Lovely Maid 5



 Lovely Maid 5


Gue post yang part 5 nih. Tapi, di sini belum berbau kepada maid-maid-nya. Ntar di part  baru di mulai pertualangan menjadi seorang maid. oke siip.

Happy Reading !!!


Ternyata penyakit gengsian punya orang kaya itu pasti menurun ke generasi-generasinya. Nggak tahu penyakit gengsian apa itu?? Ini deh, penyakit gengsian orang kaya nggak mau bergaul atau berteman dan sejenisnya kepada orang miskin ataupun orang nggak mampu. Padahal apa coba salah orang miskin, tiba-tiba langsung diledekin, dijutekin dan dipandang rendah.
       Penyakit ini ternyata memang mengakut pada Cakka,Rio, Alvin dan Gabriel. Awalnya biasanya saja dengan Sivia, Ify, Shilla dan Agni, setelah tahu kalau Sivia, Ify, Shilla dan Agni itu nggak mampu, Cakka, Rio, Alvin dan Gabriel malah ngerjain mereka mulu dan menganggap kalau Sivia, Ify, Shilla dan Agni itu nggak layak banget ada di sekolah ini.
       Hari ini, kegiatan belajar mengajar di Global Nusantara School International sudah berjalan. Kegiatan MOS sudah selesai dari kemarin dan saat ini sedang jam-nya istriahat. Waktu yang paling ditunggu-tunggu oleh seluruh siswa di Indonesia, bahkan dunia.
       Di mulut kantin, terlihat empat orang gadis dengan santainya berjalan menuju kantin. Senyum dan tawa menemani mereka menuju tempat yang tidak pernah merasa sepi itu. Namun, ketika langkah pertama mereka memasuki kantin. Empat gadis itu merasakan hawa-hawa tak sedap.
       Ify-lah orang yang pertama kali menyadari hawa-hawa tidak enak itu, kerena memang ia yang   memiliki perasaan lebih sensitif ketimbangan ketiga sohibnya.
       “Woi…..woi….lihat noh orang nggak sadar. Nggak tahu malu,” seru Rio dan menunjuk Ify, Via, Agni dan Shilla. Suara Rio yang kencang mengundang perhatian banyak orang di kantin, apalagi ia memang sudah menjadi perhatian dari dulu. Siapa sih yang nggak mau melihat apa yang Rio lakukan.
       Mata Ify menyipit melihat Rio yang menunjuknya dan ketiga sohib, pemuda itu duduk di meja kantin di dekat dinding yang menghadap ke pintu masuk kantin bersama ketiga sohibnya dan –mulut Ify terbuka. Ia cengo, ternyata selain bersama ketiga sohibnya, Rio juga bersama si Jazz Merah itu. Siapa lagi kalo bukan Dea. Dea juga tak sendirian, ia bersama ketiga teman-temannya. Via yang berdiri di sebelahnya tiba-tiba merinding nggak tahu kenapa. Ify dapat merasakannya.
       “Yang mereka maksud kita?” tanya Via pelan dan sedikit berbisik.
       “Kayaknya iya. Gue merasakan hawa-hawa nggak enak gitu,” jawab Ify. Agni dan Shilla memandangnya dan kemudian mengangguk. Ify tahu, maksudnya Agni dan Shilla merasakan hal yang sama dengannya.
       “Emang siapa, Yo?” tanya Dea yang mengompor.
       “Ya elah, itu noh. Empat cewek yang sok banget waktu MOS dan berani sama kita-kita.” Alvin yang menjawab dan melemparkan tatapan sinis ke Ify, Via, Agni dan Shilla.
       “Oh……maksudnya rombongan beasiswa itu. Gue juga mikir sih, mereka mah nggak pantes sekolah di sini. Nggak ada malu kali mereka di sini,” timpal Dea pula.
       “Setuju, De!” seru Angel, Aren dan Nova serentak.
       “Ya iya dong, sekolah ini Cuma untuk orang elit. Nggak nerima orang pinggiran,” tambah Cakka dan menatap keempat cewek yang terdiam tak jauh berdiri di depannya.
       “So pasti, Cak. Apalagi cewek yang beraninya nggak sopan sama gue kemarin. Sok banget. Padahal Cuma murid beasiswa,” sambung Gabriel dan menatap Shilla tajam. Kemudian, terdengar tawa dari pengunjung kantin. Mereka semua tahu siapa yang sedang dibicarakan.
       “Gue nggak terima. Emang mereka siapa!” ujar Agni kesal.
       “Gue setuju. Apa-apaan mereka. Yang punya hak untuk sekolah di sini, bukan orang kaya. Tapi orang yang mampu untuk belajar di sini.” Shilla menambahi.
       “Tapi…..” Via mencoba berbicara.
       “Nggak bisa, Via. Kita punya hak di sini dan kita juga jangan mau terima aja kalau mereka ngehina kita. Kita berempat memang anak beasiswa. Kita emang nggak mampu. Tapi bagaimana pun, kita harus membela harga diri kita. Ini termasuk penghinaan,” potong Ify.
       Via menghela nafas lemah. Yang dibilang Ify memang benar. Sudah cukup mereka dihina-hina dan dijelekin oleh orang lain. Sekarang saatnya memberontak. Kedudukan mereka sama di sini, sama-sama pelajar.
       Akhirnya, Agni berjalan di depan dan diikuti ketiga sohibnya dengan terburu-buru berjalan menuju meja Rio dan kawan-kawannya.
       “Lo…” tunjuk Ify ke muka Rio. Ternyata yang duluan sekali melakukan perlawanan adalah Ify. Ia tak suka melihat air muka Rio yang pongah dan menatap ketiga sohibnya, terutama dirinya seperti tatapan jijik dan sedang melihat sampah. “Lo nggak bisa menghina gue dan ketiga sohibnya. Emang lo siapa? Lo itu baru ketua OSIS Mario Pesek. Harusnya lo itu memberi teladan yang baik,” lanjut Ify.
       “Dan lo juga. Lo belum ada apa-apanya. So, nggak usah sok mau dihormati,” ucap Shilla dan pandangan matanya tertuju ke Gabriel seorang. Bukan tatapan penuh cinta seperti kebanyakan cewek-cewek pada umumnya, tetapi tatapan tajam penuh kebencian.
       Bukannya marah, tapi Rio dan ketiga sohibnya dan jangan pernah dilupakan si Jazz Merah dan antek-anteknya ketawa-tawa. Merasa ada yang lucu.
       “Temen-teman, tahu orang kampung nggak?” tanya Angel kepada seluruh penghuni kantin.
       “NGGGAAAKK……”
       “Nggak usah jauh-jauh kok cari orang kampung. Ini nih ada orang kampung,” ujar Aren mewakili Angel. Kemudian mereka berempat plus CRAG tertawa terpingkal-pingkal.
       “Kita berempat nggak merasa orang kampung. Kali…..” seru Agni. Namun sebelum ucapannya selesai, Nova telah memotong pembicaraannya.
       “Mana ada sih orang kampung mau ngaku. Ntar nggak dikatain gaul kali,” balas Dea.
       “Keren, De. Gue setuju. Apalagi…..” Rio sepertinya dengan sengaja menghentikan ucapannya dan melihat Ify dengan sebelah matanya. Dan terakhir ia tersenyum meremehkan.
       Ify kesal bukan main. Ia memutar bola matanya dan menghela nafas dengan kasar. Tak lupa ia menatap Rio tajam. “Ngapain lo liat-liat gue?” tanya Ify kasar. Ia tak suka saat Rio menatapnya seperti itu.
       “Idih…lo keegeran banget. Ngapain juga Rio ngeliatin elo. Serasa cakep lo? Adanya lo itu nyemak mata di mana pun elo ada. Terutama di depan kita-kita,” balas Dea sengit.
       “Gue nggak tanya elo. Apalagi minta opini elo,” ucap Ify dingin.
       “Udahlah, Fy. Kita balik aja. Nggak guna di sini, ntar kita Cuma jadi bahan tontonan doang,” ujar Via dan menggenggam tangan Ify.
       “Ayo. Gue juga udah muak sama orang sok kaya. Padahal yang kaya bukan dia, tapi orang tuanya,” kata Agni.
       Shilla mengangguk setuju. “Lagian kita juga nggak usah perduliin lagi orang-orang yang bersikap seperti yang punya ini sekolah,” ujar Shilla si Gadis Cantik itu. Keempat gadis itu berbalik dan pergi dari kantin. Meninggalkan delapan orang itu yang seperti bos besar saja.
       Saat mereka berada selangkah di luar kantin, keempatnya mendengar teriakan seseorang “RIO, ALVIN, GABRIEL DAN CAKKA ITU MEMANG ANAK YANG PUNYA INI SEKOLAH KALI            .”
       “BODOH!!” balas Ify, Via, Agni dan Shilla serempak. Dan akhirnya mereka berempat mempercepat langkahnya meninggalkan kantin yang sangat menyebalkan. Minimal untuk hari ini.

********
       Hari-hari selanjutnya tindakan Rio, Cakka, Alvin dan Gabriel semakin menjadi-jadi. Namun Ify dan sahabat-sahabatnya tidak menggubrisnya karena percuma. YA PERCUMA. Untuk apa ngelawan orang-orang yang sok begitu lebih baik diam. Tidak usah mencari gara-gara.
       Seperti hari ini, saat Ify, Via, Agni dan Shilla belajar Bahasa Indonesia di perpustakaan dan mengharuskan mereka melepaskan sepatu. Saat pelajaran itu selesai, keempatnya tampak bingung. Di manakah sepatu mereka??
       “Ada yang lihat sepatu gue nggak?” tanya Via. Ia celingak-celinguk mencari sepatunya.
       “Sepatu gue juga nggak ada, Vi,” ucap Shilla.
       “Sama,” ujar Ify dan Agni. Kemudian mereka berempat saling memandang. Ada yang ganjal. Ah iya pasti. Itu pasti.
       “Jadi, sepatu kita berempat nggak ada? Jangan-jangan…..”
       “Mereka yang ngumpetin,” potong Ify cepat.
       “Pasti. Emang siapa lagi yang sirik banget sama kita,” ujar Shilla dan dia mengangguk-ngangguk.
       “Kita samperin aja mereka. Gue bosen mereka gangguin mulu dan kita diem aja. Gue kagak takut sama mereka,” ucap Agni geram. Bukan satu dua kali ini, Rio, Cakka, Alvin dan Gabriel bertingkah seperti anak kecil. Gangguin mereka berempat.
       “Siip. Gue setuju. Ayo,” dukung Ify.
       “Tapi, kita pinjem sandal sama Bu Ririn dulu. Masa iya nyeker gini,” ujar Via.
       “Udah ah, Vi. Kita berdua aja yang minjem. Fy, Ag, lo berdua tunggu di sini ya,” ucap Shilla dan menarik Via menuju ke dalam perpus lagi.

*****

       Saat ini, Via, Ify, Agni dan Shilla tengah berdiri berhadapan dengan Rio, Cakka, Alvin dan Gabriel di depan ruang music. Pasalnya, setelah mencari-cari keliling sekolah dan di ketawain orang lain di mana pun mereka lewat, akhirnya Ify, Via, Agni dan Shilla menemukan empat orang tersangka utama yang sedang asyik-asyiknya ngadem di depan ruang music yang memang sedikit jauh dari keramaian sekolah.
       “Lo berempat apa-apaan. Udah kayak anak kecil juga, main ngumpetin sepatu kita berempat,” serang Shilla langsung ketika baru menginjakan kakinya di koridor ruang music.
       Gabriel, Rio, Cakka dan Alvin terkejut mendengar suara itu. Mereka berempat lantas berdiri dan menghadap ke arah keempat gadis yang kini menatap mereka garang.
       “Ckck….lo bertiga lihat, kampung banget kan. Ini di sekolah, eh mereka kira di sawah. Pake sandal sewalao gitu,” decak Rio dan ia melihat empat gadis yang berdiri di depannya itu serta menggeleng-geleng seperti tidak percaya gitu.
       “Namanya juga nggak punya uang, Yo buat beli sepatu. Eh…ooopppsss….” Ucap Gabriel dan pura-pura keceplosan. Lalu ia nyengir kuda.
       Ify dan Shilla merasakan telinganya udah gatal. Tidak suka mendengarkan kepura-puraan Rio dan ketiga sohibnya. Sementara, Agni sudah mengirimkan tatapan menghunjamnya sendari tadi. Hanya Via lah sendiri yang menatap keempat cowok di depannya itu dengan sedikit jengkel. Hanya sedikit.
       “Lo berempat nggak usah pura-pura nggak tahu. Kita berempat udah tahu kalo kalian yang nyembunyiin sepatu kita-kita,” hardik Ify.
       “So, gue harus bilang apa?? Amazing gitu??” balas Rio tepat di depan muka Ify. Ify terkejut dan mundur selangkah.
       “Kalian berempat nggak ada kerjaan selain ganggu kita berempat?” tanya Agni malas.
       “Banyak dong. Tapi, buat ngusir elo dan tiga sohib lo dari sekolah ini adalah hal yang utama. Pertama kali harus dilakukan. Mencegah bakteri masuk,” Cakka menjawab. Agni mendengus kesal.
       “Apa sih salah kita berempat? Gue sama Ify, Agni dan Shilla nggak pernah buat masalah sama kalian. Kenapa kalian selalu gangguin kita?” tanya Via pelan.
       “Salah. Salah banget kalo orang MISKIN kayak kalian sekolah di sini. Nggak pantes,” jawab Alvin kasar. Via terkejut dan menatap Alvin tak percaya.
       “Cukup!! Kalian nggak pernah ngerasain hidup susah. Nggak pernah ngerasain susahnya cari uang. Kalian nggak pernah sulit buat sekolah. Kita berempat nggak kayak kalian.  Kita kebalikannya. Setidaknya kalo kalian nggak suka sama kita, fine. Nggak masalah. Tapi jangan ganggu kita. Gue sama sohib-sohib gue Cuma pengen sekolah. Just school. Nggak lebih,” ucap Ify tiba-tiba.
       “Cih, sok melas lo. Lo pikir gue kemakan? Kagak. Sekali nggak, ya tetep nggak. Lo sama sohib-sohib lo yang miskin itu nggak pantes sekolah di sini. Orang miskin aja berlagu pengen sekolah di tempat elit. Sekolah banyak noh yang dipinggiran,” balas Rio sinis.
       “Nggak usah pake ngehina lagi. Di mana sepatu kita berempat?” bentak Agni.
       “Emang nggak punya sepatu lain? Sepatu udah butut juga masih di pake. Udah banyak jaitannya kali. Sepatu kayak gitu mah, udah layak jadi penghuni tong sampah,” ucap Gabriel dan tersenyum miring.
       “Kalo sepatu itu udah jelek, ngapain lo berempat umpetin?? Nggak guna kan, cepet bilang di mana?” kali ini Shilla berbicara. Ia sangat tak suka, ketika pria yang bernama Gabriel di depannya ini begitu songong.
       Rio, Cakka, Alvin dan Gabriel saling pandang dan diam. Mereka bingung kenapa bisa sampai menyembunyikan sepatu keempat gadis di depannya ini.
       “Nggak bisa jawab kan lo. Childish banget lo berempat. Gue kira, terutama elo,” ucap Ify dan menujuk Rio. “Gue kira lo ketua OSIS yang oke. Eh nggak tahunya, kebalik. Tingkah lo sangat enggak mencerminkan bahwa lo itu Ketos. Dasar lo, ketos mesum,” sambung Ify.
       Pupil mata Rio melebar saat mendengar Ify mengucapkan kata itu. Ia jadi kayak dituntut hukum saja  apalagi ketiga sohibnya memandang ia dengan sorotan penuh minta penjelasan atas ucapan Ify. Akhirnya, Rio maju mendekati Ify. Jarak mereka begitu dekat. “Udah gue bilang, jangan bilang gue mesum. Adik kelas ngesalin banget lo,” bisik Rio tajam. Ify terdiam, dia merasa tidak nyaman saat Rio berada sedekat ini dengannya.
       “RRRRIIIIOOOO….” Panggil Dea yang datang secara tiba-tiba. Dea sendiri kaget melihat Rio yang begitu dekat dengan Ify. Ia pun segera mempercepat langkahnya dan menghampiri Rio. Kemudian ia menarik lengan Rio dan bergelayut manja.
       “Lo ngapain sih di sini? Lo juga, Yel, Vin, Kka?” tanya Dea. Ia menatap sinis Via, Agni, Shilla dan terutama Ify.
       “Ngadem, De. Tapi, orang-orang kampung ini datang dan sibuk nanyain sepatu butut mereka,” jawab Cakka. Dea ber-oh ria.
       “Kantin, yuk. Angel, Nova sama Aren udah nunggu,” ajak Dea. Ia seperti tak merasakan adanya Ify dan ketiga sohibnya.
       “Ayo,” seru Alvin. Kemudian mereka berlima, minus Ify, Via, Agni dan Shilla meninggalkan koridor ruang music.
       Namun, tiba-tiba Ify menarik baju Rio bagian belakang.Rio tersentak dan berhenti secara tiba-tiba. Ify yang langsing jadi terdorong dan menumbur punggung Rio. Belum lagi Ify melepaskan diri dari punggung Rio, Rio sendiri sudah balik badan. Jadi posisinya sekarang, Ify seperti sedang menyenderkan kepalanya di dada bidang Rio.
       “Ngapain elo narik kemeja gue?” tanya Rio kasar tanpa melebarkan jarak di antara mereka berdua.
       Ify mendongak dan di dapatinya wajah Rio yang tak jauh dengannya. Ify segera mundur. “Sepatu gue sama sohib-sohib gue di mana?” tanya Ify.
       “Lo cari di belakang sekolah,” jawab Rio pendek dan kemudian ia bergabung dengan ketiga sohibnya plus Dea yang dari tadi hanya menahan amarah saat melihat posisi Rio dan Ify yang begitu dekat.
       “Kita cari sekarang, Fy?” tanya Via membuka percakapan.
       “Gimana Ag, Shill?” Ify malah bertanya pada Agni dan Shilla. Shilla mengangkat bahu ke atas. Dan sementara Agni menggelang.
       “Kita masuk kelas aja dulu. Bentar lagi jam-nya Pak Dave. Bisa abis kita,” ujar Agni. Bukan hanya Ify, Shilla dan Via juga mengangguk. Mereka bertiga setuju dengan usul Agni.
       “Sendal ini?” tanya Shilla sambil menunjuk sandal jepit yang terpasang di kaki mereka.
       “Ya, dipakai aja deh. Dari pada nyeker,” jawab Agni.

******

       Seperti yang dibilang Rio tadi, akhirnya Ify, Agni, Via dan Shilla pergi ke belakang sekolah mereka. Ketika mereka tiba di sana, kening mereka berempat kompak berlipat. Bingung. Jelas bingung dong, belakang sekolah mereka itu hanya terhampar tanah gudul dan dihuni satu-satunya oleh sebuah pohon akasia yang begitu besar. Mungkin umurnya sudah sampai seratu tahun, kalau saja di lihat berdasarkan lingkaran tahun pada batang itu sendiri.
       Mata keempatnya celingak-celinguk mencari tempat kira-kira di mana sepatu mereka pada disumputin. Heran yang dirasakan mereka. Sepertinya mereka berempat merasa dikibulin mentah-mentah oleh empat orang yang sok berkuasa di GNIS ini.
       “Heran gue, di mana sih mereka sumputin sepatu kita??” tanya Shilla bingung.
       “Lo heran, Shill. Lah gue udah mau makan mereka. Udah nggak punya kerjaan kali ya, ngumpetin sepatu kita,” timpal Agni.
       Sementara Via dan Ify masih sibuk mondar-mandir ke segala penjuru belakang sekolah untuk mencari benda hitam yang biasa melekat pada kaki mereka.
       “Fy, ada nemu nggak?” tanya Agni. Ify menggeleng lemah dan kembali mencari sepatu itu. Ia dan sohib-sohibnya tak mungkin dapat pergi ke sekolah tanpa sepatu itu. Tadi saja Pak Dave sudah memarahi mereka karena hanya memakai sandal jepit di sekolah. Dikatain udik lagi. Kesel banget kan. Jadi, hari ini juga sepatu itu kudu ketemu.
       “Tuh kan, Ag. Gue curiga kalo kita dikibulin. Awas aja ya mereka, gue nggak segan-segan beri balasan untuk mereka,” ujar Shilla kesal. Ia kemudian melirik sohibnya, Via yang berdiri termangu di depan tembok pembatas sekolah dengan lingkungan luar. “Via, lo lihatin apaan sih?” tanyanya penasaran.
       “Gue cuma coba ngeliatin semut. Kali-kali aja jalur semut ini membawa kita menuju sepatu kita yang hanya satu-satunya itu,” jawab Via tanpa mengalihkan pandangannya pada rombongan semut yang berjalan dalam barisan rapi di tembok.
       Mendengar jawaban Via, ketiga sohibnya kontan tertawa. Hahhahha……. “Ada-ada aja lo, Vi. Mana mungkin kali,” ujar Agni.
       “Ih….pada nggak percaya. Kalo gue nemu ntar, awas aja ya,” balas Via cuek dan kembali mengamati semut-semut mungil.
       Agni, Shilla dan Ify saling pandang dan kemudian tertawa geli tanpa suara. Memang benar, kadang-kadang, sohib mereka yang bernama Via itu tingkahnya aneh banget.
       Akhirnya, mereka kembali mengubek-ubek bagian belakang sekolah untuk mencari sepatu.

******

       Tanpa disadari oleh Via, Agni, Ify dan Shilla. Empat orang cowok tengah berdiri dengan santai di lantai tiga gedung yang tak jauh berada dari tempat mereka berdiri. Keempat cowok itu siapa lagi kalau bukan, Alvin, Cakka, Rio dan Gabriel.
       “Nggak akan nemu tuh sepatu butut mereka,” ucap Gabriel membuka percakapan.
       Alvin terkekeh kecil dan berkata, “Ya pasti, Yel. Nyarinya aja nggak becus gitu.”
       “Good job banget lo, Yo. Ide lo emang top abis,” puji Cakka dan melirik sohib mereka yang masih diam memperhatikan yang ada di bawah mereka.
       Namun Rio tak menggubris apapun, ia tetap diam mematung dan bola mata coklatnya memandang ke bawah. Cakka melempar tatapan penuh tanya ke Alvin dan Gabriel yang membalasya dengan sebuah gelengan kepala. Biasa, tanda tak tau menahu.
       “WOI YO,” teriak Cakka di kuping Rio.
       Rio kaget dan tersentak. Ketika ia menoleh ke kanan, didapatinya wajah Cakka yang menatap dirinya penuh kebingungan.
       “Ada apaan sih, Kka?” tanya Rio.
       “Lo sih diem aja, gue bilang ide lo keren banget,” jawab Cakka malas.
       Seulas senyum bangga tercetak di wajah tampan Rio. “Mario gitu. Ngomong-ngomong, mereka pasti nggak akan nemu itu sepatu,” ucap Rio pede sekali.
       Ketiga sohibnya menampilkan ekspresi males. “Lho, kenapa?” tanya Rio bingung.
       “Lo itu yang kenapa, Iyel udah bilang kali kalo mereka pasti nggak nemu itu sepatu. Hellow…..kemana aja sih, lo!” jawab Alvin dan mencibir ke Rio.
       “Hehehhe….” Rio cengengesan. “Nggak denger, Bro. Biasa aja kali. Well, kita nonton aja pertunjukan yang akan baru di mulai,” tambah Rio.
       “Dasar, lo,” sahut Gabriel.

**********

       Setelah setengah jam muter-muter bagian belakang sekolah. Rasa lelah menghampiri keempat sahabat itu. Peluh keringan dan kekesalan menjadi satu. Sumpah serapah sendari tadi sudah dikeluarkan. Namun sepatu itu tak kunjung ketemu.
       Kini, Via sudah terduduk lelah di akar-akar pohon akasia. Ia sudah terlalu lelah untuk mengikuti semut-semut yang masih semangat berjalan menuju akar bagian ujung pohon tua itu. Sementara, Agni dan Shilla udah duduk di pinggir tempat bunga-bunga tumbuh. Hanya Ify seorang yang masih berdiri gagah dan mengamati sekeliling bagian belakang sekolahnya.
       Dalam hatinya Ify sudah memaki-maki kakak kelasnya yang soknya udah sampai ke langit ke tujuh itu. “Awas ya lo  Mario mesum. Gue udah capek-capek gini nyari sepatu gue, gue udah kena marah Pak Dave gara-gara lo. Dasar pesek, mesum, nggak becus. Sok banget lo. Awas ya lo, Mario gila mesum,” maki Ify dalam hati. Tangan kanannya terkepal dan ia pukulkan pada telapak tangan kirinya. Ekspresi kesal tergambar jelas di wajah manisnya.
       Setelah capek memaki Rio, Ify mengangkat kepalanya ke atas. Ia ingin menikmati indhanya langit sore. Ify sendiri memang menyukai langit saat siang dan sore hari. Ketika kepalanya sudah menghadap ke langit dan membiarkan matanya ber-window shopping akan awan-awan, namun tanpa sengaja mata Ify menangkap benda hitam yang berjumlah delapan buah tergantung dengan posisi nggak enak banget terlihat di dahan yang berada di hampir ujung pohon. Bola matanya melebar, kemudian ia menyipitkannya untuk mendapat penglihatan yang lebih jelas, apakah benar itu sepatu ia dan ketiga sohibnya.
       Tak salah lagi, Ify sangat mengenali sepatunya. Sebab, di bagian telapaknya ada sedikit sobek. “Via, Shilla, Agni gue nemu di mana sepatu kita,” seru Ify lantang.
       Agni yang mendengar kata sepatu langsung menatap Ify dan melemparkan tatapan tanya “di mana?” Ify menujuk pohon itu dengan jari telunjuknya.
       Via, Shilla dan Agni melihat arah yang ditunjuk Ify. Sama seperti Ify, bola mata mereka melebar tak kala melihat sepatu mereka tergantung di atas sana.
       “HAH?! Gila mereka. Gimana kita ngambilnya, gue nggak bisa manjat,” ujar Shilla.
       “Shilla-Shilla, siapa sih yang minta lo manjat. Kalo nunggu lo manjat, adanya itu sepatu nggak akan kembali ke kita,” sahut Via dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Menatap Shilla dengan penuh rasa kasihan. Berlebihan banget ya si Via?? Hehehhe….
       “Lha terus??” tanya Shilla bingung.
       Via dengan santainya menunjuk Ify dan Agni. “Tuh ada onyet-onyet kampung Delima, ngapai elo manjat,” jawab Via.
       Agni dan Ify yang dikatain onyet alias monyet langsung mendelik kesal dan mengirimkan tatapan seseram tatapan Tartarus, si Jurang Neraka.
       “Piss…Fy, piss…Ag,” ucap Via dan jari telunjuk dan tengahnya terancung ke atas.
       “Awas aja ya lo, Vi bilangi gue sama Agni monyet lagi. Nggak kita ambilin sepatu lo berdua,” acam Ify. Via langsung mengangguk dan nyengir kuda.
       “Ya udah, ayo, Fy kita manjet. Biar cepat pulang,” ujar Agni. Ify mengangguk dan mengikuti Agni yang telah berdiri di bawah pohon akasia tua itu dan mencari celah pijakan untuk memanjat pohon itu.
       “Siip ayo, Fy. Gue duluan,” ujar Agni dan mulai memanjat. Saat Agni sudah mencapai dahan pertama, Ify mulai memanjat. Kakinya yang beralas kaos kaki saja dengan lincah menempel pada kulit pohon itu.
******
       Setelah tiba di dahan yang terdapat sepatu mereka, Agni dan Ify mulai melepaskan ikatan tali sepatu yang terikat dengan kuat di dahan itu.
       “Sialan banget mereka, Ag. Gila ini ikatan susah banget dibukanya,” ucap Ify jengkel. Satu tangannya berpegang pada dahan dan satunya lagi bergerak melepaskan tali-tali sepatu itu. Agni mengangguk setuju. Ia masih fokus pada tali sepatu.
       “FY, AG. UDAH BELUM SEPATUNYA?? JATUHIN AJA!” teriak Shilla.
       “SUSAH BANGET NGELEPASNYA, SHILL,” balas Agni berteriak juga.
       Kemudian, Ify dan Agni kembali konsentrasi pada tali-tali sepatu itu.

******

       Masih ingat kan pada empat pengintai dari lantai tiga?? Pasti dong, kini keempat pengintai itu terkejut karena pada akhirnya sepatu yang mereka umpetin ketemu juga. Ditambah lagi, dua di antara orang yang ingin mereka enyakan dari sekolah ini bisa memanjat dan kini tengah melepaskan tali-tali sepatu yang menempel pada dahan pohon akasia.
       “Ketauan juga ya,” keluh Alvin. Padahal ia sangat ingin melihat keempat adik kelasnya itu entah memakai apa ke sekolah besok. Apa memakai sepatu yang lebih butut? Sendal jepit? Kaos kaki doang? Atau bahkan tak memakai apa-apa alias telanjang kaki. Kan asyik tuh untuk dijadikan bahan ledekan.
       “Gue nggak ngira kalo si Ify ya, Yo?” tanya Cakka untuk memastikan nama gadis berdagu tirus itu dan sering kali berurusan dengan Rio itu. Rio mengangguk dan mengamati objek yang sedang duduk di dahan pohon dan tengah melepaskan tali sepatu kemudian melemparkannya ke bawah. “Nggak ngira kalo dia bisa manjat. Kalo yang tomboy itu mah gue yakin pasti bisa. Jalan aja udah gaya cowok banget gitu,” tambah Cakka.
       “Udah ah, nggak seru. Yuk cabut. Boring gue,” ajak Gabriel dan menyandang tasnya yang sendari tadi tergeletak di lantai.
       “Bentaran ah, Yel. Gue ngerasa ntar ada tontonan seru,” tolak Alvin.
       “Gue setuju sama, Alvin,” ujar Cakka. Rio diam saja dan akhirnya Gabriel kembali bergabung untuk mengamati apa yang akan terjadi di bawah mereka.
       Tak lama setelah itu, Alvin tertawa terbahak-bahak karena ia melihat si Chubby alias Via yang kepalanya ketiban sepatu. Ia melihat Via mencak-mencak kesal dan menghentak-hentakkan kakinya.
       “Duh, benjol tuh kepala,” seru Cakka dan ikutan tertawa juga. Di tengah asyik tertawa, mereka berempat kegt lantaran teriakan dari bawah begitu kencang dan nadanya sungguh panik.

******

       “DUA SEPATU LAGI,” teriak Via. Ify kemudian melemparkan sepatu yang dia pegang ke bawah dan sungguh tanpa di sengaja jatuh dengan tepat ke kepala Via. Kalau ibarat basket, udah termasuk three point.
       “AAAWWWW…. Hati-hati dong, Fy. Benjol dah nih kepala,” sungut Via dan mengusap-ngusap kepalanya yang kena telapak sepatu.
       “SORRY, VI. GUE BENER NGGAK SENGAJA,” teriak Ify.
       “Yok, Fy kita turun,” ujar Agni dan mulai mengambil ancang-ancang untuk turun dari pohon akasia ini.
       “Lo duluan aja, Ag. Gue habis lo deh. Gue ragu buat turun serempak,” ujar Ify.
       Agni mengangguk dan berkata, “Wokeh.”
       Saat Agni sudah berada di dahan pohon ketiga sebelum menginjakkan kaki ke permukaan tanah. Ify akhirnya menuruni dahan pohon akasia dengan perlahan-lahan. Sungguh ia sudah amat hati-hati, namun sangat disayangkan Ify terpeleset. Kemungkinan karena kaos kaki yang ia pakai dan tangannya sudah berkeringat.
       “HUAHAAAAAAAAAAA………….” Teriak Ify saat ia merasakan kalau tubuhnya sudah tidak seimbang lagi. Ify mencoba menggapai-gapai dahan maupun ranting pohon yang dekat dengan dirinya, namun sia-sia. Semuanya terlepas begitu saja.
       “IFFFFFFFFYYYYYYYYYYYYYYYY………………..” teriak Via dan Shilla yang melihat proses Ify terjatuh. Sementara Agni terkejut dan segera melihat Ify yang tengah menggapai ranting-ranting pohon. Ia menjadi sangat cemas.
       “CARI PEGANGAN, Fy. GUE KE ATAS LAGI,” terika Agni. Ia akhirnya kembali menaiki pohon akasia.
       Ify sudah tak sanggup lagi menahan tubuhnya yang sudah tidak seimbang. Akhirnya ia pasrah begitu saja. Bayanganya Ayah dan Ibunya semakin dekat. Tubuh Ify meluncur begitu saja ke bawah, untung saja dahan-dahan di bawah Ify tak begitu panjang sehingga tak sampai mengenai tubuhnya.
       Kenangan-kenangan ia bersama Via, Agni dan Shilla terputat dalam benak dan pikirannya. Ify menggeleng. Ia tak boleh meninggalkan ketiga sohibnya sohibnya.
       “IFY……IFY…..” teriak Via yang mulai terisak.
       Tubuh Ify masih meluncur ke bawah, namun Ify tak jadi hanya pasrah saja. Ify pun menggapai-gapai ranting bahkan dedaunan untuk mencari tempat berpegang. Mata Ify melebar saat melihat dahan besar yang menjulur dengan kokohnya di bawah Ify. Sebentar lagi pasti ia akan menumbur dahan itu kalau saja ia tak coba menghindar.
       Dalam kecemasan dan ketakutan, Ify mendapatkan ide. Ia akan mencoba menjadikan dahan itu sebagai tempat berpegang. Ify memejamkan matanya dan berdo’a agar ia benar-benar akan menjadikan dahan itu sebagai pegangan, bukan malah menabrak dahan itu dan bisa saja membuat dirinya terluka.
       Agni yang sudah setengah jalan memanjat ke atas, segera turun dan menghampiri dahan yang akan Ify lewati. Ia begitu lincah dan cepat, tak memerlukan waktu banyak Agni sudah berdiri di dahan yang akan Ify lewati.
       Akhirnya tubuh Ify mendekati dahan itu, Agni mengambil ancang-ancang, ia menjulurkan tangan kanannya untuk menahan tangan Ify dan hap, akhirnya ia berhasil.
       “Fy….Fy….pijak dahannya kuat-kuat,” seru Agni cepat. Ify tersadar dan segera berpijak kuat-kuat. Tangannya segera meraih batang pohon ynag besar itu. Tangan Agni juga masih ia genggam. Agni dapat merasakan kecemasan dan ketakutan Ify yang luar biasa.
       “Kalo Ify kenapa-kenapa, awas aja kalian,” batin Agni. Ify pun kini berdiri dengan memeluk pohon akasia tua itu.
       “Ify gimana, Ag?” tanya Shilla yang sendari terdiam dan melihat Ify. Ia ketakutan dan akhirnya diam berdebar-debar.
       “Nggak apa-apa. Kalian berdua tangkap Ify ya. Yang bener. Nggak yakin Ify bisa turun lagi, badannya gemetaran semua,” jawab Agni. Shilla mengangguk.
       “Vi, Ify-nya nggak apa-apa kok. Ayo kita ke bawah dahan itu. Kita tangkap Ify. Ify mau turun,” ucap Shilla dan menenangkan Via. Via mengangguk dan menghapus titik-titik air matanya yang mengalir di pipinya.
       “Ayo, Ag. Gue sama Via siap kok,” ujar Shilla.
       Agni mengangguk. “Fy, lo loncat ya. Shilla sama Via udah jagain di bawah,” ujar Agni.
       Ify tidak menolak dan akhirnya menatap ke bawah. Ia melihat Via dan Shilla yang memberikan semangat, rasa yakin dan percaya kalau ia tak akan kenapa-kenapa. Via dan Shilla pasti bisa menangkap dirinya. Tanpa sadar Ify mengangguk. Dan ia melompat ke bawah. Matanya terpejam. Ify dapat merasakan tubuhnya kembali meluncur ke bawah. Meluncur bersama angin sore.
       “Yeah, ketangkep,” seru Via dengan begitu lega. Ify mendengar seruan Via. Ia membuka matanya dan Ify dapat merasakan kalau dirinya sedang berada di atas tubuh orang lain. Di dapatinya Via dan Shilla yang terkapar di bawahnya.
       “Empuk woi,” ujar Ify riang.
       “Empuk-empuk, Fy. Sakit tahu, lo tulang semua,” keluh Shilla. Ify nyengir kuda dan segera bangkit berdiri dan kemudian memilih untuk duduk tak jauh dari tempat Via dan Shilla terbaring karena menangkap dirinya.
       “Lo nggak apa-apa kan, Fy? Ada yang luka nggak?” tanya Via. Kekhawatirannya kembali.
       Ify menggeleng. “Nggak ada kok, Vi. Gue sehat-sehat aja, rada cemas gitu,” jawab Ify. Via tersenyum lega.
       “Huft..capek juga ternyata bolak-balik manjet pohon,” ujar Agni yang kini telah bergabung duduk bersama Ify, Via dan Shilla.
       “Ini gara-gara empat kutu kampret itu,” ujar Shilla kesal.
       “Ya udah lah, yang penting gue nggak kenapa-kenapa. Pokoknya, kita nggak usah perduliin mereka lagi. Mau  mereka ngatain kita, maupun mereka ngerjain kita,” ucap Ify.
       Via mengangguk setuju bersama Agni. “Tapi, kalau mereka udah kelewatan sekali lagi, kita laporin sama Bu Ira,” tambah Agni. Ketiganya mengangguk setuju.
       “Ayo, pake sepatu. Kita pulang. Gue udah capek banget,” ucap Shilla. Keempat sahabat itu memakai sepatu masing-masing dengan begitu cepat. Saat akan beranjak dari halaman belakang sekolah mereka, Via menepok jidatnya begitu keras. Nggak sakit tuh? Dan tentunya mengundang keheranan ketiga sahabatnya.
       “Ada apa, Vi?” tanya Ify bingung.
       “Nah, gue lupa bilang kalo analisis gue tadi bener. Toh benerkan semut membawa gue nemuin sepatu gue,” jawab Via.
       Ify, Shilla dan Agni bingung. “Bukannya Ify yang nemu sepatu kita?” tanya Shilla heran.
       “Emang Ify sih, tapi semut gue nempel di batang pohon gede tadi. Terus Ify nemuin sepatu juga di pohon itu. So, semut-semut tadi juga nemuin sepatu,” jawab Via agak sedikit maksa untuk meminta kesetujuan.
       Tawa Agni pecah. “Ih….kenapa sih ketawa, gue kan serius,” ujar Via.
       “Lo sih, Vi. Masa masalah itu diperpanjang aja. Gue bingung tau. Udahlah ayo pulang. Udah sore banget,” ucap Agni. Via cemberut. Masa sih nggak ada yang ngerti maksud gue, batin Via. *Gue aja nggak ngerti, Vi. Hehehehe*
       “Naik angkot ya, gue capek banget,” pinta Ify.
       “SETUJU!!” ucap Via, Agni dan Shilla serentak. Dan keempat sahabat itu benar-benar meninggalkan sekolah mereka. Langit pun semakin gelap. Mega merah mulai terlihat dan suara jangkring mulai terdengar. Saat tiba di depan gerbang, kebetulan sekali angkot lewat. Keempatnya pun menyetop angkot itu. “Kampung Delima,” ucap Shilla. Supir angkot mengangguk dan keempat gadis itu naik ke dalam angkot secara bergantian.

*******

BERSAMBUNG.......

Maaf banget ya kalau ceritanya makin nggak jelas sama ancur. Gue sebenarnya belum mau nge-post yang Lovely Maid ini, habis belum sampai end. Gue mau tamatin dulu baru post, biar bisa diperbaiki dulu. Berhubung ada beberapa yang minta di post, jadi gue post sekarang. tapi baru 1 part aja, habis yang lainnya kayaknya ada yang perlu di edit dulu. Mangkanya post-nya nyusul, tapi insya allah nggak lama-lama, do'ain aja gue nggak ada ulangan, jadi bisa edit LM terus post deh. Maaf ya kalau mengecewakan :( .

0 comments:

Posting Komentar