Zahra
dan Penantian
Aku berdiri di tepi sungai Neckar,
menikmati pemandangan aliran sungai yang terus mengalir dengan tenang di musim
gugur ini. Permukaan sungai yang dipenuhi daun-daun kering memberikan keindahan
tersendiri untuk sungai Neckar. Sungguh pemandangan yang begitu mengesankan
bagiku.
Aku menahan napas saat mengamati
daun-daun yang bergerak perlahan bahkan ada yang berputar-putar saat aliran
sungai Neckar mendorong dedaunan. Mereka begitu mempesona. Aku sangat suka.
Suka itu bagiku adalah saat
ada sesuatu yang membuat hatiku menjadi tenang, nyaman, dan aku selalu ingin
tersenyum. Salah satunya seperti ini, hal yang dianggap oleh orang lain konyol,
tapi bagiku ini sangat menyenangkan. Mengamati sungai, terutama di musim gugur.
Diantara keempat musim yang
ada, aku sangat menyukai musim gugur. Di mana saat musim gugur, daun-daun
berguguran dan membuat pepohonan jadi gundul. Tapi, bagiku itu indah. Musim
gugur memang sangat luar biasa.
Musim gugur?? Ya musim gugur.
Tahun ini sudah kedua kalinya aku berdiri di tepi sungai Neckar seorang diri. Berdiri
di tepi sungai ini tepat di musim gugur. Kau tahu? Aku seperti orang bodoh saja
yang terus berdiri di sini seorang diri, menanti dia yang telah berjanji padaku
dua tahun lalu.
“Aku tahu ini sangat bodoh. Memintamu untuk
menungguku. Tapi... aku tidak mempunyai pilihan lain selain memintamu untuk
menunggu. Aku berjanji, aku pasti kembali tepat di minggu kedua musim gugur.
Aku mohon... mohon tunggu aku!”
Dia berjanji seperti itu
padaku di musim gugur dua tahun yang lalu. Dan hingga sekarang dia belum juga
kembali. Bukankah ini sungguh konyol untukku? Menunggu dan terus menunggu,
tanpa kabar satu pun darinya. Ntahlah... terkadang aku merutuki diriku ini yang
masih saja percaya dengan janji orang itu. Padahal jelas dia telah berbohong
padaku, bahkan menipuku. Haruskah aku tetap menunggunya? Bila aku menunggunya,
bukankah aku bodoh? Tapi... dari dua tahun lalu hingga sekarang Aku merindukannya.
************
“Zahra!!!!!
Apa kabar?” sapa Ify, gadis berwajah asia dengan perawakan tinggi, langsing,
dan rambut panjang yang tergerai indah.
Zahra tersenyum lebar. “Hai Ify. Aku baik-baik saja.
Bagaimana denganmu?”
“Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja, bukan?”
jawab Ify dan menggandeng tangan Zahra menuju ruang tamu di rumah ini.
“Ada apa denganmu? Kau bilang baik-baik saja, tapi
wajahmu berkata sebaliknya,” tanya Ify dengan tampang menyelidik.
Zahra menghela napas dan meletakan tas biolanya di
sebelah kursi. “Aku baik-baik saja, Ify. Tidak usah khawatir. Bukankah tidak
ada satupun yang kurang dariku?”
Ify menghela napas dan menguncir rambut panjangnya
yang tergerai. “Ya sudah kalau kau belum mau cerita,” ucap Ify.
“Ngomong-ngomong, Sivia kemana? Kau melihatnya?”
Zahra menggeleng pelan. “Tidak. Hari ini aku tidak melihatnya.
Kami hanya bertemu saat mau berangkat bekerja. Ada apa?”
“Hanya saja aku lupa memberitahunya untuk belanja hari
ini. Sungguh bodoh, bukan? Kita berdua dan Agni tahu kalau Via itu pelupa.
Bagaimana dengan makan malam kita bila Sivia lupa berbelanja?”
“Bukankah kau bisa menghubunginya?”
Ify terkekeh kecil. “Aku tidak akan bertanya padamu
bila dia membawa ponselnya,” ujar Ify dan menunjuk ke arah meja kecil di dekat
televisi.
Zahra tertawa pelan dan kemudian bangkit dari posisi
duduknya. “Itu memang Sivia, kalau tidak seperti itu bukan dia,” ujar Zahra.
Ify tertawa. “Baiklah. Aku ke supermarket sebentar.
Kau tahu, buat persiapan kalau-kalau Sivia lupa,” ucap Ify dan menuju pintu
depan.
***********
Aku bodoh bukan? Tetap berada di masa
lalu. Hidup dalam bayang-bayangmu.
Berpegang teguh pada janjimu yang
ntah kau ingat atau tidak.
Aku sungguh bodoh!!!
Kau tahu, aku sungguh mencintaimu.
Menunggumu bukanlah hal yang masalah untukku.
Tapi, menunggu dalam kepastian yang
semu sangat menyakitkan. Apakah kau mengingatku di sana? Atau kau sudah bertemu
dengan yang lain?
Bukankah ini sudah musim gugur yang
kedua, kenapa kau belum juga datang? Aku
menunggumu di sini. Selalu menunggumu. Di sungai Neckar, aku menunggumu.
Menunggumu untuk datang dan kembali padaku. Apakah pengorbananku sia-sia?
Membuang waktu selama dua tahun untuk menunggumu? Tetapi, bagaimana dengan kau?
Apakah kau ingat padaku?
Aku sungguh merindukanmu, kau tahu?
Itu menyakitkan. Menyakitkan bila merindukan seseorang yang ntah kapan bisa
ditemui.
Tentu saja kau tahu, bila aku masih
menunggumu di sini. Apakah tidak terlintas dibenakmu untuk memberiku kabar?
Dedaunan semakin berguguran, kau
tahu? Apakah aku harus menunggu hingga musim gugur yang ketiga? Jawab aku!!
Biar aku memiliki keyakinkan bila kau akan kembali padaku.
Zahra
duduk di pinggir ranjangnya yang menghadap ke jendela tepat langit luar. Dia
sudah tinggal di Jerman sejak enam tahun yang lalu, tentu saja bersama ketiga
sahabatnya. Menempati satu rumah warisan keluarga Sivia. Cukup besar dan
nyaman.
Saat ini, Zahra mengamati langit malam ini dengan buku
kecil yang berada di pangkuannya. Dia menulis sesuatu tentu saja. Karena ia
membaca apa yang ada di buku itu sesekali. Semilir angin malam di musim gugur
menusuk tulang rusuk hingga rasa dingin menyelimutinya.
Gadis itu mengambil selimut tidurnya dan melilitkan
tubuhnya dengan selimut itu untuk mengurangi rasa dingin yang begitu menusuk.
“Aku rindu padamu,” gumam Zahra dan menuliskan sesuatu di bukunya. Setetes air
mata jatuh membasahi buku itu. Zahra memejamkan matanya dan mengusap air mata
yang terus mengalir di pipi putihnya.
Dia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Sungguh
dia sangat mencintai laki-laki yang kini berada nun jauh di sana. Laki-laki
pertama yang membuatnya jatuh cinta. Membuatnya merasakan apa cinta yang
sesungguhnya. Laki-laki yang mencintainya penuh dengan kelembutan dan
kesabaran. Laki-laki yang hingga kini namanya masih terukir dalam relung
hatinya. Nama laki-laki itulah yang membuatnya menolak Jandayat Khun, laki-laki
Jerman asli yang setahun lalu mengungkapkan cinta padanya.
“Aku harus bagaimana? Beri aku kabar! Kau tahu,
menunggu seperti ini sangat menyakitkan,” gumam Zahra untuk kedua kalinya. Kali
ini, ia biarkan air matanya mengalir.
***********
“Pagi, Via, Ify, dan Zahra,” sapa Agni dan
mengambil tempat duduk di sebelah Sivia.
“Pagi!” balas Sivia, Ify, dan
Zahra.
“Hari
yang cerah kalian tahu. Ini sungguh menyenangkan. Bagaimana bila kita
jalan-jalan sore hari ini? Bukankah ini ide yang sangat cemerlang?” usul Ify
dan mengambil sebuah roti dan mengolesnya dengan selai.
“Sayang
sekali. Padahal aku ingin sekali ikut. Tapi... pekerjaanku masih sangat
banyak,” keluh Agni dan meminum teh hangatnya.
“Ya...sayang
sekali. Bagiamana dengan kalian?” tanya Ify pada Zahra dan Sivia.
“Hari
ini pekerjaanku tidak begitu banyak. Pukul dua siang aku sudah bisa pulang.
Bagaimana denganmu, Sivia?” tanya Zahra kepada Sivia yang masih menikmati
Croissant-nya.
“Ntahlah...
aku tidak tahu. Aku masih harus berlatih memasak dengan Cheff Werner. Kemarin
aku melakukan kesalahan. Sungguh melelahkan,” jawab Sivia dan ia memang bekerja
di salah satu restorant di Jerman.
“Kalau
begitu kita bertemu di Meine Street saja. Bagaimana?” tanya Ify.
“Oke.
Nanti aku hubungi,” ucap Zahra setuju.
“Selamat
bersenang-senang!” ujar Sivia dan tersenyum lebar.
***********
Zahra
berjalan dengan langkah perlahan-lahan. Menikamti keramaian dan semilir angina
sore di musim gugur. Ini memang membuat tubuh seakan ditusuk, tetapi angin ini
sendiri bagi Zahra seperti kehadiran, kehadiran seseorang yang sudah lama ia
tunggu.
Musim gugur waktu itu…
Zahra benar-benar merasa bodoh. Bodoh ia terikat dengan janji laki-laki itu.
Laki-laki yang ntah kapan akan kembali ke sini. Dia tidak tahu. Dan sekarang,
dia merasa seperti menunggu yang tak mungkin.
“Jingganya musim gugur,
dedaunan yang mulai menguning, semilir angin yang menusuk namun menyejukan,
semua itu adalah saksi. Saksi bahwa kau akan kembali. Tetapi, sampai sekarang
kau belum juga kembali,” gumam Zahra.
Gadis itu melirik jam
tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Sebentar lagi Ify datang,
pikirnya. Zahra kemudian menuju sebuah bangku taman yang tepat mengarah ke
kolam buatan yang di tengah-tengahnya terdapat sebuah taman bunga.
************
Ify berjalan dengan
tergesa-gesa memasuki daerah Meine Street, tepatnya menuju taman yang berada di
daerah itu. Zahra sudah mengabarinya kalau dia sudah menunggu di depan kolam.
Dan astaga, Ify yang merencanakan liburan ini, tetapi dia yang terlambat.
Sesekali Ify melirik
jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Aku harus cepat,” gumam Ify dan
ketika ia akan berbelok memasuki area taman tanpa sengaja ia…….
Bruukkkkkk…..
“Astaga!!!!” gumam Ify
yang sudah terbaring di jalan. Ternyata dia menabrak seseorang. Dengan cepat,
Ify segera bangun dan duduk. Lalu dia melihat seorang laki-laki yang tak jauh
berbeda umurnya dengan dirinya. Tepat saat itu, laki-laki itu menatap ke
arahnya.
Ify tersenyum maklum.
Dia malu. Benar-benar malu. Ify sangat yakin kalau dia pasti yang menyebabkan
tabrakan ini. Ify segera berdiri dan mengulurkan tangannya. “Aku minta maaf.
Ini benar-benar tidak di sengaja,” ucap Ify. “Sini aku bantu,” tambah Ify saat
laki-laki itu sama sekali tidak menyambut uluran tangannya.
Akhirnya Ify bernapas
lega saat laki-laki itu menyambut uluran tangannya dan kemudian laki-laki itu
sudah berdiri di hadapannya.
“Sekali lagi aku minta
maaf. Tabrakan ini sungguh tidak disengaja. Aku harap, kau memakluminya,” ucap
Ify. Laki-laki itu hanya mengangguk. “Baiklah, sampai jumpa,” ucap Ify dan
menuju area taman. Tentu saja mencari Zahra.
**************
“Akhirnya kau tiba juga di sini,” ucap Zahra sebagai sambutannya untuk
Ify yang kini sudah duduk di sebelahnya.
Ify tertawa pelan. “Maafkan aku, tadi di depan taman terjadi sedikit
insiden kecil. Kau tahu, aku menabrak seseorang.”
Bola mata Zahra melebar. “Bagaimana bisa? Apakah orang itu menuntut
sesuatu kepadamu?” Tanya Zahra panic.
Ify menggeleng. “Tidak… tidak…. Orang yang aku tabrak itu hanya
mengangguk ketika aku meminta maaf dan masalahnya selesai.”
Terlihat Zahra menghela napas lega. “Untung saja. Aku sangat khawatir,
Ify. Kau tahu sendiri bagaimana orang-orang di sini,” ujar Zahra.
Ify mengangguk. “Aku tahu. Setidaknya, bila kita selalu berbuat hal yang
baik-baik, maka kebaikan pula yang akan kita dapatkan. Dan bila kita
mendapatkan kesusahan, maka itu adalah ujian. Sesederhana itu tentang hidup,”
ujar Ify dan terkekeh pelan.
“Ini sifat yang aku kagumi darimu. Bisa membuat hal yang bila orang lain
yang mengatakannya itu akan terkesan berbelit-belit, tetapi denganmu? Semua
tampak sederhana,” puji Zahra.
Ify tertawa. “Tidak juga. Itu hanya salah satu cara untuk membuat hidup
tampak tidak terlalu berat. Apalagi untuk kita,” ucap Ify.
Zahra mengangguk-ngangguk, lalu ia tanpa sengaja menoleh ke arah kanan
dan mendapati sepasang kekasih yang sedang bercanda di bawah pohon yang daunnya
telah menguning, namun memberi kesan yang sangat indah. Zahra tertegun. Ia
seakan membeku. Itu… itu… seperti déjà vu baginya. Di bawah pohon…. Daun
menguning… sepoi angin musim gugur… dan seorang laki-laki. Itu seperti dia dan
laki-laki itu tepat ketika dua tahun lalu.
Ify menatap heran sahabatnya itu. Tadi Zahra terlihat baik-baik saja dan
sekarang kenapa dia sudah berbeda. Ify memutuskan untuk mengikuti arah pandang
Zahra. Dahi Ify mengerenyit. Apa hubungannya Zahra dengan sepasang kekasih
itu??? Jangan-jangan…..
“Ra….” Panggil Ify.
Zahra masih tetap diam.
Ify menyikut lengan Zahra pelan. “Ra…,” panggil Ify sekali lagi.
Dengan gerakan reflex cepat, Zahra langsung menghadap kepada Ify.
“Ada apa denganmu?” Tanya Ify langsung dan menyelidik Zahra. Wajah Zahra
memucat dan kelihatannya sedang bersedih.
“Aku?? Ada apa denganku? Tidak ada! Aku baik-baik saja,” jawab Zahra.
Ify menyipitkan matanya. “Jangan berbohong, Ra. Aku melihatmu
memperhatikan pasangan kekasih itu. Apa laki-laki itu mantan kekasihmu?” Tanya
Ify penuh selidik.
Zahra mengancing mantelnya hingga dia tertutupi seutuhnya, rupanya angin
musim gugur ini telah membuatnya kedinginan. “Bukan, Ify,” jawab Zahra.
“Terus. Kenapa? Kau tampak begitu sedih. Aku khawatir.”
“Mereka hanya mengingatkanku pada seseorang. Seseorang yang dulu pernah
ada di sini. Seseorang yang sampai saat ini masih aku tunggu. Tetapi… tetapi…
hingga saat ini… dia… dia… Ify… dia… belum kembali. Aku sudah lama menunggunya.
Dia berjanji padaku akan kembali ke sini dua tahun lalu, tetapi hingga tahun
ini dia belum kembali Ify. Dan aku masih menunggunya,” jelas Zahra dan air mata
telah berlinang di pipinya.
Ify tertegun. Ternyata ini yang membuat Zahra sering sekali belum tidur
ketika malam hari. Tepatnya setiap musim gugur di setiap tahun. Jadi ini,
alasan semua kertas yang telah diremuk yang ia temukan tanpa sengaja di tempat
sampah di kamar Zahra. Jadi… Zahra menunggu seseorang yang sangat berarti
untuknya.
“Ini alasan kenapa hampir setiap malam kau selalu memandangi langit, Ra?
Dan ini alasan kau sering menangis malam-malam di setiap musim gugur?” Tanya
Ify.
Zahra mengangguk dengan air mata yang terus mengalir. “Dia… laki-laki
pertama yang aku cintai. Laki-laki yang membuatku sangat mencintai music. Dia…
dia… seperti melodi di setiap gesekan biolaku, Ify. Dulu, sewaktu dia belum
kembali ke Indonesia, dia berjanji akan kembali ke sini. Menemuiku dan dia
bilang, aku dan dia akan bersama selamanya.”
“Apakah dia mengirimimu kabar selama ini?”
Zahra menggeleng. “Tidak sama sekali, Ify,” ucap Zahra sembari menghapus
air matanya.
Bola mata Ify melebar tak percaya. “Jadi selama ini kau menunggu tanpa
kepastian, Ra?”
Zahra mengangguk.
“Oh astaga…,” ucap Ify dan menempelkan telapak tangannya di bibir. Dia
benar-benar tidak menyangka. “Sungguh, aku benar-benar tidak tahu tentang
masalah cinta seperti ini, karena sejujurnya aku belum pernah jatuh cinta.
Tetapi, mendengar ceritamu, Ra. Aku rasa itu sangat menyakitkan bila menunggu
tanpa kabar. Kau yang sabar ya, Ra? Kalau dia memang takdirmu, pasti dia
kembali. Hukum itu sangat berlaku dan tidak ada yang bisa menolaknya.”
“Menurutmu sebaiknya apa yang harus aku lakukan, Ify? Apa aku tetap
menunggu dia atau mulai melupakannya saja?” Tanya Zahra.
Ify memejamkan matanya sejenak. Sebenarnya ini berat untuknya. Bukannya
dia tidak mau memberi solusi kepada Zahra, hanya saja dia belum merasakan hal
ini. Dan dia tidak tahu pasti apa yang sebaiknya dilakukan. “Aku merasakan,
kalau kau selalu mempunyai cinta untuknya.” Ify mulai berbicara.
Zahra mengangguk.
“Jadi, menurutku, kau tetap menunggunya kembali, Ra. Memang dua tahun
lalu kau kecewa, tapi ini tahun yang ketiga dan kita tidak tahu apa yang
terjadi di tahun ketiga ini. Dan apalagi sekarang sudah memasuki minggu kedua
di musim gugur. Dan siapa tahu, di tahun ini dia kembali. Sangat sayang bila
kau melepaskannya sementara cinta itu masih ada di dalam hatimu. Dan kau juga
tidak tahu, perasaan dia terhadapmu. Bila kau memutuskan untuk melupakannya,
kau akan sakit hati karena cinta yang masih ada itu. Dan bila dia masih
menyimpan cintanya untukmu, maka kau dan dia akan sama-sama tersakiti.
Bagaimana kalau kau tetap menunggunya saja.”
Zahra tampak menimbang. Baginya, apa yang dibilang Ify itu benar. Cinta
yang dimilikinya masih utuh untuk laki-laki itu. “Tapi, Ify. Bagaimana kalau
dia belum kembali?”
Ify tersenyum kecil. “Tidak salah kalau kau mencoba untuk menunggu di
tahun yang ketiga ini karena cinta itu masih ada. Bila dia belum juga kembali, maka
kau tidak usah menunggunya lagi dan mulailah menghilangkan rasa itu.”
Akhirnya Zahra tersenyum lebar. “Kau benar-benar menakjubkan. Semua
ucapanmu terasa benar untukku. Jangan-jangan kau bohong bila tidak pernah jatuh
cinta.”
Ify melotot. “Beneran, Zahra Damariva!!!!” seru Ify. “Kata-kata itu
hanya mengalir saja,” tambah Ify saat Zahra menatapnya dengan sorot tidak
percaya.
“Zahra!!!” seru Ify.
Zahra tertawa. “Aku cuma bercanda, Ify. Jangan mudah marah.
Ngomong-ngomong, terima kasih karena kau telah menjadi sahabatku yang sangat
baik.”
Ify mengangguk. “Lain kali, kalau ada masalah cerita saja sama aku, Via,
dan Agni. Siapa tahu bisa lebih tenang dan tidak bingung lagi.”
Zahra mengangguk. “Iya. Ngomong-ngomong, bila kau jatuh cinta, bisa
cerita padaku. Itung- itung balas budiku.”
“Zahra!!!!” seru Ify kesal melihat Zahra yang mengedipkan mata.
“Kan siapa tahu kau jatuh cinta Ify. Mungkin saja dengan laki-laki yang
kau tabrak tadi siang,” ucap Zahra.
“Laki-laki yang aku tabrak? Aku tidak pernah bilang padamu dia
laki-laki. Kenapa kau bisa tahu?” Tanya Ify dengan wajah polosnya.
“Karena aku pernah merasakan cinta kali,” jawab Zahra santai dan
menikmati wajah polos Ify dengan tawa kecilnya. “Aku masih menunggumu. Tolong…
tolonglah kembali…” batin Zahra.
***************
Laki-laki itu berdiri di pintu keluar Bandara utama di kota Heidelberg.
Saat langkah kakinya menepaki langkah pertama di udara terbuka, dia langsung
disambut dengan angin musim gugur yang berhembus. Rasanya tidak asing lagi,
karena laki-laki itu pernah datang ke sini, tepatnya dua tahun lalu.
“Baru saja aku melangkahkan kaki untuk pertama kalinya, aku langsung
merasakan kehadiranmu. Sangat ingin melihatmu. Sudah lama aku menahan diri
untuk kembali ke sini,” gumam laki-laki itu sambil berjalan mencari taxi.
Tidak lebih dari sepuluh menit sebuah taxi datang dan dia langsung menyetopnya.
Selama perjalanan menuju ke tempat yang dia tuju, laki-laki itu teringat
seseorang. Seseorang yang selalu menghuni relung hatinya. Seseorang dengan
lesung pipi yang membuatnya selalu tersenyum saat memandangi orang itu.
“Bagaimana kabarmu,” lirih laki-laki itu.
Laki-laki itu terbayang peristiwa dua tahun lalu. Ia mengajak gadis itu
pergi ke taman kota dan duduk di bawah pohon yang daunnya telah mongering. Lalu
dia, meminta sesuatu untuk gadis itu. Dia sendiri menyadari, kalau gadis itu
sangat berat hati untuk mengatakan ‘ya’ untuknya, namun tetap gadis itu
lakukan. Setelah gadis itu mengatakan ‘ya’, dia langsung berbalik pergi
meninggalkan gadis itu walaupun dia sangat sadar kalau gadis itu menangis.
Gadis yang sangat ia sayangi menangis karenanya. Sungguh betapa jahat dirinya.
Laki-laki itu membuka jendela taxi dan membiarkan angin berhembus
mengenai wajahnya karena dengan begitu dia bisa merasakan kehadiran gadis itu.
Seseorang yang sangat berarti untuknya.
“Maafkan aku karena aku terlambat menemuimu. Tetapi, sebentar lagi kita
akan bertemu,” ucap laki-laki itu.
*************
“Tidak bekerja, kau Via?” Tanya Zahra yang mengambil posisi duduk di
samping Via.
“Zahra?” ucap Sivia terkejut. “Bekerja? Tidak. Hari ini aku
diperbolehkan istirahat karena ya selama seminggu kemarin aku berlatih bersama
Chef Wenner dengan begitu tekun,” jawab Via sambil tersenyum lebar.
“Apa yang kau lakukan di sini?” Tanya Zahra lagi.
“Aku sedang menunggu langit sore. Menyenangkan melihat langit berwarna
orange hampir sama dengan pepohonan itu sangat indah. Musim gugur memang indah,
tidak kalah dengan musim semi.”
“Aku setuju. Musim gugur itu memang sangat cantik. Perpaduan warna yang
benar-benar unik dan klasik.”
Sivia tersenyum. “Apalagi musim gugur itu sangat romantic.
Ngomong-ngomong, aku sudah mendengar ceritamu dari Ify. Aku harap kau tidak
marah,” ucap Sivia.
Zahra menggelengkan kepala. “Tidak. Itu yang sangat kuinginkan, kita
saling terbuka. Maafkan aku selama ini hanya menyimpan sendiri.”
Ganti Sivia yang menggeleng. “Tidak juga. Aku rasa, masalahmu itu juga
pribadi dan boleh diceritakan boleh tidak. Yang penting, kita adalah sahabat
dan sahabat itu adalah keluarga.”
“Itu sangat benar. Baiklah, aku ke dalam dulu. Mau mandi, gerah baru
pulang kerja,” ujar Zahra dan bangkit dari posisi duduknya. Lalu meraih tas
biola yang tadi berseder di tembok.
“Ya.”
**************
Agni, Ify, dan Via terbelalak melihat tamu yang datang tidak diundang
ini. Seorang laki-laki yang berperawakan tinggi, namun sedikit hitam manis.
Tipikal orang Indonesia. Karena mereka bertiga mengenali orang Indonesia. Yang
membuat mereka terperangah adalah laki-laki itu sangat tampan dan enak sekali
dilihat wajahnya. Senyum ramahnya membuat laki-laki itu semakin luar biasa
tampan saja. Apalagi, dengan celana jeans hitam perpaduan kemeja yang lengannya
di gulung hingga siku serta sepatu fantofel-nya. Dia benar-benar luar biasa.
“Anda mencari siapa?” Tanya Sivia yang berhasil mengendalikan diri tidak
semakin terpesona dengan ciptaan Tuhan yang berada tepat dihadapannya. Ciptaan
dengan guratan ketampanan yang mencapai tingkat 78 persen.
“Aku mencari Zahra, Zahra Damariva. Apa dia masih tinggal di sini?”
Tanya laki-laki itu.
Ify, Sivia, dan Agni saling berpandangan. Jangan-jangan…. Ini adalah
laki-laki yang ditunggu oleh Zahra selama ini. Dan sepertinya……
“Apa Zahra tinggal di sini?” Tanya laki-laki itu lagi.
Dan sepertinya iya.
“Anda siapanya Zahra?” Tanya Agni.
“Dan kenapa Anda mencari sahabat kami di malam hari seperti ini?” Tanya
Ify dengan mata menyipit.
“Oke… maafkan aku karena aku belum memperkenalkan diri. Aku, Gabriel
Stevent Damanik, kekasihnya Zahra Damariva,” ucap laki-laki itu.
“Jadi, kau orangnya? Orang yang selalu ditunggu Zahra?” Tanya Ify
memastikan.
Gabriel mengangguk salah tingkah. Ketiga gadis di depannya ini
membuatnya sedikit merasa aneh….
“Kau sungguh jahat, membiarkan Zahra seperti itu. Untung saja dia gadis
yang kuat dan ceria. Dan kau tahu….”
“Sudah, Sivia. Biarkan mereka menyelesaikan masalah mereka berdua,”
potong Agni. “Dan Ify, tolong bangunkan Zahra, tadi kulihat dia tertidur,”
tambah Agni. Ify mengangguk dan segera masuk ke dalam.
************
Ify memasuki kamar Zahra, seperti yang telah diduga Ify, pasti sebelum
tidur tadi Zahra menatap langit. Buktinyas aja jendela yang masih terbuka.
Perlahan-lahan Ify menuju tempat tidur Zahra dan membangunkan gadis itu.
“Ra… Ra… bangun,” panggil Ify dan menggoyangkan sedikit tubuh Zahra.
Zahra menggeliat kecil dan membuka matanya. “Kenapa, Fy?”
Ify tersenyum. “Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu. Dia menunggu
di teras. Aku harap kau secepat mungkin menemuinya.”
“Siapa?” Tanya Zahra.
“Kau lihat saja di depan. Cepat cuci muka dan oh iya, bila nanti kau
mencari aku, Sivia, dan Agni, kau perlu tau kalau kami mengungsi dulu. Dan
cepat temui dia,” ucap Ify sebelum ia pergi meninggalkan kamar Zahra.
**************
Zahra mengancing mantelnya karena baginya udara malam ini sangat dingin.
Setelah selesai ia segera menuju ruang tamu. Saat langkah pertamanya memasuki
ruang tamu, bola mata Zahra terbelalak kaget. Dia tidak menyangka kalau
seseorang yang ingin bertemu dengannya adalah Gabriel Stevent Damanik.
Laki-laki yang telah dia tunggu selama tiga tahun ini. Laki-laki yang selalu
melekat dalam relung hatinya.
Berbeda dengan Gabriel, dia merasa deg-deg-an saat mendengar bunyi
langkah kaki yang mendekat. Perlahan dengan pasti dia mengangkat wajahnya dan
mendapati wajah seorang gadis yang sangat ia rindukan. Gadis itu tidak berubah,
masih seperti dulu. Rambutnya yang panjang sepunggung masih tergerai dengan
indah. Lesung pipi yang selalu membuatnya tersenyum masih ada. Gadis itu masih
seperti dulu dan bila memang ada perbuhan, itu tidak masalah, karena dirinya
sangat mencintai gadis itu.
Zahra dan Gabriel sama-sama terdiam dan hanya memandang satu sama lain.
Ini benar-benar seperti mimpi bagi Zahra dan jangan-jangan dia memang hanya
bermimpi. Tapi…………
“Zahra?” ucap Gabriel.
Zahra tersentak kaget. Ia mendengar Gabriel mengucapkan namanya dan
sekarang ia melihat Gabriel berjalan menuju ke tempatnya berdiri.
Dan tiba-tiba… Zahra sudah berada di dalam rengkuhan kedua lengan kokoh
Gabriel. Pemuda itu memeluk dirinya. Zahra merasa dia seperti akan meleleh. Ini
adalah pelukan yang sangat dirindukannya. Wangi parfum Gabriel yang tidak
pernah berubah dari dulu, dan dia sangat menyukai wangi ini.
Dan Gabriel sendiri, ketika menatap Zahra, dia tidak tahu harus berbuat
apa, tetapi yang sangat ia inginkan adalah Zahra berada di dalam pelukkannya.
Dia rindu dengan gadis itu. Gadis yang selalu memenuhi ruang hatinya. Gadis
yang fotonya selalu terpajang dengan manis di ruang kerjanya. Dan gadis yang
diinginkannya untuk menemaninya menjalani hidupnya. Gadis ini, ya gadis ini,
Zahra Damariva.
Dan sekarang, gadis itu telah berada di dalam pelukannya. “Aku sangat
merindukanmu, kau tahu. Maafkan aku karena tidak kembali tepat dua tahun yang
lalu,” bisik Gabriel.
Bisikan Gabriel menyadarkan Zahra yang hampir melupakan sekarang dia
berada di mana. Zahra menatap Gabriel dengan bola mata besarnya.
“Zahra, aku mohon, maafkan aku karena terlambat menemuimu. Jangan diam
seperti ini. Beri aku kesempatan. Kau adalah satu-satunya gadis yang berada di
dalam hatiku. Kau pemilik hati ini,” ucap Gabriel.
Zahra memberontak dalam pelukan Gabriel dan dengan kecanggungan Gabriel
melepaskan pelukannya.
Sekarang, Zahra berdiri di hadapan Gabriel. Menatap bola mata lelaki
ini. Sejujurnya, Zahra sangat merindukan Gabriel. Seseorang yang selalu ia
tunggu. Ia tunggu selama tiga tahun ini. Dan sekarang laki-laki itu berada
tepat di hadapannya.
“Ra… aku benar-benar minta maaf atas keterlambatanku. Seharusnya dua
tahun yang lalu aku ke sini, tetapi dua tahun lalu kondisiku sangat tidak
memungkinkan. Bukan karena aku sakit tentu saja,” ucap Gabriel cepat-cepat saat
menyadari ucapannya tadi membuat Zahra mengira dia mengidam suatu penyakit
parah. Kekhawatiran Zahra sama seperti dulu dan itu menyakinkan Gabriel, kalau
dia belum terlambat. “Kondisi keluargaku dan perusahaan orang tuaku harus
segera diurus karena banyak masalah. Aku sangat merindukanmu, kau tahu. Selama
di Indonesia, di setiap waktu senggangku, aku terus memandangi fotomu.
Bertanya-tanya bagaimana kabarmu.”
“Kenapa kau tidak menghubungiku dan mengabarkanku?”
“Aku terlalu takut, Zahra. Bila aku menghubungi dan tidak bisa bertemu
denganmu itu sama saja membunuhku perlahan-lahan. Rasa rindu itu semakin besar
dan aku tidak bisa menahannya, dan kenyataan aku tidak bisa bertemu denganmu
waktu itu, membuatku memilih untuk tidak menghubungimu,” ucap Gabriel dengan
matanya yang menatap Zahra begitu tajam. Tajam yang sangat meneduhkan.
“Kau tahu, Yel. Menunggu itu bukan hal yang mudah. Aku selalu menunggumu
tanpa tahu kabarmu. Aku selalu mengira-ngira bagaimana kau di sana? Apa nama
Zahra Damariva masih tersimpan di hatimu? Aku mengira-ngira kalau kau tidak
akan pernah kembali, tetapi rasa itu selalu mendorong agar tetap menunggumu.
Dan karena aku selalu mempunyai cinta untukmu, aku menunggumu. Menunggumu dalam
ketidaktahuan dan kau tahu, Yel… ka….u ta….aa…huuu… itu sangat menyakitkan,”
jelas Zahra dan air matanya turun. Dia menangis.
Gabriel terpukul. Ternyata dia hanya memikirkan dirinya sendiri, dia
tidak memikirkan bagaimana keadaan Zahra waktu itu.
“Aa…kkuu… seperti oorr…anggg bodoohh dan berenang da…lam lum..pur
kebodohan,” ucap Zahra dan membiarkan air matanya tetap mengalir. “Di setiap
musim gugur di minggu kedua aku selalu menunggumu, menanti-nantimu dan kau
tahu, aku pulang dengan sia-sia. Kau belum kembali. Itu sangat sakit,
Gabrieel,” ucap Zahra.
Gabriel tidak bisa lagi melihat air mata itu. Dia sangat bersalah. Dia
bersalah karena membuat Zahra menangis dan tersakiti olehnya. Dan tanpa
hitungan lagi, Zahra kembali berada di dalam pelukan Gabriel. Perlahan, Gabriel
menghapus air mata Zahra dan mengakat wajah gadis itu untuk menatapnya.
“Aku sangat bersalah, Zahra. Tetapi, tidak ada hal lain yang dapat aku
lakukan, kecuali meminta maaf padamu. Dan aku sangat mengharapkan kau kembali
padaku. Karena sekarang aku telah kembali. Kembali hanya untukmu.”
Mata Zahra terkunci oleh tatapan Gabriel. “Lihat aku, Ra. Aku yang selalu
punya cinta untukmu. Hati Gabriel yang selalu ada untukmu. Tolong, kembali
padaku karena kau adalah senandung hidupku. Please, Ra. Aku masih sangat
mencintaimu. Maafkan aku dan kembali padaku,” pinta Gabriel dengan
sungguh-sungguh.
Zahra sangat menyadari kalau Gabriel memang jujur. Tidak ada kebohongan
sama sekali di mata itu. Tidak ada yang harus dia lakukan. Seperti yang Ify
bilang, Gabriel masih mencintai dirinya dan dia masih mencintai Gabriel. Tidak
ada yang lebih baik dilakukan selain ia menerima Gabriel kembali. Mengatakan
iya untuk permintaan Gabriel. Hanya itu, dengan seperti itu, penantiannya
selama ini tidak akan sia-sia.
“Ra… tidak adakah kesempatan untuk kita bersama lagi? Maafkan aku sekali
lagi.”
Zahra membalas tatapan mata Gabriel. Lalu, ia menghela napas sejenak dan
kemudian memejamkan matanya sebentar. Tangan kanannya yang bebas menyentuh
wajah Gabriel yang memiliki rahang yang kokoh. Wajah yang selalu Zahra
pandangi. “Aku… menerima kau kembali untukku,” ucap Zahra.
Gabriel bernapas lega. Ini yang dia tunggu. Dia berjanji, bahwa dia
tidak akan pernah membuat Zahra menunggu lagi. Tidak. Karena sudah cukup Zahra
menunggu untuknya dan sekarang dia akan kembali kepada Zahra.
“Terima kasih, Ra. Terima kasih banyak. Aku berjanji, tidak akan
membuatmu merasakan itu lagi. Menunggu yang sangat menyakitkan karena sekarang
aku akan selalu di sampingmu. Aku akan menjaga dan melindungimu karena kau
adalah permata hatiku.”
Gabriel semakin mempererat pelukannya untuk Zahra. Zahra adalah gadis
yang sangat ia cintai. Gadis yang selalu memenuhi hatinya dan gadis yang
membuat dia memberikan segala cintanya.
“Terima kasih, Ra. Aku sangat mencintaimu,” bisik Gabriel sekali
lagi. Hari ini dia benar-benar lega
karena Zahra telah berada di dalam pelukannya.
Musim gugur adalah waktu di mana ia meminta janji itu. Janji agar Zahra
menunggunya dan gadis itu menyanggupinya hingga di tahun ketiga masih menunggu.
Dan sekarang, di musim gugur dia kembali. Kembali untuk gadisnya, Zahra Damariva.
Permata hati Gabriel.
***************
Sepasang kekasih itu berdiri di tepi sungai Neckar, tepatnya di bawah
pohon yang daunnya mulai menguning. Berpegangan tangan, seolah tidak mau lepas.
“Di sini aku selalu
menunggumu kau tahu,” ucap Zahra dan menatap sungai Neckar.
Gabriel tersenyum
lembut dan menatap gadisnya. “Aku tahu dan selalu tahu. Karena aku selalu punya
cinta, seperti sungai Neckar yang terus mengalir meski di musim dingin nanti
pun. Dan terima kasih karena telah menungguku.”
Zahra tersenyum lebar.
“Kau memang selalu bisa, membuatku memaafkanmu dan untuk ucapan terima kasihmu,
sama-sama.”
Gabriel mendekatkan
dirinya kepada Zahra. Lalu meraih pinggang Zahra dan memeluknya. Keduanya
menikmati pemandangan suangi Neckar di musim gugur dan angin musim gugur. Ya,
musim gugur adalah musim yang sangat berarti untuk mereka.
“The End”
0 comments:
Posting Komentar