Andaikan Part 3



 ANDAIKAN  3

Gue korban cinta atau emang bego sih ???
         
          Selama sebulan ini aku duduk sebangku sama Rio. Ya ku akui tidak banyak yang berubah pada dirinya. Yang berubah haya saja ia makin keren .p. Rio…Rio…sebulan aku duduk sama lo. Tapi, aku nggak berani mengobrol sama elo. Hahahaha…tragis banget. Aku bingung dengan tugas yang diberikan dulu itu. Aku udah dua kali bilang sama Rio kapan bisa buat tugas bareng-bareng, eh dia malah marah dan nggak jawab apa-apa. Belakangan ku tahu ternyata dia jalan sama Dea. Akhirnya aku kerjain sendiri deh tuh tugas, tapi baru dikit banget. Yaaaa..karena itu soal susah banget. Setingkat olimpiade.
          Hari ini aku memutuskan untuk menanyai Rio lagi. Mumpung ada kesempatan soalnya Bu Ira nggak masuk di jam terakhir ini. Nggak tahu alasannya apa, yang penting nggak belajar. Soalnya mumet dari tadi sama kimia. Hufh…
          Aku melihat Rio yang lagi asyik sama handphone-nya. Biar kutebak, pasti dia lagi sms-an atau bbm-an sama pacarnya. “Yo..” panggilku. Tapi nggak ada respon darinya.
          “Rio.” Panggilku kedua kali. Masih nggak nyaut tuh anak.
          “Rio.” Panggilku yang ketiga kalinya dan menyikut sikunya. Akhirnya tuh anak menoleh juga, tapi tampangnya nyeremin.
          “Apaan lo. Ganggu aja.” Bentak Rio. Aku kaget dan akhirnya menghela nafas berat. Teman-teman sekelasku menatap bingung aku dan Rio.
          “Gue Cuma mau nanya, Yo. Kapan bisa buat tugas semester? Ini udah sebulan, sementara kita belum buat sama sekali. Belum lagi ulangan harian, UTS.” Ujarku pelan. Takut Rio marah.
          “Oh…kapan lo mau buatnya?”
          “Terserah elo. Gue ikut aja.”
          “Di rumah gue, nanti pulang sekolah.” Ucap Rio dan dia menatapku. Tatapannya itu kayak isyarat yang bilang gini, ‘lo nggak bareng gue’.
          “Ok. Mana alamat rumah lo?? Biar gue berangkat sendiri.” Ujarku. Rio menuliskan alamat rumahnya di kertas selembar dan menyodorkannya ke arahku. Aku menerimanya dan kemudian aku berdiri untuk pergi ke toilet. Tapi, sebelumnya aku menoleh ke arah Rio dan bilang, “Gue tahu, Yo.” Rio heran dengan ucapanku. Mungkin dia bingung gitu, apa maksud dari ucapanku. Aku sebodo teung deh dan pergi keluar kelas.

@Rumah Rio
          Aku keluar dari angkot dan segera menatap rumah yang berada di depanku ini. “Perumahan Bintaro, Jalan Delima Sari Komplek B Nomor 24. Nggak salah lagi. pasti ini.” Ujarku sambil menyocokan alamat yang tertera di tembok kiri pagar dengan kertas selembar yang bertuliskan alamat rumah Rio.
          Rumah Rio tergolong mewah dan besar. Tapi kayak sepi gitu, nggak ada penghuninya. Warna rumahnya cream gitu dengan balkon depan yang menghadap jalan raya. Halaman rumahnya berlapiskan rerumputan hijau dan ada yang dilapisi papingblock. Kalo aku nggak salah melihatnya, paping itu menuju garasi rumahnya. Di halamannya juga ad a taman dan beberapa pohon buah yang kerdil tapi rindang. Sejuk kayaknya.
          Cukup mandangin rumah Rio. Sekarang aku mencet bel rumahnya. Tapi nggak ada jawaban. Ini yang kelima kalinya, tapi masih saja nggak ada jawaban juga. hufh.. “Kali aja, Rio masih di jalan dan emang nggak ada orang.” Batinku. Aku beristirahat sejenak di pos sebelah rumahnya Rio. Mungkin itu pos jaga malam kali. Tapi nggak peduli, yang penting itu kosong dan aku bisa beristirahat.
          Aku melepaskan kacamataku dan meletakkannya di kantung baju. Lalu aku memperbaiki ikatan rambutku. Aku mengurainya sejenak dan mengikatnya kembali. Kemudian aku memandangi langit. Langit tampak berwarna hitam, awan-awan pembentuk hujan juga sudap siap menurunkan hujan (aneh banget bahasanya, .p). nah benerkan, belum lama akhirnya hujan turun juga.
          Setengah jam aku menunggu. Tapi Rio juga belum pulang. Hujan semakin deras dan aku makin kedinginan. Hawa dingin merasuki tubuhku yang hanya berbalut seragam sekolahku. Akhirnya pertolongan datang juga, ada mobil yang datang ke rumah Rio. Kali aja keluarganya. Soalnya itu bukan mobil yang biasa Rio bawa ke sekolah.
          Tuh bener lagi kan, gue. Kaca mobil itu terbuka dan ada seorang anak kecil rambutnya agak gondrong dan tunggu. Itu kayaknya aku kenal deh. iya kenal.
          “RAAAAAYYYY…” teriakku. Anak itu menoleh dan benar. Itu RAY.
          “Kak Ify.” Balas Ray dan langsung berlari keluar mobil. Ia memberi syarat kepada supirnya agar masuk duluan.
          “Kak Ify kok di sini? Nyariin Ray ya?” tanya Ray bertubi-tubi.
          “Kakak mau ke rumah temen sekelas kakak buat kerja kelompok. Tapi kayaknya salah rumah deh.” jawabku. Ray menatapku bingung.
          “Emang teman kakak siapa namanya?”
          “Rio. Mario Stevano Aditya.”
          Ku lihat Ray tertawa. “Dunia sempit ya, Kak. Kak Rio itu kakak kandung Ray, yang sering Ray ceritain itu.” Ujar Ray. Aku melongo.
          “Yang bener, Ray? Tapi kok kebalik sama lo. Dia cuek, jutek, suka marah lagi.” ujarku. Ray terkikik. “Tapi bentar, ada miripnya kalian berdua sama-sama pinter.” Tambahku.
          “Kak Ify…Kak Ify…lucu ya. Ya udah, kita masuk aja. Nunggu Kak Rio di dalem aja, lagian kakak udah kedinginan gitu, malah udah basah dikit.” Ucap Ray. Aku mengagguk dan kemudian aku dan Ray berjalan menuju rumahnya.
          Setelah di rumah Rio.
          “Kak Ify, pake jaket Kak Rio aja deh. Kak Ify kedinginan banget tuh.” Ujar Ray dan menyodorkan jaket Rio yang berwarna hitam dan bergaris putih. Aku termangu sejenak menatap jaket itu.
          “Nggak usah deh, Ray. Kakak juga nggak kedinginan lagi kok.” Ucapku pelan dan tersenyum. Padahal dingin banget tuh.  Tiba-tiba hidungku gatal, oh my god. Aku mau bersin, “Hatttciiiihhhh…………”
          “Nah benerkan. Kak Ify nggak punya pilihan lain, pake aja jaket ini. Nggak apa-apa. Ray yang tanggung jawab deh. sebenarnya Ray mau pinjemin jaket Ray, apa boleh buat karena pasti kagak muat jadi punya Kak Rio deh.” ujar Ray panjang lebar. Aku ragu untuk menerima jaket itu.
          “Nggak usah banyak mikir deh, Kak. Kakak pake aja. Ntar sakit lagi.” ujar Ray dan memaksaku menerima jaket itu. Aku pun akhirnya menerima jaket itu dan memakainya. Seperti mimpi, tubuhku jadi hangat dalam balutan jaket Rio. Mungkin aja kehangatan tubuh Rio menjalar ditubuhku lewat jaketnya. Hihiihi… mimpi banget.
          S
          K
          I
          P
          Sudah setengah jam aku menunggu Rio bareng Ray di rumahnya itu. Aku mulai bosan. Ku sadari kalo Ray belum makan dari pulang sekolah.
          “Kak Ify, Kak Rio-nya belum pulang-pulang nih. Maaf ya, Kak Ify. Pasti gara-gara mak lampir itu.” Ujar Ray dan tampangnya kesal.
          “Nggak apa-apa kok, Ray. Emang mak lampir siapa?”
          “Itu noh, pacarnya Kak Rio si Mak Lampir Dea.” Jawab Ray ketus. Aku dapat melihat jelas kebencian di mata Ray.
          “Jangan gitu lah, Ray. Dia kan calon kakak ipar Ray kali.” Ujarku.
          “Tunggu Meganthropus nongol lagi di dunia, baru dia boleh jadi kakak ipar Ray. Kalo sekarang, Ray kagak ridho. Males Ray. Mending kak Ify kemana-mana.” Ucap Ray dan menatap penuh arti ke arahku. Aku kaget. Mending aku ?? Masa iya.
          “Iya kan, Kak?” tanya Ray. Aku bingung mau ngomong apa. Tiba-tiba bunyi konser perut Ray terdengar. Kruyuk..kruyuk…
          Untung selamet banget. “Ray lapar ya? Makan gih.” Ujarku mengalihkan pembicaraan.
          “Hehehe…ketaunan ya, Kak? Ray emang laper sih dari tadi, berhubung nggak ada apa-apa di rumah jadi nahan laper deh. kalo ada makanan pasti Ray udah nawarin kakak makan.”
          “Emang Bibi ke mana?” tanyaku. Berdasarkan cerita Ray tempo dulu, Ray Cuma tinggal bareng kakaknya yang ternyata Rio sama Bibi yang kerja pagi dan pulangnya jam lima sore.
          “Pulang kali, Kak. Nggak ada kerjaan. Atau nggak pergi belanja gitu.”
          “Ya udah, kakak masakin. Mau nggak?”
          “Yang bener??”
          “Iya.”
          “Mau banget. Ntar Ray cerita ke Depa dan Ozy kalo Ray dimasakin Kak Ify. Jadi mereka kagak bisa ngeledek Ray lagi.” seru Ray dengan mata berbinar-binar ala sinchan.
          “Emang ngeledek apa?”
          “Ray malu sih sebenarnya mau bilang. Tapi nggak apa-apa deh, Ray mau dimasakin Kak Ify terus. Cuma nggak berani bilang sama Kakak. Takut kakak marah, Depa sama Ozy kagak mau bantu Ray bilang sama kakak.”
          Aku tertawa dan mencubit pipinya. Gemes deh. “Ya ampun, Ray. Cuma gitu doang. Bilang aja sama kakak nggak apa-apa lagi. kan Ray udah kakak anggep adik kakak sendiri.”
          “Huaha……senangnya. Makasih kak, sayang deh sama kak ify.” Seru Ray.
          “Iya sama-sama. Yuk kita masak sekarang aja.”
          “Siipo, Kak. Ayuk-ayuk.” Ujar Ray dan menarik tanganku ke dapur.
S
K
I
P
          “Enak banget, Kak. Nggak ada tandingannya deh.” puji Ray pada ku yang menurutnya berhasil membuat nasi goring yang paling enak. Aku Cuma senyum.
          “Kak ify bener itu nasi goreng untuk Kak Rio?”
          “Iya, anggap aja ucapan terima kasih buat jaketnya. Mungkin dia belum makan siang juga.”
          “Ok deh. kakak emang baik. Makan lagi yuk, Kak.” Seru Ray. Aku dan Ray pun menghabiskan nasi goreng yang berada di piring kita.
          “Kenyang juga. tengso banget kak Ipy.” Ucap Ray.
          “Sama-sama. Oh ya, Ray. Kakak buat tugasnya duluan aja deh, nggak usah nunggu Kak Rio-nya. Tapi, kakak buatnya di sini sambil nunggu kak Rio pulang dan hujan reda. Gimana, nggak apa-apa?”
          “Nggak apa-apa dong, Kak. Yuk, Ray temenin.” Ajak Ray. Aku dan Ray menuju ruang tv. Aku mengeluarkan soal fisika yang tebalnya udah kayak novel harry potter III dan mulai mengerjakannya. Ku lihat Ray juga mengeluarkan buku pelajarannya. Melihat Ray belajar, jadi kangen Deva dan Ozy. Lagi apa ya mereka ??
          Sekarang sudah jam lima lewat tiga belas menit. Aku udah berhasil mengerjakan lima puluh satu soal fisika. Lumayan lah. Hehehehe…. Mungkin Rio lupa kali. Aku pulang aja deh, lagian kalo nunggu hujan juga nggak akan reda-reda.
          “Ray, Kak Ify pulang sekarang ya? Bilang sama Kak Rio Kak Ify udah ngerjain 51 soal fisika.” Ucap Ify dan membereskan semua buku-buku yang berserakan di mejanya.
          “Yaaaaaaaaaahhhhh…tapi masih hujan lho, Kak. Ntar lagi aja deh, Kak.” Bujuk Ray.
          “Kasihan Deva sama Ozy dong, kalo kakak belum pulang. Ntar mereka nyariin.” Aku menolak secara halus.
          “Oh iya. Ya udah deh, Ray antar ke depan.” Ujar Ray. Belum kita berdiri. Pintu rumah dibuka dan Rio pulang. Rio menatap aku tajam dan aneh.
          “Kak Rio baru pulang ya. Lama tahu. Kasihan kak Ify-nya udah nunggu.” Ucap Ray ceria. Tapi Rio nggak mengubrisnya dan malah menatapku tajam.
          “Lo? Kenapa bisa pake jaket gue? Lepas.” Bentak Rio tajam dan menunjukku dengan telunjuknya.
          “Tadi Ray yang minjemin soalny…”
          “Lo yang minta. Iya kan?” tandas Rio. Aku shock. Kok bisa Rio mikirnya gitu.
          “Nggak..sumpah….beneran deh…”
          “Alah nggak usah bohong. Pasti lo minta.” Desis Rio tajam. Dari pada aku dihina-nya semakin dalam, aku melepas jaket itu dan memberikannya kepada Ray.
          “Ray, makasih jaketnya.” Aku tersenyum.  “Kak Ify pulang dulu, ya. Bye….” Pamitku kepada Ray yang terdiam dan mungkin ku kira dia bingung. Aku tidak menunggu jawaban Ray dan langsung berjalan menuju pintu, melewati Rio yang menatapku tajam. Setelah keluar aku berlari meninggalkan rumah Rio. Nggak peduli dengan hujan yang turun dengan derasnya dan aku berlari secepatnya menuju halte. Menunggu bus untuk pulang ke rumah.
          Di halte aku meringkuk dalam diam, kedinginan. Tubuhku gemetaran. Aku mengingat apa yang kulakukan hari ini.
Aku bego atau apa sih ?? Nunggu Rio, buat tugas sendiri dan pulang hujan-hujan hingga malem. Aku korban cinta atau
memang bego sih ?? aku bingung sendiri dan akhrinya melupakan pertanyaan itu kemudian cepat-cepat naik ke bus
yang udah tiba.

@Back to Rumah Rio
          “Lo kejam kak. Parah. Kasihan kak Ify. Kakak nggak ada perasaan ya ??” tanya Ray dengan senyum meremehkan.
          “Lo yang bego, Ray. Mau-mau aja dibegoin si mata empat.” Tandas Rio.
          “Maksud kakak apa?”
          “Dia itu pasti suka sama gue, makanya ngedekatin elo. Biar bisa deket sama gue.”
          “Kakak idup narsis banget. Kak Ify itu ngggak seperti itu. Dia itu baik. B-A-I-K. T-U-L-U-S. nggak kayak mak lampir
Kakak yang Cuma baik kalo di depan kakak. Kak Ify itu rela nungguin kakak, dia nunggu di luar kak sebelum Ray pulang.
Kakak tahu kalo hari ini ujan lebat dan kakak tahu kalo kak Ify itu nunggu di luar sampai bajunya lumayan lembab. Kakak
pura-pura lupa atau mau ngerjain Kak Ify. Kak Ify bilang mau kerja kelompok bareng kakak. Tapi apa?? kakak nggak
pulang. Emang kakak kemana ?? Ray tahu, kakak pasti jalan sama mak lampir itu. Salah Kak Ify itu apa, Kak. Kenapa juga
kakak bilang kalo Kak Ify naksir kakak. Apa buktinya? Kakak tahu dari mana? Nggak bisa jawabkan? Lagian kalo kak Ify
suka sama Kakak. Apa dia salah, nggak kan. Kak Ify itu kakaknya Deva dan Ozy, orang yang selalu nolong Ray dan ada
selalu ada buat Ray, setelah Kakak, Ozy dan Deva. Pesan kak Ify, dia udah ngerjain fisika 51 soal.” Ujar Ray emosi dan
berjalan menuju kamarnya meninggalkan Rio yang terdiam.
          Tepat di anak tangga terakhir, Ray berbalik. “Kalo kakak orang baik dan peduli dengan orang lain. Kejar Kak Ify. Dia nggak salah apa-apa.” Ucap Ray dan masuk ke kamarnya.

Wajah itu!
          “Kalo kakak orang baik dan peduli dengan orang lain. Kejar Kak Ify. Dia nggak salah apa-apa.” Kata-kata Ray teriang-iang di benaknya.
          “Apa gue udah kelewatan sama Ify?” batin Rio. Dia terdiam dan kemudian langsung sadar. Rio berlari keluar rumah dan membawa jaket yang dipakai Ify tadi. Berlari sekuatnya dan menempuh hujan. Tidak perduli dengan hujan yang mengguyur tubuhnya.
          Rio tiba di halte, namun dia terlambat. Ify sudah naik ke bus itu. Bus yang membawa Ify pergi dengan air mata yang mampu disembunyikan oleh hujan. Rio tahu wajah itu, wajah itu menangis. Rio mendekati halte dan menatap kepergian bus yang ditumpangi Ify. Seseorang yang selalu dia lukai, hanya karena hal sepele.
          Rio terduduk di bangku halte. Hanya dia seorang diri. Meratapi penyesalannya. “Gue harus percaya Ray atau Dea?” batin Rio. Rio ingat kalo dia dengar dari Dea sendiri, kalo Ify atau Alyssa Saufika itu menyukai dirinya. Hal itulah yang membuat dia kasar dengan Ify. Rio ingat kejadian itu.
          “Yo….yo…., gue mau ngomong sesuatu..” ujar Dea.
          “Apaan, De?”
          “Lo tahu, Alyssa atau yang sering dipanggil Ify ?” tanya Dea. Rio mengangguk.
          “Dia suka sama lo, Yo. Lo mau apa ditaksir cewek kuper kayak dia ? Pake kacamata dan rambutnya dikepang dua itu ?” tanya Dea tersenyum sinis.
          “Apa bener? Kalo bener ogah gue. Yang bener aja, gue sama dia? Najis.” Jawab Rio.
          “Gue harus gimana? Gue nggak bisa lihat wajah sedih itu.” Batin Rio. Rio masih ingat dengan jelas, raut wajah Ify ketika dia baru tiba di dekat halte. Dia melihat Ify menangis. Air matanya mengalir dengan derasnya bersamaan dengan air hujan yang menyapu wajahnya. Namun Rio nggak terkecoh, dia bisa melihat mana air mata dan air hujan. Dan itu membuat Rio nyesal.
          Rio menundukan badannya. Kesal. ia mengusaps rambut basahnya dengan tangannya. Mata Rio menangkap sebuah benda. Di ambilnya benda itu dan sedikit kaget. Lalu dimasukkannya ke dalam saku celananya dan kemudian dia kembali ke rumahnya.

@Rumah Rio
          Rio baru saja sudah mandi. Dia turun dari kamarnya dan menuju ruang tv. Di sana Rio menemukan Ray yang lagi menonton Tv.
          “Ray..” panggil Rio ragu.
          “Kanapa?” tanya Ray cuek.
          “Kakak minta maaf. Kakak tahu kakak salah.” Jawab Rio dengan suara tercekat. Ray menoleh ke arah Rio dan menatap sang Kakak bingung.
          “Kakak nggak salah sama Ray. Kakak salah sama Kak ify. Kakak minta maaf sama dia. Oh iya, kakak belum makan kan? Makan gih.” Ujar Ray.
          “Emang ada yang bisa dimakan?”
          “Kakak bawel deh, lihat aja di meja.” Omel Ray. Rio berjalan ke meja makan dan menemukan sepiring nasi goreng. Dia menatap nasi goreng itu dan kemudian memakannya. “Hmm…enak banget.” Batin Rio dan menghabiskannya.



BERSAMBUNG.....

0 comments:

Posting Komentar