan dalam hidup sahabatnya
itu. Di depannya secara langsung, Ify menyaksikan Rio yang sedang di tembak
oleh Dea, gadis dengan kecantikan di atas rata-rata.
***************
“Fy, ke toiletnya
lewat jalan ini aja yuk,” ajak Via sambil menunjuk koridor barat.
Ify menggeleng cepat.
“Nggak mau. Lewat sana lama, Vi. Lewat kelas XI aja.”
“Oke. Ayo.” Via
menyetujui usulan Ify.
Kedua sahabat itu berjalan
bersama-sama sambil mengobrol. Saat melewati kelas XI IPA 2, Ify sedikit
berjalan lebih cepat. Ketika tanpa sengaja melihat ke arah kiri, ia menemukan
Rio dan Dea sedang berbincang. Dan Ify mendengar Dea yang mengucapkan sesuatu
kepada Rio.
“Aku suka sama kamu,
Yo. Cinta sama kamu, Yo. Jadi, mau nggak kamu jadi pacar aku?” tembak Dea
dengan wajah malu-malunya.
Ify terpaku mendengar
apa yang Dea katakan kepada Rio. Tanpa ia sengaja dan tanpa ia sadari,
perlahan-lahan air matanya mengalir membasahi pipinya. Gadis itu merasa bodoh.
Merasa akan kehilangan sesuatu. Ify merasa terlambat. Kenapa bukan dia yang
berani mengatakan hal tersebut?
“IF…….. IFY…,” ujar
Via dengan menatap nanar sahabatnya itu. Via tidak merasa sedih melihat Ify
yang menangis melihat kejadian yang paling menyakitkan dalam hidup sahabatnya
itu. Di depannya secara langsung, Ify menyaksikan Rio yang sedang di tembak
oleh Dea, gadis dengan kecantikan di atas rata-rata.
Rio refleks menoleh ke
kanan saat mendengar seseorang menyebut nama Ify. Pemuda itu menemukan, Ify
yang menatap nanar dan sayu ke arah dirinya. Bahkan Rio bisa melihat air mata
gadis itu mengalir di pipi putihnya.
Tiba-tiba Rio
merasakan sesak pada dirinya. Air mata Ify… air mata Ify seperti paku yang
menancap pada dadanya. Ia benar-benar merasa ada yang salah. Ia merasa
bersalah. Rio benar-benar tidak bisa melihat air mata itu karena ia mencintai
gadis yang tengah menangis tersebut.
“Ify…” panggil Via
pelan.
“Jadi gimana, Yo? Kamu
mau jadi pacar aku nggak?” tanya Dea lagi tanpa memperdulikan sekelilingnya.
Bahkan ia tidak perduli dengan dua orang gadis yang berada di dekatnya. Dea
tidak peduli dengan keberadaan Ify dan Via.
“Gue… gu…”
Saat mendengar suara
Rio yang mulai akan mengucapkan sesuatu, Ify langsung menggeleng kepalanya.
“AKU. DULUAN. VIA,” ucap Ify penuh penekanan dan berlari menjauhi tempat yang
membuatnya benar-benar merasakan yang namanya sakit hati.
“Semakin lama lo
pendam, lo sama dia bakalan menderita terus, Yo. Apa sulitnya untuk mengaku?”
ucap Via kepada Rio. Gadis itu benar-benar kesal kepada sahabat kekasihnya itu.
Mengapa semua dibuat sulit begini? Padahal rasa itu udah ada. Benar-benar menjengkelkan.
Belum sempat Rio
mengucapkan sesuatu Via langsung pergi meninggalkannya. Sementara Dea menatap
Rio tidak mengerti dengan apa yang Via ucapkan.
“Ada apa, Yo?” tanya
Dea.
“Untuk permintaan elo
tadi. Gue nggak bisa,” ucap Rio dingin tanpa memperdulikan pertanyaan Dea.
Pemuda itu langsung beranjak dari tempat itu.
“KENAPA, YO?” teriak
Dea yang lagi-lagi dihiraukan Rio.
***************
Sebulan sejak
peristiwa Dea menembak Rio, Ify lebih pendiam daripada biasanya. Ify tidak
begitu mempedulikan lagi bila Rio menatapnya seperti dulu. Ia berusaha mungkin
untuk memutuskan tatapan Rio dari
matanya. Bahkan, saat menolong Rio yang terluka karena terkena pecahan kaca,
gadis itu hanya diam. Dia benar-benar sepertinya ingin melupakan Rio. Tetapi…
Tetapi Ify mengaku
tidak bisa. Kerena Rio dan rasa itu telah menyatu denga kuat di dalam hatinya.
Tetapi, ia tidak tahu kapan Rio akan mengungkapan kata yang selalu ia
nanti-nantikan itu? Karena, Ify menyadari dan merasakan, kalau Rio masih
mempunyai rasa yang sama dengan dirinya.
Sejak peristiwa itu
juga, Ify lebih memilih sibuk dalam persiapan kegiatan ulang tahun sekolahnya.
Bahkan gadis itu, biarpun tidak termasuk dalam panitia inti, ia bersedia
membantu karena di sana ada Via, Zahra, Agni, Avin, Gabriel, dan Cakka… yah
walaupun juga ada Rio. Ify sendiri mau-mau saja disuruh membeli double tip,
selotip, bahkan air minum juga cemilan untuk panitia. Gadis itu tidak mengeluh
sama sekali. Karena dengan begini ia merasa sibuk dan tidak perlu terlalu
memikirkan perasaannya, Rio, dan waktu yang ia gunakan untuk menunggu pemuda
itu.
Dan hari ini adalah
puncak dari segala persiapan kegiatan tersebut. Saat ini, Ify, Agni, dan Via
sedang duduk di tempat kursi penonton. Ketiga gadis itu menikmati acara demi
acara yang telah dilalui, bahkan ketika memasuki acara hiburan seperti ini.
Acara hiburan adalah acara yang paling ditunggu-tunggun.
Bahkan Ify kagum
dengan penampilan Dea bersama anggota dance lainnya, kecuali dengan busana yang
dipakai para dancer itu. Busana yang membuat cowok-cowok meneteskan saliva
mereka melihat keminiman busana tersebut.
Penampilan band yang
digandrungi oleh Zevana, Acha, Keke, dan Daud juga tak kalah keren. Pengisi
acara ulang tahun sekolah mereka benar-benar top abis!!!!
“Gimana acaranya, Sob?
Seru nggak??” tanya Zahra kepada para penonton. Di acara ini, Zahra bersama
Gabriel menjadi MC-nya.
“SERUUUUUUUUUUUUU!!!!
LAAAAGGGIIIIIII DOOOOOOONNNGGGGGG!!!!!!”
“Yah… kalau mau lagi,
siapa yang bakalan tampil? Kita kehabisan bintang tamu nih,” respon Gabriel
dengan wajah sendunya.
“YAAAAAAAHHHHHHHHHHHHHHH!!!!!”
“Kayaknya acara kita
udahan aja kali ya?”
“HUUUUUUUUUUUUUUUHUUUUUUUUUUUUUUUUUUUU…..”
sorak penonton.
“Oke… Oke… diharapkan
ketenangannya. Kalau mau lanjut, kita berdua mau nanya nih, siapa yang suka
rela jadi bintang tamu selanjutnya? Ada piano nganggur nih,” tanya Gabriel
kepada penonton.
Seketika suasana
kembali hening. Mereka saling lirik satu sama lain.
“IFY AJA! KAN DIA BISA
MAIN PIANO!!!” usul Via dengan suara to’anya yang berhasil memecah keheningan.
Puluhan pasang mata
menatap Ify dengan tatapan bermacam-macam. Ada yang berusaha menilai kemampuan
Ify, ada yang mengangguk setuju, dan sebagainya.
“IFY!!! IFY!!!!” Agni
mengompori.
“IFY… IFY… IFY…” seru
teman-teman yang lainnya.
Gadis yang bernama Ify
itu menundukkan wajahnya. Ini benar-benar gila. Bermain piano di depan satu
sekolahan. Memang sih dewan gurunya tinggal, Ibu Ira, Mr. Dave, Miss Winda, dan
Pak Duta. Tetap aja sih ini pertama kali untuk gadis itu.
“IFY… IFY… IFY…
IFY…!!!!” seruan masih tetap menggema.
Mendengar seruan
teman-temannya membuat Alvin melirik Rio—sahabatnya yang sedari tadi diam—dan
sebuah senyuman jahil bin cerdik tercetak di wajah orientalnya.
Alvin
melambai-lambaikan tangannya ke arah Gabriel. Untung saja Gabriel menangkap
kode dari Alvin tersebut.
“Oke, Guys. Kita ada
teman yang mau memberi usulan kayaknya,” ucap Gabriel dengan microphone-nya.
Setelah suasana
kembali hening, Gabriel meminta Alvin untuk menyampaikan usulnya.
“Gue punya usul nih.
Gimana Rio sama Ify duet berdua. Mumpung Rio bawa gitar nih. Kapan lagi sih
liat duet piano dan gitar, yak kan?” usul Alvin yang membuat Rio tercengang dan
mecengkram gitarnya kuat.
“Gue Setuju!!!” seru
Zahra dari atas panggung. “Gimana nih teman-teman?” tanya Zahra.
Acara pun memanas.
Gema nama Rio dan Ify terus terdengar. Sedangkan, pemilik nama itu hanya
terdiam dan saling melirik satu sama lain. Ify benar-benar bingung… apa yang
harus ia lakukan. Rio juga tidak memberi kode sama sekali.
“Aku harus gimana?”
tanya Ify tanpa sadar kepada Rio dengan gerakan bibirnya.
Bola mata bening nan
hitam itu menatap lurus ke dalam bola mata kecoklatan milik Rio. Ify menangkap
Rio tersenyum dan mengangguk, lalu berjalan menuju ke panggung.
“KYAAAAAAAAAA……. RIO….
RIO… RIO….!!!!” Seru teman-teman yang cewek.
Rio menoleh ke arah
Ify dan memberi keberanian pada gadis itu lewat tatapan matanya dan angguan
kepalanya. Dan itu membuat Ify memberanikan diri maju ke atas panggung.
“RIO… IFY… RIO… IFY…
RIO… IFY…!!!” seru penonton.
“Tenang guys, bintang
tamu dadakan kita udah dipanggung nih. Gimana? Siap untuk menyaksikan mereka?”
tanya Gabriel dengan semangatnya.
“SIIIIIIIIIIAAAAAAAAAAAAPPPPPPPPP.
AAYOOOOO MUUULLLLLAAAAIIIIIIIIIII!!!!!!”
Ify sudah duduk di
depan grand piano putih dan Rio sendiri duduk di sebelah gadis itu dengan gitar
yang berada di pangkuannya.
“Kita mulai aja. Ini
dia RIO dan IFY………..!!!!” seru Gabriel dan Zahra kompak.
Rio dan Ify saling
pandang. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. Lagu apa yang harus mereka
nyanyikan. Ify yang duduk di depan grand piano putihnya, menatap Rio yang duduk
di sebelahnya dengan tatapan penuh tanya.
“Terserah kamu, Fy,”
bisik Rio.
Ify menghela napas
sejenak dan kemudian focus kepada piano di depannya. Kemudian gadis itu
memejamkan matanya sejenak dan membiarkan tangan-tangan mungilnya menari di
atas tuts hitam—putih itu.
Teng… teng.. ting…
ting.. tengg…. Intro lagu Ada Cinta yang dinyanyikan oleh Acha dan Irwansyah
mengalun dari grand piano yang dimainkan oleh Ify. Refleks… Rio menoleh ke arah
Ify. Pemuda itu melihat gadis di sebelahnya yang tengah memejamkan mata, saat
mendengar suara Ify bernyanyi, Rio tertegun… lagu ini… cara bernyanyi ini
benar-benar dari hati… yang paling membuat Rio tertegun yaitu isi lagu ini. Isi
lagu yang sangat pas dengan keadaan ia dan Ify. Setelah lepas dari
ketertegunannya, Rio langsung segera menyesuaikan permainan gitarnya dengan
piano Ify.
--IFY—
Ucapkanlah kasih
Satu kata yang ku
nantikan
Sebab ku tak mampu
membaca matamu
Mendengar bisikmu…
Diam-diam Ify melirik
Rio yang duduk di sebelahnya. Mengingat tatapan mata Rio yang selalu mengarah
kepadanya. Tatapan mata yang belum berhasil ia baca. Tatapan mata yang
membuatnya merasa kebingungan.
--IFY--
Nyanyikanlah kasih
Senandung kata hatimu
Sebab ku tak sanggup
Mengartikan getar ini
Sebab ku meragu pada
dirimu…
--IFY--
Mengapa berat ungkapkan
cinta
Padahal ia ada
Dalam rinai hujan
Dalam terang bulan
Juga dalam sedu sedan
--IFY--
Mengapa sulit mengaku
cinta
Padahal ia terasa
Dalam rindu dendam
Dalam hening malam
Cinta terasa ada….
Ify menarik napas
sejenak lalu melihat Rio yang mulai melanjutkan bernyanyi.
--RIO--
Nyanyikanlah kasih
Senandung kata hatimu
Sebab ku tak sanggup
Mengartikan getar ini
Sebab ku meragu pada
dirimu…
Rio menyadari kalau
Ify berusaha mengungkapkan apa yang ada dibenaknya tentang dirinya. Tetapi, Rio
juga punya satu point yang harus ia sampaikan kepada Ify, tentang kedekat Ify
dengan pemuda lain yang membuat dirinya ragu.
--RIO--
Mengapa berat ungkapkan
cinta
Padahal ia ada
Dalam rinai hujan
Dalam terang bulan
Juga dalam sedu sedan
--RIO--
Mengapa sulit mengaku
cinta
Padahal ia terasa
Dalam rindu dendam
Dalam hening malam
Cinta terasa ada…
Di tengah alunan
melodi, kedua anak Adam dan Hawa itu saling menatap satu sama lain. Saat melodi
lagu itu menuju untuk lirik selanjutnya, Rio tersenyum kepada Ify dan
mengatakan ‘Maaf, Aku Cinta Kamu IFy’. Lalu pemuda itu melanjutkan untuk
bernyanyi.
--RIO--
Mengapa berat ungkapkan
cinta
Padahal ia ada
Dalam rinai hujan
Dalam terang bulan
Juga dalam sedu sedan
Air mata Ify mengalir.
Rio… Rio… mengucapkan kata yang selalu dinantikannya. Rio… Rio… mencintainya…
Ify benar-benar tidak bisa membendung air matanya… Bayangan mengenai kejadian
Rio dan Dea benar-benar hilang dari benak Ify. Sekarang…
--IFY(RIO)--
Mengapa sulit mengaku
cinta (mengapa… cinta…)
Padahal ia terasa
(terasa…)
Dalam rindu dendam
Dalam hening malam
Cinta terasa ada
(cinta…. Terasa… ada…)
--RIO IFY--
Mengapa sulit mengaku
cinta
Padahal ia terasa
--RIO--
Dalam rindu dendam
--IFY--
Dalam hening malam
--RIO IFY--
Cinta terasa ada…
Ketika lagu itu
berakhir… Rio langsung melepaskan gitarnya dan memeluk Ify yang duduk di
sebelahnya. Pemuda itu benar-benar merasa bodoh akan tindakannya selama ini. Ia
tidak peduli kalau dirinya sedang berada di atas panggung. Ia masa bodoh.
“Aku cinta sama kamu,
Fy. Sayang banget sama kamu. Maaf selama ini aku buat kamu menunggu,” ucap Rio
lembut di tengah pelukannya.
Ify hanya bisa
mengangguk. Ia tidak harus mengatakan apa-apa, karena ia memang tidak sanggup
untuk melakukan apa-apa lagi. Mendengar pengakuan dan ungkapan Rio membuat
dirinya merasa sangat senang. Karena ia tidak menunggu dalam kesia-siaan.
Karena ia tidak salah mencintai orang lain.
“CIIIIIIIIIIIEEEEEEEEEEEEEE………….!!!”
Seru teman-teman mereka dan bertepuk tangan heboh. Penampilan yang memukau
dengan hati yang menyanyi, berhasil membuat teman-temannya terpesona. Dan kali
ini… tambahan penampilan yang luar biasa… Rio menembak Ify.
“Ada yang kurang, Yo.
Lo belum bilang, ‘Fy, mau jadi pacar gue nggak?’” seru Daud heboh dari bawah
panggung.
Rio melepaskan
pelukannya, lalu ia menatap teman-temannya yang heboh karena tingkahnya
sendiri. Tanpa sengaja Rio melihat keempat gurunya yang menggeleng kepala atas
tingkah yang ia lakukan.
“Bilang… bilang…
bilang…!!!!” Gabriel mengompori dengan microphone-nya. Tentu saja langsung
diikuti oleh yang lainnya.
Rio mengusap-usap
bagian belakang kepalanya. Ia jadi bingung sekarang dan pemuda itu lebih
memilih untuk menatap Ify.
“Gimana nih?” tanya
Rio.
Ify menggeleng dan itu
tentu tidak membantu Rio sama sekali.
Akhirnya, Rio
menghirup oksigen seperlunya dan menatap Ify dengan pandangan lembutnya. Mengunci
mata Ify dengan tatapan mata teduh milik dirinya.
“Kalau kamu ingin
cowok yang romantis, Fy, berarti kamu jangan memilihku karena aku tidak bisa
romantic sama sekali. Tetapi… aku tetap mau mengatakannya, Would you be My
Girlfriend?”
Ify tersenyum lebar.
Ulah Rio ini benar-benar lucu dan ia terkekeh kecil. “Kau tahu, aku nggak butuh
cowok romantic kalau itu adalah kamu. So, aku mau jadi pacarmu, Yo,” balas Ify
dan langsung dihadiahkan pelukan dari Rio.
Salah satu hal yang
indah adalah bersatu dengan orang yang kita cinta, bukan?
“The End”
0 comments:
Posting Komentar